Serba

Kebanggaan Semu Adipura Kota Palembang

DSC_0621

“Ini wajah kami, wajah keimanan kami.”

Kalimat sederhana itu aku tulis untuk melengkapi sebuah foto yang bikin hati miris. Foto yang memperlihatkan betapa anak sungai Musi sudah kian tercemarnya dengan tumpukan berbagai jenis sampah itu aku unggah di akun instagramku dan foto itu sengaja aku tandai ke beberapa akun instagram publik/komunitas yang memiliki banyak pengikut. Harapanku komunitas tersebut dapat memposting ulang sehingga keberadaan sungai yang tercemar hebat itu mendapatkan perhatian khusus.

Kawasan itu berada di Kelurahan 9/10 Ulu kota Palembang. Bagi yang berdomisili di Palembang, pasti tahu bahwa kawasan ini sangat dekat dengan Sungai Musi dan Jembatan Ampera. 2 ikon kebanggaan kota Palembang. Sekali lagi, sayangnya sungai ini tercemat hebat. Aku yang menyusuri jalan dari Jembatan Ganepo (di samping Lr.H.Umar) hingga terus mengarah ke pasar 10 Ulu, keadaannya merata. Merata dengan sampah. Sangat mengenaskan.

Siapa yang salah?

Kita semua yang salah. Pemerintah, penduduk sekitar, pun termasuk orang yang tidak tinggal di kawasan tersebut seperti aku dapat dibilang bertanggung jawab terhadap hal itu. Kok bisa? Iya bisa! Siapa yang menjamin bahwa sampah sebanyak itu hanya disebabkan oleh penduduk sekitar. Bisa saja orang yang sekali lewat seperti aku pun turut andil memperparah keadaan sungai Aur (nama anak sungai Musi) tersebut.

Hujan Respon

Terima kasih kepada semua admin akun instagram yang sudah me-repost fotoku. Responnya luar biasa. Dari satu akun saja yang ngasih jempol bisa 1000-an orang. Belum lagi yang komen. Ratusan! Responnya sangat beragam. Ada yang dengan bijak menyikapi, ada yang mencaci maki (mungkin belum ngirup cuko pempek, makanya emosi), menyalahkan pemerintah-masyarakat. Tak sedikit juga yang memention akun instagram walikota Palembang bapak @harno.joyo akibatnya dalam waktu 24 jam langsung turun surat perintah dari walikota kepada jajaran di bawahnya (Kelurahan 9/10 Ulu) untuk melakukan gotong royong pembersihan kawasan tersebut.

Gotcha!

Dari akun sosial media walikota (yang sepertinya diurus oleh staf) terlihat berbagai macam foto saat walikota Palembang tengah melakukan pembersihan. Bahkan hampir setiap minggu kegiatan gotong royong di berbagai kawasan kota Palembang itu dilakukan.

Bagus sih dan aku harus mengapresiasi hal itu. Namun… jujur saja, menurutku kegiatan itu masih sebatas serimonial. Aku tidak begitu yakin, namun sepengamatanku tidak semua wilayah yang telah dilaksanakan pembersihan melalui gerakan gotong royong masalah intinya dapat terselesaikan.

img1469590358562

Terima kasih kepada admin-admin kece yang sudah bantu repost

Bagaimana dengan kawasan yang aku foto itu?

I have to tell this. Sama saja. Nggak ada yang berubah (baca : Sedikit banget yang berubah)  Sampah masih banyak dan endapan lumpur masih belum ditindaki secara serius.

IMG_20160718_152055

Kondisi sehari setelah gotong royong. Herannya banyak akun bot bermunculan dan berkomentar yang berisi puja-puji hoho

“Tentu saja tidak dapat membersihkan satu kawasan dalam sehari,” ujar beberapa teman.

Aku setuju. Namun sayangnya, pasca kegiatan gotong royong yang dihadiri langsung oleh walikota, tidak ada perbaikan berkelanjutan mengenai sungai Aur yang tercemar itu. Silakan dikoreksi jika aku salah, infromasi mengenai hal ini akan aku perbaharui lebih lanjut jika memang ada atau akan ada upaya dari pemerintah untuk menanganinya. Sekali lagi, nggak cukup dengan hanya datang sekali, kotor sekali, diambil foto sekali opps, harus ada tindakan jangka panjang biar tuntas problemnya.

Ironi Piala Adipura

Tak lama berselang, diketahui Walikota Palembang datang ke Riau demi menerima penghargaan Adipura. Tepatnya Adipura Kirana, penghargaan khusus kepada kota yang dianggap mampu melakukan pertumbuhan ekonomi, perdagangan, warisata serta lingkungan.

Bangga? Tentu saja boleh. Mengingat piala itu bisa dibilang sebagai salah satu bentuk apresiasi kepada pihak-pihak yang telah bekerja keras membersihkan, mempercantik dan membangun kota Palembang. Khususnya petugas kebersihan yang biasanya terjun langsung ke lapangan di pagi buta, saat ayam pun masih tidur nyenyak.

Namun, jangan sampai penghargaan itu melenakan.

Aku juga bangga. Apalagi ini piala Adipura yang ke-10. Tidak banyak kota yang berhasil mempertahankan prestasi ini. Baru tadi pagi aku melihat tayangan di TV tentang kota Bukittinggi yang kembali memperoleh Adipura setelah puasa prestasi selama 18 tahun (terakhir kali diperoleh tahun 1998 lalu). Lha ini, kota Palembang bisa mempertahankan hingga 10 kali. Bangga dong? Tentu. Tapi melihat fakta di lapangan (yang bisa jadi luput dari tim penilai Adipura), kok ya aku merasakan kebanggan yang semu.

Ah mungkin kawasan terpencil lebih mudah luput ya dari “jangkauan mata”, namun coba lihat gambar yang aku ambil di hari Minggu, 24 Juli 2016 jam 6:30 pagi, di saat Festival Sriwijaya masih berlangsung. Nggak perlu dijelaskan lebih rinci. Sudah pahamlah ya…

IMG_20160724_061902

Salah siapa? siapa yang terlena?

Solusinya Apa?

“Kamu jangan jadi tukang kritik yang om-do (omong doang) ya!” begitu mungkin yang kalian pikirkan.

Baiklah, karena aku sudah berani menulis hal ini, tentu harus berani berpendapat yang solving problem. Walaupun bisa jadi apa yang aku sampaikan belum tentu tepat mengingat keilmuanku dan pengalamanku bukan di bidang lingkungan terlebih dalam mengurusi sungai.

Toh kantor pemerintahan nggak kekurangan orang pintar (yang digaji lumayan) kok. Tinggal ketegasan dari pemimpinnya saja. Sorry nih pak Wali, kalo agak keras kritiknya. Kuncinya ada di bapak, lho. –ngomong sambil senyum.

Yang harus dilakukan tentu pembersihan sungai sebenar-benarnya. Boleh dong aku sirik dengan pemimpin kota tetangga di pulau Jawa sana yang mampu merekrut pasukan khusus yang konsentrasi penuhnya (dan tentu saja ditarget) untuk membersihkan sampah-sampah yang ada di sungai. Gak hanya harus bersih, namun juga endapan lumpurnya harus dikeruk, pak!

20 tahun lalu aku masih berenang di sungai itu loh, Pak. 40 tahun lalu bahkan ayah-ibuku bilang masih bisa menangkap remis dan udang dengan tangan. Sungguh waktu cepat sekali berlalu. Dan manusia itu makhluk perusak nomor satu. Manusia? Ya kamu, ya saya, ya kita.

Setelah dibersihkan lantas apa? Kok ya masyarakat sekitar situ tega banget kalau masih mau buang sampah di sungai. Semiskin-miskin dan sebodoh-bodohnya masyarakat yang ada di sana, menurutku… ini menurutku ya. Akan mikir-mikir kalau mau buang sampah lagi di sungai yang sudah bersih.

Jika nanti proses normalisasi sungai berlangsung, masyarakat di sekitar sana juga dinormalisasikan pemikirannya. Diedukasi jor-joran mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Kalau masih bandel? Penjarain aja sekalian 🙂

Aku bahkan ngebayangin ada kerangkeng khusus di kantor lurah bagi masyarakat yang buang sampah sembarangan. Gak usah lama-lama, sejam aja dikurung. Pasti seru!

Hehe maaf, ini idenya terlampau liar.

Oh ya, jangan lupa pendidikan. Baik di sekolah formal ataupun di lingkungan keluarga ini. Gak mau dong kehidupan yang ada sekarang di-putus-rantai-kan dulu. Yang ada malah pemusnahan massal oops. Tapi menyiapkan generasi penerus yang gak hanya pintar namun juga berbudi pekerti dan sangat mencintai lingkungan.

Cinta Palembang

Bisa jadi tulisan ini akan menimbulkan banyak kontra. Silakan saja. Satu yang harus dipahami bahwa semua kritikan yang aku tuliskan di sini adalah salah satu bentuk rasa cintaku terhadap kota Palembang. Gimana nggak cinta, wong aku lahir dan besar di sini. Cuma jodoh aja yang belum nemu –kedip ke dik Chelsea Islan. –teuteup Hehehe.

Palembang akan terdengar gaung dalam beberapa waktu kedepan. Fasilitas penunjang Asian Games 2018 tengah dikebut. Pembangunan berlangsung 24 jam bahkan (katanya) arena Motor GP tengah dipersiapkan (dadahdadah ke negeri tetangga). Namun jangan lupa, permasalahan seputar lingkungan yang aku tulis di sini jangan diabaikan. Hayolah bapak-bapak pemimpin. Bikin kebanggaan kami (baca : aku deh) yang sekarang terasa hambar dan semu menjadi sebuah kebanggaan yang nyata dan kekal.

Yuk, Pak-Bu!

Mari bekerja, stop korupsi.

Semoga Palembang kian cetar membahana di waktu yang akan datang. Aku membayangkan kelak sungai-sungai yang kotor bisa jadi objek wisata kanal seperti di kota Malaka. Gak ada yang ngalahin cakepnya kota yang ada sungainya.  Mohon maaf jika kurang berkenan atas tulisan ini. Mungkin bikin kuping dan dada bapak-ibu sekalian memanas? –kipaskipas, silakan tampar aku dengan perubahan nyata kerusakan lingkungan yang telah ada. Nggak hanya yang jelek-jelek kok aku tulis, bahkan jauh sebelum ini aku sudah banyak menulis tentang Palembang yang bagus-bagus. Karena ya itu, aku cinta Palembang, namun tidak dengan kerusakan yang ada.

Ketjoep hangat dari Plaju.

Iklan

41 komentar di “Kebanggaan Semu Adipura Kota Palembang

  1. Permasalahan sampah ini memang ga ada habisnya sih ya. Masalah habit. Karena memang semua bermula dari diri sendiri dan lingkungan keluarga. Memunculkan kesadaran itu lho yang butuh waktu ga sebentar. Kalau per individu nya sudah tertib, rasa2nya sampah ini bisa ditanggulangi.

    • Iya mbak Den, saat aku melintasi kawasan itu, banyak banget yang buang sampah berukuran gede ke sungai. langsung! live dari pandangan mata sendiri. Kesadaran masyarakat penting, tapi pemerintah juga harus memfasilitasi dan kasih punishment yang tegas. Harus kompak dan kerja sama.

  2. Bangga yaaa 10x terima adupura dengan kondisi macam itu
    Semoga ngak ada udang di balik batu …. eh beli piala adipura bisa ngak yaaaa ??? hahahaha.

    Btw aku beberapa kali ke bukit tinggi dan suka ama kota nya lumayan bersih kalo sekilas pandang tapi kenapa lama kali ngak dapat adipura yaaa

    • Coba cek di Oh-El-XX om, kali ada jualnya di sana hwhwhw. Mungkin om Cumi juga lihat ya foto mobil arak-arakan piala Adipura di Pagaralam yang ironisnya banyak sampah (bagi pembaca lain, yang penasaran beritanya di sini), banyak bener suara sumbang terhadap Adipura ini. Dari yang bisa dilobilah… bisa dibelilah. Faktanya sih nggak tahu.

      Cuma mikirnya gini om, dulu kan aku kerja di BUMN, ada lembaga independen gitu yang melakukan penilaian layanan. Kita takut setengah mati mempertahankan layanan biar gak dapet nilai jelek. Mereka datang kayak hantu, gak bisa ditebak. Nah apakah tim Adipura juga gitu? jangan-jangan pas mau datang bilang dulu bahkan ditemenin sama orang daerah (makanya yang ditunjukkin yang cakep-cakep aja). Ntah deh ya, kalo ada pembaca lain yang mau kasih info boleh aja, monggo. Asal nggak pake bahasa kebun binatang ya 🙂

  3. Masalah sampah ini dimana-mana ada, di Malang juga Yan yang notabene langganan adipura juga. kasian anak cucu kita kelak kalau hanya diwarisi sampah dimana-mana 😦

  4. Itu kanal-kanalnya sayang banget lho. Kalau mau dibersihkan, Palembang akan kembali menjadi Venezia of The East. Memang butuh mental warganya sih. Percuma pemimpin salto terbalik keliling Sungai Musi kalau warganya nggak berubah, kotanya akan tetap sama.

  5. Sungai Melaka juga seperti anak sungai di Palembang dahulu sehingga Melaka mendapat status Bandar Warisan UNESCO baru lah kerajaan negeri serius dalam mengindahkan sungai itu. Baik juga dinaikkan isu sebegini sebab saya rasa ini bukan sahaja isu melanda Malaysia dan Indonesia tetapi juga satu Asia Tenggara.

    • Iya betul 🙂 Chao Pharaya di Bangkok juga nggak terlalu bersih, namun Sungai Aur di Palembang ini mengerikan. Ah, aku selalu kangen Malaka, Dan 🙂

  6. Duh, prihatin yaa. Mungkin hanya pojok-pojok tertentu aja yang dinilai. Bandung pun yang cakep baru pusat2 kota yang biasa dilalui turis aja. Masuk ke daerah rumah mertuaku, duuh belum tersentuh oleh Kang Emil tuh. Makin parah kondisinya. Padahal salah satu gerbang masuk Kota Bandung juga *jadi curhat*

  7. Palembang mendinganlah kebersihannya dibanding kota lain di Indonesia, jadi Adipura ini bukan piala kota paling bersih sih tapi yang mendingan kotornya dibanding kota2 lain di Indonesia jd bayangkanlah bagaimana kebersihan kota2 di Indonesia

  8. Ping balik: Saat Harus Merasakan Gempa Nepal di Varanasi, India | Omnduut

  9. Keren banget mas Yayan, postingan IGnya bisa menggerakkan banyak orang. Paling tidak, harus diapresiasi lah ya walaupun belum maksimal. Sepertinya, zaman sekarang ini semua harus disosmedkan dulu supaya viral baru ada gerakan. Menumbuhkan kesadaran di dunia yang penuh rekayasa memang butuh perjuangan ekstra. Mereka yang konsisten untuk peduli dan terus menyuarakannya itulah yang diperlukan oleh lingkungan.

    • Iya tetap diapresiasi walaupun sifatnya seremonial. Sekarang udah gak jelas lagi tuh sungai mas, barusan tadi siang aku lewat. Butuh pasukan orange nih Palembang 🙂

Tinggalkan Balasan ke Pink Traveler Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s