
Titik Nol
::: Titik Nol : Makna Sebuah Perjalanan :::
Perjalananku Bukan Perjalananmu, Perjalanku Adalah Perjalananmu
| 2013 | Penulis : Agustinus Wibowo | Editor : Hetih Rusli |
| Co Editor : Lam Li | Desain Sampul & Ilustrasi : Marcel A.W & Karen Deng |
| Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama | ISBN : 9789792292718 | Harga Rp. 98.000- |
| 556 Hal | Skor ala Omnduut : 9.7/10 | Rating GR : 4.35/5 |
“Semangat yang meredup itu memang lebih membunuh daripada fisik yang remuk redam,” Agustinus Wibowo.
Sejauh ini, sudah jutaan langkah dilakukan oleh Agustinus Wibowo–Abang Ming (izinkanlah aku memanggilnya begitu) dalam melakukan perjalanan dan pencarian makna hidup. Tanah tandus, bukit berdebu bahkan lereng bersalju sudah ia cicipi semua. Ratusan orang dan ribuan kisah tertanam di benaknya. Apakah ia pernah menyerah? Tentu saja! Namun, ketika hal tersebut datang seketika itu pula semangatnya timbul dan kakinya kembali diayunkan.
Namun, ini perjalanan yang berbeda. Ini adalah perjalanan pulang. Kembali menuju sebuah tempat yang ia sebut rumah. Dimana orang-orang yang memanggilnya ‘anakku sayang’-‘kakak keterlaluan’ tinggal. Demi Ibunda, perjalanan sementara harus diakhiri. Ibunya terbaring lemah, dan –walau tanpa tersirat jelas, sangat membutuhkan dia.
“Masihkah aku punya muka menemuinya, setelah membiarkannya hidup dalam penantian dan kekhawatiran begitu lama?” hal.5. Ya, pasca mendapatkan nilai terbaik dan meraih gelar sarjana di Beijing-Cina, bukannya pulang ke Indonesia, Abang Ming malah memilih berkelana dan menepis kesempatan kerja di perusahaan besar. Ia keluar dari zona nyaman dan berjalan mengikuti arah angin hingga 10 tahun lamanya.
Dengan dana terbatas, tujuannya yang pertama adalah ke kota Urumqi dengan total perjalanan 40 jam di atas kereta. Perjalanan itu harus ia dilalui dengan bangku keras dengan sadaran tegak lurus. Kereta yang penuh sesak membuat Abang Ming harus duduk selama perjalanan. Jangan harap bisa meluruskan kaki karena lorong kereta pun sudah penuh sesak dengan manusia.
Tapi, perjalanan terus berlanjut. Tak semudah itu untuk ia menyerah. Abang Ming berjalan bersama mimpi-mimpinya. “Justru karena masih ada mimpi, kita jadi punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar. Tanpa mimpi sama sekali, apa pula arti hidup ini?” hal. 65. Pengelanaannya terus berjalan dan terhenti di Kailash, sebuah tempat yang Abang Ming sebut sebagai, “… perjalanan untuk merasakan kematian.” Hal.54. Iya, di sini, di puncak gunung yang ditutupi lapisan es, ia mempertaruhkan segalanya…

Gunung Kailash dari kejauhan
“Ketika mimpi indah tak terpenuhi, manusia harus belajar menerima,” Hal.102.
India… film-film bollywood yang menjamur di tanah air menggambarkannya dengan begitu indah. Kuil-kuil megah, pakaian-pakaian indah, alam nan rupawan… ternyata India tak seindah yang diduga. Di India Abang Ming harus merasakan sakit. Sakit yang disebut oleh sebagian besar para pengelana adalah tanda akhir sebuah perjalanan. “Perjalanan tanpa makna bagaikan rumah tanpa roh. Hanya wujud yang tanpa jiwa,” hal. 135. Tapi, seperti biasa, tubuh Abang Ming terlalu tangguh untuk digulingkan oleh sebuah penyakit. Raganya yang terluka tak separah hatinya yang perih mendapati begitu banyak orang-orang di India yang terlantarkan. Kering kerontang di sudut-sudut jalan, sendiri menunggu malaikat maut menjemput.
“Begitu sebuah tempat disebut surga, segera pula dia akan disebut sebagai neraka.” Hal. 185.

Keindahan India, dibalik ironi yang ada.
Episode selanjutnya ialah jejak langkah menuju Pakistan. Titik perjuangan kembali dimulai. Dari betapa sulitnya mendapatkan izin masuk, hingga terkepung ditengah-tengah barisan para demonstran. Orang-orang begitu beringas tak kenal ampun. Penghinaan terhadap agama dijadikan pegangan untuk berbuat apa saja. Menghancurkan wajah-wajah Amerika sudah menjadi hal yang biasa. Wajah perekonomian yang mencerminkan negara adidaya diubah menjadi abu. “Mereka benci Amerika, namun cinta dolarnya,” sebuah ironis membentang di sana.
Sekali lagi, kehidupan di Pakistan seperti fatamorgana. Muka-muka marah itu sesungguhnya tak bisa menutupi sifat asli penduduk di sana. Abang Ming bahkan berani berkata bahwa orang Pakistan adalah salah satu penduduk paling ramah di dunia. Mereka sangat memuliakan tamu. Bagi mereka, membahagiakan musafir itu adalah salah satu cara memuliakan agama. Luar biasa! “Aku datang di Pakistan di tengah kemelut penyakit fatal, tapi Pakistan justru menyambutku dengan bercangkir-cangkir teh, pelukan hangat, kibaran jubah gamiz…” Hal.311
Titik Nol adalah sajian kehidupan. Terlalu banyak hal yang bisa diceritakan. Rasanya, barisan kata yang tersaji di ulasan ini tidak akan pernah bisa menggambarkan secara utuh pesona buku ini. Kelebihan lain dari buku ini adalah Abang Ming mau bercerita tentang keluarga. Menjadikan buku semakin lengkap dan bermakna. “Perasaan kasih antara orang tua dengan anaknya, apa pun latar belakang bangsa dan budaya, dimana-mana adalah sama.” Hal. 330
Perjalanan, dimanapun itu dilakukan tak pernah bisa memabukkan para pelakon hingga melupakan tanah air. “Indonesia memang bukanlah negeri yang sempurna, namun perjalanan membuat aku semakin menghargai tanah airku sendiri, bangsa dan identitasku, masa lalu dan hari depanku.” Hal 414. Pada akhirnya, di Indonesia pulalah Abang Ming kembali. Kembali ke pelukan Ibu pertiwi di tengah-tengah keluarga yang saling mencintai –bagaimanapun sikap mereka diperlihatkan.
“Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dilalui semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali.”
Catatan :
– Gambar Gunung Kailash aku ambil dari sini.
– Blue City di Jaipur gambarnya aku culik dari sana.
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Terkait
jarang jadi yang pertama kalo komen disini … heuh
Haha… *bingung mo komen apa lagi*
jaipur itu bukannya pink city?
Kota ini memang banyak sebutannya mbak Yana 🙂 Mau disebut Pink City boleh, Blue City juga gakpapa. Bahkan ada yang bilang Holy City. (cmiiw, info dari googling ke sana sini hihi).
Aku tahu kota ini pertama di film The Fall. Kereeeen banget. Trus di film Batman terbaru kota ini juga ada. Pingin ke sana euy!
aku klo india kayaknya mau ke semua daerahnya deh. mumbai, kolkata, jaipur, darjeeling, kashmir, punjab 😀
Iya mbaaak, aku juga mau ngitarin semua daerahnya. *lirik Alid.
Hayo lirik lirik saya hahahaha,,,,
Aku uda beli buku ini dan sampai sekarang masih dibaca sampai separuuuhhh saking sibuknya jalan2 hahahaha
Iiihh sombooong jalan-jalan terus hihihi. Gapapa deh, aku suka kecipratan postcard juga dari Alid hehehe.
Hayo diselesain Lid 🙂
Luar Biasa!
Tooss… ini memang buku luar biasa mbak Rien! Kagum banget sama Abang Ming.
Kemarin ke gramed sempat menimang-nimang buk ini tapi tidak jadi 😀
Nampaknya harus dimasukkan ke dalam wishlist ini…
WAJIB! 🙂 InsyaAllah mbak Maya bakalan suka. Apalagi ini menyorot kehidupan anak-ortu. *mrembes*
waduuuh… harus siap tisu sama sapu tangaan ini bacanya… #Lebay =))
Eh, siapin aja, siapa tahu berguna 🙂 Kadang sisi-sisi melankolis orang itu beda-beda dan gak bisa ditebak. Aku misalnya, bisa nangis beneran pas nonton 3 Idiots haha.
3Idiots? Bagus itu… lucu, kocak, tapi juga penuh pesan moral…. huaa.. jadi pingin ke pantai yang di 3 Idiots… #LossFocus
Iyaaa… keren banget ya? Mbak Ade Nastiti bahkan nekat ke sana dan kisah perjalanannya jadi buku Two Travel Tales. Keren!
eh emang itu pantai apa yak…. aku lupa namanya, cuma inget pantainya buagus banget…. 😀
Oh itu Danau Dal di Ladakh mbak 🙂
saya baru saja menginjak Pakistan, buku ini memang sungguh menawan, kawan, bikin males ngapa2in
Wah wah waaaaah… *mupeng* ditunggu catatan perjalanannya yaaa 🙂
he?! bukan gitu Om. maksudnya, baca buku ini baru sampe bagian Pakistan. bwahhaha..
Hahaha… tadi aku bahkan langsung main ke blognya nyari tulisan berbau Pakistan haha, salah kira rupanya ^^
semoga menjadi doa yg kelak terwujud. aminn.. 😀
Amiiin. Aku juga pingin ngerasain keramahan orang Pakistan 🙂
saya masih senag di zona nyaman 😀
Wah kalo zona nyamannya kayak Mas Rifki maaah ^^
Kalo aku lagi sedikit kehilangan arah pasca melepas zona nyaman mas 😐
asik ya bacanya, daku dong udah posting di empi.. bete bubar tuh empi.. buku ini lain dari bukunya seblomnya, lebih “membumi”.. lebih curhat gitu.. apalagi tentang sakit ibunya.. buku tebel gitu ku lalap seharian loh.. baca dua kali..
Iya mbak Tin. Baca buku setebel ini nggak kerasa, eh tahu-tahu udah mau tamat. Aku biasanya baca dari jam 11 malam sampe jam 1 atau 2 pagi. 3 hari kelar 🙂
Suka banget buku ini. “Dongeng-dongeng” hidup Abang Ming ini sangat membius. Terutama tentang keluarganya. Dan… ada INDIA di buku ini! ^^
aha yan pengen kesana toh.. kirain swis..
Swiss juga pingin mbak Tin. Tapi kalo ke Swiss gak ke negara Eropa lainnya rugi ^^
Jauh sebelum pingin kemana-mana, udah pingin ke India dulu. Jepang juga 😀
seeeeppp semoga bisa ke semua impian.. nawaitu..
Amiinn…
Kadang ya mbak Tin, aku suka malu sendiri koar-koar soal mimpi. Kok ya banyak banget. Tapi, aku ngeyakinin kalo itu bagian dari doa. Semakin sering disebut, semakin nyatalah kalo beneran kepingin ^^
Bismillah…
Quote pembuka review ini #MAKJLEB 😦 => “Semangat yang meredup itu memang lebih membunuh daripada fisik yang remuk redam,” Agustinus Wibowo.
Kemarin nanyain reviewnya ke temen, eh sama mereka disuruh baca sendiri biar bisa merasakan petualangan hati dengan buku ini 😀
Ga sabar pengen baca juga
Iya, ulasanku ini pun kayaknya gak ada seujung kuku. Biar…. biar pembaca ngerasain sendiri sensasi dari buku ini ^^
Lagi baca juga, tapi baru dpt brp hlmn. Awal2 nya udah mewek duluan..Ibu….
Iya… Ibu adalah tokoh utama di buku ini sebetulnya….
dua buku sebelumnya masih belumm selesai baca.. haih!
Jujur, walau punya semua bukunya, dua seri pertama aku juga belom baca mas Jo. Dulu, pas baca Selimut Debu dan udah setengah perjalanan lebih, mendadak sibuk luar biasa dan semangat baca hilang. Begitu ada Titik Nol, aku coba lagi baca dari awal. Tapi karena udah gak sabar, jadi langsung loncat ke Titik Nol. Sekarang lagi baca Garis Batas. Nah aku bacanya kebalik jadi susunannya hehe
Mupeng baca buku ini jadi pengen jalan2.. 🙂
Iya 🙂 Apalagi jalan2nya ke negara eksotik kayak India 🙂
Kalo india kayaknya g kepengen deh, apalagi banyak kasus pemerkosaan turis asing. Sama kasus pencopetan.. eh, kalo itu disini juga sama ding.. :p
Iya, karena kasus pemerkosaan itu, pariwisata India turun hingga 25% *cmiiw*
Walau gitu, aku tetep penasaran dengan India 🙂
Luar biasa resensi nya mas ! 😀
Wah ini gak ada apa-apanya dibandingin isi buku ini. But… makasih ya 🙂
Reblogged this on SixFiveNinetyTwo.
Terima kasih atas apresiasinya 🙂
terimakasih kembali 😀
🙂
Reblogged this on MARJANI UNTUK PENDIDIKAN.
Ping balik: Oouch! Saya Tersasar di Blog Omnduut | La Rêveur Vrai
Aku berjodoh sama buku ini. Waktu lauching di Indonesia, Langsung aku beli. Waktu berangkat ke India, kok berat? aku tinggal dirumah. Eh, ada temen datang ke India bawa buku Titik Nol trus dikasihkan ke aku. Baca lagi deh ….. dibaca bolak balik, sampe copot semua halamannya. Nggak bosen baca buku ini 🙂 Apalgi ada India nya. hehehe
Bacanya jadi lebih mresep ya mbak karena kalau ceritain tempat yang sudah didatangi pasti langsung kebayang-bayang adegannya haha.
Iya, seperti kata agusnitus dalam buku itu. Akan berbeda jika kita travelling ke sutau tempat jalam jangka waktu sejenak dan tinggal. ada makna yang paling mendalam disitu, ketika dia berkata “India kah yang mengubahku?” ketika mental dia dicabik cabik di India. sama dengan yang kurasakan
Ping balik: #TerusBergegas : Ini Kado Untuk Blogger |