“Kampung Al-Munawar itu dimana, euy?”
Pertanyaan ini sudah mencuat takkala ajakan mengunjungi Kampung Al-Munawar bergaung pasca workshop fotografi bersama Barry Kusuma dan Setiadi Darmawan, Sabtu (23/1) lalu di salah satu aula kantor Gubernur Sumatra Selatan. Workshopnya sendiri berlangsung seru walaupun sayang rencana untuk hunting foto di Bukit Siguntang batal terkendala cuaca yang kurang bersahabat.
Kebetulan, Dinas Pariwisata akan mengunjungi kampung Al-Munawar keesokan harinya (Minggu, 24/1/2016) dalam acara Kerja Bakti pembersihan kawasan tersebut.
“Bagi yang bersedia datang, nanti akan dikasih kaos Pesona Indonesia,” ujar Bu Mita. (1)
Tak ayal, kesempatan untuk mendapatkan kaos super kece itu disambut hangat sektar 50-an peserta workshop. Aku pun nggak mau ketinggalan dong, lha wong kaosnya kece gitu. Lagian, mumpung dekat rumah nih. Apalagi saat mendengar, “ada banyak bangunan tua di sana,” seperti yang dibilang Bu Irene selaku kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumatra Selatan. Wah, lumayan banget, bisa berwisata ke kawasan cagar budaya sekaligus berselfie ria –eh. Hehehe.
* * *
Kampung Al-Munawar berada di kawasan 13 Ulu Palembang. Seperti yang diketahui, keberadaan Sungai Musi yang membelah kota Palembang secara tidak langsung turut andil dalam pembagian kawasan kota Palembang menjadi wilayah Ilir dan Ulu. Nah, kebetulan aku sendiri tinggalnya di kawasan Ulu. Seharusnya sih perjalanan menuju kampung Al-Munawar lancar ya. Sayang, aku harus nyasar dulu sebelum tiba di kampung Al-Munawar, hehehe.
Kawasan Tangga Takat Laut (16 Ulu) hingga arah pasar 10 Ulu sering kali aku lewati, namun terus terang aku belum pernah ke Kampung Al-Munawar ini sehingga aku harus bertanya ke beberapa orang hingga akhirnya menemukan kampung yang letaknya agak tersembunyi ini. Maklum, di lorong utama kampung ini jalannya tidak terlalu lebar dan tidak ada papan petunjuk yang cukup mencolok. (2)
Begitu sampai di sana, wuuiih, sudah rame banget orang yang bergotong royong melakukan kerja bakti. Ada yang menyapu, memotong dahan pohon, mengeruk got, memunguti limbah rumah tangga, membawa troli berisi pempek eh sampah hingga yang kepergok asyik selfie sambil pegang sapu –pencitraan. Siapa sih? Auk ah hahahahaha.
“Dek, motornyo parkir sano bae,” ujar seorang bapak.
Beliau mengarahkanku agar memarkirkan motor di sebuah halaman. Mataku nanar sekeliling. MasyaAllah, ini kampung kok ya kerennya kebangetan, ya? Dan… astagfirullah, masa iya aku warga 8 Ulu yang notabene dekat sama kampung ini kok ya nggak tahu dan nggak pernah ke sini ya? –jitak kepala sendiri.
Ada sekitar 300 penduduk dari 30 Kepala Keluarga yang mendiami kawasan ini. Mayoritas mereka merupakan keturunan arab. Makanya, kampung ini disebut juga sebagai kampung arab. Katanya sih ya, mereka semua masih ada keturunan Arab Yaman sana. Pantesan aja dari tadi ngeliat orang-orang berkulit putih, hidung mancung mirip-mirip Ahmad Albar. (maaf, yang mirip Fachri Albar ntah ngumpet dimana, geng cewek-cewek Pesona Indonesia pada nyariin sih, tapi kagak nemu, ouch poor them hwhwhw).
Sebagian besar rumah di sana terbuat dari kayu. Dan tahu nggak berapa usia rumah yang ada di sana? Antara 250 sd 300 tahun! Luar biasa, bukan? Hebatnya, walaupun berusia lebih dari 1 abad, kondisi bangunan di sana relatif baik. Bisa jadi karena kayu yang mereka gunakan berkualitas tinggi. Jika kayu-kayu tersebut terlihat kusam dengan cat yang sudah terkelupas, ah nggak apa-apa. Malah menurutku kondisi seperti itulah yang menjadikan kampung ini terlihat istimewa.
Ada sekitar 17 rumah di sana. 8 diantaranyalah yang berusia lebih dari 200 tahun sehingga termasuk dalam cagar budaya. Sempat ada isu bahwa kawasan ini akan digusur karena pembangunan Jembatan Musi III. Penolakan terhadap rencana tersebut sangat masif sehingga pembangunan Jembatan Musi III tersebut ditangguhkan dan setahuku akan dibangun dilokasi yang berbeda.
Malah, kawasan ini akan terus dipercantik tanpa mengubah keautentikan bangunan aslinya. Makanya kerja bakti ini digalakkan. Selain memang untuk menjadikan kawasan ini lebih bersih dan terawat, Dinas Pariwisata juga melakukan pemetaan terhadap bagian mana saja yang harus diperbaiki dan difasilitasi agar semakin laik dan nyaman untuk didatangi para wisatawan.
“Pak nanti bagian ini dibikin teras dari kayu seperti yang ada di sebelah sana ya,” ujar Bu Irene.
Aku bukan bermaksud nguping sih hahaha, tapi ya wong Bu Irene-nya ngomong tepat di sampingku. Saat itu kami berada di pinggiran Sungai Musi dimana partisipan kerja bakti ini berkumpul demi fokus membersihkan eceng gondok yang menumpuk di teras air rumah warga. Jika nanti rencana Bu Irene dapat direalisasikan, wuidiihh, keren banget, bisa nongkrong ganteng di sana.
Eh btw, keren nggak tuh Palembang? Teras airnya langsung sungai Musi, euy!
Kampung di Tepian Sungai Musi
Seperti yang aku singgung sebelumnya, sebagian rumah warga kampung ini memang berada tepat di tepian sungai Musi. Bahkan, salah satu rumah yang ada di sana dijadikan sebagai lokasi syuting film berjudul Ada Surga di Rumahmu yang dibintangi oleh Husin, penyanyi jebolan ajang pencarian bakat. Sejak melihat cuplikan filmnya di laman youtube, aku sudah penasaran mengenai lokasi tempat pengambilan gambarnya.
Siapa sangka, ternyata rumah kediaman Elma Theana, ibu si tokoh Husin inilah yang berada di kampung Al-Munawar. Mengenai hal ini, aku jadi teringat film Laskar Pelangi yang begitu meledak dan kini turut menyokong pariwisata Provinsi Bangka Belitung. (3) Bayangkan, sebuah film dampaknya begitu besar ya terhadap kemajuan pariwisata suatu daerah. Ya, tidak menutup kemungkinan kelak akan semakin banyak film nasional yang memilih Provinsi Sumatra Selatan khususnya kota Palembang sebagai tempat lokasi syuting.
Sebelumnya ada Air Terjun Bedegung yang dijadikan lokasi syuting Mengejar Angin (Dibintangi Mathias Muchus). Ya, mumpung ngarep dan ngimpi itu masih gratis dan boleh setinggi-tingginya, siapa tahu kelak om Daniel Craig datang ke Palembang buat syuting film James Ngebon eh Bond. Bisa jadi loh ya! Asaaaal, lokasi wisatanya terus terjaga dan mampu menarik minat sineas nasional/internasional tersebut. Belitung aja pernah dipakai syuting film Hollywood The Philosophers, Palembang pasti bisalaaah. Apalagi Palembang punya makanan enak sejagat raya : pempek. –apasih hwhwhw.
Blusukan di Rumah Tua
Setelah ikutan “kerja bakti” (baca : ngefotoin orang yang kerja bakti), bersama kak Deddy, aku memutuskan untuk kembali ke depan dan mengeksplor rumah-rumah tua yang ada. Ternyata, oleh masyarakat setempat rumah-rumah tersebut diberi julukan. Ada yang disebut sebagai rumah batu, rumah kembar, rumah tua dan beberapa julukan lainnya.
“Dulu saat zaman perang Belanda, penduduk sembunyi di rumah batu itu. Katanya ada ruang bawah tanah di sana,” ujar salah satu pemilik rumah tua yang ada di sana. Aku dan rombongan tim hore –hehehe, sempat diundang masuk ke dalam oleh pemilik rumah batu tersebut. Luar biasa, bisa dibilang 95% bangunannya masih asli. Perabotan yang mereka gunakan pun masih model lama a.k.a jadul.
“Ibu generasi ke-4 penunggu rumah ini,” ujar si ibu pemilik.
Lha, si ibu aja udah punya cucu. Jadi seenggak-nggaknya rumah batu tersebut sudah dihuni oleh 6 generasi. Emejing banget, ya!
Di sini pula kami mengenal siapa Habib Hasan Abdurrahman Al-Munawar, tokoh yang namanya kini diabadikan sebagai nama kampung tersebut.
“Ini dia kakek buyut kami dulu,” ujar beliau sambil menunjukkan sebuah gambar (bukan foto) yang dibingkai dan diletakkan di area ruang tengah rumah batu tersebut.
“Coba lihat, lantainya pun menggunakan tegel model lama!”
Wow, benar sekali. Tegel dengan motif unik seperti ini sudah tidak ada lagi yang menjual. Aku sendiri pernah baca bahwa konon katanya tegel/marmer yang digunakan di rumah batu ini diimpor langsung dari Italia. Dan memang, harus diakui sebagian model rumah tua yang ada di sana ada sentuhan Timur Tengah dan Eropanya. Terutama dengan model tangga melingkar menyamping dan digunakannya pilar serta pintu dan jendela yang berukuran sangat besar (perhitungan kasat mataku bahkan ada pintu yang tingginya 5 meter lebih!).
“Banyak orang yang datang ke sini. Dari mana-mana, ada yang dari luar kota, ada juga yang dari luar negeri. Bahkan ada yang pernah pakai rumah ibu untuk bikin foto pra wedding,” ujar si ibu lagi.
Duh ibu, tahu aja sama pra wedding hehehe. –baper detected.
Syiar Agama
Kawasan yang terus hidup selama ratusan tahun ini turut berperan penting dalam dakwah agama Islam. Salah satunya dalam bentuk pendidikan. Hal ini terlihat dari keberadaan sebuah bangunan yang kini “disulap” menjadi sekolah. Tepatnya bernama Madrasah Ibtidaiyah Al-Kautsar. Terus terang awalnya aku agak kaget, saat mengambil beberapa foto, beberapa siswa melonggokkan kepalanya melalui jendela. Ternyata ada proses belajar-mengajar! Kaget euy, soalnya di hari Minggu, kan?
“Iya, di sini liburnya hari Jumat,” sahut seorang warga.
Wuih, udah ngikutin kalendernya negeri Arab sana nih hehehe. Beruntung lagi, saat asyik narsis di tangga sekolah, kami bertemu dengan kepala sekolahnya.
“Hayo kalau mau lihat, naik saja ke atas. Nanti ibu bukakan pintunya, ya!” ujar beliau ramah.
Tentu saja kesempatan itu tidak kami siakan. Kami memasuki satu demi satu ruangan yang ada di sana.
“Dulu ini jadi tempat tinggal orang lama. Itu kamarnya sekarang dijadikan kelas,” ujar ibu kepala sekolah.
Aku sempat melirik ke dalam, siswa-siswi nampak asyik bermain belajar. Mereka menempati kursi-kursi yang terbuat dari kayu. Bangkunya pun yang sharing berdua atau bahkan bertiga. Kalau sekolah SD sekarang mah udah pada pakai kursi plastik, ya? Duduknya pun sendirian. Melihat aktifitas mereka, aku jadi teringat saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar dulu, beberapa bulan tahun lalu. –tetep ngerasa masih abege :p
Al-Quran Tinta Emas
Sudah tahu dong kalau Al-Quran Ukir Terbesar di dunia adanya di Palembang? Nah ternyata Palembang juga punya Al-Quran emas. Nganu, maksudnya, ada di sisi-sisi tertentu dari lembaran Al-Quran itu yang dilapisi dengan emas. Luar biasa!
“Sebetulnya kita punya 3 Al-Quran yang seperti ini,” ujar Bu Retno, seorang arkeolog yang diamanahkan untuk menyimpan Al-Quran emas tersebut.
“Apa Al-Quran ini memang biasa diperlihatkan ke pengunjung, Bu?
“Sebetulnya, dulu Al-Quran ini tidak sembarangan diperlihatkan orang.”
“Lantas jika ada pengunjung yang mau lihat gimana, bu?”
Si ibu hanya tersenyum dan berulang-ulang berkata, “dulu harus ada izin tertentu untuk melihatnya.” (4)
Ya sudahlah, sepertinya memang Al-Quran itu nggak sembarangan diperlihatkan. Secaraaa itu Al-Quran tua dan terbuat dari emas, kan? Yang jelas, aku senang, kehadiranku di acara Kerja Bakti ini memberikan banyak sekali pengalaman baru beserta bonus-bonusnya. Ya diantaranya dapat melihat langsung Al-Quran emas ini.
Harapan ke depan, Kampung Al-Munawar akan semakin berbenah dan siap menyambut wisatawan baik lokal ataupun mancenegara. Sebagai sebuah kampung, Al-Munawar ditunjuang oleh beberapa aspek yang dapat dijadikan daya tarik. Misalnya saja akses ke sana yang dapat dilalui melalui jalur sungai. (5) Jikapun kelak kawasan ini akan dikomersilkan, nggak apa-apa, asalkan sepadan (dari segi kenyamanan dan keamanan) dan dana yang dikumpulkan sepenuhnya dikembalikan ke masyarakat demi terus menjaga kawasan tersebut.
Jadi, kapan mau ke Palembang dan main di kampung Al-Munawar? 🙂
Catatan :
- 1. Sayang yang datang nggak banyak. Hayo yang udah kebagian kaos, nanti dipakai di kegiatan selanjutnya ya! 😀
- 2. Ada baiknya dibuat gapura dengan nama kawasan yang cukup jelas.
- 3. Tidak masalah film Ada Surga di Rumahmu tidak semeledak Laskar Pelangi. Namun, menurutku sangat memungkinkan dibuat satu plakat/foto yang ditempel tak jauh dari rumah tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat yang berkunjung ke sana bahwa rumah tersebut pernah dipakai untuk lokasi syuting film nasional.
- 4. Semoga si ibu berkenan memperlihatkan kembali Al-Quran tersebut jika kelak aku ke sana lagi dengan mengajak hanya 1 atau 2 teman.
- 5. Tidak menutup kemungkinan nanti ada Musi Tur menggunakan perahu dan mengunjungi tempat ini seperti halnya river cruise di Malaka.
keceehh omnduutt btw bntu koreksi instagram @wonderfulsriwijaya krng dikit aja
hayookk ke palembang,jakarta ada kota tua,palembang ada kampung arab tua ^^
Oh yo, typo. Udha dikoreksi.
Betuul HAYO KE PALEMBANG 😀
Mantaaaappp…..ayooo…ayooo kalo butuh guide di kampung al munawar…siap membantu.😄
Kalau Bu Diah sudah turun tangan kayak gini, paten! hehehe. Aku akan balik ke sana lagi Bu, menggali lebih detail tentang sejarah di sana. Kemarin itu ketemu penduduk lokal yang nggak banyak tahu juga.
Ooom. Cantik banget ini kampung Al Munawarnya. Saya ingat dulu jalan darat Palembang – Lampung dan ngerasa syahdu banget lihat pemandangan rumah kayu di jalannya.
Betul mas Dani, Palembang-Lampung banyak rumah panggung kayak gini. Tapi yang di sini usianya ratusan tahuuun 🙂
Kalau aku ke Palembang, ajak2 ke Kampung Al-Munawar ini ya oom…
Dengan senang hati om Yopie. Ajaklah semua pasukan blogger dan netizen Lampung hehehe. 🙂
siiap… mudah2an dalam waktu dekat ini bisa datang 🙂
Siaap. Sebagai ganti yang minggu lalu batal ya om hehe. Biar sekalian diajakin ke museum uang 10 ribu hwhwhw
Cek Yan, pertama lihat rumah dan suasana kampungnya, yang terlintas di kepalaku adalah film Ada Surga di Rumahmu. Jangan2 film itu pernah syuting di sana ya?
Betul banget mbak Rien. Rumah yang di depan itu dipakai untuk syuting 🙂
tadi aku koment belum selesai bacanya, ternyata di tulisan berikutnya ada penjelasannya :p
Iya haha, sama kayak aku kalo baca tulisan mbak Rien yang kece-kece itu. Kadang baru liat foto sekilas, udah gatel pengen komen. Hahaha macam nyari komen pertamax zaman MP hwhwhw. Udah komen, baru deh baca ulang 😀
haha…jadi maluw deh. *tutup muka*
Oh O, kamu pengakuan wekekeke
ckckck….sudah 3 abad ya usia bangunan2nya.
Memang sudah semestinya jadi kawasan cagar budaya.
Hebat orang dulu, bangun rumah pakai material kayu yang awetnya ratusan tahun. Coba kalau sekarang, bangun rumah beton aja 6 bulan sudah retak rambut. Kalo pake kayu, udah rayapan 😀
Kayunya “masak” jadi proses pengeringan sempurna dan juga memang kualitasnya terbaik. Udah jarang ada kayu dengan kualitas terbaik itu ya mbak Rien.
Aku suka wisata sejarah seperti di Kampung Al-Munawar ini karena kita bisa melihat kebesaran banga kita di masa lampau. Selain memberikan edukasi juga hiburan karena biasanya hal-hal berbau sejarah akan membuat kita takjub, seperti adanya Al-Quran bertinta emas itu. Semoga ada rezeki dan kesempatan untuk pergi ke Palembang dan pastinya Kampung Al-Munawar masuk di list-ku selain ingin makan pempek asli buatan orang Palembang.
Haha dari zaman aku nulis tentang Al-quran raksasa udah pengen ke Palembang ya Wan. Aku juga suka mupeng baca tulisanmu tentang Malang. Yuklah ke sini, makan pempek bareng kita 🙂
Iya neh ibarat orang hamil udah ngidam pengin ke Palembang. Ayo siapa duluan neh, aku ke Palembang or kamu ke Malang? he3
Atau malah bersamaan eh beriringan. Kamu ke Palembang dulu trus aku ngikut ke Malang hehe
keren-keren om… semoga kampung al munawar bisa lebih dikenal lagi 😀
Coba kalo Dyaz ikut, aku langsung mau nodong diajarin motret hehe
nanti ya om.. kita motret bareng2… hihih 😀
Pakdheeeeee…Mei temenin ke sini yak! Harus. Sik asik masuk list nih. Kece bingo ini kampung. Semoga makin kece ini kampung. Tetap dijaga kelestariannya. Nggak tergusur jaman 🙂
Wah blogger Semarang mau ke Palembang, aku harus siap bentang karpet iniii. *pilih warna biru dongker* lol. Iya iya deket rumah kok ini.
Palembang tak sekedar empek empek. Jembatan, sungai Musi, Museum sekarang kampung Al-Munawar bahkan sudah digunakan sebagai lokasi Shooting. Boleh lah ya Yan, ajak dakuw keliling Bumi Sriwijaya yang cakep ini.
eniwei, Fachri Albar bakalan nongol kalau ada aku :))))
Iyaaa, mbak Zulfa kalo balik ke Indonesia lagi ke Palembang doong. Biar kota Palembang bisa masuk blog kecenya mbak Zulfa gituuu. Syukur-syukur masuk tipi kayak liputannya mbak Zulfa hehe
Wuih keren banget ini kampungnya
Bangunan tuanya cantik-cantik
Menyimpan pesona yang unik
Salut juga buat kalian yang udah kerja bakti disana
Hayoooo mbak Arni kangen Palembang nggaaaakkk? Hehe
Bangeeeeet
Duh keren nian. Aku mau dong diajak ke sini. Gak usah dikasih kaos Pesona Indonesia deh, aku mo jalan-jalan aja. Kok ya waktu itu ke Palembang gak tahu ada kampung sebagus ini 🙂
Aku aja baru tahu mbak Evi *ngumpet balik selimut* semoga bisa balik ke Palembang lagi ya mbak. Biar Palembang makin kece kalo nampang di blog mbak Evi 🙂
Jika dipelihara dengan baik, bisa jadi next Unesco Heritage. Semoga, ya Cek Yan… ira
Bisa jadiiiii. Bisa kayak Malaka yang dilindungi UNESCO juga ya mbak Ira.
Arggggg kenapa kemarin nggak dikenalin ama kampung Arab yang ini? Argggg tegelnya kerennn oi. Argggg marmernyaaaa… Yan, plis ini dimasukin list WAJIB DIKUNJUNGI kalo aku liburan lagi ke Palembang! 😀
Hahaha sungkem kakak, soalnya aku juga baru tahu. Sini siniiii ke Palembang lagi 9 Maret. Sekalian nonton Gerhana Matahari Total 🙂
ntar klo ke palembang mw kesini ah om
Siap Win 🙂
Tegelnya itu aku naksiiiirrrr…kerennya emang kebangeten nih kampung…
Itu tiga motif tegelnya ada di satu rumah loh. Keren ya?
murahan banget, dibilang dapet kaos langsung mau hahaha
ih itu tegel kayaknya jaman dulu hiets bgt ya, yg di istana maimun kan juga hampir mirip2 kayak gini ya
Hahaha apalagi kalo ditambah, “Besok kita makan pempek bareng ya!” aku yakin yang datang lebih banyak buahahaha.
Huaaa aku belum pernah ke Medan >.<
hih!! ke india udah, medan yang tinggal guling2 doang nyampe malah belom
Pastiii pasti aku ke Medan, soalnya banyak temen yang siap menampung aku dan todong traktir #kode hahaha
rumah batu, modelnya keren om….
resportase omndut selalu apik dan rapih, makasih sudah berbagi ya.
Makasih mbak Kei. Semoga aku bisa main ke Jerman ya hehehe amiiin.
Asyik ya menyusuri perkampungan tua seperti itu. Nuansa multikultur dan historisnya terasa banget.
Pas ke Palembang aku nggak sempet ke Kampung Arab, cuma sempet lihat-lihat sebentar di pecinan kampung kapitan. Andai digarap & dipromosikan, Palembang bisa menjadi kota wisata budaya yg menjanjikan!
Pemerintah melalui Dinas Pariwisata terus berproses menuju ke sana Nugie 😉 doakan ya! biar makin luas cakupan wisata Palembang, nggak hanya kulinernya aja hehe. Aku selalu mengkomparasi Palembang dengan Malaka, karena bisa dibilang kedua kota ini brotherhood haha. Yang membangun Malaka ya orang Palembang juga soalnya.
Dan Malaka itu dengan sungai yang kecil kok bisa bikin atraksi wisata air yang keren. Palembang dengan potensi yang jauh lebih besar ya harusnya bisa juga. Kalo udah selevel Malaka, baru deh komparasi dengan Bangkok yang sama-sama kota sungai 😉
Iya, mas. Dulu kan Palembang dikenal sebagai Venezia of The East karena kanal-kanalnya. Kalau dikembalikan lagi keadaannya seperti semula, that would be awesome! 🙂
Betul, Melaka dibangun orang Palembang, bahkan desain kubah masjidnya pun sama. Tapi, yah, orang Melaka nggak mau mengakuinya ya? 😀
Sama satu lagi, mas! Ketertiban orang Palembang dalam berlalu lintas, hihihi.
Baru aja nih ketemuan sama 3 blogger asal Malaysia, alhamdulillah mereka tahu sejarahnya Parameswara, sultan Palembang yang kelak membangun Malaka.
Di museum Balaputera Dewa, ada bagian khusus yang menampilkan tentang ini, Nugie. Mengenai ketertiban pengguna kendaraan, iya betul banget :3 semoga kalau LRT udah jadi, lebih banyak yang pakai itu.
Ping balik: Kopdar Mancanegara di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang |
Ai pecaknyo tambah bagus bae plembang nih…
Ai yolah pulok hahaha, kapan mudik? galaklah aku ketemuan buat nyerap ilmu *tsaaah*
Hahaha masih september mangcek… Tapi aku balek ke Jakarta dem tuh langsung ke dusun linggau…. 😛
Secaro la ado pesawat langsung ke Linggau ye sekarang hehehe. Yolah, kalo ke Palembang kabar-kabari bae 🙂
Iyo.. amun kau ke Jakarta jugo kabarin ee.. 🙂
InsyaAllah, 😉
suka warna dan corak ubinnya.. mengingatkan pada sesuatu di masa lalu *lupa pernah berkunjung kemana ya?
Mungkin di salah satu restoran yang pernah mbak Ima kunjungi?
Itu nama kampung kayak nama mesjid ya 🙂
Hahaha iya betul Moes 🙂
alhamdulillah… kampung al-munawwar panjang umurnya dan selalu dilestarikan ke elokanya
Amin, semoga keberadaan kampung akan terus dilestarikan 🙂 terima kasih sudah berkunjung ke sini.
wah…. kelewat nih, ajakin aku kesini jugo lur 🙂
Next time pak 🙂
mokasi…. ditunggu cerito indianyo 🙂
Sipp. Masih kliyengan ini >.<
haha… la balek pelembang yan? la ngirup cuko belum ??
Ping balik: [Review] Pempek Palembang : Sebuah Ensiklopedi | djangki
Jadi disini lokasinya kita buat Har? 😉 photo prewed 😉
Komennya bikin spikles hahahaha
😀 mari kita iyakan..semoga pas waktunya aku mudik ya..aku dengan senang hati jadi photographer di hari H mu..lokasi udah cetar…tinggal nyari pengantin wanita nya. 😉
Om yaaaan.
Jumat depaaaan akuh terbang ke Palembang ! nanti tolong diajakin kesini yaaah. 19 tahun stay di Palembang belom eprnah kesituuu hikkzzz 😦
Kesiaaan yang belom pernah ke Al-Munawar hahaha
This post make me feel soo proud, kampung sendiri di jadiin tempat wisata! jadi mau nulis juga ttg munawar biar makin hits 😉
Aha! hayo tulis Nadia, biar makin banyak orang ke sana 🙂
Ping balik: Perjalanan Sebutir Biji Kopi di Festival Kopi Al-Munawar | Omnduut
Ping balik: Free Walking Tour Kampong Bharu : Jelajah Perkampungan Tradisional di Jantung Kuala Lumpur | Omnduut