Masih teringat jelas perjalanan seru saya ke Yogyakarta akhir tahun lalu, dimana, pada saat itu, saya berkesempatan berkunjung ke beberapa tempat menarik, termasuklah Keraton Yogyakarta. Mungkin karena pesona Tanah Jawa yang kian memikat, takkala datang kembali satu kesempatan untuk berkunjung ke Solo, saya tak mampu menolaknya.
Pertama, jelas karena saya belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke kota asal Presiden Jokowi ini. Kedua, rencana perjalanan ke Solo sebetulnya sudah terpatri sejak kunjungan di Yogyakarta, namun karena waktu yang terbatas, alhasil keinginan itu harus ditunda dulu. Dan benar saja, Tuhan selalu memberikan segala sesuatunya di saat yang tepat. Buktinya, saya dapat berkunjung ke Solo dengan bonus melakukan perjalanan bersama teman-teman yang asyik.
Ada banyak sekali tempat yang saya kunjungi dalam kurun waktu 3 hari di Solo. Namun, khusus tulisan ini, saya akan bercerita mengenai Keraton Surakarta Hadiningrat dulu, salah satu tempat yang sudah jadi incaran saya sejak lama.
Secuil Kisah Keraton Surakarta
Inilah istana resmi Kasunanan Surakarta yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak poranda akibat peristiwa Geger Pecinan atau Tragedi Angke yang terjadi pada tahun 1743.

Bagian depan Kori Kamandungan Lor

Pintu tua bercat biru di sekitaran Kori Kamandungan Lor
Istana yang bernama resmi Karaton Surakarta Hadiningrat ini telah resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia saat Indonesia mereka dan tetap berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istana yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini.
Komplek Keraton Surakarta ini sebetulnya cukup besar. Namun, karena keterbatasan waktu, pada saat itu kami hanya mendatangi beberapa bangunan saja, diantaranya Kori Kamandungan Lor yang dijaga oleh pasukan keraton yang berpakaian tradisional lengkap.
Dapat dibilang, inilah “abdi dalem”nya Keraton Surakarta. Jika abdi dalem di Keraton Yogyakarta berpakaian khas Jawa dengan mengenakan blangkon, pasukan yang menjaga Kori Kamandungan Lor ini menggunakan pakaian seolah tentara dengan topi khusus yang mirip seperti topi dari timur tengah.

Para abdi dalem keraton setia menjaga keamanan sekitar

Ubin/keramik di dinding bawah Kori Kamandungan Lor. Cakep, ya!

Topinya unik ya.
Dari obrolan yang kami lakukan, penjagaan ini dilakukan bergantian tiap 30 menit sekali. Ya, kasihan juga kalau mesti berdiri lama, toh. Apalagi, penjaganya rata-rata berusia lanjut. Untungnya, mereka sangat ramah dan mau diajak foto, walaupun, pemandu kami menyarankan untuk memberikan “salam tempel” sebagai pemasukan tambahan bagi mereka.
Ada sebuah gerbang besar berwarna putih di sisi kiri Kori Kamandungan Lor ini. Gerbang yang merupakan pintu masuk utama dari arah utara ini disebut Kori Branjanala atau juga Kori Gapit. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri yakni kompleks dalam istana yang dilindungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti.

Ini dia Kori Gapit-nya. Sayang banyak kendaraan lewat.

Gerbang yang berhadapan dengan Kori Kamandungan Lor.
Gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwana III dengan gaya Semar Tinandu ini masih digunakan warga. Terus terang jadinya kurang terasa nyaman dengan banyaknya mobil dan motor yang berlalu lalang. Walau begitu, keindahan Semar Tinandu, gerbang yang dibangun dengan atap trapesium, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding pemisah ini tetap berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah kota Solo.
Bertandang ke Museum Keraton
Puas berfoto bersama pasukan penjaga, kami bergerak menuju sebuah jalan kecil yang berada di sisi kanan keraton. Konon, di area inilah terdapat los-los yang digunakan sebagai tempat parkir kereta dan kendaraan yang akan dipakai oleh Sri Sunan.
Saat saya dan rombongan lewat ke sana, ada beberapa kereta kuda yang terparkir di sana. Namun, itu adalah kereta kuda wisata yang dapat digunakan wisatawan untuk berkeliling ke sekitaran area keraton. Nampak juga beberapa pedagang yang menggelar lapak di jalan. Barang yang dijual pun seragam. Rata-rata, mereka menjual seruling, hiasan dinding/langit-langit ruangan dan juga pajangan.

Kereta kuda wisata 🙂

Souvenir ini dibuat dari serat kayu wangi.

Pintu masuk museumnya. Biaya masuknya murah, Rp.10.000 saja. Jika mau pakai jasa pemandu, cukup kasih salam tempel. 🙂
Uniknya, pajangan yang mereka jual berupa anyaman akar/serat wangi. Hebat juga daya kreativitas mereka. Soalnya, serat kasar itu dapat dibentuk menjadi beraneka macam bentuk. Ada kipas, ada juga pajangan berbentuk hewan seperti kuda, gajah, jerapah bahkan naga hehehe. Dan memang, begitu dicium, pajangan ini menyeruakkan aroma harum.
Kami meneruskan perjalanan hingga tibalah ke bangunan yang sepertinya masih menyatu dengan Kori Kamandung Lor, namun pintu masuknya berada di area samping/belakang. Sekilas, bagunannya nampak sederhana dan tua. Namun masih terawat dengan baik.

Alih-alih mirip orang Jawa, patung ini mirip orang arab. Ternyata emang sempat ada orang Persia yang datang ke Solo.

Pemandu kami menjelaskan silsilah keluarga keraton

Salah satu ruangan yang ada di museum
Menurut cerita, bangunan ini dulunya digunakan sebagai tempat Pasewakan Agung, yakni pertemuan antara Raja dan para bawahannya. Maka di sini pengunjung masih dapat melihat Dhampar Kencana atau Singasana Raja yang terletak di Siti Hinggil Lor. Sayangnya pengunjung tidak boleh menaiki area ini karena tempat ini masih sangat dihormati dan dianggap keramat.
Kami “hanya” berkeliling ke area museum untuk melihat langsung benda-benda peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta hingga ke beberapa fragmen candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Banyak sekali benda yang dipamerkan, misalnya saja peralatan memasak abdi dalem, berbagai koleksi senjata kuno, peralatan kesenian hingga kereta kencana berusia ratusan tahun.

Salah satu koleksi yang ada di museum

Kalau tidak salah, kereta ini berusia 400 tahun. Wow.

Salah satu pengunjung museum. *purapuranggakkenal
Seru sekali om, jalan-jalannya.
Mampir ke kota saya om, ke Temanggung. Paling cuma 2 jam dari Solo.
Insyaallah nanti main ke Temanggung. Ajakin jalan ya ntar 🙂
Boleh. Jangan lupa berkunjung ke Posong, liat sunrise. Posong terkenal akan keindahan matahari terbitnya lho…
Langsung googling dan yes indah bangeeet
Tapi itu untung”an sih, tidak selalu dapat view yang indah. Saya pernah sekali kesana tapi malah berkabut.😢
Tapi untuk saat” ini sepertinya cuacanya cerah
Iya, aku sendiri udah beberapa kali ke satu tempat yang ternyata pas didatangi gak sesuai espektasi hehe, tapi gakapapa, selalu ada cerita di balik sebuah perjalanan 🙂
Untungnya posong tidak seperti itu. Posong tetap terlihat bagus mesti berkabut. Malah nanti hasil fotonya bakal… E, gimana ya… Ya gitu deh.
Cuman sunrisenya itu lho yg gak keliatan.
Ciee yang gak sempat ke payung ajaib wkwk btw doa ku gak kekabul kali nih hiks!!!
Belom aja kali dikabulkan. Semoga segera yak 🙂
Aku pernah ke sini tapi jalan sendiri (tanpa pemandu) dan rasanya hampa kayak nggak dapet apa-apa selain liat liat. Emang harus sewa pemandu kayaknya.
Iya. Banyak benda yang pas dijelasin ternyata punya nilai historis tinggi.
Semoga suatu hari bisa menyusul ke sana, eh, untuk berwisata juga, ehhe
Amiin 🙂 siapin perut buat wiskul hehe
Siap selalu ini mahh
Kesengsem sama tegel dan kereta kudanya. Cuantiiik.
Seingatku di Solo atau Yogya gitu emang ada sental penjualan tegel unik kayak gitu. Menarik 🙂
Satu hal yang aku sayangkan dari Keraton Surakarta, juga Keraton Yogyakarta sih, yaitu areanya sekarang jadi terbuka lebar. Jalanannya jadi jalan umum. Di satu sisi ada bagusnya, tapi menurutku ini jadi seperti menghilangkan kesan orisinal sekaligus eksklusif sebuah kompleks keraton. Bayangkan di depan rumah sultan bisa sliwar-sliwer kendaraan bermotor begitu, nggak asyik.
Aku bahkan sejak lama membayangkan kalau kompleks keraton itu steril dari kendaraan bermotor–hanya dokar/andong atau becak saja yang boleh masuk, juga bersih rumah-rumah penduduk yang menumpang (mager sari, istilah jawanya) di area keraton. Jadi ketika kita masuk ke dalamnya benar-benar terasa aura keagungan keraton sekaligus suasana yang khidmat. Apalagi kalau di tiap-tiap regol (pintu gerbang) ada prajurit penjaga seperti di masa lalu. Ah…
Sayangnya, itu cuma ada di impianku. Hihihi.
Betul mas. Itu juga yang kusampaikan langsung ke TL-nya, bahwa mestinya area keraton ini clear dari kendaraan umum. Simpelnya, kalau mau motret aja jadinya bocor haha. Tapi lebih dari itu, kenyamanan juga ada efeknya. Padahal bangunannya udah bagus. Sayang sekali.
Halah kepencet…
Utk area dalem keraton msh steril …
Contoh kraton Jogja, area Megengan itu, yg naek sepeda ontel pun harus turun… mobil jelas gk bisa lewat….
Pun kykna kraton solo jg begitu …
Minus (dan plusnya) di area kasunanan itu ada angkot yg sliweran … klo kraton jogja ya jelas kendaraan pribadi …
Kalo jalan umum kayakna emang iya, kan akses menuju pasar (kawasan kraton jogja diapit 2 pasar, Pasar Bringharjo yg brupa pasar induk dan Pasar Ngasem yg merupakan Pasar jeron beteng) …
Kurang paham juga dengan tata kotanya Solo ini. Mestinya kalau ada jalan alternatif, jalanan di sekitar keraton itu ditutup aja buat kendaraan umum. Biar pengunjung jauh lebih nyaman 🙂
berkali-kali lewat, tapi malah belum pernah ke museumnya 🙂
Mungkin karena ngerasa dekat, jadi mikirnya ntar-ntar aja 😀
betul om 🙂
Aku juga baru sekali berkunjung ke Keraton Kasunanan ini, dan masih belum puas banget, karena waktu itu terburu-buru. Selain keraton satu ini, aku juga sempat berkunjung ke Keraton Kepangeranan Mangkunegaran, yang letaknya gak terlalu jauh dari Keraton Kasunanan.
Meskipun Keraton Mangkunegaran ukurannya lebih kecil dari Keraton Kasunanan, aku lebih suka dan lebih menikmati kunjunganku di sana. Mungkin juga ini karena aku termasuk salah satu orang yang mengikuti romansa perjalanan Gusti Nurul yang tersohor itu.
Waktu aku berkunjung ke Keraton Kasunanan, rasanya itu masih di masa-masa pertikaian internal keluarga keraton. Dimana terjadi kekisruhan untuk menentukan siapa yang berhak menjabat sebagai Sunan XIII dari keraton itu. Jadi aku merasa, aura keratonnya kurang menyenangkan, dan beberapa koleksinya tampak terbengkalai.
Semoga suatu saat nanti, aku dapat kesempatan lagi untuk berkunjung ke sana. Dan rasanya harus sewa guide deh, supaya dapat lebih banyak info dan pelajaran sejarah tentang keraton satu itu. O iya, pas ke Mangkunegaran aku sewa guide, jadi dapat banyak kisah menarik 🙂
Pas aku pulang dan mau nulis tentang ini, barulah aku ngeh bahwa ada Keraton Kepangeranan Mangkunegaran. Heran juga kenapa sama pengundang gak diajak ke sana >.< mungkin karena keterbatasan waktu.
Udah ditulis belom mas perjalanannya di sana? aku cek di blognya mas Bart ah.
Waaah sayang banget. Padahal Keraton Mangkunegaran itu menarik, meskipun ukurannya gak terlalu besar. Kamu pernah dengar kisah tentang Gusti Nurul gak? Beliau salah satu ikon Mangkunegaran, yang pernah tampil menari di negeri Belanda dengan iringan gamelan yang dimainkan langsung di Solo.
Kalau ke Solo lagi, harus sempatkan main ke Mangkunegaran Yan.
Hahahaha, belum aku tulis soal Mangkunegaran nya. Pas ke sana, aku cuma bawa iPhone dan filenya pada berceceran nih.
Saya dulu dyogya oomndut…temen saya bapaknya kerja jd abdindalem keraton, kaget pas tau gajinya ,kecil bgt kl dnilai rupiah,tp herannya ya mereka ikhlas,dan tetap bangga ngabdi sm keluarga raja,suatu kehormatan katanya.sibpk nya nyambi kerja lain.mungkim sm aja kyk dsurakarta,mereka abdi ndalem mnrt saya luar biasa dedikasinya
Betul mbak. Gaji mereka kecil, tapi itu satu kehormatan ya bagi mereka 🙂
kalau dilihat dari gambar, suasana keraton ini tenang dan “feminim” mencirikan Solo kota yang anggun.
Betul, mencirikan Solo yang tenang.
wah, aku belum pernah ke sana mas. ke Solo aja waktu itu cuma lewat aja.
makasih buat artikelnya yang informatif, bisa jadikan artikelmu buat panduan ke sana nanti 🙂
Sama-sama 🙂 senang jika bermanfaat ^^
Kamu ndak foto di bawah payunh sakti yang ada disana kak? Aku kmaren foto disini minta langsing, alhamdulillah 🙂
Huhuhu aku gak tahu soal payung sakti itu, mas. Tahunya pas udah selesai dikasih tahu sama cece Lenny hahaha. Next aku ke sana lagi minta langsing, ganteng dan jodoh hahaha
Ha ha sama nitip mintain aku juga yaaa, gak muluk2 sih minimal kayak artika sari devi aja
Hahahaha! aku juga mau deh. Kayak Chelsea Islan ajah
Ping balik: Nostalgia di Sepur Kluthuk Jaladara di Surakarta | Omnduut
pas ke solo bulan lalu cuma photo dengan penjaga aja hehehe, mau masuk keraton lagi tutup tapi membaca tulisan kak yayan saya semakin tertarik ingin kembali lagi ke Solo
Mudah-mudahan ada kesempatan balik ke Solo lagi ya Mad 🙂
Aku yg berkali2 mudik ke solo aja blm prnh masuk ke keraton dan museum ini mas :p. Padahl rumah mama mertua di solo dekeeet banget ama keraton. Kalo kemana2 kita pasti lewatin kok dindingnya.. Selama ini aku mikirnya krn kyknya bosenin gitu, makanya ga prnh minta suami utk visit kesana :p.
Kapan2 kalo ke solo, aku datangin deh.
Masing-masing Keraton (jika dibandingkan dengan yang di Yogya) ada plus minusnya. Sejujurnya, aku ngerasa keraton ini mestinya jauuuh lebih baik 😀
Jujur gua belum pernah ke solo dan kalau ada kesempatan kesolo dan ada yang mau bayarin gua pengen juga jalan2 ke istananya,
Amin, semoga ada kesempatan ya nanti 😉
Om, si bapak yang pakai seragam keprajuritan itu juga pernah kuajak foto bareng 😁
Aku terkesan sama sepatu boot panjangnya dan topinya, eh pedang panjangnya juga .. hehehe
Apik ya bangunan keraton Surakarta dan Ngayogyakarta (sama-sama pendirinya) … terlihat gagah dan megah.
Haha kita menjumpai orang yang sama berarti ya mas 🙂 iya, pakaiannya gagah. Keren deh.
kan pergantian abdi dalem 30 mennit sekali tuh, kira-kira pergantian abdi dalam dinanti ga ya seperti pergantian tentara kerjaan inggris saat gantain jaga?
Gak ada prosesi khusus 🙂 biasa banget mereka saling ganti jaganya ^^
Asli keren, jadi kepengen kesana. Rasa-rasa hidup di jaman kerajaan
Iya betul mas 🙂
Anggota keluarga kerajaan masi ada yang tinggal di Keraton Surakarta ini ga kak? atau hanya dijadikan destinasi wisata saja? Kalo masi ada yang tinggal di sana, wah seru banget. Di jaman modern seperti ini masih hidup dikawal sama penjaga yang berpakaian lengkap ala tentara 🙂
udah nggak lagi 🙂 mereka punya rumah sendiri-sendiri.
Mantap bang . . .
Makin keren aja nih
Makasih 🙂
Terakhir kali kesana, agak kurang terawat bagian tamannya.. Namun, aku suka dengan pilihan warna biru terang yang menghiasi keraton solo 🙂
Cheers,
Dee – heydeerahma.com
Iya betul, masih dapat diperbaiki lagi sarana prasarananya memang 🙂
Jadi pengen mudik via Solo trus mampir ke keraton ini deh. Untung sekarang ada direct flight Palembang-Solo ya
Iya, tapi ntah sekarang masih nggak haha. Semoga rutenya awet. Amin.
Wisata keraton biasanya cuma di jogja aja, belum pernah ke surakarta soalnya. Itu bisa masuk ke dalam keraton nya om?
Enak ke museum pake pemandu yah ternyata. Biasanya ga pernah pake pemandu kalo ke museum.
Bener, kalau pakai pemandu lebih jelas mas 🙂
Seru juga ya main di museum sama krayonnya,, belum pernah mampir ke solo sama sekali
Semoga bisa jalan ke Solo ya nanti 🙂
Nah, kalau ada pemandunya begini kan enak.
Makasih omnduut buat infonya 🙂
Sama-sama Darius.
Ping balik: Merindu Kulu-kilir di Kota Solo | Omnduut