Pelesiran

Menikmati Kelabu di Langit Budapest

Hanya butuh 3 jam untuk saya butuhkan untuk menempuh perjalanan dari Bratislava, Slovakia ke Budapest, Hungaria. Inilah serunya Eropa. Jalan sedikit saja sudah bisa pindah negara. Bandingkan kalau di Indonesia yang jarak segitu paling juga baru pindah kabupaten hehe. Sesuai jadwal yang tertera di tiket, saya tiba di Budapest Kelenföld sekitar pukul 12 siang. Pas banget lagi lapar-laparnya. Niat hati sih mau langsung cari makan. Tapi, ternyata nggak semudah itu Ferguso!

Ada 2 terminal bus di Budapest. Yang pertama, Budapest Kelenföld dan satunya lagi Budapest Népliget. Kalau saya cek sih, Budapest Népliget itu jauh lebih modern. Tapi, saat itu saya memilih Budapest Kelenföld sebagai pintu gerbang lebih karena Flixbus, bus yang saya pilih ya ngetem-nya di sana. Gak usah protes, toh ongkosnya juga murah yakni EUR 7,99 atau sekitar IDR 140 ribuan saja.

Baca di sini: Pengalaman Menggunakan Bus di Eropa

Sejak dari kota Praha, Republik Ceko, di sini akhirnya saya kembali harus menggunakan mata uang lokal. Euro nggak laku beib di sini. Mereka masih pakai mata uang Forint (Ft atau HUF Hungarian Forint) di mana, HUF 1 itu setara dengan IDR 60 (tahun 2018, kalau sekarang rupiah lebih menguat yakni HUF 1 setara IDR 50 saja).

Oke, begitu tiba di Budapest Kelenföld yang juga satu lokasi dengan stasiun kereta-nya, langkah pertama yang saya lakukan ialah berusaha menukarkan uang. Sayangnya, satu-satunya money changer yang ada di sana malah tutup. Dan, mesin ATM berada satu toko dengan money changer ini. Nah,berbekal informasi dari google maps, kami berusaha mencari ATM lainnya.

Baca juga: Gagal Klimaks di Kota Praha

Tiga manula duduk santai dengan latar belakang gedung Deák Ferenc.

Setelah muter cukup lama sampai ke pinggiran terminal, sialnya ATM-nya lagi-lagi rusak. Bhah! Budapest ini kota wisata loh padahal. Mbok ya ATM rusaknya diperbaiki atuh-lah. Nggak kerasa, udah 1 jam aja kami muter-muter nyari ATM. Eh, tahunya ada satu mesin ATM yang nyantol tak jauh dari pemberhentian bus. Kayaknya kami terlampau lapar sehingga nggak ngeh dengan keberadaan ATM tersebut.

Setelah mendapatkan Hungarian Forint, kami kembali ke pusat layanan dan membeli tiket terusan transportasi dengan akses 1 hari penuh setara HUF 1650 atau IDR 99 ribu. Agak mahal memang, tapi tetap lebih murah karena dengan akses itu kami bisa menggunakan metro, bus ataupun tram sesuka hati. Sebelum menuju kediaman Balint –host couchsurfing, kami sempat makan siang “mewah” di sebuah restoran karena ternyata harga makanan di Budapest relatif murah, sama kayak harga fast food di Indonesia. Oke sip!

Baca juga: Kisah Seru Menumpang ala Couchsurfing di Eropa

Sekilas Tentang Budapest

Jauh sebelum berangkat, saya penasaran banget sama kota yang menurut hemat saya hampir mirip dengan Palembang ini. Kenapa? Ibukota Hungaria ini dibelah oleh sebuah sungai besar –Sungai Danube, mirip dengan Palembang yang dibelah oleh Sungai Musi.

Budapest sejatinya gabungan 3 kota yakni kota Buda, Obuda dan Pest yang baru diberlakukan secara resmi pada tahun 1873. Sekarang sih lebih umum dikenal 2 saja yakni sisi Buda dan sisi Pest yang terpisahkan Sungai Danube. Menurut legenda yang tercatat dalam kronik Abad Pertengahan, Buda berasal dari nama pendirinya yakni Bleda –saudara lelaki penguasa Hunnic Attila.

Menara yang menjulang tinggi itu bagian dari Fisherman Bastion

Sedangkan kata Pest berasal dari kata Slavik yakni peštera yang berarti gua. Dokumentasi pertama yang menyebutkan gabungan dua nama Buda-Pest ini termuat dalam sebuah buku berjudul Vilag (Dunia/Cahaya) karya Istvan Szezhenyi yang ditulis pada tahun 1831.

Banyak peristiwa penting yang berlangsun di kota cantik yang dilindungi UNESCO dan telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Situs Dunia ini. Hal ini terkait dengan sejarah bahwa Budapest sempat berada dalam kekuasaan dan kedudukan bangsa Romawi di abad 1 masehi hingga Kesultanan Utsmaniyah yang menaklukkan Buda pada tahun 1526 dan sempat berjaya selama lebih dari 140 tahun.

Funicular menuju Buda Castle. Nggak naik ke atas. Harganya lumayan mahal haha. Tapi mestinya bisa jalan kaki lewat terowongan itu huhuhuhu.

Buda Castle ini gede banget!

Kekuasaan atas Budapest kemudian beralih ke Kekaisaran Austria-Hongaria. Bahkan, Budapest ditetapkan menjadi salah satu ibukotanya. Namun, kekuasaan ini bubar pada tahun 1918 akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Yang saya salut, walaupun kota ini menjadi lokasi beberapa pertempuran hebat, secara garis besar bangunannya masih terjaga dengan baik dan masih dapat dilihat sampai sekarang.

Menuju Fisherman Bastion

Setelah berjumpa Balint dan beristirahat sebentar, agak sore, kami izin keluar apartemen untuk mendatangi Fisherman Bastion atau yang dalam bahasa setempat bernama Halászbástya yang berarti “Kubu Pertahanan Nelayan.”  Butuh waktu sekitar 30 menit untuk menuju Halászbástya. Hal ini disebabkan kediaman Balint yang berada di sisi Pest sedangkan Fisherman Bastion sendiri merupakan teras bergaya neo-gothic dan neo-romanesque yang terletak di atas bukit Kastil Buda di sisi Buda.

Tinggal ketemu old lady Gryffindor tower dan teriak, “caput draconis!” haha serasa di Hogwarts

Bus yang kami tumpangi setop di halte yang berada tak jauh dari Jembatan Szehenyi. Dari sana, kami hanya berjalan sedikit ke atas sebelum mencapai sisi samping/belakang Halászbástya. Nah, karena kami jalan di musim gugur, walaupun masih sore tapi langit sudah biru-gelap saat itu. Kami melewati sebuah lorong bak yang ada di sekolah sihir Hogwarts sebelum tiba di teras utama tempat wisatawan banyak berkumpul.

Untuk mencapai teras atas ini sebetulnya nampak sebuah mesin pembayaran. Tapi, mesinnya terlihat rusak dan tidak ada penjagaan. Jadilah, saya dan puluhan turis lain langsung naik ke atas. Ntah ya apakah memang sekarang sudah nggak bayar atau kami lagi beruntung saja datang di saat mesinnya rusak dan tanpa penjagaan.

Langitnya sebiru itu memang. Cantik, ya!

Nah ini dia Gereja Matyas itu.

Parliement Building menyembul diantara tiang-tiang.

Dari teras atas ini nampaklah beberapa bangunan yang ada di sekitarnya. Misalnya saja Gereja Matyas yang nampak berdiri kokoh. Di kejauhan, nampak pula Parliement Building yang berdiri di sisi seberang sungai dengan lampu yang menyala penuh. Indah luar biasa. Tak heran jika Budapest disebut-sebut sebagai salah satu kota tercantik di Eropa.

Halászbástya sendiri dibangun selama 7 tahun yakni dari tahun 1895 hingga 1902 berdasarkan rancangan Frigyes Schulek. Pembangunan teras ini telah mendestablisasi fondasi Gereja Dominikan abad ke-13 yang berada di sebelahnya sehingga mau tak mau gereja itu harus dihancurkan. Di sekitar Halászbástya terdapat 7 menara yang melambangkan 7 suku Magyar (suku asli Hungaria) yang telah menetap di sekitaran Cekungan Karpatia sejak tahun 895.

Coba hitung menaranya ada 7 nggak? haha

Parliement Building bermandikan cahaya lampu

Patung St Stephen, raja Hungaria Pertama.

Lantas, kenapa ada embel-embel “Nelayan” pada bangunan ini? Ternyata itu disebabkan tembok Kastil Buda dulunya dilindungi oleh perkumpulan nelayan. Hmm, kayaknya para nelayan juga memiliki peran besar terhadap kota ini, ya! Nah, dari belakang teras terdapat Patung St Stephen, raja Hungaria Pertama (1000-1038) yang terlihat sedang menunggang kuda.

Benteng ini dibangun sebagai teras penglihatan dengan menara pengintai di dasar bentangan tembok kastil (dari abad 17-18, dibangun setelah Buda Castle Siege). Alih-alih membangun dinding batu tebal yang kokoh, teras ini dibangun terbuka tujuannya untuk memudahkan orang melihat pemandangan di depannya karena Kastil Buda tidak lagi dianggap sebagai tempat militer. Sisi romantis lebih ditonjolkan dengan desain bangunan seperti ini.

Menuju jalan ke Sungai Danube.

Anyeong!

Parliement Building diambil dari atas jembatan.

Dan benar saja, tak usahlah saya jabarkan, dari foto-fotonya saja terlihat jelas betapa serunya mendatangi tempat ini jika bersama pasangan, kan? saat saya ke sana pun banyak sekali turis asing yang sepertinya sengaja datang bersama pasangan untuk pemotretan. Kebanyakan dari Korea malah. Dari keseriusan peralatan dokumentasi yang mereka bawa saya malah kira yang datang itu artis Korea. Eh jangan-jangan beneran artis? Haha!

Hari semakin malam, cuaca semakin dingin dan perut juga lapar. Untuk makan malam ini kami berencana untuk masak saja di apartemen Balint. Jadilah, sebelum pulang kami mampir ke sebuah minimarket untuk membeli beras dan telur. Malam itu, kami menyiapkan nasi goreng khas Indonesia untuk dimakan bersama Balint.

Napak Tilas The Amazing Race di Heroes Square

Di hari pertama tiba di Budapest, saya sudah antusias untuk mampir ke Heroes Square ini. Kebetulan, tiap kali menuju apartemen Balint, bus kami melewati alun-alun yang bernama asli Hősök Tere ini. Namun, saya sengaja menunda mendatanginya di hari pertama karena di hari kedua saya memiliki banyak waktu.

Heroes square dari seberang jalan.

Yeay nampang! bukti udah pernah ke Budapest.

Kami keluar dari apartemen Balint agak siang. Lagi-lagi cuaca dingin bikin mager di atas kasur haha. Dari apartemen Balint, kami dapat bepergian dengan menggunakan tram. Namun, menggunakan bus lebih praktis karena bus berhenti tepat di seberang alun-alun. Dan, hola! Ini Dia alun-alun paling terkenal di Budapest yang menampilkan patung tujuh kepala suku Magyar dan beberapa pimpinan penting lain di Hungaria termasuk juga pimpinan nasionalnya.

Beberapa tahun sebelumnya, saya dan keponakan menyaksikan alun-alun ini di tayangan Amazing Race. Saat itu, peserta diberikan tantangan menebak sosok patung yang ada di sana. Nah, pas banget, saat saya datangi, di Indonesia sudah agak sore. Jadilah saya sengaja melakukan sambungan video ke keponakan. Dan, saat diperlihatkan Heroes Square ini, dia masih ingat dari tayangan yang dia tonton beberapa tahun sebelumnya.

Patung yang dijadikan tantangan di The Amazing Race

Diorama di dinding monumen.

Familar dengan lambangnya kan? 🙂

Patung-patung ini dibuat oleh Zala György dari Lendava. Sekilas nampak biasa tapi ini alun-alun bersejarah yang juga menjadi bagian kota yang dilindungi UNESCO. Tak jauh dari alun-alun berdiri Museum Seni Rupa dan Műcsarnok/Museum Seni Kontemporer.

Jika dilihat dari langit, Hősök Tere tere ini menjadi ujung dari Andrássy Avenue yakni sebuah bulevar yang sudah ada sejak tahun 1872 di mana di sisi kanan dan kiri jalan berdiri rumah bergaya neo-renaisans dengan fasad dan interior yang khas. Sekarang, kawasan ini dikenal sebagai pusat perbelanjaan juga sebagai tempat pertunjukan karena Gedung Opera Negara, museum, gudang arsip hingga Universitas Seni Hungaria berada di sekitaran bulevar ini.

Eh ada Mbak Jihane Almira Chedid-Aktris-Jawa Tengah!

Patung Gabriel yang memegang mahkota dan salib ganda.

Pada bagian utama menara di Hősök Tere nampak patung yang ternyata gambaran sosok malaikat Jibril yang memegang Mahkota Suci Hungaria milik Saint St Stephen beserta salib ganda apostolik di tangannya. Salib ini ganda ini menjadi simbol yang diberikan oleh Paus kepasa St Stephen terhadap upayanya mengkonversi keyakinan masyarakat Hungaria ke agama Katolik.

Pengunjung mulai ramai siang itu. Terlihat ada jalan setapak di belakang bangunan utama alun-alun, setelah menyeberang jalan ternyata ada sebuah kolam kecil dan sebuah kastil di ujung kolam. Ternyata itu Kastil Vajdahunyad yang dibangun pada tahun 1896 hingga 1908 hasil rancangan Ignac Alpar yang bentuknya copy paste dengan kasil yang ada di Transilvania, Rumania.

Kastil Vajdahunyad yang awalnya terbuat dari kayu dan kardus.

Uniknya, kasil ini dibuat dari kardus dan kayu dan ditujukan untuk pameran di tahun 1896. Namun, karena sangat populer maka diputuskan dibangun ulang menggunakan batu bata. Mirip dengan Menara Eiffel yang tadinya hanya untuk sementara, ya.

Puas melihat-lihat, saya dan adik lantas memutuskan untuk berjalan menuju halte tram terdekat dan menuju sebuah masjid untuk salat Jumat.

Pengalaman Salat Jumat di Eropa

Selama hampir sebulan menjelajahi benua biru, artinya ada 4 kali hari Jumat yang saya temui. Pekan pertama, saya masih berada di kota London. Saat itu, kami sedang berada di kawasan Kensington tempat berdirinya beberapa museum terkenal yang ada di London. Sejak awal saya sudah mencari tahu bahwa di sana ada sebuah masjid.

Tram tua di Budapest.

Tipe bangunan di sana. Bersih!

Baca juga: Megahnya Museum-museum di Kota London

Sayangnya, masjidnya kecil sekali. Untungnya, berdasarkan informasi dari petugas, pelaksanaan salat Jumat tetap dilakukan namun menumpang di sebuah aula yang ada di Imperial College London. Aulanya sih besar, ya. Tapi salat Jumatnya bikin repot juga karena untuk mengambil wudhu harus menggunakan wastafel yang ada di toilet.

Jumat minggu kedua, kami skip salat Jumat karena saat itu kami berada di Heidelberg, Jerman dan masjid cukup jauh. Berhubung waktu kami sangat terbatas di Heidelberg, maka kami memutuskan untuk tidak salat Jumat selama berada di Heidelberg.

Bagian dalam tram

Nah di Jumat minggu ketiga kami berada di Budapest. Setelah googling kami sepakat untuk mendatangi Budapest Mosque yang berada di kawasan Fehervari. Ini di tengah kota dan menjangkaunya cukup mudah hanya dengan menggunakan tram. Uniknya lagi, tram yang kami naiki ini tergolong trem tua namun masih terawat dengan baik.

Begitu tiba di masjid, kami disambut hangat oleh pengurusnya. Secara bangunan, cukup besar. Tapi jelas bangunan ini tidak dibangun untuk tujuan masjid pada awalnya. Ntah dulunya bangunan apa, bisa jadi perkantoran mengingat di lantai bawah terdapat banyak sekat seperti ruang kerja. Nah, di lantai 2 lah salat Jumat digelar.

Untuk mengambil wudhu ada ruangan khusus. Airnya bahkan hangat sehingga nyaman sekali. Oh ya, sebagaimana yang saya tulis sebelumnya bahwa Hungaria sempat berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah, maka tak heran Islam cukup berkembang di Hungaria. Terhitung ada 40 ribu orang beragama Islam yang tinggal di seantero Hungaria.

Masjid Budapest ini cukup besar dan yang saya baca dapat menampung hingga 500 orang. Saat itu yang datang juga cukup ramai dan dari wajah sih dinominasi oleh orang timur tengah. Sebagian lagi Asia dan kaukasian khas Eropa. Untungnya, khotbah Jumat disampaikan dalam bahasa Inggris sehingga saya masih dapat paham isinya.

Nah ini dia Masjid Budapestnya.

Cukup besar, kan! ruangan ini penuh sama jamaah salat Jumat

Di Jumat terakhir di Eropa, kami berada di Paris. Niatnya mau salat di masjid agungnya atau di KBRI, namun karena saya mau diajak oleh keluarga Monluis ke Istana Versailles dan demi efisiensi waktu, kami salat di sebuah gedung yang “disulap” jadi masjid. Di Paris lebih ramai lagi dan saking ramainya kami kebagian salat di basement bawah tempat parkir mobil. Walau begitu, salat Jumat tetap terasa demikian menyenangkan karena dilakukan jauh dari tanah air.

Langit Budapest yang Kelabu

Selepas salat Jumat kami mencari makan di sebuah restoran Turki. Hujan turun dengan derasnya. Tak heran, sejak meninggalkan apartemen Balint cuaca memang nampak mendung. Jadilah kami melewatkan sore sambil duduk santai di restoran sembari menunggu hujan reda.

Ada beberapa tempat yang kami niatkan untuk didatangi, misalnya saja Margaret Island atau Pulau Margaret yang berada di tengah-tengah Sungai Danube. Nah loh, mirip lagi kayak Palembang, kan? di mana Palembang memiliki Pulau Kemaro.

Awan gelap di langit Budapest.

Duduk santai melihat aktivitas dari pinggiran Sungai Danube

Jalanan di sepanjang sungai Danube.

Namun, karena cuaca nampaknya kurang mendukung, kami memutuskan kembali ke sekitaran Jembatan Széchenyi saja. Duduk-duduk di pinggiran Sungai Danube sambil menikmati senja yang kelabu. Omong-omong, Jembatan Széchenyi ini sekilas mirip dengan Brooklyn Bridge yang ada di New York. Jadi keinget lagu Kal Ho Naa Ho kan jadinya di mana Shah Rukh Khan berakting di sana. Jadi nyesel kan saya nggak berlagak akting nyanyi di sana hahaha.

Lupa bergaya Shah Rukh Khan di sini hahaha

Széchenyi di malam hari. Cakep!

Menjelang malam kami memutuskan untuk pulang demi quality time lagi bersama Balint. Malam itu, gantian dia yang memasakkan makan malam untuk kami setelah sehari sebelumnya kami suguhkan nasi goreng. Di antara dinginnya udara musim gugur, malam terakhir saya di Hungaria itu dilewatkan dengan penuh kehangatan diantara canda gurau dan denting sendok di piring.

Masih banyak hal yang mau saya lakukan di Budapest. Dengan demikian, artinya saya punya banyak alasan untuk kembali ke kota ini, bukan? 🙂

58 komentar di “Menikmati Kelabu di Langit Budapest

  1. Menarik sama nelayan, diorama, salib ganda juga takjub sama masjid luas dan megah 😍 sedikit tergelitik sama Pulo Kemaro😁 om yg sudah pernah kesana aja pengen balik lgi, nah apalagi yang blm pernah dan makin mupeng sama foto2 dokumentasi kece meskipun katanya langit kelabu, ttp keren ♥️

    Makasih om ya dah berbagi ceritanya… Banyak hal menarik yang bisa ditemui dalam setiap perjalanan♥️

  2. Aih Halászbástya cakep ya difoto pas blue hour, jadi pengen segera ke Yuroopp. Dan aku masih kepikiran kenapa ada nelayan? Dan kenapa nelayan menjadi berperan penting juga? Secara Hungaria negara landlocked alias nggak punya lautan.

    Muslim di sana rata-rata beretnis apa om? Arab arab gitu atau ada yang muka-muka lokal? Kesultanan Ustmaniyah memang warbiyasak menjangkau Yurop. Sekarang sih Yurop juga kebanjiran umat muslim gara-gara kedatangan pengungsi Syiria.

    • Aha itu dia istilahnya: blue hour. Cakep banget memang dan kayaknya ini momen pertamaku ngerasain blue hour deh haha. Soal nelayan, walau gak ada laut, kayaknya lebih mengacu ke sungainya.

      Kebanyakan timur tengah kalau aku liat sekilas. Tapi ada juga penduduk lokal dengan tampang kaukasian yang ikutan solat.

  3. Duuuh eropaaaa :D. Aku trakhir ke Eropa udh 10 THN lalu. Eh tapi bangunan2 di Eropa itu sbnrnya mirip2 dari 1 negara dgn negara lain ya mas. Parlemen building di Budapest ini mirip Ama gedung pemerintah juga yg aku liat di Berlin. Dome nya itu mirip sih.

    Kamu lama juga ya sebulan pas kliling dulu. Ga terasa sih itu :D. Aku juga pengen kalo ntr bisa balik LG ke Eropa,selama itu juga. Ga tau deh cuti Raka mencukupi ato ga wkwkwkwkwkw. … Aku mah udh resign santaaai :D.

    Aku suka Eropa yg msh santai dan murah gini mas. Drpd kayak Swiss, Jerman, Prancis, udh mahal :D.

    • Aku selalu keinget kisah serem mbak Fanny di Turki di buku The Ho[s]tel 2 itu loh hahaha. Btw iya, Budapest relatif murah ketimbang kota di Eropa barat. Walau mesti pake mata uang forint tapi nilainya nggak semencekik euro.

      Semoga mas Raka bisa cuti besar. At least lebih dari 2 minggu biar puas kalau ke Eropa lagi 🙂

  4. bangunan gereja matyas mirip2 kayak logo walt disney ya..apa mereka terinspirasi dr gedung2 di budapest kalau liat gambar2 animasinya, bt saya familiar sama logo cresscent kembang itu…suku magyar.., dan orang Turki menyebut hungaria itu..: Macaristan (dibaca majaristan) saya sempat terheran2 waktu awal tinggal di Turki, ada pertandingan euro cup, Turki vs macaristan..sampai cari peta eropa, negara mana ituuu-.-‘ apa mungkin krn pernah dikuasai ustamniyah jg jd mereka mempertahankan nama yg mereka berikan dari masa ustmaniyah…, kalo dihitung2 traveling ke budhapest lbh murah ya

    • Nah aku juga baru tahu soal Macaristan atau Magyar pas mau nulis ini. Ternyata itu sebutan kuno-nya untuk Hongaria.

      Soal logo walt disney kalau gak salah itu terinspirasi dari Kastil Neuschwanstein yang ada di Jerman.

  5. Kangeeeeeennn! Kangeeeeennn banget sama suasana Budapest. Om, jalan2 di kastilnya malam2 gitu nggak bikin galau? Suasananya romantis banget, kan? Kanan kiri kebanyakan orang gandengan. This place…too many memories! Good and bad.
    Aaahhhh…
    😔

  6. Tram dan kereta bawah tanah Hungaria memang gerbongnya sedikit jadul karena beberapa masih menggunakan gerbong produksi Soviet dulu. Desainnya mungkin terkesan kurang ‘modern’ dan ga ergonomis (karena kebanyakan kotak gitu doang bentuknya), tapi kinerja dan daya tahannya ternyata salah satu yang paling juara. Kalau ga salah metronya Budapest ini yang tertua di Eropa daratan. Kalo UK dihitung, metro ini berarti berada di urutan 2 tertua sesudah London Underground.

    Ngomong-ngomong, ga sempat main ke sisi sungai yang di depan gedung parlemen itu, Mas? Di pinggiran sungainya ada 60an pasang sepatu (seukuran sepatu biasa) yang dibikin dari besi. Jadi semacam memorial buat kematian orang-orang Yahudi yang jadi korban di perang dunia II dulu. Cukup iconic juga hehe.

    • Nggak ke sana. Itu dia yang aku sesalkan. Terlalu banyak mager saat ke Budapest. Cuaca sih mendung tapi mestinya masih bisa jalan sih hiks. Padahal aku punya waktu lumayan juga pas di sana.

      Biarlah, next time balik lagi haha.

  7. Openingnya menarik, galerinya mindblowing. Saya tiba2 jadi membayangkan apa jadinya ya jika saya yang dari pekalongan ke Jakarta dengan 5 jam perjalanan kereta bisa ganti negara hahaha.

    Restoran Turki menjadi pilihan kalau mau nyari makakan halal ya, mas. Disana berarti terhitung enggak kerepotan kan ya buat nyari masjid. Btw, tram kuningnya keren! Bridge nya eropa itu keren-keren ya. Széchenyi di mata saya tampak mirip2 London bridge.

    ngomong2, perihal dunia couchsurfing, traveling bersama komunitas CS setelah pandemi ini kayanya bakal berubah pasti ya mas? kalau ada opini di share ya.

    • Haha aku aja mau ke kabupaten sebelah bisa 2 jam lebih perjalanan. Di Eropa udah bisa pindah negara wakakak.

      Pengalamanku di Budapest sih nggak susah cari masjid. Malah masjidnya keren. Soal CS, sekarang pun udah berubah. Orang akan sulit mendapatkan host karena prinsip kehati-hatian, namun tetep aja ada yang “berbaik hati” menampung para pejalan kok 🙂

  8. Kalau diinget-inget ada banyak ya kota di Asia dan Eropa yang dibelah satu sungai besar. Tapi memang yang membuat Budapest ini semakin mirip dengan Palembang adalah Pulau Margaret-nya.

    Jangan-jangan beneran artis, mas! Secara di Korea memang ada banyak reality show. Tapi somehow orang-orang yang dapat kesempatan ketemu mereka justru orang-orang non-Kpopers hahaha.

    Pemandangan Gedung Parlemen di sisi Sungai Danube saat malam memang cakep!

  9. Nuansa romantisnya berasa banget Om. Lantaran penjelasannya komplet plus foto-fotonya juga baguus dan banyak, jadi kayak ikutan ke sana. Hehehe…

  10. Wah meski awannya di atas kota Budapest kelabu karena cuaca kurang mendukung tetapi teteup asyik yaa Mas Haryadi menikmati suasana malam di kota tercantik di Eropa ini. Wuihhh jadi mupengg, jelong2 ke sana juga yes. Tfs Omnduut

  11. Dan kuterpana dengan Budapest yang mirip Palembang. Sudah pernah ke Palembang berarti boleh dong mimpi ke Budapest hehe.
    Ku senang saat tahu harga-harga relatif murah meski ATM banyak yang ambyar. Tapi ternyata pakai HUF ya mata uangnya..jadi mesti nuker lagi dong ya.
    Kalau soal kemiripan kota, rerata khas Eropa ya.. kayak jembatannya itu mirip Tower Bridge-nya Inggris. Keren Mas Yayan dan menikmati langit kelabu di Budapest!!

    • Haha iya drama pas nyari mesin ATMnya. Dan jadinya mesti perkirakan dengan tepat mau tukar berapa soalnya kalau berlebih gak bisa dipakai lagi di negara lain. 🙂

  12. Aduh… Budapest… Dari dulu mupeng banget pengen kesini, tapi belum terwujud. Saya suka banget dengan bangunan-bangunan di Eropa, selalu ada sisi historis dan romantis 🙂

  13. Ya ampun Yaaaaann. Baca ini jadi pengen balik lagi ke Budapest. MashaAllah. Begitu banyak kenangan di kota ini, meskipun waktu itu jadwal padat merayap karena pameran, tapi keindahan Budapest selalu mengesankan di sela-sela waktu yang terbatas.

    • Aku selalu keinget ucapan ayuk soal kota ini jauuuh sebelum aku ado bayangan bakalan ke sano haha. Dan pas ke sano tuh aku jadi keinget ayuk terus terang. “Pasti ini view yang diliat yuk Annie,” pikir aku 🙂

  14. Seneng banget aku bacanya… Berasa diajak jalan2 virtual! Pas banget bacanya pas malam, jadi makin takjub sama foto2 pas malam . Cantik banget ketangkep di lensa. Siap jadi referesi jalan2 . Berikut semua komen2nya

  15. Bagus-bagus banget ya bangunannya, apalagi saat malam hari.

    Iya ya, kalau di Eropa tuh dengan perjalanan darat beberapa jam aja udah ganti masuk wilayah negara lain, alias udah ada di luar negeri.

    • Haha iya, tapi ntah dengan privelege kayak gitu mereka jadi doyan travel atau nggak. Tapi rasanya ada aja orang-orang yang tetap malas ke mana-mana 🙂

  16. Cerita tentang sholat Jumat itu sangat berkesan.
    Memang lain ya rasanya kalau sholat di tempat yang kita kaum minoritas.

    Aku pernah rasakan saat di Ubud Bali beberapa waktu lalu.
    Mendengar suara azan saja tidak pernah.

    • Iya bener Mbak Ros. Memang sesekali perlu ya menjadi minoritas 🙂 biar tahu rasanya kecil di tempat lain. Kadang selalu ngerasa besar itu “mengerikan”

  17. Baca cerita perjalanan di Eropa selalu bikin takjub. Gimana itu rasanya ya perjalanan kereta atau perjalanan darat yang cuma 2-5 jam tapi udah ganti negara. Aku ke kampung halaman nenek aja, masih se-provinsi, 5 jam. Gak kerasa ya kayaknya jalan-jalan di sana. Mata dimanjakan dengan pemandangan bangunan-bangunan keren nan romantis. Huhu kepengen deh suatu saat main ke Eropa 😅

    • Haha bener. Mau ke rumah sodara yang beda kabupaten aja bisa berjam-jam. Eh di sana jalan sedikit udah pindah negara. Amin, insyaAllah akan ada rezekinya mbak. Yakin!

  18. Wah, kalau ke Budapest kayaknya saya bakal duduk di pinggir Sunga Danube terus muter The Blue Danube-nya Johann Strauss deh, Om. 😀

    Btw, baru tahun kemarin saya tahu kalau ternyata pelafalan Budapest itu “budapesy,” “st” itu ternyata bacanya kayak huruf syin dalam alfabet Arab. 😀

  19. Pantas Budapest sering dijadikan latar tempat untuk film ya,, kotanya cantik dan romantis. Banyak bangunan-bangunan nyeni yang menarik.
    Dari sekian banyak foto cakep di artikel ini, aku paling suka dengan foto tram warna kuning. Meski ditulis ini tram tua, tapi tramnya cakep dan stylish.

Jika ada yang perlu ditanyakan lebih lanjut, silakan berkomentar di bawah ini.