Pelesiran

Saat Harus Merasakan Gempa Nepal di Varanasi, India

DSC_0687

Percayalah, selain menunggu jodoh yang tak kunjung datang, menghadapi (efek) bencana alam di negara lain yang bermeter-meter jauhnya dari tanah air ternyata sama-sama bikin panik, bikin deg-degannya, bikin lapernya –dasar tukang kelaperan, dan bikin kangen kamu –lirik Chelsea Islan. Varanasi sendiri adalah kota terakhir dari serangkaian kunjungan kami (Aku, Indra dan Ahlan) ke India sebelum pulang ke Indonesia. Sayangnya, karena mendadak ada urusan penting, Ahlan harus pulang duluan.

Oke, kehilangan satu travelmate setelah jalan bersama hampir 3 minggu aja udah bikin mood bergejolak rasanya –alagh, terlebih lagi, aku dan Indra harus meninggalkan kota Srinagar yang cakep itu sehari lebih awal karena sistem jalanan di sana yang buka-tutup. Huaa, batal deh menyusuri Old Srinagar yang instagramable itu haha.

Selesai? Oh belum, nightmare yang sesungguhnya aku dan Indra hadapi selama perjalanan di India itu adalah saat kami berdua diusir di atas kereta yang membawa kami dari kota Jammu ke Varanasi, di saat kereta tengah berjalan, di tengah malam buta, perjalanan kami masih 20 jam lagi di atas kereta! Gimana ceritanya? Nanti deh diceritain 🙂

Tersesat Di Assi Ghat

Perjalanan dari kota Jammu ke Varanasi itu sekitar 25 jam. Kami tiba di Varanasi Lewat Djam Malam eh lewat tengah malam maksudnya. Sebagaimana saran Naveen, pemilik guest house tempat kami menginap (yang ironisnya kenalan awalnya lewat couchsurfing), kami diminta untuk menunggu di stasiun hingga pagi.

“Jangan keluar stasiun malam-malam ya! Berbahaya,” ujarnya.

“Bahaya kenapa?”

“Nganu, takutnya penduduk lokal ngira kamu monster, trus kamu digebukin,” jawabnya.

Oke dialog di atas fiktif belaka. Jelas himbauannya karena alasan keamanan. Untunglah di stasiun disediakan tempat menginap. Hmm sebenarnya hanya ruangan besar yang berisi ranjang persis bangsal di rumah sakit. Lumayanlah, tarifnya murah, INR 75 alias sekitar 15 ribu rupiah saja. Ketika matahari bersinar terang, aku dan Indra memutuskan untuk segera meninggalkan stasiun dan menuju penginapan menggunakan bajaj. Eh ya,untuk intip rincian pengeluaranku selama di India, silakan klik ini ya.

“Penginapan kami tak jauh dari Assi Ghat,” ujar Naveen.

Suasana di Ashi Ghat

Hmm, nyatanya sudah hampir sejak kami berjalan kesana-kemari mencari penginapan yang dimaksud. Varanasi itu seperti labirin raksasa! Banyak lorong-lorong kecil di sana. Berulang kali bertanya, berulang kali pula kami ditunjukkan arah yang berbeda.

Sungguh Ken lelah…

“Saya tahu! Mari saya antar.”

Begitu ujar para penarik becak sambil sedikit memaksa. Aku mah ogah ya! Wong kata Naveen modal jalan kaki doang sampe kok. Tapi dimana? Huaaa, aku dan Indra udah kayak zombie jalannya. Selain ngantuk, kami juga lapar sodara-sodara.

Lalu, malaikat hadir dengan sosok lelaki tua bertelanjang dada. Kami segera menemukan penginapan yang dimaksud tak lama setelah dia berkata, “hayo ikut saya.”

Ghat lainnya

Begitu sampe bingung dong,nih mamang-mamang kudu dikasih “uang rokok” nggak ya? Ya kalau dia ngerokok. Kalau dia nolak dan bilang, “saya nggak ngerokok, saya doyan pelesiran, jom beliin saya tiket ke Bali,” kan aku repot. Untunglah si mamang langsung pergi setelah kami mengucapkan terima kasih. Ranjaaang mana ranjaaaang.

Balada Kotoran Sapi, Dipalak Emak-emak dan Tes Kekuatan Betis

Penginapan keluarga Naveen berada satu bangunan dengan tempat tinggal keluarga mereka. Penginapannya sangat sederhana, namun lumayanlah, toh harganya murah banget. Satu malam gak sampai 100 ribu. Jadi, lantai pertama digunakan untuk tamu, lantai kedua untuk keluarga Naveen dan lantai ketiga untuk tamu lagi.

Aku dan Indra berkenalan dengan penghuni lain penginapan keluarga Naveen. Ada kakak beradik asal Spanyol, sepasang kekasih dan 4 orang temannya asal Latvia. Sampai sekarang masih suka kontak dengan mereka di FB. Namun ada satu tamu lain yang belakangan jadi teman jalan kami selama di Varanasi. Dia adalah Marcin, pemuda asal Polandia yang bekerja di Belanda.

Kotoran sapi yang diolah jadi bahan bakar untuk memasak

Ntah kenapa, Marcin lebih nyaman berjalan bersama kami yang Asia ini ketimbang geng Latvia tersebut. Dan sebagaimana umumnya bule yang senang jalan kaki, mau gak mau aku dan Indra juga ikutan jalan ala Marcin. Hmm, sebetulnya aku juga biasa jalan kaki dengan jarak yang jauh. Namun yang nggak tahan itu dengan panasnya.

Tahu kan berita ribuan orang meninggal di India terkena gelombang panas? Nah, saat itu pun sudah mulai masuk musim panas. Panasnya gila! Bisa tembus 42 derajat. Aku yang sebelumnya main-main salju di Srinagar (yang suhunya bahkan di bawah 5 derajat), begitu datang ke Varanasi ya kaget juga. Rasanya? Aduh kayak berada dalam oven. Beneran!

Cuacanya esktrim banget. Saat tersesat di Assi Ghat dan melihat arus di Sungai Gangga juga aku heran. Ini sungai apa laut? Kok ya gelombang dan anginnya gede bener. Hmm, sungguh aneh….

Oke balik lagi ke Marcin. Di hari kedua, dia ngajakin aku dan Indra untuk jalan bareng.

“Apa kalian tertarik mengunjungi universitas Banaras?”

“Hmm boleh juga,” jawabku.

Jadilah, 3 traveler yang sama tampannya ini berjalan menyusuri labirin kota Varanasi. Jika ada tempat-tempat yang menarik, kami akan singgah sebentar baik untuk mengamati atau sekadar berisirahat. Kami sempat juga mengunjungi Monkey Temple namun sayang kamera dilarang masuk ke dalam. Aslinya sih jujur aja kuilnya tidak menarik. Malah cenderung kotor dan kumuh. Paling juga jadi beda karena banyak monyet di sana.

Bertahun-tahun lalu aku sempat menyaksikan tayangan The Amazing Race dimana pesertanya ditantang untuk membuat Upla (dikenal juga dengan nama Komaya/Gomaya) yakni bahan bakar yang dibuat dari kotoran sapi.

Jijik?

Tentu saja hahaha. Peserta The Amazing Race bahkan menjerit-jerit saat itu. Dan, yeay! Di perjalanan menuju Universitas Banaras kami melewati sebuah perkampungan yang di dinding rumahnya banyak terdapat upla yang tengah dijemur. Marcin yang tidak tahu apa itu jadi tertarik untuk memotret setelah aku jelaskan.

Si tukang palak hehehe

“Mister, foto kami… foto kami,” teriak anak-anak di sana bersemangat.

“Oh kalian mau difoto? Hayo sini merapat, nanti aku foto,” sahutku senang.

Mereka anak-anak kecil yang sangat antusias. Aku pun jadi senang melihat reaksi mereka saat kuperlihatkan hasil fotonya.

Begitu akan melanjutkan perjalanan…

“Give me money… give me money.”

Emak-emak yang sebelumnya ikutan bersemangat minta difoto kini menjadi tukang palak. Lha! Sadarlah aku bahwa ini adalah salah satu aksi scam yang ada di India.

“Just ignore them, Haryadi,” ujar Marcin.

Kami mempercepat langkah, untunglah tidak ada dari mereka yang mengejar. Padahal aku ngarep juga sih dikejar, ya kan bisa aku ajakin joget India pake upla. –jomblo sarap.

Dengan panas yang kian menyengat, sejam kemudian sampailah kami bertiga di Universitas Banaras. Banaras sendiri seyogyanya merupakan nama lain/kuno dari kota Varanasi. Nah, universitas Banaras ini adalah salah satu universitas tertua di India dan menjadi salah satu universitas terbesar di Asia karena dapat menampung lebih dari 20 ribu murid.

Kampus ini pun luas banget! Di area seluas lebih dari 5 Km persegi ini, kami melewati beberapa fakultas dan juga asrama laki-laki dan perempuan yang bangunannya terpisah. Nah, di tengah-tengah kampus bediri sebuah kuil yang bernama Vishwanath Mandir. Kuil ini banyak dikunjungi orang. Ada serangkaian upacara keagamaan di jam-jam tertentu.

DSC_0569

Kuil di dalam area kampus

Beruntung kami datang tepat ketika prosesi ibadah akan dilaksanakan. Sekali lagi sayang kamera dilarang masuk. Yang jelas di dalam prosesi keagamaan itu dilakukan oleh sekelompok orang dengan menggunakan alat musik gendang dan beberapa instumen lainnya. Bagi yang beragama Hindu dapat mengikuti kegiatan tersebut dengan berdoa. Sedangkan bagi pengunjung seperti kami, cukup melihat dari pinggir ruangan saja.

Merinding di Varashani, Terpesona di Dashashwamedh

“Kalian harus menyaksikan Agni Pooja,” saran Naveen.

“Oh ya, apa itu dan dimana?” tanyaku.

“Kalian susuri saja pinggiran sungai Gangga ini dan kalian akan menemukannya,” ujar Naveen lagi.

Hmm baiklah kalau begitu. Demi membunuh rasa penasaran, sekitar pukul 7 malam kami bertiga kembali menyusuri sungai Gangga. Ternyata, malam hari di Varanasi jauh lebih nyaman karena cuaca tidak panas dan panorama bangunan-bangunan tua di sana nampak begitu megah dengan kumpulan cahaya lampu.

Dan… tidak pernah aku lihat kota lain di India yang bulenya sebanyak di Varanasi (pengecualian di area Taj Mahal ya). Banyak sekali warga asing yang berbondong-bondong menuju utara sungai Gangga. Tujuan kami semua sama, untuk menyaksikan Agni Pooja.

Ada banyak sekali ghat (dermaga) yang kami lalui. Namun ada satu ghat yang membuat kami tercekat, merinding lalu terdiam menyaksikan apa yang ada di sana.

Kremasi…

Ya, melewati ghat varashani yang merupakan salah satu ghat tempat dilakukannya proses kremasi. Suasana sangat hening di sana. Tidak ada suara tangis selaiknya pelepasan jenazah di Indonesia. Semua orang hanya duduk menyimak dan larut dalam pikirannya masing-masing.

kremasi

Memotret proses kremasi tidak diperbolehkan, kita pun harus menghargainya. Ini aku ambil setelah diberi izin oleh pengemudi kapal. Terlihat kan asap bekas proses kremasi?

Tahukah kalian, bahwa tidak semua orang beruntung dapat dikremasi dan abunya disebar di Sungai Gangga. Kenapa? Karena biayanya sangat mahal! Tidak mudah untuk mencari kayu bakar untuk proses kremasi setidak-tidaknya 200 jenazah setiap harinya. Jika punya cukup uang, maka jenazah akan dikremasi dengan sempurna. Jika tidak? Hmm…

Tak heran jika potongan jenazah seringkali muncul ke permukaan air dan berserakan di pinggiran sungai Gangga. Sebagaimana yang ada di situs ini (WARNING! Yang gak kuat mending gak usah dibuka). Bahkan sering kali yang terlihat adalah jenazah utuh. Heh? Yup, tidak semua orang boleh dikremasi. Khusus orang yang dianggap suci, wanita hamil dan anak-anak, mereka tidak boleh dikremasi. Lalu? Cukup ditenggelamkan dengan menggunakan pemberat.

Pikiranku campur aduk saat melihat jenazah yang meletup-letup dijilat api. Sungguh bukan pemandangan yang enak dilihat namun itulah yang ada di Varansi, india sana.

“Hayo sudah pukul 8, mari kita bergegas,” ajak Marcin.

Deretan kapal yang menonton

Untunglah Dashashwamedh ghat, salah satu ghat terbesar tempat Agni Pooja dilaksanakan tak jauh lagi letaknya dari ghat Varashani. Begitu sampai disana Agni Pooja atau prosesi keagamaan Hindu sudah berlangsung. Sungguh ghat yang sangat ramai! Ribuan orang hadir di sana untuk melihat atraksi pemujaan yang didedikasikan khusus untuk Siwa, Ganga, Surya (matahari) dan Agni (api) itu. Kalau melihat antusias warga (dan juga wisatawan asing) sedemikian besar seperti ini, aku langsung teringat atraksi War Ceremony di kota Amritsar tepatnya perbatasan India dan Pakistan beberapa hari sebelum datang ke Varanasi.

Jadi, ada 5 penari pria yang membawa cawan khusus  yang mampu mengeluarkan asap. Hmm, apakah itu kemenyan? Bisa jadi, karena baunya pun sangat khas. Kelima pria ini menari, menggerakkan cawan ke sana kemari dengan iringan doa-doa oleh pemimpin prosesi itu.

Aku mengedarkan pandangan kesekeliling. Luar biasa penuh! Bahkan banyak sekali orang yang menyaksikan Agni Pooja tersebut dari atas perahu. Aku sangat larut dalam suasana malam itu. Benar-benar pertunjukkan yang luar biasa.

Saat pulang aku sempat bertanya kepada Marcin mengenai Agni Pooja. “Hmm ya menarik, tapi menurutku biasa saja,” ujarnya pelan sambil berjalan menuju penginapan. Haha, ya masing-masing orang kan bisa beda-beda ya pendapatnya. Namun menurutku, jika kalian berkesempatan ke Varanasi maka menyaksikan Agni Pooja sangat direkomendasikan.

“Dikurung” Uncle Saat Gempa

Sabtu, 26 April 2015, adalah hari terakhir kami di Varanasi. Kereta yang akan mengantarkan aku dan Indra menuju Kolkata (untuk kemudian terbang ke Kuala Lumpur dari sana) dijadwalkan untuk berangkat sore harinya. Lumayan, kami punya waktu satu hari untuk kembali mengeksplor kota Varanasi.

Di pagi hari kami menyewa sebuah perahu untuk berkeliling sungai Gangga. Setelah acara kesiangan, syukurlah kami akhirnya mendapatkan perahu sewaan dengan tarif yang cukup murah. Kami menaiki sebuah sampan berukuran sedang di dermaga kecil tak jauh dari Assi Ghat.

“Wah tumben ya gelombangnya tenang,” batinku.

Cuaca hari itu juga tampak lebih sejuk dari 2 hari sebelumnya. Ya baguslah, artinya kami akan menikmati Sungai Gangga dengan lebih menyenangkan. Perjalanan menggunakan sampan itu berlangsung kurang lebih 1 jam. Lumayanlah, aku dapat menyaksikan berbagai macam kegiatan yang ada baik di Sungai Gangga ataupun pinggirannya.

Orang mandi, mencuci, sikat gigi di tempat yang sama.

“Sungai Gangga jorok ya?” tanya beberapa kerabat.

Menurutku tidak. Walaupun air Sungai Gangga dikenal sebagai salah satu air dengan kandungan bakteri tertinggi di dunia (ya iyalah, saripati mayat hehe), menurutku Sungai Gangga cukup bersih. Setidaknya aku tidak melihat tumpukan sampah seperti yang ada di anak Sungai Musi.

Belum lagi saat memandang bangunan-bangunan tua yang berderet di pinggiran Sungai Gangga, duhai, indahnya luar biasa. Aku yakin, Varanasi ini adalah tempat yang jadi incaran para fotografer dunia. Rasanya sulit menemukan objek foto yang jelek di Varanasi, lebih-lebih jika diambil dari atas perahu seperti ini.

Uncle yang mengajak kami berjalan-jalan

Kapal yang biasa digunakan wisatawan

Intinya ya, aku senang menyusuri sungai Gangga menggunakan perahu seperti ini. Namun, setelah pulang aku merasa belum puas haha. Untuk itu jika kelak berkesempatan ke India lagi, rasanya aku mau kembali lagi ke Varanasi 🙂

Sedikit tips jika menyewa perahu di sana, pastikan berniaga langsung dengan pemilik kapal, bukan pihak ketiga. Kami bernegosiasi dengan calo yang ternyata hanya memberi sedikit uang kepada pemilik kapal. Karena kasihan, si uncle yang menemani, kami beri tips tambahan (dia tidak meminta, pure kami kasih).

Dan juga, hati-hati dengan scam. Saat menyusuri sungai, akan banyak perahu-perahu kecil yang datang mendekat dan memberikan bunga pemujaan yang dapat mengapung di atas air. Jangan sekali-sekali menyentuh atau menggunakannya. Jika tidak, kalian akan ditekan dengan harga yang lumayan. Alhamdulillah kami lewat dari jebakan itu.

Senja di Gangga

Sebelum pulang ke penginapan, aku dan Indra sempat mampir ke sebuah toko souvenir tak jauh dari Assi Ghat. Menjelang hari terakhir, rupee masih bersisa, tak ada salahnya membeli beberapa oleh-oleh, toh? Terutama buat pacar (oh ya waktu itu belum jomblo muahaha) dan orang-orang tersayang di rumah.

Saat memilih barang-barang yang ada di sana, tiba-tiba aku merasa bangunan bergetar. Tubuhku juga ikut bergoyang dan kepalaku langsung pusing.

“Ndra, gempa ya?”

“Hah? Aku nggak ngerasain apa-apa bang?”

Aku melihat lampu hias yang berada di sana, semua bergoyang! Tanpa aba-aba aku langsung meninggalkan semua barang yang kupegang dan menuju ke pintu depan. Belum sempat ngomong, uncle, si pemilik toko langsung menahan kami.

“Tenang… tenang, gempanya jauh di Nepal sana.”

“Wah ternyata benar gempa, ya?”

“Iya, gempanya besar, tuh lihat di TV pada heboh,” ujarnya. “Eh tapi kalian nggak usah khawatir, toko kami adalah bangunan terkuat di sini.”

????????????????????????????????????

Ini dia tersangkanya hahaha

Yeee, mulai deh lebay­ khas Indianya keluar. Aku melihat layar handphone. Sinyal hilang. Nah, gimana mau ngasih kabar ke rumah nih? Ya walaupun India-Nepal jauh, tapi kan tetap saja ya takutnya keluarga di rumah khawatir.

Kami berbelanja seperlunya saja di sana. Pingin cepat-cepat pulang ke penginapan dan menggunakan wifi-nya. Untung saja bisa akhirnya aku bisa mengirimkan pesan ke keluarga melalui pesan di sosial media. Aku dan Indra mulai mencicil packing. Kami menonton tayangan dimana-mana mengenai betapa dahsyatnya gempa di Nepal. Hiks sungguh menyedihkan. Terlebih lagi aku belum berkesempatan ke sana –eh.

Bangunan tua di Gangga

Apa mungkin ya, cuaca yang sangat ekstrim dan perubahan cuaca di hari kejadian menjadi tanda-tanda akan adanya bencana alam dahsyat itu? Hmm, nggak paham deh. Yang jelas, setelah situasi dirasa aman, aku dan Indra memilih kembali ke…. Toko souvenir 😀 maklum, tadi belum puas belanja oleh-olehnya. Oh ya, tips berbelanja di India sudah aku tulis di sini ya. 🙂

*    *    *

Aku meninggalkan Varanasi dengan kondisi hati yang hangat. Berat rasanya meninggalkan keluarga Naveen yang ramah, juga teman seperjalanan yang asyik seperti Marcin dan geng Latvia. Varanasi meninggalkan begitu banyak kesan dan kenangan. Semoga… semoga Tuhan mentakdirkanku untuk kembali lagi ke sana. Tentunya dengan status yang tidak jomblo lagi sama seperti saat pertama kali aku datangi. –teuteup hehehe.

59 komentar di “Saat Harus Merasakan Gempa Nepal di Varanasi, India

  1. Wah heboh banget perjalanannya hehe. Gak kebayang gimana panasnya tuh 42C huaaaa…apalagi ada gempa gt, kayaknya klo gw udah lemes panik deh huuuhuu

  2. Aku baru saja usai menonton vacation suspicious –variety show korea gituh, yg edisi dua org artis cewek korea melakukan liburan ala ransel ke Varanasi pas lihat postingan omdut yg ini.

    Heheh… seriusss jadi penasaran dengan kehidupan di pinggir sungai gangga. *tapi aku nggak kepikiran utk solo traveller ke sana.

    Suatu hari mungkin… bisa ngerasain pengalaman yg sama menikmati varanasi — tapi tidak dgn gempa. Gempa di Padang aja sukaa bikin gemetaran *hiks

    • Sungai gangga itu panjaaaang banget. Sebetulnya gak melulu harus di Varanasi, bisa ke kota lain yang lebih sepi dan airnya cenderung lebih bersih. Tapi Varanasi sebagai pusat Hindu dan banyak bangunan tuanya itu yang bikin spesial 🙂

  3. Aku langsung membayangkan panas yang menggigit itu deh, boro-boro bisa jalan jauh, yang ada malah pingsan duluan :(. Tapi Varanasi yang cantik itu sayang banget rasanya kalo ngga dieksplor. Pinginnya motret melulu barangkali, kalo aku :D.

  4. Omnduut pengen buka link nya soal sisi lain sungai gangga yg tersebut diatas tp gak bisa kebuka…penasaran pengen liat gambar2 syerrem nya…hehe…mudah2an kunjungan kedua besok ke india bisa ke baranasi…hehe

    • Aku juga pas nginap di guesthouse bertanya-tanya mas. Apalagi ini GH murah (pake banget) haha, tapi ya sudahlah, mikir positif aja biar gak bergidik ngeri hahaha

  5. Om.. itu foto sungai gangga ngeri banget ya? gilak! sepagi2 ini gw jadi mules ke india.. apalagi ngebanyangin klo minum air yang sumbernya dari sungai itu alamaaak

  6. Kalau aku nggak pingin, hehehe.
    Memang lumayan ((Bersi))h varanasi sekarang dibandingkan tahun yyang sudah berlalu.

    Ntar kalau ke Nepal bisa foto, video sepuasnya proses kremasi. Sebenarnya kalau varanasi ini, kamu bawa go pro, masukkin saku. Bisa ngeliput tanpa ketahuan. Banyak teman yang berhasil. Ehhhh, ngajarin nggak bener. Menidng jangan ding, menghormati adat yang ada.

    • haha iya, gak enak jika ketahuan. Duduk diam sambil melihat aja udah cukup. Ntah beruntung atau malah rugi, aku datangnya di saat Varanasi (udah jauh/kelihatan) lebih bersih ya mbak Zulfa hehehe

  7. Ping balik: Mencecap Kesyahduan Tempat Paling Suci Bagi Kaum Sikh : Golden Temple | Omnduut

  8. Ping balik: Liburan Musim Panas dengan Hemat di Sydney? Bisa! | Omnduut

  9. Ping balik: Sensasi Berkemah & (Pura-pura) Mendaki Gunung Phantom di Munnar, India | Omnduut

  10. Halo om, kebetulan mei nanti bakalan stay dengan naveen disana. dia tawarkan half day tour + boat seharga 1000 Rupee, apakah dengan harga segitu worth it? karena gue paling mau nyusurin ghat disana aja.

    • Halo mas Ahmad. Sampaikan salamku ke Naveen ya 🙂

      Waktu 2015 ke sana, kami naik perahu hanya bayar INR500 per-perahu. Tapi itupun hanya sekitar 2 jam-an. Jika tawarannya INR 1000, lumayan murah, apalagi bisa setengah hari. Pastikan bayaran itu per-perahu ya, bukan per-orang 🙂

      Untuk rincian biaya selama di India, bisa cek di sini ya.

  11. Ping balik: Membeku di Padang Rumput Emas : Sonamarg, Kashmir | Omnduut

  12. Aku kok ngakak bagian kamu udah kena imbas gempa di Nepal, cepet2 balik untuk kasih kabar ke keluarga, eh trus balik lagi ke toko si uncle dan belanja lagi. Hahaha. Sempat2nyaaaaa..

    Eh aku ke Varanasi gatau ada Agni Pooja malah. Next time kalau ke Varanasi lg aku lihat aaaah..

  13. Ping balik: Kena Jebakan Holy Man Palsu di Pushkar, India | Omnduut

  14. Ping balik: Melihat Keindahan Gatore Ki Chhatriyan Tempat Kremasi Keluarga Kerajaan | Omnduut

  15. Ping balik: Melihat Keindahan Gatore Ki Chhatriyan Tempat Kremasi Keluarga Kerajaan | Omnduut

Jika ada yang perlu ditanyakan lebih lanjut, silakan berkomentar di bawah ini.