
.
Butuh empat jam perjalanan dari pusat kota Labuan Bajo untuk mencapai Desa Todo yang ada di Kabupaten Manggarai, Labuan Bajo ini. Selama perjalanan melintasi jalan yang berkelok, setidaknya 1 botol air mineral, sebiji antimo, satu kotak nasi padang, 10 ciki dan 25 biji pempek saya konsumsi. Lapar apa kesurupan, bang? Auk, hehehe.
“Emang ada apa sih di Desa Todo?”
Yaelah, ya ada rumah kerucut. Gak baca judul tulisan ini apa? –langsung sungkem, becandaaa. Ya, tujuan saya dan rombongan dari Pegipegi, Kompas.com dan Kompasiana memang khusus ke Desa Todo untuk melihat langsung Niang atau rumah kerucut khas Labuan Bajo.
Tadinya, saya pikir rumah yang bentuknya kayak topi ulang tahun itu cuma ada di Wae Rebo, loh. Berhubung akses ke Wae Rebo lebih lama, lebih menantang dan lebih bikin ngap-ngapan, jadilah tim memutuskan untuk ke Desa Tobo saja.
Faktanya, di Desa Tobo inilah cikal bakal rumah kerucut berasal. Bisa dibilang, Niang yang ada di Todo ini usianya jauh lebih tua ketimbang rumah kerucut yang ada di Wae Rebo. Hal ini terkait juga dengan sejarahnya di mana Todo adalah desa adat pertama dari kerajaan Manggarai yang ada di Nusa Tenggara Timur. Wuih, kece, ya!
Secuil Cerita Tentang Desa Todo
Saat berada di sana, kami disambut oleh Bapak Titus Jegadut, orang yang dituakan dan termasuk penanggung jawab desa tersebut. Menurut beliau, Desa Todo ini dulunya merupakan sentral istana Kerajaan Manggarai. Makanya awal mula kebudayaannya ya berasal dari sini. Misalnya saja rumah adatnya, tariannya (Tari Caci) hingga berbagai mitos dan pengembangan kearifan lokal masyarakat di sana.

Niang yang ada di Todo
Niang yang ada di Todo ini juga terbentuk dari proses sejarah yang panjang, yakni atas kisah 3 raja dari Todo, Bima (Sumbawa) dan Goa. Niang sendiri artinya ‘perubahan’. Bisa jadi perubahan besar karena masyarakat di sana meyakini bahwa leluhur mereka dulunya berasal dari Suku Minangkabau. Nah, sebelum Niang ada, dulunya rumah panggung ala Minangkabau-lah yang ada di sana.
Misteri Gendang yang Terbuat dari Kulit Manusia
Oh ya, untuk menyusuri Niang yang ada di Todo, saya dan rombongan diwajibkan untuk mengenakan kain dan topi tradisional. Kainnya cakep, dan andai saja kalau saya mengenakan baju atasan yang lebih cocok, mungkin saya gantengnya udah kayak raja-raja Manggarai zaman dulu haha.

Saya dan dua rekan memakai kain dan penutup kepala. Foto oleh Luthfi, tim dokumentasi dari Kompas.com
Ada 5 Niang di Todo. Di salah satu Niang, diyakini tersimpan sebuah gendang yang terbuat dari kulit manusia. Ew, terus terang, membayangkannya saja saya ngeri. Apalagi saat saya tahu kulit tersebut diambil dari tubuh seorang putri cantik yang diyakini punya kesaktian.
Jadi, dulu ada wanita cantik yang hidup di sekitaran Manggarai. Saya nggak tahu secantik apa, mungkin kayak Jennifer Lawrence, hehe. Perempuan yang masih keturunan India dan Bima dan kabur dari Bima karena bentrok adat India yang saat itu menentang lahirnya (anak) perempuan. Sehingga keberadaannya terancam untuk dibunuh.
Kabur dari Bima tak serta merta menjadikan ia selamat. Ia diperebutkan oleh tiga raja hingga terjadi konflik dan banyak jatuh korban jiwa. Lalu, dibuatlah satu kesepakatan diantara ketiganya. Yakni barangsiapa yang dapat menangkap dan menikahi wanita itu, ialah yang berhak jadi Raja Manggarai.

Ridha memakai atasan kain Jumputan khas Palembang.

Luthfi yang fotonya saya “culik” kini jadi sasaran candid saya.

Yuk dibeli kainnya.
Ialah Raja Todo yang berhasil menangkap perempuan itu. Namun, alih-alih dinikahi, demi menyudahi konflik, Raja Todo memutuskan untuk membunuh wanita sakti itu dengan cara tertentu. Saat kedua raja lain tahu bahwa wanita incarannya sudah mati, sejak itu pula Raja Todo memproklamirkan diri sebagai Raja Manggarai dan mempersatukan mereka.
Tubuh wanita itu disimpan di Ndoso, namun sebagian kulitnya diambil dan dibuat gendang sebagai simbol pemersatu. Menurut Bapak Titus, di tahun 1989, ada seorang peneliti dari Polandia meminta sedikit kulit gendang itu untuk diteliti. Dari hasil penelitian, diyakini itu memang benar kulit manusia.
Sayang saat itu saya dan rombongan tidak masuk ke dalam Niang dan melihat langsung gendang tersebut. Bapak Titus meminta biaya sebesar Rp.150.000/orang jika ada yang mau melihat. Dengan berbagai pertimbangan, tim memutuskan untuk tidak masuk untuk melihat gendang tersebut. Di sisi lain, kami juga diburu waktu dan harus pindah ke desa lainnya.
Beda Niang di Todo dan Wae Rebo
Secara bentuk dan fungsi, Niang di Todo dan Wae Rebo sama saja. Bedanya di penyebutan. Di Wae Rebo, mereka menyebutnya Mbaru Gendang, sedangkan di Todo disebut Mbaru Niang. Sebagaimana yang terlihat, keunikan rumah ini ialah dari atapnya yang hampir menyentuh tanah.

Ada parabola loh hwhw

Ukiran yang ada di pintu Niang utama. Gendang disimpan di dalam sini.

Atap Niang
Atap Niang disusun menggunakan daun lontar, mirip rumah adat Honai di Papua. Struktur Niang ini cukup tinggi dan ditopang oleh kayu worok dan bambu. Uniknya lagi, mereka membangun Niang tanpa menggunakan paku, tapi hanya menggunakan tali rotan yang mengikat keseluruhan konstruksi bangunan.
Ada lima tingkatan di Niang, tingkat pertama disebut lutur dan digunakan sebagai tempat berkumpul keluarga. Tingkat kedua disebut lobo atau loteng. Fungsinya untuk menyimpan bahan makanan. Tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih pangan seperti jagung, padi dan kacang-kacangan. Tingkay keempat disebut lempa rae, khusus menyimpan stok pangan apabila terjadi kekeringan dan tingkat terakhir disebut hekang kode yang digunakan untuk menyimpan sesajian persembahan kepada leluhur.
Dari luar Niang nampak kecil, tapi hebatnya satu niang dapat dihuni antata 6 hingga 8 keluarga, loh! Waduh, gimana pas mau ena-ena, ya? Wakakak. Oh ya, bagi yang penasaran pingin lihat bagian dalam Niang, bisa mampir ke blognya Mbak Indri ya. Klik di sini.

Penduduk Desa Todo

Anak kecil di Todo

Memperhatikan kami
Saat ke sana, saya sempat melihat aktifitas penghuni rumah. Mamak-mamak di sana sebagian besar berprofesi sebagai pengrajin. Ada sebuah gubuk kecil di Niang utama tempat mereka memamerkan dan menjajakan hasil tenunan mereka. Harganya juga bervariasi, nggak terlalu mahal. Sayangnya saat itu saya memutuskan untuk tidak membeli. Keputusan yang saya sesali begitu meninggalkan Todo.
Niang ini sungguh indah, namun jika mau difoto, ya harus dipikirkan sudut khusus soalnya ada beberapa bangunan lain yang berada dekat dengan Niang dan menurut saya cukup merusak pemandangan. Jika untuk wisata, inilah yang jadi titik kelemahannya. Andai rumah-rumah warga lain dibangun agak jauh, pasti Desa Todo ini cakep banget.

Salah satu foto favorit saya

Makam keramat ditengah area Niang

Ini pemandangan jika dilihat dari Niang.
Harusnya, ketika memakai kain adat manggarai, bajunya dilepas seperti para penari Caci biar kelihatan gagah.
Btw, Mbak Ridha-nya cantik *salah fokus*
Harusnya sebelum ke Todo rajin ngegym biar badan kotak-kotak dan bagus difoto. Kalau aku yang telanjang dada, yang ada orang pada jijik hahahaha
habis orang2 baca postingan ini, pasti pada pengen ke Todo hehehe… aku kok lebih suka atomsfer di todo yah, lebih sepi dr wae rebo 😉
Gak bisa bandingin karena belum ke Wae Rebo, tapi saat kami ke sana, cuma ada rombongan kami. Gak ada rombongan turis lain satupun 😀
pas denger gendangnya dr kulit manusia, wanita pula, uwaaahhhh lgs pgn banget ksana :D. mahal sih yaaa.. tpi kapan lg melihatnya :D. penasarn banget, sumpah mas. kapan2 hrs banget sih aku ksana…
akupun heran itu, ada banyak keluarga dlm 1 atap, apa ga sumpek banget.. tp udh terbiasa juga kali yaaa..
Aku sebetulnya mau liat juga, tapi saat itu emang gak memungkinkan haha, padahal udah di sana ya.
Iya, bakalan sumpek banget ngebayanginnya hwhw
Woah, Kerajaan Manggarai sejarah yang menarik. Btw, masyarakat sana hidup dari apa ya? Misalnya bertani, berkebun atau beternak?
Mayoritas menjadi nelayan dan pedagang Tom. Menarik emang, sebelum ke sana aku gak pernah tahu ada yang namanya Manggarai.
waahhh jadi lebih dekat ya dibanding Wae Rebo kalo dari Labuan Bajo, pengen ke sanaaa tapi kudu cuti yang panjang sekalian overland Flores *nasib babu korporat*
Saat menuju Desa Todo, aku sempat liat papan jalan yang kasih arah ke Wae Rebo. Kami melewati jalanan utamanya, tapi memang dari jalanan utama itu Wae Rebo masih jauh banget.
Tulisan tentang tempat ini tak sebanyak Wae Rebo. Menarik ini untuk diulas, apakah memang kurang ada yang tahu atau ada hal-hal yang lainnya.
Kayaknya memang kalah pamor dengan Wae Rebo, Nas. 🙂
Baru dari Yayan inilah aku tau desa Todo hehehe…
Aku pun baru tahu pas mau diajakin ke NTT 🙂
NTT nih banyak desa adat yah …. itu gendang kulit manusia boleh difoto gak? kalo boleh, 1 orang aja yg masuk, entar yg lain cukup liat dr foto hehehe *traveler irit*
Banyak Pak. Ntar aku akan ulas tentang Desa Melo. Yang gendang itu boleh difoto. Tim memutuskan untuk gak masuk karena, jujur, lagat si bapak itu terlalu mengkomersilkan segala sesuatu. Ibaratnya kita udah illfeel hehehe.
Mengerikan gendangnya terbuat dari kulit manusia.
Iya serem 🙂
Ebuset! Nggak engap apa makan 10 chiki sama 25 pempek? 😀
Baru tau nih rumah yang ada di Wae Rebo ternyata ada juga di tempat lain. Nama bapaknya unik banget, Jegadut. Btw Ridha cantik ya hihihi
Haha aslinya cuma minum sebotol air dan makan antimo doang Nug. Perut cuma diisi sarapan hotel. Tapi panitia baik, kasih camilan hwhw. Ridha emang cantik, dia penyelamat kami dalam sesi bikin video hwhw
Aku sendiri sudah pernah ke Wae Rebo dan melihat foto, rupanya memang mirip. Suku-suku di Indonesia, atau bahkan di belahan bumi lainnya. Rata-rata emang suka bikin rumah yang dibuat tidur ramai-ramai. Tentunya cowok dan cewek dipisahkan. Untuk ena-ena disediakan tempat khusus. Dibilang sesak mungkin bagi kita yang terbiasa punya kamar ya sesak karena nggak ada privasi ahaha. Dan jaket kesayanganku dong ketinggalan di Wae Rebo.
Btw aku penasaran sama mbak-mbak keturunan India yang sakti tapi mau dibunuh. Agak bingung aku mencernanya. Klo mau dibunuh lantaran kelahiran perempuan, nah dia ini lagi hamil atau dia yang mau dibunuh? Klo dia mau dibunuh kenapa nggak dari kecil saja. Ah mumet hahaha.
Btw lagi banyak typonya deh omnduuuuuuuutttt 😦
Oh, jadi ada rumah atau bilik cintanya ya haha. Kalau lagi pada mau bercintaan mesti dibuat jadwal kali ya. Yang jelas susah untuk lanjut ke ronde selanjutnya hwhwhw.
Soal mbak India, mungkin kisahnya kayak Musa haha, yang pas kecil selamat. hehe.
Typo ntar dicek lagi, perasaan udah gak ada ^^
penasaran isi dalam niangnya ga kefoto ya..sbg WNİ yang msh parah nilai sejarahnya-taunya st. manggarai jkt-.-‘ tapi ga begitu mengenal cerita ttg kerajaan2 di daerah timur indonesia termasuk manggarai ini, ah menarik jd bacanya
Iya, gak sempat masuk hehe. Bisa mampir ke sini mbak untuk liat bagian dalamnya. https://tindaktandukarsitek.com/2019/04/22/kampung-todo-pusat-kerajaan-yang-menyepi
Ping balik: Berani Dikejar Komodo di Pulau Rinca? | Omnduut
Ping balik: Sukses Mengelabui Ketua Adat Kampung Melo | Omnduut