“Salam. @Omnduut masih berada di Palembang ye?”
Begitu isi kicauan di sebuah twit yang dikirimkan oleh Nuar melalui akun @PenaBerkala. Tanpa mengecek siapa yang menyapa lewat twitter, aku langsung membalas : “Halo mas Nuar, iya masih di Palembang :)” Belakangan aku baru ngeh jika yang menyapaku itu seseorang dari negeri seberang. Dan, setelah dikepoin lebih lanjut, ternyata beliau blogger kece di Malaysia sana. Huaaa, kok ya aku panggil “mas”? Hihihi.
Komunikasi dengan bang Nuar si pemilik blog Penaberkala.com terus berlanjut. Diantara balas-balasan kicauan di twitter, muncullah Atika, pemillik blog jalanography.blogspot.co.id. Ternyata mereka semua akan ke Palembang bersama-sama. Tentang Atika, aku sendiri sudah tahu rencana beliau saat Atika melempar pertanyaan di grup couchsurfing Palembang. Bersama 2 teman lain (kak Ayu dan Amir si pemilik blog Amirawawi.com) mereka akan melakukan petualangan di bumi Sriwijaya selama beberapa hari.
Jom, explore Palembang!
* * *
Mereka tiba di Palembang, Sabtu (23/1) pagi. Sesuai komunikasi melalui whatsapp, kami janjian untuk bertemu malam harinya di seputaran Benteng Kuto Besak (BKB). Waktu yang ditentukan yakni sekitar pukul 19:30 WIB. Aku sendiri jalan dari rumah sekitar pukul 7 malam dan sampai di BKB 15 menit kemudian.

Nampak depan museum
Mereka semua akan dijemput oleh Feri, salah seorang anggota CS (couchsurfing) Palembang. Mungkin karena sibuk, Feri terlambat menjemput. Nah, mengingat aku kurang nyaman berada di kawasan ramai seperti BKB (terlebih di malam Minggu seperti itu. Hmm, nganu, bikin sakit hati hwhwhw), aku lantas ngabur ke Gramedia. Udah lama juga nggak cuci mata di sana. Sayang sungguh sayang, ditunggu sampai pukul 20:30 WIB tetap tidak ada kabar. Aku lantas menghubungi bang Nuar untuk membatalkan rencana bertemu malam itu.
Esok harinya, pasca mengunjungi kampung cagar budaya yang berisi rumah berusia ratusan tahun, beberapa netizen yang diundang memutuskan untuk brunch di Bakso Sikam, tak jauh dari Kampung Al-Munawar di kawasan 13 Ulu, ternyata Miera Pelangi melakukan kontak dengan Atika dan mereka merencanakan pertemuan di sekitaran BKB.
“Wah, aku bisa ikutan dong Mir,” pintaku ke Miera.
Ya kapan lagi, kan? Hitung-hitung mewujudkan rencana kopdar/meet up yang gagal satu hari sebelumnya. Temen-temen yang lain (Kak Deddy, Jony, Chua dan Cucut) juga mau ikutan, ya sudah, kopdarnya bakalan ramean deh. Aku sengaja tidak mengontak bang Nuar untuk member sedikit kejutan. Biar sekalian ketemuan semua, gitu. Hehehe.
Sesampai di BKB, kami berjalan menuju Dermaga Wisata di BKB. Kami memilih salah satu restoran cepat saji sebagai tempat pertemuan. Tak lama kemudian, tadaaaa traveler kece asal Malaysia itu datang.
“Halo bang Nuar, saya Haryadi yang semalam janji ketemuan tapi batal,” ujarku memperkenalkan diri.
Obrolan seru tercipta apa adanya. Walaupun bahasa yang kami gunakan sedikit berbeda, namun bisa dibilang kami nyambung ngobrol dan bergurau. Seru sekali! Seperti bertemu teman lama. 🙂
Mengenang Sultan Mahmud Badaruddin II
Pertemuan berlanjut ke museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang berada dekat dengan Dermaga Wisata. Aku sendiri sudah puluhan kali datang ke museum ini. Setiap kali ada teman yang datang ke Palembang, ya paling gampang diajakin ke museum ini. Selain letaknya yang sangat strategis, koleksinya juga bagus. Istilahnya, nggak malu-maluin bangetlah! lagian, berkunjung ke museum itu menyenangkan, kok!
“Apa museumnya buka, Yan?” tanya kak Deddy.
“Setahuku buka, kak. Biasanya sih tutup hari Senin,” jawabku.
Sebagaimana umumnya museum, biasanya tutup di hari Senin, toh. Baguslah, karena bagi orang tua yang ingin mengenalkan anak mereka terhadap sejarah dan budaya dan berniat mengunjungi museum di saat mereka libur kerja dapat dilakukan. Malah setahuku museum Sultan Mahmud Badaruddin II ini buka sepanjang hari.
Eh omong-omong, siapa sih Sultan Mahmud Badaruddin II yang tampang-nya ada di bagian depan uang pecahan Rp.10.000 itu? Beliau adalah penguasa Palembang dari tahun 1803 sampai tahun 1821. Di Lokasi museum ini sendiri dulunya dibangun sebuah bangunan yang digunakan sebagai istana Kesultanan Palembang Darussalam yang disebut sebagai Keraton Kuto Kecik atau Keratin Kuto Lamo.
Istana yang sebagian konstuksinya menggunakan batu bata itu dibangun bersamaan dengan Masjid Agung Palembang saat masa Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin I. Sayang, saat Belanda datang pada abad ke-17, Istana atau Keraton Kuto Lamo itu dihancurkan. Sultan Mahmud Badaruddin II sendiri akhirnya ditangkap dan diasingkan.
“Untungnya” pada tahun 1823, Belanda mulai merekonstruksi kembali reruntuhan bangunan tersebut dan dijadikan tempat tinggal komisaris Kerajaan Belanda di Palembang. Saat masa penjajahan Jepang tiba, gedung ini pernah juga dijadikan basis militer mereka.
Tuuuh, bayangkan, sebuah gedung ternyata telah menjadi saksi sekian banyak peristiwa bersejarah.
Mengenal Sejarah dan Budaya Kota Palembang di Museum SMB II
Sejak memasuki bagian dalam museum, tepat di sisi kanan penjaga terdapat diorama yang menggambarkan perang 5 hari 5 malam. Perang yang terjadi pasca Indonesia meraih kemerdekaan itu telah menghancurkan seperlima kota Palembang, termasuklah serangan ke RS RK Charitas dan juga upaya sekutu untuk mengancurkan Masjid Agung Palembang yang menjadi basis Tentara Indonesia. Untunglah perang yang terjadi tanggal 1 Januari 1947 itu berakhir 5 hari kemudian saat tercapainya persetujuan gencatan senjata.
Di sisi kirinya, terdapat beberapa tiruan arca yang ditemukan di provinsi Sumatra Selatan. Diantaranya Arca Telaga Batu ini. Untuk koleksi benda bersejarah bisa dibilang Museum Sultan Mahmud Badaruddin II ini tidak selengkap yang ada di museum Balaputera Dewa, namun koleksi benda budayanya oke punya.
“Hitung sampe tigo yo, kagek aku ngomong dan kau rekam,” ujar salah satu pengunjung.
Museum lumayan ramai saat itu. Pengunjung didominasi oleh anak usia SMP yang sibuk membaca petunjuk di tiap-tiap koleksi dan merekamnya melalui handphone. Karena penasaran, aku mencoba bertanya ke salah satu diantara mereka.
“Tugas sekolah ya Dek?”
“Iya kak, disuruh guru belajar sejarah di sini.”
Wah boleh juga ya. Jadi sambil jalan-jalan di seputaran BKB, siswa jadi belajar sejarah di museum ini. Pertanyaannya, dimana guru mereka? Bukankah lebih seru kalau gurunya ikutan juga? 🙂 siswa-siswa ini terbagi dalam kelompok-kelompok kecil. Bisa dibilang mereka berlagak seperti reporter di TV. Asyik juga nih belajar di museum seperti ini.
Sementara itu, bang Nuar, Amir, Atika dan kak Ayu nampak tenggelam dalam tiap-tiap koleksi yang mereka temukan.
“Wah bagus betul,” ujar Atika saat melihat koleksi songket.
Songket Palembang memang terkenal dengan keindahannya. Kain tradisional khas Sumatra Selatan ini juga telah berulang kali dipakai dalam pergelaran tingkat nasional bahkan internasional. Di bagian tengah museum ini pula ditampilkan pakaian kesultanan Palembang. Baik itu bajunya, kainnya, tanjak (topi khas Palembang), ikat pinggang, sarung tangan, hingga selop/sandal yang sultan gunakan.
Palembang Emas
Warna emas memang mendominasi perabotan ukir khas Palembang. Di bagian belakang, pengunjung akan diajak untuk melihat beberapa perabotan yang diukir dengan motif khusus (biasanya bunga teratai) yang kemudian dilapisi cat berwarna emas. Coba lihat ukiran pelaminan untuk pengantin ini. Indah, bukan?
Bahkan hingga bantalnya pun menggunakan sarung yang dilapisi motif emas. Begitupun lemari ukir yang berada di sisi kanan dan kiri pelaminan, juga menggunakan warna emas. Tak heran, motto atau jargon Palembang Emas 2018 juga dipilih oleh pemerintah sebagai memicu kesuksesan perhelatan Asian Games yang akan dilaksanakan pada tahun tersebut.
Di samping pelaminan ada satu set perlengkapan tidur yang konon menggambarkan kamar di zaman kesultanan Sriwijaya. Kamar yang meriah seperti ini juga masih digunakan sebagai kamar pengantin. Terlihat kain jumputan (kain khas Palembang lainnya) digunakan sebagai tabir di dinding belakang.
Di depan kamar tersebut, ada sebuah lorong kecil yang berisi foto-foto makanan khas Palembang dan beberapa peralatan musik tradisional juga 2 set peralatan makan yang biasa digunakan masyarakat saat ada acara besar. Kami menyebutnya ngidang yakni proses makan bersama-sama dalam satu kelompok kecil. Maknanya jelas, untuk semakin mempererat tali silaturahmi. Sayang gaya model makan seperti ini mulai ditinggalkan karena dinilai tidak efektif dan efisien.
* * *
Sekitar 1 jam kami menghabiskan waktu di museum ini. Apa yang aku tampilkan di tulisan ini adalah sebagian kecil koleksi yang ada di museum SMB II tersebut. Oh ya, bagi yang berniat mengetahui setiap detail koleksi yang ada, ada petugas yang bertindak sebagai pemandu/guide, yang dapat dimintai pertolongan agar informasi yang diharapkan dapat tersampaikan dengan lebih jelas dan otentik.
Masih ada beberapa tempat yang akan kami kunjungi di Minggu siang tersebut. Rencananya, kami semua akan mendatangi Monpera (Monumen Perjuangan Rakyat) tapi sayang cuaca kurang baik sehingga kami memutuskan untuk berwisata kuliner dulu mendatangi sebuah kedai pempek yang ada di kawasan Sekanang, tak jauh dari Benteng Kuto Besak.
Begitu sampai di Kedai Pempek Cek Ani, hujan turun dengan derasnya. Cocok, kan? Dingin-dingin makan pempek sambil ngirup cuko? Hehehe. Akhir kata, semoga perjalanan mengunjungi kota Palembang meninggalkan kesan yang baik ya bang Nuar, Amir, Kak Ayu dan Atika. Sampai ketemu lagi di lain kesempatan 🙂
Serunya kopdaran di museum… ira
Kapan-kapan gantian, mau kopdar di KL hehe amin
Seneng kalao ada museum memperbolehkan Foto gini, aku suka. jadinya ada kegiatan. klo nggak boleh foto, biasanya aku jadi ngantuk. hehehe *pengakuan
Aku pernah ke museum Ananta Samakhom di Bangkok, gak bisa motret, untungnya museumnya kece hehehe
ini acara kapan ya? kok ngga ada blogger 4L? apa mrk menolak datang karena uang sakunya kecil 8gosip
Siapa-siapa blogger 4L? Hehehe. Mas Danan ini mereka datang sendiri tanpa undangan.
Oooo gitu…. soalnya denger denger mau ada famtrip di plg, kamu diundang kak?
Iya aku tahu tentang famtrip. Sayangnya aku nggak tahu siapa aja yang bakalan datang dan aku (sejauh ini) nggak diajakin 🙂
Aku tahu donk , tetep 4 L
aku undang juga dong walau blogger abal hahahah
Waduuuh Winny blogger abal gimanaaaa? hahaha. Aku aja belom tahu nih kegiatannya bakalan apa aja.
Baru tau kalo namanya ngidang 😀 soale waktu nikahan di sumbar disuguhin makan dg cara kyk gitu.. Hehe..
Lain daerah biasanya beda penyebutan abah, tapi biasanya sama aja 🙂
Mas Yayan asli Palembang kah? Biasanya kalo buat laki2 dewasa belum menikah panggilannya apa, ya? Kalo “mas” kan Jawa, “uda/ajo” kan Padang, penasaran aja gitu hahaha
Biasanya sih dipanggil CEK, tapi aku lebih suka dipanggil abang atau kakak aja hehehe
Yasssalaaaam aku yang wong Plembang aja belom pernah ke SMB II ini. *gagal hahaha :’)))))
Hayo dong main ke museum, tuliskan biar makin banyak yang tahu hehehe
Langsung cek duit sepuluh ribuan!
Bagi dong duitnya 😀
Serunya kopdar! Semoga kapan2 kita bisa ketemuan juga yaaa
Mauuu mau mau banget mbak 🙂
Kopdar di museum kesannya gimana gitu ya blogger banget hehhehe..
Keren ya museumnya. Tetiba saya pengen banting keyboard..Ingat lagi server rusak dan menghilangkan semua foto kenangan di palembang..Fotonya sih bisa bikin lagi..Tapi kenangannya kan tidak.Ih ini emak-emak datang langsung curhat hahaha..
Hwaaah tahu dah rasanya kehilangan foto (walaupun aku belom pernah kejadian huhuhu jangan sampe). Itu artinya ada kesempatan mbak Evi akan datang lagi ke Palembang, yippiiieee
seruuu yaaaa… semoga bisa kopdaran jugaaa…
Amiiin di Yogya yaaa 🙂
Kak …kamu kurangnyaman di tempat keramaian karna ngak bisa mojok yaaa hahaha
Iya om, nggak bisa nganu kalo rame hehehe
Huaaaaaa…aku belum pernah ke museum itu huhuhu
Makin banyak saja daftar kunjung di Palembang yg mesti aku catet
Moga menang lomba biar bisa diundang tuk jalan2 keliling Palembang.
Malah seharusnya mbak Rien diundang secara khusus, secara tulisannya bagus-bagus dan sangat lengkap. Semoga menang ya mbak Rieeen 🙂
Ping balik: Menyelami Arti Sejarah Sriwijaya di Indonesia Bersama JJ.Rizal | Omnduut
Ping balik: 5 Hal Ini Seharusnya Bikin Kamu Mupeng Datang Ke Festival Sriwijaya | Omnduut
Ping balik: Mumpung di Maluku Utara, Jelajah Ternate, Ah! | Omnduut