Pelesiran

Lampung Krakatau Festival 2016 : Keindahan Disela Bayang-bayang Mimpi Buruk

DSC_0437

.

Alarm yang aku setel sebelum tidur meraung tepat pukul 4 pagi. Aku melirik ke ranjang sebelah, nampak Maman @mamanisss masih terlelap. Hmm, mungkin dia lelah setelah konser Korea sebelum tidur hehe. Ya sudahlah, aku kembali mengatur ulang alarm. Aku tambahkan 15 menit untuk lanjut beristirahat karena merasa waktu yang aku punya masih cukup untuk bersiap-siap.

Saat briefing malam sebelum tidur, om Yopie si empu @KelilingLampung_ pun sudah mengingatkan, “besok paling lambat pukul 06:00 kita sudah harus kumpul di Lapangan Kopri ya,” ujar beliau. “Pukul 05:30 sudah siap di lobi hotel, ya!” sahut om Yopie lagi.

Aku dan semua blogger undangan resmi Dinas Pariwisata & Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung angguk-angguk tanda patuh. Kalau mau jujur sih, sebetulnya udah pada gak tahan mau dangdutan di tempat karaoke. Namun, mengingat besok kami semua akan melakukan perjalanan panjang menuju Gunung Anak Krakatau, hasrat untuk pamer joged harus ditunda dulu. Baiklah… 🙂 tahan ya gaes! –lirik bang Indra.

Semburat Cahaya Pagi dari Pantai Sari Ringgung

Ngantuk? Jelas! Namun badan segar dan rasanya bersemangat sekali memulai hari baru di Lampung. Selain aku dan Maman yang datang dari Palembang, tim blogger TBC –sebut saja begitu hehe, juga dimeriahkan dengan kedatangan mbak Katerina @Travelerien dan mas Arie @AriePitax dari Jakarta, mbak Dian @Adventurose dan mbak Lina @LinaSasmita dari Batam, mas Hari JT @MitraWisataId dari Pangkal Pinang, mbak Rian @Atanasia_Rian dari Yogyakarta serta mbak Ros @RosannaSimanjuntak dari Pontianak. (btw, semua itu akun IG-nya ya, follow ea kakak-kakak).

DSC_0417

Cakep!

Tak lupa, Blogger TBC ini dikepalai oleh Bang Indra @DuniaIndra dari Lampung. Saat tahu temen jalannya bakalan seru-seru kayak gini, aku tanpa pikir panjang setuju untuk ikutan bergabung di Lampung Krakatau Festival 2016. Apalagi sebagian dari mereka sudah kukenal pasca ikutan di Festival Teluk Semaka tahun lalu. Oke kenalannya udah, diingetin ya nama-namanya. Tak kenal maka tak sayang loh, jangan sampe udah temenan lama trus lupa sama nama itu bikin sedih loh kakak-kakak. Sungguh –pasang muka serius.

Oke kembali ke Lampung Krakatau Festival 2016.

Begitu sampai di Lapangan Kopri komplek perkantoran gubernur prov. Lampung, suasana masih sepi. Hanya nampak beberapa panitia di sana. Terlihat pula ada 3 bus pariwisata berukuran besar terparkir di pinggir jalan.

Blogger kalau udah ngumpul kerjaannya apa coba? Yak benar sekali : foto-foto! biar kata kehebohan kami semua memecah kesunyian pagi, yang penting perjalanan dijalankan dengan hepi.

Tak lama kemudian seorang panitia lokal bernama mbak Rahmi mendata kami di sebuah kertas. Kami diminta mengisi daftar hadir. “Buat jatah makan siang ya, mbak?” ujarku bercanda. Mendengar itu mbak Rahmi hanya tersenyum.

Ntah kemana peserta yang lain, namun setengah jam berlalu, lokasi masih nampak sepi. Mengingat jadwal yang ditetapkan EO cukup ketat, bus 1 yang kami tumpangi mulai melaju walaupun bus tak terisi penuh. Hanya 17 penumpang saja dimana 10 orangnya ya rombongan kami tadi.

Kami berjalan membelah kota Bandar Lampung kurang lebih 40 menit menuju pantai Sari Ringgung. Di dermaga yang ada di sana, kapal-kapal hias sudah siap mengantarkan kami menuju kapal-kapal besar yang disiapkan EO untuk menuju Gunung Anak Krakatau.

DSC_0421

Kapal hias seperti ini yang membawa kami ke kapal yang lebih besar

Pantai Sari Ringgung sendiri merupakan pantai yang terletak di Desa Sidodadi, Teluk Pandan, Padang Cermin, Pasarawan. Untuk pantai yang berjarak hanya 14 km dari pusat kota, pantai ini patut jadi pilihan destinasi wisata. Terutama lagi bagi kalangan keluarga dengan anak-anak karena terdapat wahana bermain air di sana. Untuk lebih lengkap coba cek di situs pantaisariringgung[dot]com ya. Untuk sebuah pantai, situsnya apik menurutku.

Suasana mulai panas dan kawasan pantai Sari Ringgung mulai ramai. Namun ntah kenapa kami semua belum juga diizinkan menaiki kapal padahal jadwal sudah lama molor. Tak lama kemudian ada satu bus lagi yang datang. Bus no.4. Bus ini ternyata membawa rombongan pemenang lomba blog Lampung Krakatau Festival 2016 berikut 2 jurinya yang sudah lama aku kenal yakni Adis @Takdos dan mas Farchan @Efenerr. Sama Adis kita sempat jalan di fam trip Gerhana Matahari Total beberapa bulan lalu. Sedangkan dengan mas Farchan sempat ketemuan di bandara Changi sepulang dari Kerala Blog Express Bulan Februari lalu. Asyiklah ketemu kawan-kawan lama 🙂

Alhamdulillah, tak lama kemudian acara dimulai. Lampung Festival Krakatau 2016 dilepas oleh perwakilan bapak gubernur dan Ibu Kepala Dinas Pariwisata. Untuk memasuki kapal, lagi-lagi kami dikelompokkan berdasarkan bus yang kami naiki. Satu kapal hias hanya boleh diisi maksimal 10 orang. Sehingga penumpang bus no.1 dibagi menjadi 2 kapal.

DSC_0419

Kata sambutan sebelum pelepasan rombongan ke Gunung Anak Krakatau

Ternyata urutan kedatangan bus tidak berlaku di urutan menaki kapal. Teman-teman rombongan bus no.4 mendapat kehormatan menaiki kapal lebih dulu. Kami yang sudah berada di dermaga diminta mundur oleh panitia, opps maaf pak, menghalangi jalan, soalnya udah gak sabar duduk-duduk cantik di atas kapal warna-warni itu hihi. Tapi untungnya urutannya gak balik mundur jadi 4-3-2-1. Setelah teman-teman di bus no.4 menaiki kapal, kami rombongan di bus no.1 lantas dipersilakan menaiki kapal.

DSC_0424

Awas kepeleset, bang!

Tujuan menaiki kapal hias ini adalah mengunjungi Masjid Terapung yang berada tak jauh dari bibir pantai. Masjidnya tradisional, terbuat dari kayu dan saat kami datangi sepertinya ada pengajian atau apalah, banyak orang yang memakai pakaian ala arab gitu di dalamnya. Di sana kami bertemu lagi dengan rombongan Adis. Sayang di sana sebentar banget, gak sampai 2 menit kami sudah disuruh masuk kapal lagi.

“Yang lain langsung ke kapal besar,” teriak orang-orang dari perkarangan masjid.

Kapal-kapal hias lain (mungkin rombongan bus no.2 dan 3) yang awalnya mau ke dalam masjid menjadi batal. Mereka langsung menuju kapal besar yang nantinya digunakan untuk mengantar kami ke Gunung Anak Krakatau.

DSC_0431

Rombongan lain

Ada 3 kapal besar yang disediakan oleh EO. 2 kapal berukuran besar seperti kapal pesiar, 1-nya lagi kapal kayu/tongkang yang sepertinya kapal yang digunakan untuk distribusi logistik atau mencari ikan. Om Yopie berusaha mengarahkan pengemudi kapal untuk menuju 2 kapal besar sebelumnya, namun kami ditolak dengan alasan over capacity.

DSC_0434

Kapal yang batal kami naiki, penuh bray!

Ya sudah, apa boleh buat. Daripada nggak jadi ke Gunung Anak Krakatau, kan? Apapun keadaanya, pokoknya dibikin asyik aja. Mungkin terkesan kami hanya milih kapal yang bagus aja, ya! Tapi ada banyak alasan yang melatar belakangi sebetulnya. Terutama dari segi keamanan dan keselamatan.

“Eh ini baju pelampungnya kita bawa, kan?” tanyaku ke teman-teman lain.

“Iya bawa aja.”

“Pak, di kapal ada baju pelampung, nggak?” tanyaku ke anak buah kapal. Kebetulan aku berada di ujung kapal dan bersiap masuk ke kapal kayu lebih dulu.

“Nggak ada,” jawab si bapak.

Ya sudah, aku lantas menaiki kapal dengan membawa life jacket. Kepalaku sempat tersantuk di pintu kapal yang sempit itu. Sekilas aku melirik, “hmm kapalnya cukup lebar,” batinku. Ya, kapalnya lumayan besar, namun sayang jarak antara lantai dan langit-langit sempit sekali. Untuk berjalan kami harus merangkak. Untung saja masih bisa dipakai duduk.

DSC_0435

Kapal kami. Bisa selonjoran di sini 🙂 yang di tengah-tengah itu mesinnya.

Sebagai alas, disediakan tikar rajut. “Lumayanlah, seenggaknya bisa baringan nanti,” pikirku lagi.

Kami satu kapal dengan teman-teman yang tadinya ada di bus no.4. Sebagian memilih duduk di bawah, sebagian lagi memilih duduk di atas atap. Aku sendiri memilih duduk di bawah soalnya tidak tahan dengan sengatan mataharinya. Walaupun di bawah pengap dan berisiko menghirup asap pembuangan dari mesin kapal (mesinnya berada di tengah kapal!) tapi aku berharap nanti saat kapal berjalan, sirkulasi udara jadi jauh lebih baik.

Tiba-tiba, “mas… pelampungnya nggak boleh dibawa,” teriak anak buah kapal.

14079615_1283994918318649_2924444984632205287_n

Ini atap perahunya. Foto diculik ntah punya siapa 😀

Lha, kok gak boleh? Tanpa pikir panjang seketika aku lempar pelampung tersebut ke arah anak buah kapal. Ya lebih praktis dilempar ketimbang merangkak kembali ke arah depan, kan? –lirik lipatan lemak di perut hehe. Sayang, keputusanku untuk menyerahkan life jacket tersebut aku sesali kemudian. Aku harusnya ngotot membawa jaket pelampung itu. Kenapa? Karena aku khawatir nggak ada kesempatan lagi untuk menyesalinya –if you know what I mean.

IMG_8401

Ini kapalnya dilihat dari luar 🙂 fotonya nyulik dari blog bang Indra.

Okelah, tak lama setelah kapal berjalan, aku memilih untuk berbaring. Aku sedikit mengantuk karena efek minum obat anti mabuk dan dengan memejamkan mata, harapanku rasa mual dapat diminimalisasi.

Faktanya, aku tidak betul-betul bisa tertidur. Tolong jangan artikan aku membandingkan kapal ini dengan kondisi ranjang hotel yang empuk. Ya nggak begitu juga, kali! 🙂 secara ya mahluk daratan yang jarang naik kapal, tentu nggak mudah tidur di tengah kondisi seperti itu. Ombak lumayan kerasa (aku mau bilang lumayan gede namun sebagian teman lagi bilang, “ini mah belum ada apa-apanya.” So okelah), dan tidur tanpa bantal itu bukan hal yang mudah.

Lantai kapal itu bergetar karena mesinnya lumayan kencang. Ya sudah, untung bawa tas dan tasnya disulap jadi bantal. Pokoknya perjalanannya dibikin seasyik mungkin. Yang penting bisa jalan dengan kawan-kawan yang seru rasanya perjalanan yang sulit pun akan terasa mudah dilalui.

14095694_1284157191635755_6004669548245267186_n

Kalo kata orang Palembang itu ini pose : susun dincis 🙂

Diantara tidur-tidur ayam itu, aku sempat terjaga beberapa kali. Diantaranya ketika tim EO mendatangi kapal kami dan membagikan bekal makan siang. Aku hanya melirik sekilas proses distribusi makanan tersebut. Karena merasa belum lapar dan masih mual, aku kembali memejamkan mata.

Gagahnya Gunung Anak Krakatau

“Hayo bangun, sudah hampir sampai,” ujar Om Yopie sambil membangunkanku.

Aku melirik ke layar ponsel. Pukul 2 siang. No signal. Wow, kami yang seharusnya diperkirakan sampai pukul 11:30 ternyata harus molor dan itu molornya lumayan juga ya. Aku melihat ada 3 boks nasi kotal di kakiku. 2 diantaranya sudah kosong. Ada 1 boks nasi yang kulihat masih “berbentuk”. Boks makanan ini memang masih ada lauk dan nasinya. Namun posisinya nampak seperti sudah berpindah-pindah hehe. Air mineralnya udah nggak ada, dan lauk berupa ayam gorengnya sudah nampak dibelah sedikit.

DSC_0439

Gunung Anak Krakatau sesaat sebelum tiba

Aku yang mengira bahwa itu nasi punyaku, langsung saja bersiap-siap makan. Namun, berapa kagetnya aku saat bertanya ke mas Arie, Maman, mas Hari dan om Yopie, mereka juga belum makan. Lho?

Ya, ternyata ada miss komunikasi antara tim EO dan anak buah kapal saat distribusi makanan. Intinya, ada 5 orang yang gak kebagian nasi kotak, salah satunya ya aku. Oke-oke, untungnya (Indonesia banget ya ada untungnya? Hehe), mbak Ros dan mbak Lina masih menyimpan roti dan kue perbekalan di bus. Jadilah, 2 kotak kue itu kami bagi ramai-ramai. Lumayanlah buat ganjelan sembari berharap panitia masih menyimpan stok makanan begitu sampai di daratan.

DSC_0445

Beristirahat sejenak

4 jam di atas kapal, bikin badan goyang-goyang saat menginjak daratan 🙂 kami sempat duduk sebentar di balai-balai yang terbuat dari bambu persis di depan kantor BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) provinsi Lampung. Kita pada kebelet pipis, ya habisnya di kapal tidak ada toilet dan kita berada di kapal lebih dari 4 jam. Sayangnya satu-satunya toilet yang ada di sana pintunya dipalang papan dengan cat bertuliskan : Tidak Dapat Digunakan, Penuh Kotoran.

DSC_0444

Ini dia bangunan BKSDA-nya. Sederhana sekali.

Jadilah, kami memakai satu-satunya toilet darurat yang ada di sana. Toilet terbuka dengan air tawar yang terbatas. Hanya sekitar 10 sd 15 menit kami beristirahat, selanjutnya kami bergegas berjalan menuju Gunung Anak Krakatau. Hari sudah sore, dan kami tidak mau membuang waktu lebih lama lagi.

DSC_0447

Kak Arie didapuk jadi model 🙂

Di sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan rombongan 2 kapal besar yang tentu saja sudah lebih dulu sampai. Aku berjalan beriringan bersama bang Indra, Maman dan kak Arie. Sebagai yang paling seksi di antara mereka, aku jelas keder hehe. Apalagi saat melihat sadel/fase puncak pertama (hanya bagian ini yang diizinkan untuk didaki) aku udah ngap-ngap sendiri. Setiap kali melangkahkan kaki mikirnya, “aduh ini bakalan sampe atas nggak ya?”

DSC_0451

Puncak atau fase pertama puncak yang disebut sadel itu samar terlihat

Eh ternyata, setelah dijalanin sampe loh sodarah-sodarah –sujud syukur terharu. Tisu, mana tisu.

Dan, voila! Subhanallah, pemandangan dari atas sadel Gunung Anak Krakatau itu indah banget! Aku sih belum pernah ke surga, namun kayaknya pinggiran (((pinggiran))) surga BISA JADI cakepnya kayak pemandangan dari Gunung Anak Krakatau ini hihi –ambil wudhu, mau masuk surga.

DSC_0463

Berjalan ke atas, begitu berhenti dan menoleh ke belakang, tadaaaa

Rasanya nggak ada lensa buatan manusia yang dapat menangkap panorama indah sedahsyat mata manusia. Berdiri diam, menghirup oksigen sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling bikin aku lupa sama perut yang keroncongan hehehe.

https://www.instagram.com/p/BJniKTCjqr1/

Di atas, aku sempat bertemu dengan Adis dan beberapa rombongan lain, termasuklah 2 warga asing asal Mesir dan Belgia yang sedari tadi diteriaki pakai pengeras suara yang intinya, “kepada Mr anu dari Turki, harap segera kembali ke kapal” (ya, yang manggil salah kira, mereka pikir dari Turki padahal dari Mesir. Kok aku tahu? Ya ngobrol dong sama mereka).

DSC_0479

Puncak sadel Gunung Anak Krakatau

Aku dan mbak Lina memutuskan untuk kembali ke bawah saat kedua bule itu masih diwawancari di atas sadel. Begitu sampai di bawah, kami dipersilakan untuk naik ke kantor BKSDA untuk makan sore eh makan siang.

“Yang tadi belum makan, hayo silakan naik,” ujar mas EO berkemeja kotak-kotak.

DSC_0464

Gunung yang berada di depan ini sebelumnya satu kesatuan dengan Krakatau purba, pasca meletuk mereka “muncul”

Aku, kak Arie, mas Hari dan Maman langsung naik ke atas. Alhamdulillah, sama bapak petugas BKSDA, kami disediakan nasi hangat, ikan goreng, telur goreng dan sambal. Sederhana, namun rasanya enaaaak banget. Mungkin karena makannya habis naik sadel Gunung Anak Krakatau ya. Dan bawaan lapar berat jadi nikmatnya terasa berkali-kali lipat.

Om Yopie memutuskan untuk shalat dulu selagi kami makan. Begitu selesai shalat dan siap menyuap nasi, mas EO menemui kami, “hayo mas, kalau mau pindah kapal, harus berangkat sekarang,” ujarnya.

Aha! Terus terang aku sama sekali gak kepikiran bakalan bisa pindah ke kapal canggih yang tentu saja dapat memangkas durasi perjalanan itu. Sejak awal, kapten kapal kayu yang sebelumnya mengantarkan kami berkali-kali bilang, “kalau pulang naik kapal kami, baru bisa sampai daratan jam 11 atau 12 malam,” ujarnya. “Jadi, nanti bisa naik kapal lain aja ya,” sahutnya lagi.

Jadilah, saat mendapat tawaran berpindah kapal, kami sangat antusias. Om Yopie bahkan urung makan saat mendapati kabar ini.

Untuk menuju kapal, kami harus menggunakan sekoci kecil. Saat sekoci membawa dua turis asing, kami menunggu dengan gembira di tepi pantai. Namun apa yang terjadi? Kapal besar nan gagah itu meninggalkan kami. Kami sempat berteriak dan memberikan lambaian tangan yang berarti, “hei kami mau ikut, tunggu kami!”

Namun kapal terus berjalan membelah ombak. Petugas EO pun hanya bengong dan meminta maaf kepada kami. “Maaf ya pak, itu kapalnya sudah over capacity banget,” ujar si mbak EO yang berpenampilan nyentrik.

Kami hanya menyikapinya dengan diam.

Banyak pertanyaan di benak. Jika sudah over capacity kenapa tadi beliau menawarkan kami untuk gabung di kapal tersebut? Cukup sudah mbak aku di PHPin Chelsea Islan, kok tega-teganya si mbak nge-PHPin aku lagi. –gebukgebukdada eh gak boleh ya, gebuk tembok deh hehe.

DSC_0484

Sisi lain pemandangan dari sadel Gunung Anak Krakatau

Yang baca pasti mikir, “kenapa gak ikut kapal EO saja?” nganu, kagak bisa kakak-kakak. EO-nya pakai perahu karet yang canggih itu loh. Dimana kapasitas tempat duduknya sangat terbatas dan hanya dapat digunakan oleh mbak-mas EO tadi. Ya sudahlah, mungkin kami memang berjodoh dengan kapal kayu yang sebelumnya kami pakai. Sebagian (eh apa semua ya?) teman-teman dari bus no.4 yang sebelumnya satu kapal sama kami sudah pulang menggunakan kapal yang tadi meninggalkan kami.

I didn’t blame them at all, karena ya mereka juga kan pastinya naik kapal (yang over capacity itu) atas perintah EO. Hanya saja memang seharusnya EO menyiapkan jenis kapal yang sama atau setidaknya kapal dengan standar keamanan yang sama, biar jalannya Lampung Krakatau Festival dapat berjalan dengan bersinergi. Di kapal kayu, kami mendapatkan teman baru, yakni wartawan TV yang sebelumnya aku temui di sadel Gunung Anak Krakatau. Bersama mereka, kami melewati malam-malam yang panjang dan menegangkan….

Mimpi Buruk Gunung Krakatau

Saat menuliskan hal ini, aku baru ngeh bahwa perjalanan kami menuju Gunung Anak Krakatau tepat terjadi di tanggal yang sama saat Gunung Krakatau meletus 133 tahun silam. Yak, Gunung Krakatau meletus pada tanggal 26-27 Agustus 1883 dan dikenal sebagai salah satu bencana alam terdahsyat yang pernah ada.

Bayangkan, daya ledaknya diperkirakan 30.000 kali dari daya ledak bom atom di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II. Saking kencangnya, suara letusannya terdengar hingga ke Australia, Eropa bahkan Afrika. Lebih dari 36 ribu orang tewas dalam kejadian itu. Aku membayangkan, betapa mengerikannya hal itu saat terjadi.

Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama 2,5 hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya bahkan hamburan debunya tampak di langit Norwegia hingga New York. Aku sendiri sempat menonton film dokumenter mengenai letusan Krakatau ini dan saat melihatnya, aku merinding membayangkan kejadian itu terjadi bahkan tak jauh dari Palembang, kota yang sekarang menjadi tempat tinggalku.

Mimpi Buruk Perjalanan Kami

“Perjalanan akan jauh lebih lama ketimbang saat pergi. Kita melawan arus,” ujar anak buah kapal.

Oh well, jadi sangat mungkin memang jika kami akan tiba di kota Bandar Lampung tengah malam. Kami meninggalkan kawasan Gunung Anak Krakatau tepat pukul 4 sore. Awalnya ombak memang terasa sama seperti perjalanan awal, namun lama-lama kok ya goyangannya beda ya.

Aku khawatir. Semua khawatir. Namun kami tidak mengutarakan kekhawatiran itu. Kami semua lebih banyak diam. Aku yang lagi-lagi harus menelan obat penahan mabuk kembali berusaha memejamkan mata.

DSC_0448

Info singkat mengenai Gunung Anak Krakatau

Semakin lama, ketika matahari pergi beranjak ke belahan bumi lain, langit semakin gelap. Hanya ada 1 lampu kecil yang menerangi kami saat itu. Beberapa kali tubuhku kena cipratan tampias ombak yang masuk ke dalam kapal. Peralatan elektronik yang tadinya aku keluarkan dari tas (karena tasnya dipakai jadi bantal), mau tak mau harus diselamatkan lebih dulu.

Selanjutnya aku mencoba berbaring dengan menyulap lengan menjadi bantal. Tidak mudah, namun lebih baik ketimbang kepala yang langsung berada di lantai kapal karena getaran mesin cukup kuat.

Pikiranku berkecamuk. Jujur saja aku nggak bisa berenang. Di saat-saat seperti inilah aku makin merutuki diri sendiri dengan keputusanku merelakan jaket pelampung diambil oleh pemilik kapal hias. Harusnya aku lebih ngotot lebih-lebih ini menyangkut keselamatan.

Hujan mulai turun. Kapal oleng ke kiri-kanan, depan belakang. Seperti saat main kapal kelotok di sebuah baskom. Tidak ada lagi gurauan. Semua diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sepatu yang aku letakkan di sisi depan kapal basah karena air hujan. Langit-langit tempat aku berbaring pun diserbu rembesan air hujan yang menyeruak dari kisi-kisi papan yang tidak tertutup sempurna.

DSC_0455

Perjalanan naik ke sadel bersama rombongan lain

Tidak ada yang lebih aku khawatirkan selain jalur evakuasi jika hal paling buruk terjadi. Pintu kapal hanya ada 2 dan berada di sisi kanan-kiri badan kapal. Pintu depan sudah tertutup rapat. Bayangkan jika kapal terbalik, maka belasan orang yang ada di tengah kapal akan saling tumpang tindih dan tidak jaminan aku yang sebelumnya berada di sisi pintu dapat keluar lebih dulu.

Berdoa dan berusaha memejamkan mata. Itu yang dapat aku lakukan. Untuk mendapatkan gambaran lain mengenai kedaan kapal saat itu, coba baca tulisan Bang Indra di sini dan di sini.

Alhamdulillah kapal mampu melewati hujan dan angin kencang. Diantara lelap, aku kembali terbangun saat mesin kapal mati. Oh well, apa lagi ini? Oh ternyata nahkoda kapal merapat ke sebuah kapal lain yang berada di tengah laut. Buat apa?

Buat nanya arah!

Yup! Kapal kami ternyata tidak dilengkapi oleh GPS. Sinyal hape? Hei jangan harap, kami ada di tengah laut! Berdasarkan petunjuk arah dari nelayan yang ditemui di tengah laut, kapal kembali berjalan. Sekitar 1 jam kemudian kapal kami dihentikan oleh kapal yang lebih kecil, seukuran kapal hias yang sebelumnya kami naiki.

Ternyata kapal inilah yang diperintahkan EO untuk menjemput kami yang tersasar ini. Bisa jadi, EO yang tentu sudah sampai lama di Sari Ringgung merasa khawatir dengan kami yang tak kunjung sampai. Untuk mencapai daratan, kami masih harus menempuh perjalanan 1 jam menggunakan sampan kecil itu.

“Halo, iya, ini penumpangnya sudah kami evakuasi. Sudah sama kami,” ujar salah satu orang yang menjemput kami.

DSC_0461

Batu besar ini bisa jadi sisa erupsi di tahun 2012

Kebetulan aku duduk di paling belakang dan mendengar dengan jelas pembicaraan itu. Aku pribadi nggak begitu paham soal perkapalan ya, yang jelas sesampai di pantai Sari Ringgung, si bapak yang menelepon ini sempat berkata, “kami dapat menemukan kapal mereka dengan menggunakan sinyal batere. Kalau tidak dijemput di tengah, mereka akan nyasar ke Pahawang.”

Kami tiba di pantai Sari Ringgung sekitar pukul setengah 11 malam. Badan basah karena tampias ombak dan hujan, dan perut kembali lapar. Hei, bukan karena aku gendut ya jadi tukang kelaparan hehe. Itu memang sudah seharusnya makan malam! Yes, very late dinner!

Sesampai di bus, kami lagi-lagi harus menunggu untuk hal-hal yang tidak jelas. Ada kali sekitar 20 menit. Untung saja disediakan snack (yang sama seperti tadi pagi) yang oleh panitia, “buat ganjelan dulu ya mas.”

Perjalanan malam itu berakhir di sebuah warung makan. Kami baru mendapatkan makan malam (yang saat itu makan bareng sama tim EO) sekitar pukul 23:30.

“Sepatu kaca, please.”

*    *    *

Percayalah, aku bukan pejalan cengeng. Aku biasa tidur di terminal, stasiun, menumpang di rumah orang, naik kendaraan umum, makan di pinggir jalan dsb. Namun perjalanan kali ini adalah perjalanan yang betul-betul membuka mata bahwa terlepas dari apapun, faktor keselamatan harus nomor satu. No excuse, no bargain! We have families who waiting for us at home.

Gunung Anak Krakatau adalah tempat yang indah dan sangat laik dikunjungi (eh btw, untuk ke sana harus mendapatkan izin ya, itu termasuk cagar alam, jadi nggak bisa sembarangan). Aku bersyukur dapat melakukan perjalanan bersama teman-teman baru yang seru pun tanpa banyak mengeluh.

DSC_0453

Tumbuhan di sekitaran Gunung Anak Krakatau

Karena itu, jika di luar terdapat suara-suara sumbang terhadap kelompok kami, itu bikin sedih sejadi-jadinya. Tidak ada itu yang namanya kami meng-eksklusif-kan diri, hanya mau naik satu kapal dengan kelompok yang sama (hei, siapa yang nggak mau barengan naik kapal bagus, coba?), tidak mau berbaur dengan peserta lain seolah-olah kami berjalan dengan membawa masing-masing tameng di dada kami. Tidak sama sekali. Sungguh itu penilaian yang tidak bijak dan menyakitkan kami, lebih-lebih kami berada di posisi yang sangat membahayakan. Ibaratnya, udah jatuh, ketimpa tangga trus diomelin pula, “makanya jangan bawa tangga kemana-mana.” Duh!

DSC_0465

Mbak Lina, si master gunung berjalan menuju sadel

Semoga apa yang aku tuliskan ini dapat dijadikan gambaran kejadian yang sebenarnya, pun dapat dijadikan kabar berimbang yang langsung di dapat dari sudut pandang kami sebagai orang yang mengalami langsung kejadian ini.

Lampung Festival Krakatau 2016 yang sudah masuk tahun ke-26 tetap membekas di hati. Aku bahkan berani bilang bahwa perjalanan ke Gunung Anak Krakatau (terlebih lagi bisa berhasil ke sadel, pasca sakit seminggu sebelumnya) adalah salah satu perjalanan paling berkesan yang pernah aku alami. No doubt! Gunung Anak Krakatau indah dan mempesona. Aku tidak menyesal pernah ke sana walaupun harus melewati kejadian yang cukup berbahaya.

Semoga EO dapat menjadikan pengalaman kami ini sebagai cambukan untuk menyelenggarakan acara dengan persiapan yang jauh lebih baik di kemudian hari. “You don’t need to climb a mountain to know that it’s high,” kata Paulo Coelho. Begitupun keselamatan, nggak perlu harus ada contoh kejadian TERburuk dulu hingga baru kemudian EO menyadari bahwa keselamatan itu sangat penting.

Semoga pelaksanaan Lampung Krakatau Festival 2017 akan jauh lebih baik 🙂

124 komentar di “Lampung Krakatau Festival 2016 : Keindahan Disela Bayang-bayang Mimpi Buruk

  1. Ping balik: Paras Semarang di Gemerlap Semarang Night Carnival 2017 | Omnduut

Jika ada yang perlu ditanyakan lebih lanjut, silakan berkomentar di bawah ini.