
.
Berhubung jalan sendirian selama 2 minggu di Rajashtan, India, saya harus mempersiapkan perjalanan dengan matang. Di antaranya yakni menyusun itinerary dengan efektif termasuk memesan semua tiket kereta api di India. Ya maklum, 2 kali ke India, urusan kereta ini lumayan bikin ngeri. Lha wong saya pernah diusir dari atas kereta kok haha. Eh cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Born to Travel, ya!
Nah, saat santai, saya juga nyari informasi di banyak blog tentang atraksi atau objek wisata di kota yang akan saya datangi.Lalu, saya gak sengaja nemu tulisan Mbak Noni tentang pengalamannya nonton Folk Dance di Udaipur. Hwah, pas banget, saya kan memang mau ke Udaipur juga! Ditambah lagi, saya sukaaaaaa banget nget nget nonton pertunjukan seni kayak tari dan drama. Dan, begitu liat foto-foto dan video di blog Mbak Noni, saya makin mantab untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.
Berbekal rekomendasi dari Ayun, saya akhirnya memutuskan untuk memesan kamar di Moustache Hostel. Alasan utamanya karena lokasi hostel ini sangat strategis. Ibaratnya, mau ke mana-mana dekat, termasuk ke Bagore Ki Haveli, museum yang digunakan sebagai tempat pertunjukan folk dance ini. Mau ke City Palace tempat dik Yaya aka Raisa pamer foto saat hanimun juga modal jalan kaki. Padahal, harga satu dormnya lumayan sih, sekitar 100 ribuan.

Duh senyumnya jangan manis banget gitu dek.
“Hah, murah mah itu!”
Bener, murah, tapi di kota lain dengan harga tersebut saya bisa dapetin kamar privat bahkan dengan kamar mandi di dalam. Tapi tak mengapa, saya nggak menyesal menginap di Moustache soalnya memang worth to value. Stafnya ramah, kamarnya lumayan oke, toiletnya bersih dan… ternyata bersebelahan dengan masjid! Lumayan, saya beberapa kali ikutan salat berjamaah di sana walaupun jadinya diliatin penduduk lokal haha. Dipikirnya, “ini Cina ngapain solat?” kali ya! Hehehe.
Sekilas Tentang Bagore Ki Haveli
Haveli sendiri sebetulnya berarti townhouse atau mansion. Umumnya bangunan tua bernilai sejarah dengan sentuhan arsitektur yang khas. “Lucunya” Haveli berasal dari bahasa Arab yakni hawali yang berarti partisi atau ruangan pribadi. Nah, sebelum ke Udaipur, saya sempat mengunjungi haveli lainnya di kota Jaisalmer. Namanya Patwon Ki Haveli. Dan asli cakep banget! Ntar saya posting terpisah, ya!
Bagori Ki Haveli dibangun pada abad ke-18 tepatnya antara tahun 1751 hingga 1778 dan berada tepat di pinggiran Danau Pichola yang juga bangunannya bersisian dengan Gangori Ghat, salah satu ghat/dermaga yang terkenal di Udaipur dan sempat dijadikan lokasi syuting film Goliyon Ki Raasleela Ram-Leela yang dibintangi Ranveer Singh dan Deepika Padukone. Cuplikan adegan di Gangori Ghatnya dapat di lihat di sini.

Pintu tiga sebelah kiri itu Gangori Ghat. Nah gedung sebelah kanan itu Bagore Ki Haveli.
Bangunan ini dibangun oleh Shri Amarchand Badwa, yang menjadi perdana menteri Mewar –sebuah nama daerah yang merujuk pada kawasan Selatan Rajahstan. Bangunan yang memiliki seratus kamar ini kini dijadikan museum yang memajang berbagai macam benda seni seperti pakaian tradisional dan lukisan. Berbagai kerajinan kaca juga ada di museum ini.
Saat pertama datang ke sana sekitar pukul 4 sore, tadinya saya mau masuk ke dalam museumnya. Biayanya 100 rupee atau sekitar 20 ribu rupiah. Tapi, ntah kenapa saat tiba, saya kehilangan mood untuk masuk ke dalam. Pertama, mungkin karena saya udah mabok museum di kota-kota sebelumnya. Kedua, ini sih yang jadi alasan utama hahaha. Saat itu kok sepi banget gak ada orang. Mana keliatannya museum ini rada spooky. Saya sih bukan tipe yang penakut ya, cuma keadaan itu bikin malas.

Hati-hati, pedang aja bisa digigit haha.

Salah satu penari seniornya. Keren, ya!
“Kapan loket penjualan tiket pertunjukkannya dibuka? tanya saya.
“Oh, jam 6 sore. Tapi biasanya jam 5 udah pada antre,” jawab salah satu petugas yang berjaga.
Hmm, masih ada jeda 1 jam lagi sebelum loket dibuka. Jadilah, saya memutuskan untuk mampir ke Gangori Ghat lagi. Saya sih udah berkali-kali lewat, tapi baru kali itu saya memutuskan untuk duduk. Sayangnya, banyak sekali anjing di sana. Tempatnya juga kotor karena tumpukan kotoran burung dara. Sudahlah, saya memutuskan kembali ke hostel. Lumayan bisa pakai fasilitas WiFi-nya.
“Dituduh” Orang Lokal Saat Antre Tiket
Kalau bisa dituduh warga lokal saat antre tiket ya rezeki sih. Mestinya gitu ya, apalagi kalau di area Taj Mahal yang tiket masuk antara warga lokal dan turisnya kayak langit dan tanah. Tapi, kalau di Bagore Ki Haveli sih nggak ngaruh karena (seingat saya) harga masuknya sama gak dibedakan antara turis lokal atau asing.
Saat datang lagi jam 5 sore, baru ada saya dan 2 turis asing yang berdiri di sekitar loket. Karena nggak ada yang ngatur, ya kami membentuk barisan sendiri.

Bagore Ki Haveli. Cahayanya bagus, untuk pertunjukan.
“Loketnya buka jam 18:15 ya,” kata petugas.
Hasyem, lama juga ini saya berdirinya. Ya sudahlah, apa boleh buat, apalagi tak lama pengunjung mulai berdatangan baik warga lokal atau turis asing. Nah, melihat antrean yang mulai panjang, baru si petugas turun tangan. Dia memecah antrean menjadi dua.
“Kamu antre di sini,” ujar seorang petugas. Saya sih nurut ya karena pikir saya, ya sama saja antreannya, jadi sama-sama pendek. Namun, begitu loket dibuka, ternyata warga lokal belum diizinkan beli tiket selama turis asing antreannya belum habis! Haa siyaal. Padahal di antrean warga lokal saya urutan no 3!
Gak terima dengan situasi ini, saya mulai kipas-kipas paspor.
“Om, saya turis asing nih, mestinya didahulukan!”
Salah seorang petugas lain lantas mengizinkan saya pindah antrean ke antrean turis. Saat di loket, saya membayar biaya masuk sebesar 150 rupee atau sekitar Rp.30 ribuanlah.
“Kamu bawa kamera, bayar lagi, ya!”

Penduduk lokal masih antre di bawah.
Ya, untuk alat dokumentasi, harus bayar lagi 150 per item. YES, PER-ITEM! Jadi, kalau saya membawa satu hape, satu kamera aksi dan satu DSLR, mestinya saya membayar 450 rupee atau Rp.90.000 untuk alat dokumentasi saja. Haa, lumayan ya! Saya kemudian memutuskan hanya membayar satu item yakni DSLR saja. Untuk hape emang gak dipake karena rusak parah. Dan kamera aksi saya simpan di tas. Biarlah nanti rekamnya pake DSLR aja, toh memori dan baterenya sedang dalam posisi prima.
Saya mendapatkan 2 gelang tiket. Satu dipakai di tangan, satunya lagi diikatkan di tali DSLR saya. Bersama pengunjung lain, saya bergegas naik ke atas. Wajib banget dapetin posisi uenak ini kalau mau nonton. Nah, dari balkon atas, saya melihat warga lokal masih memadati antrean hehe.
Terpukau Atraksi Seni Khas India
Saat masuk, benar saja, posisi tengah sudah diisi oleh para bule yang dizinkan beli tiket lebih dulu. Haa sebel. Saya akhirnya kedapatan bagian pinggir depan. Ya lumayanlah, walaupun bukan di bagian tengah, tapi masih di bagian depan. Saya duduk di bangku kayu panjang. Dan, ternyata, bagian lantainya masih bisa ditempati oleh pengunjung. Mana yang duduk di depan bule-bule jangkung yang bikin pemandangan terhalau. Haaa, sudahlah, apa boleh buat.
Tepat pukul 7 malam, lampu mulai diredupkan. Cahaya dikonsentrasikan di bagian panggung. Tak lama, seorang pemuda membuka acara. Dia sempat menginfromasikan tentang tata tertib menonton pertunjukkan. Diantaranya nggak boleh menggunakan blitz kamera. Lalu yang kocaknya, dia minta dikasih lihat gelang biaya kamera.

Pembawa acaranya.

Pemain musik.
Hanya sebagian kecil yang angkat tangan termasuk saya. Sisanya, gak ada yang bayar! Haha, padahal semuanya bawa hape. Tanpa ba-bi-bu, dia langsung mintain semua bule-bule itu duit 150 rupee. Saya pikir tadinya akan dibilangin, “yang nggak bayar gak boleh foto atau rekam loh ya.” Tapi nggak, semua dimintai karena ya pasti bakalan motret kan si bule-bule ini hahaha. Dan benar saja, di tengah acara, saat jeda dari satu atraksi ke atraksi lain, ada lagi bule lain yang kena gap dan disuruh bayar wakakak.
Ada 5 atau 6 sesi atraksi. Pertama dimulai dengan tari api yang ditempatkan ke dalam sebuah tempayan yang terbuat dari perunggu. 2 orang penari meliuk-liukkan badannya sambil diiringi musik. Ah, keren banget! Satu sesi atraksi berjalan sekitar 5 s.d 10 menit. Begitu satu sesi selesai, penari lain langsung ambil alih panggung pertunjukkan.

Pemain musiknya.

Tari api di tempayan.

Penari laki-lakinya.
Penarinya gak melulu perempuan, tapi ada juga lelaki. Yang lelaki ini tari dan semi drama kayak perang gitulah. Lalu, di sesi selanjutnya penari perempuan dengan jumlah 5 orang menari bersama di mana, di akhir sesi mereka menari menggunakan pedang.
Ada juga penari solo yang unjuk kebolehan dengan kayang ke belakang sambil mengambil uang yang diletakkan di lantai. Sederhana, tapi semua penonton tepuk tangan termasuk saya. Asli ya, ini pertunjukkannya keren banget! Khas India. Saya betul-betul menikmati semua sajian yang ada.

Si penari tunggal.

Abis kayang ini, dia ambil uang itu pake mulutnya.

Tarian perang.

Bonekanya sepasang. Kalo diliatin serem sih mukanya hahaha.

Penonton cilik diajak ke tengah panggung.
Menjelang akhir pertunjukkan, barulah puppet show alias pertunjukkan tari boneka berlangsung. Hebat ini si bapak bisa menggerakan 2 boneka sekaligus! Di sesi ini juga penonton diajak ke panggung untuk berinteraksi langsung. Tapi yang dipilih penonton anak-anak. Iyalah ya hehehe. Padahal kalau saya diajak ke tengah ya gak nolak loh. Apalagi udahnya dikasih boneka dalam ukuran mini hehe.

Nari pake guci. Semakin lama, semakin banyak.

Tuh ujungnya sebanyak itu.
Hasyeeemmm kok aku miss ya pertunjukkan ini 😭😭😭😭😭 waktu di Udaipur adalah hari-hari terakhir di India. Sudah gak mood, badan udah tepar, panaaas. Bawaannya tiduuur aja pengennya. Bahkan niat mau sunrise-an di ghat jadi kesiangan 🤣 baiklah harus balik lagi demi tarian khas Rajashtan😊
Haha biasanya gitulah, aku aja begitu pulang dan liat postingan orang lain, “haa kok aku gak ke sana waktu itu.”
Tapi ya aku sih yakin, kalau India kayaknya bakalan balik ke sana lagi hwhwhw
tarian yg bawa tempayan susun keren euy, gak jatuh, di india mereka pake mistis apa karena latihan doang sih
Khusus ini karena latihan kayaknya. Itu tempayannya dikit-dikit, trus semakin ditambah sampe numpuk kayak gitu 😀
aku itung ada 10 euy… gilak hehehehe….
Betul hehe
Hm, jadi wisatawan internasional diutamakan daripada wisatawan domestik ya. Menarik.
Speaking of ghat, aku baru tau kalau Yamuna Ghat di Delhi saat winter itu menarik bangeeettt! Barusan nonton di vlog-nya Divert Living. Ada banyak Siberian seagulls yang bermigrasi dan beterbangan. Hm, apa winter awal tahun depan ke India ya 😀
Nah, pasti menarik ngeliat India dari sudut pandang Nugie. Iya, sekalian ke Kashmir 😀
Barusan aku liat video yang dimaksud. Di kota lain, kayak Varanasi itu, ghatnya cakep-cakep dan banyak burung juga walaupun kayaknya bukan siberian seaugulls.
Haha, kalo aku ke sana, kayaknya misiku bakal ungkap sisi modern India 😀
Hm Varanasi ya. Noted noted mas.
Waduh itu api di atas tempayan apa nggak panas ya? hehehe jadi penasaran mau lihat aslinya, kayaknya seru~ btw buku Born To Travelnya sudah ada di Gramedia kah mas?
Kayaknya nggak, karena pantat tempayannya tebal haha. Buku Born to Travel iya ada di Gramedia 🙂
Kayaknya kalau saya nonton bakal gak bayar kamera macam bule2 itu. Hahaha
Tapi salut sama penyelenggaranya yang keukeuh mintain duit ke pengunjung,
Iya ketat penyelenggaranya haha
Ping balik: 5 Alasan Saya Memutuskan untuk Masuk dan Mengeksplorasi Hawa Mahal | Omnduut
Seru juga liat atraksi lokal gitu di luar negeri, bisa liat budaya mereka juga.
Btw tuh tempayannya sampe lebih tinggi dari orangnya. :0
Iya tinggi banget. Kayaknya lebih tinggi dari badan si ibu sendiri hwhw
harusnya masnya macak ala india biar gak dituduh soal tiket wkwkwkw..
Buahaha ogah
Muka orang Indo ini emang mirip ama negara-negara lain ya. Ama orang Thai and Malaysia sih udah biasa ketuker, tapi ini sampe ke India juga. Hehehe
Iya betul. Sebagian wilayah di sana muka penduduknya mirip kayak orang Indonesia.
Seru banget itu ibu-ibu yang nari sambil bawa tempayan di atas kepala, 10 biji pula! Berapa lama ya dia latihan… heheheh
Kayaknya dari kecil udah latihan dia 😀 aku juga takjub, keinget atraksi sirkus Tiongkok zaman dulu kala.
seriuus dimintain lg yg blm bayar kameranya yaaa? aku ngebayangin tempatnya gede dan tinggi. msh sempet gitu staffnya mungutin biaya kamera lg?? tp memang kalo di awal udh hrs bayar, ya mbok lgs bayar … kdg suka bingung ama bule2 yg pura2 ga bawa kamera/hp, ternyata di tempat pertunjukan malah heboh ngerekam -_-..
aku jg suka liat pertunjukan tari, musik begini mas. kalo memang pas traveling sdg ada begini, aku mau banget sih nonton.
Karena emang paling seru kalau udah bisa liat atraksi kebudayaan lain ya mbak 😉
Keren. Apakah saat menyaksikan pertunjukannya jiwamu ikut meronta? Ingin bergoyang mengikuti irama caiya caiya?
Hahaha iya banget. Pingin ikutan show tapi khawatir kena timpukan penonton. Jadi aku hanya bisa menahan diri hwehw
I always wonder how do they balance jars while dancing. Simply amazing
They are an expert hehe
Ping balik: Patwon Ki Haveli: Kediaman Saudagar Benang Emas di Jaisalmer, India | Omnduut
Ping balik: Terkenang Raisa dan Mendadak Pikun di City Palace of Udaipur | Omnduut