Alarm yang aku setel sebelum tidur meraung tepat pukul 4 pagi. Aku melirik ke ranjang sebelah, nampak Maman @mamanisss masih terlelap. Hmm, mungkin dia lelah setelah konser Korea sebelum tidur hehe. Ya sudahlah, aku kembali mengatur ulang alarm. Aku tambahkan 15 menit untuk lanjut beristirahat karena merasa waktu yang aku punya masih cukup untuk bersiap-siap.
Saat briefing malam sebelum tidur, om Yopie si empu @KelilingLampung_ pun sudah mengingatkan, “besok paling lambat pukul 06:00 kita sudah harus kumpul di Lapangan Kopri ya,” ujar beliau. “Pukul 05:30 sudah siap di lobi hotel, ya!” sahut om Yopie lagi.
Aku dan semua blogger undangan resmi Dinas Pariwisata & Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung angguk-angguk tanda patuh. Kalau mau jujur sih, sebetulnya udah pada gak tahan mau dangdutan di tempat karaoke. Namun, mengingat besok kami semua akan melakukan perjalanan panjang menuju Gunung Anak Krakatau, hasrat untuk pamer joged harus ditunda dulu. Baiklah… 🙂 tahan ya gaes! –lirik bang Indra.
Semburat Cahaya Pagi dari Pantai Sari Ringgung
Ngantuk? Jelas! Namun badan segar dan rasanya bersemangat sekali memulai hari baru di Lampung. Selain aku dan Maman yang datang dari Palembang, tim blogger TBC –sebut saja begitu hehe, juga dimeriahkan dengan kedatangan mbak Katerina @Travelerien dan mas Arie @AriePitax dari Jakarta, mbak Dian @Adventurose dan mbak Lina @LinaSasmita dari Batam, mas Hari JT @MitraWisataId dari Pangkal Pinang, mbak Rian @Atanasia_Rian dari Yogyakarta serta mbak Ros @RosannaSimanjuntak dari Pontianak. (btw, semua itu akun IG-nya ya, follow ea kakak-kakak).
Tak lupa, Blogger TBC ini dikepalai oleh Bang Indra @DuniaIndra dari Lampung. Saat tahu temen jalannya bakalan seru-seru kayak gini, aku tanpa pikir panjang setuju untuk ikutan bergabung di Lampung Krakatau Festival 2016. Apalagi sebagian dari mereka sudah kukenal pasca ikutan di Festival Teluk Semaka tahun lalu. Oke kenalannya udah, diingetin ya nama-namanya. Tak kenal maka tak sayang loh, jangan sampe udah temenan lama trus lupa sama nama itu bikin sedih loh kakak-kakak. Sungguh –pasang muka serius.
Oke kembali ke Lampung Krakatau Festival 2016.
Begitu sampai di Lapangan Kopri komplek perkantoran gubernur prov. Lampung, suasana masih sepi. Hanya nampak beberapa panitia di sana. Terlihat pula ada 3 bus pariwisata berukuran besar terparkir di pinggir jalan.
Blogger kalau udah ngumpul kerjaannya apa coba? Yak benar sekali : foto-foto! biar kata kehebohan kami semua memecah kesunyian pagi, yang penting perjalanan dijalankan dengan hepi.
Tak lama kemudian seorang panitia lokal bernama mbak Rahmi mendata kami di sebuah kertas. Kami diminta mengisi daftar hadir. “Buat jatah makan siang ya, mbak?” ujarku bercanda. Mendengar itu mbak Rahmi hanya tersenyum.
Ntah kemana peserta yang lain, namun setengah jam berlalu, lokasi masih nampak sepi. Mengingat jadwal yang ditetapkan EO cukup ketat, bus 1 yang kami tumpangi mulai melaju walaupun bus tak terisi penuh. Hanya 17 penumpang saja dimana 10 orangnya ya rombongan kami tadi.
Kami berjalan membelah kota Bandar Lampung kurang lebih 40 menit menuju pantai Sari Ringgung. Di dermaga yang ada di sana, kapal-kapal hias sudah siap mengantarkan kami menuju kapal-kapal besar yang disiapkan EO untuk menuju Gunung Anak Krakatau.
Pantai Sari Ringgung sendiri merupakan pantai yang terletak di Desa Sidodadi, Teluk Pandan, Padang Cermin, Pasarawan. Untuk pantai yang berjarak hanya 14 km dari pusat kota, pantai ini patut jadi pilihan destinasi wisata. Terutama lagi bagi kalangan keluarga dengan anak-anak karena terdapat wahana bermain air di sana. Untuk lebih lengkap coba cek di situs pantaisariringgung[dot]com ya. Untuk sebuah pantai, situsnya apik menurutku.
Suasana mulai panas dan kawasan pantai Sari Ringgung mulai ramai. Namun ntah kenapa kami semua belum juga diizinkan menaiki kapal padahal jadwal sudah lama molor. Tak lama kemudian ada satu bus lagi yang datang. Bus no.4. Bus ini ternyata membawa rombongan pemenang lomba blog Lampung Krakatau Festival 2016 berikut 2 jurinya yang sudah lama aku kenal yakni Adis @Takdos dan mas Farchan @Efenerr. Sama Adis kita sempat jalan di fam trip Gerhana Matahari Total beberapa bulan lalu. Sedangkan dengan mas Farchan sempat ketemuan di bandara Changi sepulang dari Kerala Blog Express Bulan Februari lalu. Asyiklah ketemu kawan-kawan lama 🙂
Alhamdulillah, tak lama kemudian acara dimulai. Lampung Festival Krakatau 2016 dilepas oleh perwakilan bapak gubernur dan Ibu Kepala Dinas Pariwisata. Untuk memasuki kapal, lagi-lagi kami dikelompokkan berdasarkan bus yang kami naiki. Satu kapal hias hanya boleh diisi maksimal 10 orang. Sehingga penumpang bus no.1 dibagi menjadi 2 kapal.
Ternyata urutan kedatangan bus tidak berlaku di urutan menaki kapal. Teman-teman rombongan bus no.4 mendapat kehormatan menaiki kapal lebih dulu. Kami yang sudah berada di dermaga diminta mundur oleh panitia, opps maaf pak, menghalangi jalan, soalnya udah gak sabar duduk-duduk cantik di atas kapal warna-warni itu hihi. Tapi untungnya urutannya gak balik mundur jadi 4-3-2-1. Setelah teman-teman di bus no.4 menaiki kapal, kami rombongan di bus no.1 lantas dipersilakan menaiki kapal.
Tujuan menaiki kapal hias ini adalah mengunjungi Masjid Terapung yang berada tak jauh dari bibir pantai. Masjidnya tradisional, terbuat dari kayu dan saat kami datangi sepertinya ada pengajian atau apalah, banyak orang yang memakai pakaian ala arab gitu di dalamnya. Di sana kami bertemu lagi dengan rombongan Adis. Sayang di sana sebentar banget, gak sampai 2 menit kami sudah disuruh masuk kapal lagi.
“Yang lain langsung ke kapal besar,” teriak orang-orang dari perkarangan masjid.
Kapal-kapal hias lain (mungkin rombongan bus no.2 dan 3) yang awalnya mau ke dalam masjid menjadi batal. Mereka langsung menuju kapal besar yang nantinya digunakan untuk mengantar kami ke Gunung Anak Krakatau.
Ada 3 kapal besar yang disediakan oleh EO. 2 kapal berukuran besar seperti kapal pesiar, 1-nya lagi kapal kayu/tongkang yang sepertinya kapal yang digunakan untuk distribusi logistik atau mencari ikan. Om Yopie berusaha mengarahkan pengemudi kapal untuk menuju 2 kapal besar sebelumnya, namun kami ditolak dengan alasan over capacity.
Ya sudah, apa boleh buat. Daripada nggak jadi ke Gunung Anak Krakatau, kan? Apapun keadaanya, pokoknya dibikin asyik aja. Mungkin terkesan kami hanya milih kapal yang bagus aja, ya! Tapi ada banyak alasan yang melatar belakangi sebetulnya. Terutama dari segi keamanan dan keselamatan.
“Eh ini baju pelampungnya kita bawa, kan?” tanyaku ke teman-teman lain.
“Iya bawa aja.”
“Pak, di kapal ada baju pelampung, nggak?” tanyaku ke anak buah kapal. Kebetulan aku berada di ujung kapal dan bersiap masuk ke kapal kayu lebih dulu.
“Nggak ada,” jawab si bapak.
Ya sudah, aku lantas menaiki kapal dengan membawa life jacket. Kepalaku sempat tersantuk di pintu kapal yang sempit itu. Sekilas aku melirik, “hmm kapalnya cukup lebar,” batinku. Ya, kapalnya lumayan besar, namun sayang jarak antara lantai dan langit-langit sempit sekali. Untuk berjalan kami harus merangkak. Untung saja masih bisa dipakai duduk.
Sebagai alas, disediakan tikar rajut. “Lumayanlah, seenggaknya bisa baringan nanti,” pikirku lagi.
Kami satu kapal dengan teman-teman yang tadinya ada di bus no.4. Sebagian memilih duduk di bawah, sebagian lagi memilih duduk di atas atap. Aku sendiri memilih duduk di bawah soalnya tidak tahan dengan sengatan mataharinya. Walaupun di bawah pengap dan berisiko menghirup asap pembuangan dari mesin kapal (mesinnya berada di tengah kapal!) tapi aku berharap nanti saat kapal berjalan, sirkulasi udara jadi jauh lebih baik.
Tiba-tiba, “mas… pelampungnya nggak boleh dibawa,” teriak anak buah kapal.
Lha, kok gak boleh? Tanpa pikir panjang seketika aku lempar pelampung tersebut ke arah anak buah kapal. Ya lebih praktis dilempar ketimbang merangkak kembali ke arah depan, kan? –lirik lipatan lemak di perut hehe. Sayang, keputusanku untuk menyerahkan life jacket tersebut aku sesali kemudian. Aku harusnya ngotot membawa jaket pelampung itu. Kenapa? Karena aku khawatir nggak ada kesempatan lagi untuk menyesalinya –if you know what I mean.
Okelah, tak lama setelah kapal berjalan, aku memilih untuk berbaring. Aku sedikit mengantuk karena efek minum obat anti mabuk dan dengan memejamkan mata, harapanku rasa mual dapat diminimalisasi.
Faktanya, aku tidak betul-betul bisa tertidur. Tolong jangan artikan aku membandingkan kapal ini dengan kondisi ranjang hotel yang empuk. Ya nggak begitu juga, kali! 🙂 secara ya mahluk daratan yang jarang naik kapal, tentu nggak mudah tidur di tengah kondisi seperti itu. Ombak lumayan kerasa (aku mau bilang lumayan gede namun sebagian teman lagi bilang, “ini mah belum ada apa-apanya.” So okelah), dan tidur tanpa bantal itu bukan hal yang mudah.
Lantai kapal itu bergetar karena mesinnya lumayan kencang. Ya sudah, untung bawa tas dan tasnya disulap jadi bantal. Pokoknya perjalanannya dibikin seasyik mungkin. Yang penting bisa jalan dengan kawan-kawan yang seru rasanya perjalanan yang sulit pun akan terasa mudah dilalui.
Diantara tidur-tidur ayam itu, aku sempat terjaga beberapa kali. Diantaranya ketika tim EO mendatangi kapal kami dan membagikan bekal makan siang. Aku hanya melirik sekilas proses distribusi makanan tersebut. Karena merasa belum lapar dan masih mual, aku kembali memejamkan mata.
Gagahnya Gunung Anak Krakatau
“Hayo bangun, sudah hampir sampai,” ujar Om Yopie sambil membangunkanku.
Aku melirik ke layar ponsel. Pukul 2 siang. No signal. Wow, kami yang seharusnya diperkirakan sampai pukul 11:30 ternyata harus molor dan itu molornya lumayan juga ya. Aku melihat ada 3 boks nasi kotal di kakiku. 2 diantaranya sudah kosong. Ada 1 boks nasi yang kulihat masih “berbentuk”. Boks makanan ini memang masih ada lauk dan nasinya. Namun posisinya nampak seperti sudah berpindah-pindah hehe. Air mineralnya udah nggak ada, dan lauk berupa ayam gorengnya sudah nampak dibelah sedikit.
Aku yang mengira bahwa itu nasi punyaku, langsung saja bersiap-siap makan. Namun, berapa kagetnya aku saat bertanya ke mas Arie, Maman, mas Hari dan om Yopie, mereka juga belum makan. Lho?
Ya, ternyata ada miss komunikasi antara tim EO dan anak buah kapal saat distribusi makanan. Intinya, ada 5 orang yang gak kebagian nasi kotak, salah satunya ya aku. Oke-oke, untungnya (Indonesia banget ya ada untungnya? Hehe), mbak Ros dan mbak Lina masih menyimpan roti dan kue perbekalan di bus. Jadilah, 2 kotak kue itu kami bagi ramai-ramai. Lumayanlah buat ganjelan sembari berharap panitia masih menyimpan stok makanan begitu sampai di daratan.
4 jam di atas kapal, bikin badan goyang-goyang saat menginjak daratan 🙂 kami sempat duduk sebentar di balai-balai yang terbuat dari bambu persis di depan kantor BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) provinsi Lampung. Kita pada kebelet pipis, ya habisnya di kapal tidak ada toilet dan kita berada di kapal lebih dari 4 jam. Sayangnya satu-satunya toilet yang ada di sana pintunya dipalang papan dengan cat bertuliskan : Tidak Dapat Digunakan, Penuh Kotoran.
Jadilah, kami memakai satu-satunya toilet darurat yang ada di sana. Toilet terbuka dengan air tawar yang terbatas. Hanya sekitar 10 sd 15 menit kami beristirahat, selanjutnya kami bergegas berjalan menuju Gunung Anak Krakatau. Hari sudah sore, dan kami tidak mau membuang waktu lebih lama lagi.
Di sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan rombongan 2 kapal besar yang tentu saja sudah lebih dulu sampai. Aku berjalan beriringan bersama bang Indra, Maman dan kak Arie. Sebagai yang paling seksi di antara mereka, aku jelas keder hehe. Apalagi saat melihat sadel/fase puncak pertama (hanya bagian ini yang diizinkan untuk didaki) aku udah ngap-ngap sendiri. Setiap kali melangkahkan kaki mikirnya, “aduh ini bakalan sampe atas nggak ya?”
Eh ternyata, setelah dijalanin sampe loh sodarah-sodarah –sujud syukur terharu. Tisu, mana tisu.
Dan, voila! Subhanallah, pemandangan dari atas sadel Gunung Anak Krakatau itu indah banget! Aku sih belum pernah ke surga, namun kayaknya pinggiran (((pinggiran))) surga BISA JADI cakepnya kayak pemandangan dari Gunung Anak Krakatau ini hihi –ambil wudhu, mau masuk surga.
Rasanya nggak ada lensa buatan manusia yang dapat menangkap panorama indah sedahsyat mata manusia. Berdiri diam, menghirup oksigen sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling bikin aku lupa sama perut yang keroncongan hehehe.
Di atas, aku sempat bertemu dengan Adis dan beberapa rombongan lain, termasuklah 2 warga asing asal Mesir dan Belgia yang sedari tadi diteriaki pakai pengeras suara yang intinya, “kepada Mr anu dari Turki, harap segera kembali ke kapal” (ya, yang manggil salah kira, mereka pikir dari Turki padahal dari Mesir. Kok aku tahu? Ya ngobrol dong sama mereka).
Aku dan mbak Lina memutuskan untuk kembali ke bawah saat kedua bule itu masih diwawancari di atas sadel. Begitu sampai di bawah, kami dipersilakan untuk naik ke kantor BKSDA untuk makan sore eh makan siang.
“Yang tadi belum makan, hayo silakan naik,” ujar mas EO berkemeja kotak-kotak.

Gunung yang berada di depan ini sebelumnya satu kesatuan dengan Krakatau purba, pasca meletuk mereka “muncul”
Ping balik: Paras Semarang di Gemerlap Semarang Night Carnival 2017 | Omnduut