
.
Saat berkunjung ke Solo beberapa waktu lalu, saya dan rombongan berkesempatan mendatangi banyak sekali tempat yang menarik. Salah satunya yang sudah saya tulis sebelum ini ialah Keraton Surakarta. Selebihnya, tempat wisata di Solo kebanyakan seputar bangunan tua, pusat budaya, museum dan wisata kuliner. Untuk wisata alam sih bisa juga, tapi harus melipir dikit ke pinggiran kota.
Nah, di Solo, siapa sangka ternyata ada objek wisata yang terkait dengan moda transportasi. Lebih tepatnya lagi transportasi sepur aka kereta. Istimewanya, kereta yang dipakai untuk kepentingan pariwisata ini adalah kereta uap yang sudah berusia 122 tahun! Seperti apa sih pengalaman menaiki kereta uap itu? Simak terus, ya!
Sekilas Mengenai Sepur Kluthuk Jaladara
Saya pribadi sudah tahu tentang keberadaan kereta ini sejak lama. Lupa lihat di mana, kalau tidak salah si di televisi. Saat mendapatkan undangan ke Solo dan begitu melihat di itinerarynya ada waktu khusus untuk menikmati serunya berkendara dengan kereta uap, saya langsung antusias. Saya berani jamin, teman-teman lain pun begitu.
Sepur Kluthuk Jaladara sendiri merupakan rangkaian lokomotif uap kuno, di mana, kereta seri 1218 yang kami naiki itu dibuat di Maschinenbau Chemitz, Jerman pada tahun 1896. Kereta uap ini memiliki dua gerbong (CR16 dan TR 144) yang dibuat pada tahun 1906 dengan bahan baku jati. Tak heran, walau sudah berusia ratusan tahun, secara fisik kereta –beserta gerbongnya itu, masih nampak kokoh.

Jaladara melintasi jalan Slamer Riyadi
“Trus jalan ke mana sih jika naik Jaladara ini?”
Bayangan saya sebelumnya, kami semua akan diajak ke satu tempat di pinggiran kota. Namun, betapa kaget dan kagumnya saja saat tahu kereta ini berjalan melalui rel-rel heritage yang melintasi kota Solo! Wow! Jadi, saat kami menaiki kereta, kami dengan mudah berjalan bersisian dengan masyarakat lain yang mengendarai motor, mobil ataupun sepeda.

Sebelum naik, beli tiket dulu

Terima kasih tongsis *buat yang negerti aja hehe
Perjalanan ini sendiri dimulai dari Stasiun Purwosari. Ternyata, stasiun ini juga punya nilai sejarahnya karena menempati bangunan peninggalan Mangkunegara IV. Perjalanan keretanya sendiri akan menempuk jarak 5,6 km, melewati rel yang dulunya merupakan jalan kereta kencana raja yang dulunya ditarik menggunakan kuda. Perjalanan ini dimulai dengan menyusuri perkampungan Purwosari hingga kemudian membelah Jalan Slamet Riyadi melalui rel bengkong/rel yang menikung.
Mampir di Loji Gandrung
Namanya juga kereta uap, jalannya pelan nggak secepat shinkansen tentu –lah iyalah hwhw. Sepur Jaladara ini menurut saya konsepnya juga gak beda jauh dengan bus hop-on hop-off yang banyak dimiliki oleh kota-kota besar di dunia untuk mengakomodir kebutuhan wisatawan.
Kenapa?
Soalnya kereta ini akan berhenti di beberapa titik, diantaranya Lojo Gandrung, Taman Sriwedari hingga Kampung Batik Kauman. Sayang, karena keterbatasan waktu, kami hanya mampir ke Loji Gandrung saja saat itu.

Rumah dinas walikota. Pak Jokowi dulu tinggalnya di sini.
Loji Gandrung sendiri merupakan bangunan kuno yang kini difungsikan sebagai rumah dinas walikota yang konon dibangun oleh Jensen, seorang tentara kompeni yang menjadi raja kopi di Jawa. Inilah rumah dinas walikota yang dulu ditempati oleh Pak Jokowi.
“Rumah dinas walikota ini senantiasa terbuka untuk warga,” ujar bune Niken, teman yang saya kenal lama sejak zaman “ngelapak” di multiply dulu. “Setiap Minggu pagi, karena ini jalurnya CFD, banyak masyarakat yang numpang istirahat di sekitaran Logi Gandrung ini,” lanjut Bune.
Benar saja, karena letak Logi Gandrung ini dekat dengan hotel, saya pribadi beberapa kali melihat langsung masyarakat yang duduk santai di sekitaran pagar, taman dan bahkan teras rumah dinas walikota ini. Di kesempatan lain, saya dan rombongan bahkan diajak untuk melihat bagian dalamnya. Termasuk kamar utama yang dulunya sering dipakai Presiden Soekarno jika bermalam ke Solo. Di kamar ini pula terdapat sebuah foto besar beliau yang konon bisa melirik sendiri matanya, hiy hahaha.

Nesyya tengah difoto Pak Hadi, walikota Solo. Ini dia kamar yang dulu diinapi Ir.Soekarno.

Bagian belakang Loji Gandrung
Di bagian belakang, terdapat sebuah bangunan mirip joglo namun berukuran besar. Suasana sejuk terasa karena ada pepohonan dan burung-burung yang berdiam di sangkar dan ribut berkicau satu sama lain.
Bangunan seluas 3.500 meter persegi yang berdiri di atas lahan 6.295 meter persegi ini memiliki gata Indis. Kata “Indis” sendiri bermula dari Nederlandsch Indie yang berarti Hindia Belanda. Jadi, terang saja bangunan ini merupakan perpaduan budaya Eropa (Belanda) dan lokal (Jawa). Unik dan terasa homey sih memang bangunan ini. Kecuali kamar utamanya itu ya hahaha.
Seru-seruan di Atas Sepur
Saat kami menjajal sepur uap, kami disuguhi dengan pertunjukan nyanyian dalam bahasa Jawa lengkap dengan alat musiknya. Selama perjalanan, kami juga disuguhi dengan jamu kencur yang rasanya nikmat. Haha, saya sih suka jamu, namun ternyata beberapa teman lain dari luar negeri merasa agak aneh dengan rasanya.

Naik kereta sambil menikmati penampilan penyanyi tradisional
“Lalu, berapa sih biaya yang dibutuhkan untuk menaiki kereta uap ini?”
Pasti pada penasaran, ya! Nah, untuk sekali jalan pulang pergi, biaya yang dibutuhkan ialah Rp.3.250.000. Mahal ya? Nggak juga, karena biaya itu untuk perjalanan 72 orang. Harga segitu juga wajar mengingat kereta ini butuh kayu jati untuk bahan bakunya.

Ini dia bahan baku keretanya
Aaaaaaaa . . . . kapan Saya bisa jalan2 😢
Haha jalan-jalan kan gak mesti jauh. Explore Jambi lagi, jom! 🙂
Maunya sih gtu Om . . . sudah dalam rencana.. Hanya saja belum terealisasi karena satu dan lain hal 😂 . . .
Semoga bisa explore lagi dalam waktu dekat ya. Kalau ke Palembang kabari aja. Tak ajakin makan pempek di pinggir sungai Musi nanti hehe
Wah seru tuh . . .
Saya pengen bnget kunjungi lagi jaka baring 😁.. Pasti sekarang makin kece . . .
Ya, Jakabaring makin kece. Deket rumah tuh haha
Hahaha, tongsis nya buat nutupin perut ya.
Wakakakak bener banget
Kalo aku jelas pengen bangeeettt naikin Jaladaraaaa.
Sama satu lagi, kereta yang di Ambarawa ituu.
Sayangnya mereka berdua nggak bisa kalo bukan pesen rombongan. 😀
Iya, yang di Ambarawa setahuku sama/mirip keretanya. Bener, kalo sendirian lumayan ya haha. Kalau rombongan bisa patungan.
Kudu rombongan ya..pernah liat tp blm pernah naik…kereta tua gitu cocok buat tema2 prewedding gitu ya..*jd inget cerita umrah lg hehe
Kalau grup kecil juga bisa 🙂 tapi hitungannya jadi mahal. Paling asyik emang rombonga mbak.
Buahahaha, kata “tua” jadi semacam icon 😀
Sayangnya engga jalan reguler. Harus sewa khusus atau kalau tidak ya pas ada event2 begini hehe.
Di ambarawa juga yg jalan reguler ditarik loko diesel tua dan gerbong kayu seperti ini cukup 50K. Kalo loko uapnya jg harus sewa khusus. Karena harganya yg mahal :3
Iya. Mestinya ada waktu2 khusus yang pendanaannya dapat subsidi dari pemerintah. Ibaratnya ada atau tidak ada orang tetap jalan. Tapi ya sulit sih ya.
mantap nih, btw sepur dlm bahasa jawa kereta api kan ya, klo ga salah serapan bahasa belanda. sy baru tahu beberapa waktu lalu dr guide yg org jawa
Di Palembang kami juga nyebutnya sepur 🙂 tapi gak heran karena bahasa Palembang asli banyak pengaruh dari jawanya.
Harus jati ya om kayunya? Ya wajar mahal sih jadinya
Katanya kalau pakai kayu lain bisa, tapi jati lebih awet mas.
Btw, kenapa aku gak bisa komen di blognya ya? 😦 udah ngetik panjang eh error.
Sebagai penggemar jamu, aku pasti jingkrak-jingkrakan kalau disuguhi jamu di atas Kluthuk Jaladara. Seru kali naikkereta api kuno dan minum jamu. Komposisi sempurna traveling di Solo 🙂
Haha temen-temen dari Malaysia gak suka dengan jamu kencurnya mbak. Mungkin karena aku sejak kecil biasa minum itu, jadinya enak-enak aja 🙂
ngiri…. wkwkwkwkw
Kok ngiri?
ngiri konotasi positif, maksudnyo pengen cak Yayan naik sepur kluthuk hehehe ^^v
Aku penasaran sama foto soekarno yang katanya bisa melirik sendiri itu om.. hhehe
Ada sih aku. Gak aku tampilin karena fotonya jelek aja hehe.
Tampilin aja om.. mana tau ada yang ga bisa tidur abis liat fotonya.. 😂
Asli baru tahu kalau sepur gini masih eksis.
Luar biasa yang punya ide ini ya.
Idem sama Bang Harlen, kepo sama foto yang bisa melirik sendiri itu.
Haha, fotonya biasa aja sih Kak Ros. Tapi kalo diliat malem hari ngeri emang hwhw
Sekalian ke jogja om… Keren ya kereta uapnya jadi wahan wisata. Kreatif untuk menarik wisatawan!
udah pernah ke Yogya, dan akan ke sana lagi nanti 🙂
Ping balik: Salah Tingkah di Candi Sukuh | Omnduut
Wah ternyata masih bisa jalan ya kereta tua Jaladara itu.
Bisa mas 🙂
saya jadi pengen coba KA Jaladara nih Mas
Ayo cobain mas Adi. Kalau mau cobain LRT Palembang juga boleh *tetep usaha merayu biar ke Palembang hahaha
hahaha.. sudah sampai mana nih Mas pengembaraannya
Udah balik ke kota pempek lagi mas Adi, hayo ditunggu main ke Palembang.
Awww..mahal sekali bo’. Beneran nih kalau mau naik sepur kluthuk ini mesti berombongan. *langsung ngitung siapa aja teman yang mau diajakin naik sepur bareng-bareng*
Iya bener haha. Karena kayu untuk bahan bakarnya aja udah mahal. Tapi pengalamannya sepadan asal… rame-rame hehehe
Ping balik: Merindu Kulu-kilir di Kota Solo | Omnduut