Couchsurfing / Kopdar

Nomadic Heart : Tentang Julian dan Kecintaannya Terhadap Indonesia

DSC_0970

“Karena. Kalian semua. Puasa. Besok. Saya. Puasa”

Julian berkata terbata-bata memakai bahasa Indonesia sambil terus mengunyah makanan saat berbuka puasa di rumah kami. Mendapati keinginannya untuk berpuasa, seketika kami semua (aku, orang tua dan dua adik) terkejut.

“Are you sure, Julian? Because you have to wake up early morning around 3.30 am for sahur,” tanyaku memastikan.

Mata Julian mengerling. Dia masih belum paham apa itu sahur. Kenapa harus bangun sedini itu karena yang ada di benaknya berpuasa hanya tidak boleh makan dan minum. Aku lalu menjelaskan mengenai puasa secara umum. Lantas dia berkata, “Oh okay, tentu, kenapa tidak? Jika saya tidak pernah mencoba, saya tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya berpuasa seperti kalian.”

* * *

Julian baru tiba di rumah sekitar pukul 4 sore. Sebelumnya, sekitar jam 2 siang aku menjemputnya di bandara memakai sepeda motor. Sehari sebelumnya, aku mendapati sebuah pesan melalui situs couchsurfing [dot] com bahwa ia berencana mengunjungi Palembang sebagai starting point-nya untuk menjelajahi pulau Sumatera. Dia berencana melakukan perjalanan darat dari Lampung hingga Aceh dengan…. Mengendarai sepeda motor.

“Saya ingin membeli sepeda motor bekas. Mungkin Anda bisa membantu saya?” tulisnya lagi di pesan couchsurfing.

Jadilah, begitu keluar bandara, aku langsung mengajaknya ke kawasan Cinde yang terkenal sebagai sentral penjualan motor bekas. Di sana, ayah sudah menunggu. Untuk urusan pembelian barang besar semacam ini, ayah jelas lebih tahu dan mengerti. Benar saja, beliau mengenal beberapa penjual dan kami mulai mencari-cari sepeda motor yang cocok. Cocok untuk dikendarai dan juga cocok budgetnya.

Dua jam lebih mencari, kami tak juga menemukannya. Julian lelah, aku pun begitu. Cuaca sangat panas. Lalu aku memutuskan untuk pulang. Toh, masih ada hari esok, kan? Lagian aku harus meyakinkan dia terlebih dahulu mengenai keputusannya untuk berkeliling Sumatera dengan sepeda motor. Karena, ya kalian tahulah, jalanan di Indonesia tentu tidak sebaik jalanan yang ada di negara asalnya, Australia.

Begitu sampai di rumah, ibu sudah menyiapkan beberapa cemilan. Ada kroket dan beberapa potong kue brownies. Dia menyantapnya sampai habis. Sekali lagi aku memastikan apakah iya yakin ingin membeli sepeda motor? Ditanya seperti itu, dia semakin memantapkan perkataannya. “Iya, saya sudah mengimpikan hal ini sejak lama. Mengendarai sepeda motor di negara yang indah ini.”

Aku sempat menginformasikan cara lain. Hitchhiking seperti yang Sander, bule asal Belanda lakukan, misalnya. Namun ia tetap pada pendiriannya. Baiklah kalau begitu.

????????????????????????????????????

Dih, si ibuk pose ala chibichibi 🙂 karena meja makan gak cukup lebar, maka buka puasanya gegoleran di lantai.

Kembali ke Meja Makan…

“Oh ya, btw, are you okay to waiting alone in my home for hmm around 1 hour while we all praying in mosque?” tanyaku.

“Apakah masjidnya jauh?”

“Oh masjidnya dekat sekali. Hanya 3 menit berjalan kaki,” jawabku.

Awalnya Julian berkata ia tidak masalah untuk tinggal sendirian di rumah. Namun, dari gesturenya, ia nampak sangat penasaran. Ia juga terus bertanya mengenai aktivitas di masjid. Aku lalu secara berhati-hati bertanya, “apa kau mau ikut?”

“Wah, apa aku boleh ikut?” tanyanya lagi dengan suara yang bersemangat.

“Tentu saja boleh,” jawabku. Tapi sebelumnya aku bertanya dulu ke ayah mengenai hal ini. Ayahku bilang tentu saja tidak apa-apa.

“Ide bagus. Baiklah, aku akan ikut dan menunggu di luar,” sahutnya.

“Kenapa menunggu di luar? Kau bisa masuk ke dalam.”

“Bukankah orang ‘seperti aku’ tidak boleh masuk ke dalam masjid?”

Aku lalu menjelaskan. Bahwa masjid terbuka untuk siapa saja. Bahkan oleh orang yang tidak menjadikan masjid sebagai rumah ibadahnya, seperti dia. Yang penting adalah menjaga prilaku dan berpakaian sepantasnya. Kebetulan, setelah mandi sore, Julian mengenakan kemeja putih dan celana bahan panjang. Yeah, dia bule yang rapi hehe.

Di Masjid….

Sekitar pukul 7, kami sudah berada di masjid. Jam segitu masjid belum terlalu ramai. Pas-lah, biar Julian tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Aku mengajaknya untuk duduk di deretan belakang dan di pinggir sekali. Tapi ya, semua cowok ganteng lambat laun akan terdeteksi, kan? Hehe, karena posisi laki-laki berada di depan, deretan ibu-ibu yang duduk di shaf belakang langsung menyadari. Bisik-bisik seperti, “wah ada bule,” terdengar cukup jelas.

Sebelumnya aku pun sudah mengingatkan bahwa dia akan jadi pusat perhatian. Jika dia merasa tidak nyaman, dia bisa pulang. Eh ternyata, Julian betah duduk di masjid hingga shalat taraweh selesai. Anak kecil yang ke sana-ke mari cari perhatian ditanggapinya dengan senyuman.

Sepanjang jalan dari masjid ke rumah, dia terus menerus mengucapkan terima kasih karena sudah diajak. Lha, kalau sudah begini, siapa coba yang gak meleleh. Dia sangat berusaha untuk melebur ke aktivitas hostnya dan itu menurutku…. Keren! Terlepas dari urusan agama, pengaruh agama atau opini-opini pembaca blog ini ya. Aku tidak peduli. Aku hanya melihat aksi Julian sebagai bentuk respek dan rasa penasaran. Itu saja. Sama halnya ketika aku mengunjungi Mother Teresa House di Delhi (aku juga mengunjungi gerejanya yang indah) dan hey aku bahkan berdoa untuk Bunda Teresa. Juga, saat aku melihat prosesi keagamaan umat Hindu di Varanasi. Luar biasa indah dan sakral. Setelahnya, apa lantas imanku tergadai? Ya tidak.

????????????????????????????????????

Julian di dermaga Sungai Musi.

Puasa Pertama Julian

Terus terang, aku hampir menyerah untuk membangunkannya di saat sahur. Aku berulang kali mengetuk pintunya, memangil namanya (dari yang pelan sampai setengah menjerit) namun dia tetap terlelap. Ah, mungkin dia lelah hehe. Namun, ayahku bilang masuk saja ke dalam dan yeah aku melakukannya. Kunyalakan lampunya, aku bangunkan dia dan aku tanya apakah masih tetap tertarik berpuasa dan he said : yes!

Kami menunggu di meja makan dan sosok tinggi jangkung itu perlahan berjalan menuju dapur dan… hup! Dia hampir terjatuh hahaha. Dia jalan terhuyung-huyung dan kebetulan posisi dapur rumah kami lebih rendah. Melihat dia yang berjalan seperti mayat tidur kami semua tertawa. Benar-benar tontonan menarik dan jarang di rumah kami 🙂

Bada Subuh, kami kembali tidur. Jam 8, aku kembali membangunkannya karena kami harus kembali mencari sepeda motor yang ia inginkan. Piuh, rada susah sebetulnya. Kami mendatangi satu tempat ke tempat yang lain. Namun belum menemukan yang cocok. Akhirnya, setelah mendatangi sebuah tempat, sepeda motor berukuran besar berhasil kami beli. Alhamdulillah, pencarian panjang berbuah hasil.

Selesai?

Oh belum >.< karena yang dibeli motor bekas, maka ada beberapa bagian yang rusak. Misalnya saja ban sepeda motor yang tidak ideal (oleh pemiliknya diganti yang berukuran lebih kecil), oli yang belum diganti, penduplikatan kunci dan beberapa hal lainnya. Yang paling penting adalah mengganti ban. Sayang velg asli motor tersebut ada satu yang rusak. Jadilah, kami berkejaran waktu (karena mau shalat Jumat). Kami kembali ke Cinde untuk membeli beberapa spare part motor yang dibutuhkan. Di Cinde, Julian juga membeli jaring dan tali untuk mengikat backpacknya.

“Bagaimana dengan puasamu, Julian?”

Berkali-kali aku menanyakan hal ini. Dari awal, aku sudah mengingatkan bahwa dia dapat membatalkan puasanya jika tidak sanggup.

“Aku memang sedikit lapar, namun semua berjalan dengan baik. Aku akan menuntaskan puasa pertamaku ini,” jawabnya.

Baiklah kalau begitu. Terus terang, dalam hati aku juga berharap dia dapat berpuasa satu hari penuh. Aku ingin dia merasakan betapa nikmatnya berbuka puasa setelah seharian menahan lapar dan haus. Dan, Alhamdulillah, dia berhasil. Hurray!

????????????????????????????????????

Buka puasa pertama-nya Julian. Ada Bagas (kiri) sepupu yang kebetulan ikutan buka puasa di rumah. Asli rame dan seru!

Berdialog di Sungai Musi….

Ini malam terakhir Julian di Palembang. Dia akan berangkat esok pagi (hari ini, Sabtu 11/7/15). Aku tidak ingin dia meninggalkan Palembang tanpa sekalipun menikmati indahnya Jembatan Ampera dan Sungai Musi di malam hari.  Maka dari itu, pasca buka puasa dan shalat Magrib, aku langsung mengajaknya untuk melihat langsung landmark kota Palembang ini.

Di sini, kami berbincang mengenai banyak hal. Julian memang terlihat sebagai pribadi yang pintar. Kami berbicara mengenai keluarga, hobi, aktivitas sehari-hari bahkan politik Indonesia. Keren, kan?

“Saya membawa beberapa kilogram buku dan saya akan membacanya di sepanjang perjalanan. Buku itu akan saya tinggalkan di kota terakhir,” ujarnya. Dan ya benar saja, dia sempat memperlihatkan satu buku tebal kepadaku. Buku psikologi. Jenis buku kesukaanya.

????????????????????????????????????

Mari makan pempek dan model. Yummy!

Kami tidak begitu lama di Benteng Kuto Besak. Cuaca tidak begitu bagus. Hujan mulai rintik ketika kami memutuskan untuk pulang. Oh ya, sebelumnya aku mengajak Julian mencicipi makanan terkenal dari Palembang. Apalagi jika bukan : pempek 🙂 dan, (lagi-lagi) berbeda dengan Sander, Julian sangat suka pempek. Dia juga mencicipi satu porsi model. Hmm, yummy! Begitu selesai, kami memutuskan untuk pulang. Dia harus beristirahat dengan baik karena besok dia akan menempuh perjalanan yang panjang.

Perjalanan itu dimulai…

“Sebaiknya kamu tidak usah ikut sahur lagi seperti kemarin,” saranku.

“Jika dengan sahur aku bisa bertemu dengan seluruh keluargamu, aku akan melakukannya.”

“Jangan khawatir, kamu masih dapat bertemu dengan ayah-ibu dan saudaraku di pagi hari,” ujarku meyakinkan. Dan… Julian setuju. “Aku akan membangunkanmu pukul 6:30 atau 7:00”

Dan hola! Ternyata kali ini dia bangun lebih dulu 🙂 setelah sarapan, Julian mulai mempersiapkan bawaannya. Backpack ia ikat di kursi belakang motornya. Kami (aku dan adik) membantu sebisanya. Setelah diyakini bahwa posisi ranselnya baik, Julian mulai berpamitan.

Ada pertemuan, ada pula perpisahan, bukan? Namun terus terang, kehadiran Julian ini terasa lebih spesial. And I think my family agree with me. Dia membawa sesuatu hal yang baru di rumah kami. Apa itu? Entahlah. Aku juga tidak begitu pasti. Sebagai catatan, ini bukan kali pertama kami menerima tamu asing. Semuanya memiliki kesan tersendiri.

????????????????????????????????????

Lha jadi macam foto keluarga gini haha. Ini sebelum Julian berangkat. Dia yang minta foto bareng 🙂 yang duduk di kursi sama ganteng ya. Beda kadar kesemokan aja :p

“Saya pikir, bisa jadi saya akan kembali ke Palembang saat lebaran,” ujarnya. “Namun saya tidak bisa janji,” sahutnya lagi.

Kami menyambut keinginannya itu dengan tangan terbuka. “Now, you’re part of this family, Julian. So, you can back again here as long as you want,” ujarku lagi. Ayah dan ibu juga berkali-kali bilang untuk menyuruhnya kembali lagi ke Palembang suatu saat nanti.

Kini, Julian dalam perjalanan menyusuri keindahan pulau Sumatera. Walaupun terbersit rasa khawatir (mengingat kondisi jalan di Sumatera dan tingkat kriminalitas yang cenderung tinggi), namun aku yakin bahwa dia akan menjalani perjalanan ini dengan baik. Semoga saja begitu.

So, Julian, selamat menjelajahi Indonesia.

Never say goodbye.

Just say, see you again. 🙂

I wish n Sydney, hehehe.

????????????????????????????????????

Selamat berpetualang, Julian! Kapan-kapan, kembali lagi ke Palembang ya! 🙂

Catatan :

*Nomadic Heart adalah salah satu judul buku Ariy yang bercerita mengenai pengalamannya selama berinteraksi dengan host/guest dari situs couchsurfing. Ada satu cerita di buku Ariy tersebut yang mirip dengan kisahku ini. Buku yang keren dan ntah sudah berapa kali aku baca ulang. Ulasannya bisa dibaca di sini ya [https://omnduut.com/2013/08/01/perjalanan-hati-nomadic-heart/]

*Bule. Iya aku masih menulis “bule” di tulisan ini. Bagi yang merasa kurang nyaman, maaf ya. Aku tetap memakai kata itu tanpa tendensius negatif apapun. FYI, semua tamu asing yang menginap di rumah tahu mengenai istilah ini dan mereka tidak mempermasalahkannya.

*Bisa jadi tulisan ini menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi sebagian orang. Maaf ya 🙂

*Tulisan ini dibuat juga sebagai pemberitahuan kepada teman-teman CS di seluruh Sumatera bahwa Julian ini trustable. Dia memang pengguna baru di situs couchsurfing. Bahkan menginap di rumah kami adalah pengalaman pertamanya sehingga referencenya masih sangat sedikit (hanya aku sejauh ini) So, don’t worry to accept him to stay in your house, okay! 🙂

Iklan

75 komentar di “Nomadic Heart : Tentang Julian dan Kecintaannya Terhadap Indonesia

  1. Lucu ih ceritanya :))
    Saya juga lagi sering komunikasi sama teman dari benua lain. Ngga “aci”nya, waktu blio SMP/SMA gitu tinggal di jakarta 2-3 tahun lah.
    Jadi pas puasa gini perna h whatsapp “how’s training during Ramadhan?”

    Ihhh …kok mister tauu sihhh lagi puasa :))

  2. Menarik sekali ceritanya. Kl kamu sendiri udah pernah nyoba couch surfing? Aku belum sih. Rada ngeri kl perginya sendirian. Lagian krn coach surfing gak bayar, aku berasa ada kewajiban utk berinteraksi dgn yg punya rumah. Mending kl yg punya orgnya asik ya, kl cerewet dan galak kan mampus. Hahhaha

    • Pernah! 😀 perdana di India (Delhi dan juga Srinagar). So far so good. Paling enak kalo ngehost sama satu keluarga, interaksi sama semua anggota keluarga itu seru 🙂

      Soal prilaku host, haha iya gambling juga sih. Kalo nemu yang asyik ya syukur. Kalo nggak, tinggal pergi aja hehe.

  3. Pantesaaaan. Pas baca judulnya di reader WP, aku langsung keinget bukunya mas Ariy. Hehehhehe 😆

    Julian baik ya

    • Dia baik sekali 🙂 untuk ukuran bule, dia sangat sopan dan beda hehe

      Mbak Dian inget dong kisah Ariy yang ngajak tamunya shalat Jumat? 🙂 nah kira-kira hal itulah yang aku alami kemarin.

      • Wuaduhhh… untuk ukuran bule? Maksudnya kebanyakan bule gak sopan ya Yan? Stereotype nih. Kebanyakan nonton film, jadinya banyak ngliat bule yang gak sopan, yang gak baik, yang jarang mandi, jorok dsb dll. Hehehehe..

        Meng ngemeng tentang puasa, setiap kali Ramadhan, mesjid di kotaku selalu mengundang tetangga sekitar. Bahkan tahun ini, di Sabtu minggu kedua bulan Ramadhan bikin pengumuman di koran lokal bahwa mesjid kami mengadakan open house. Dannnn yang datang buanyakkkk. Selalu begitu kalau komunitas muslim mengundang masyarakat untuk datang, antusiasme mereka sangat tinggi.

        Mesjid kami terdiri dari dua lantai. Ruang pertemuan dan dapur di lantai bawah, biasa digunakan untuk makan makan. Tempat sholatnya di lantai atas, plus dikelilingi beberapa ruangan untuk sekolah minggu, perpustakaan dan ruangkan kantor.

        Nah, mereka, para tamu yang non muslim itu, boleh ke lantai atas. Mereka diam duduk di belakang saat kami sedang sholat. Sebelum sholat, mereka berkeliling ruangan sholat dengan dipandu oleh satu atau dua orang muslim sebagai pemandu untuk menerangkan ini dan itu.

        Beberapa tahun lalu, inget nggak ada kasus pastur di Florida yang membakar Al-Quran sekontainer?
        Waktu itu bulan Ramadhan. Salah satu komunitas kristen di sini menghubungi mesjid kami dan mengatakan kira2nya begini: itu bukan mewakili kristen yang sesungguhnya.
        Pada saat Idul Fitri, beberapa pemuka agama datang ke mesjid, dan kami bergandengan tangan, berdoa bersama sama.

        Indahnya kebersamaan. Dan sayangnya hal hal kayak gini gak menarik media untuk diberitakan. Yang menonjol di luaran semacam Islamphobia dan semacamnya.

    • Haha, mbak Evia, maaf kalau kurang berkenan kata-katanya 😀

      Dalam pertemuan dengan warga asing (bule) aku termasuk yang masih sedikit. Alhamdulillah, rata-rata bule yang aku temui (nggak hanya di Palembang tapi juga selama aku trip) baik semua. Cuma memang ada yang lebih cuek kalau diajak ngobrol. Ya mungkin mereka lagi capek dan gak mau ngobrol banyak ya. Aku maklum.

      Namun Julian ini memang beda. Tingkat keramahannya menurutku bahkan lebih tinggi dari tamu-tamu lokal yang pernah nginep di rumah. Dan sepertinya ini karena keluarganya Julian juga seru. Aku sempat komen-komenan dengan ayahnya di FB. Pokoknya Julian kerenlah sejauh ini dari semua tamu asing yang pernah menginap di rumah kami.

      Nah, kalau jarang mandi hihi. 2 minggu sebelumnya kami juga menerima sepasang tamu warga asing. Dan mereka selama 2 hari nggak mandi-mandi :p ntah mungkin terbiasa mandi dengan air hangat sedangkan di rumah adanya air dingin dan mereka mungkin cukup segan minta dimasaki air. Tapi ya gak masalah juga sih, soalnya mereka gak bau hehe. Mungkin badannya cukup dilap handuk aja.

      Tentang pembakaran Al-Quran iya aku dengar. Alhamdulillah respon pemuka agama di sana baik ya. Sama halnya dengan proses pembantaian oleh ISIS >.< sedihnya kalau Islam yang jadi jelek.

  4. Keluarga kaka seru yak. Mau nerima cs gitu. Kalau keluargaku sih termasuk susah kalo nerima orang asing yg ga dikenal sama sekali, cuma dari website pula. Masalah safety bener2 ditekan banget. Hehe. Dari dulu ikutan cs, malah ga pernah ngapa2in, ahaha.

  5. Wah aku juga baru pulang trip sama orang Hongkong, dan untuk pertama kali dia ikutan berpuasa (dan dia bertekad akan melanjutkan puasanya sampai akhir Ramadhan). Sementara kadar kecintaannya sama Indonesia jangan ditanya lagi 🙂

    Btw, ibumu cantik, Yan! 😉

    • Iya, aku baca blognya mas Aldi. Salut ya 🙂

      Soal ibu, ya, soalnya menurut ke anak lakinya yang tampan *adekadekkumaksudnya* *akujuga* hahahaha

  6. Aku pingin juga couchsurfing ditempatmu trus foto keluarga gitu. hehehe
    salam buat julian, Semoga perjalannya lancar. Aku dulu overland sumatra dengan mobil sampai larut malam dan tersesat. Alhamdullilah aman. Semoga perjalan dia aman aman saja.

    See you again 🙂

    • Aaaaa hayo hayooo ke Palembang mbak Zulfa. Dengan senang hati menerima kehadiran mbak Zulfa dan keluarga di rumah kami 🙂

      Amiiin, semoga dia lancar perjalanannya. ^_^

  7. baru bacaaa, xixixii
    Btw, Couchsurfing program diri sendiri atau program siapa mas Yan? Keluargamu persis kali kayak keluaga suamiku. Pernah seminggu tidur bule di rumah mertuaku 😀 Suamiku pun juga kayak ortunya, orangnya juga welcome terhadap orang baru.
    Ruma kami sering juga jadi ‘rumah singgah’ malah. tempat orang2 kampung singgah kalau mereka ke kota banda aceh maksudnya 😀
    Ih, mau ih jadi couchsurfng, aku udah sering kedatang bule di rumahku (bukan rumah mertua, tapi rumahku dan suamiku), cuma ya gak tidur. Soalnya kami rumah kecil, nggak ada kamar tamu, bhahaha…

    • Kalau sejarah couchsurfing aku kurang paham, yang jelas ini sudah lama sekali mbak Eky 🙂 bisa cek di couchsurfing.com

      Iya alhamdulillah, orang tua selalu welcome dengan setiap tamu selagi tamunya juga baik. Sejauh ini belum pernah ada pengalaman jelek dan jangan sampe ada deh hehe.

      Kami keluarga besar (ayah 10 saudara, ibu 9 saudara) nah sebagian tersebar di luar kota. Sebagian saudara jauh kalau kebetulan ke Palembang ya nginapnya di rumah. Dan soal tempat tidur, mereka bisa tidur di mana saja hehe. Pakai kasur di ruang tengah depan TV juga hayok yang penting kumpul rame-rame.

      Mengenai couchsurfing juga gitu. Malah konsep awalnya para tamu menginapnya ya di couch = sofa. Tinggal kita bilang aja di profil bahwa kita gak ada kamar, adanya kasur dan bisa tidur di depan TV. Dan biasanya mereka gak terlalu permasalahin kok 🙂 aku juga ketika di Delhi dan Srinagar, walaupun tidurnya dalam kamar, tapi tidak di ranjang. Jadi ada semacam tikar/tatami/kasur tipis yang kami pakai tidur bertiga. Ya empit-empitan dikit gakpapalah 😀 yang penting bisa berbaur dengan kehidupan warga lokal selain tentu secara tidak langsung menghemat budget (walau kadang tidak selalu benar, misalnya rumah hostnya jauh di pinggiran kota, maka kalau mau jalan keluar ongkos lebih, hitungannya sama aja, tapi rasa menginap di rumah penduduk lokal itu luar biasa. Di Srinagar, kami tinggal di desa di kaki gunung yang pemandangannya luar biasa indah) 🙂

  8. Pengalaman yang mengesankan ya Yan. Dulu tetanggaku ada yang punya suami bule, tiap kali mereka pulang kampung aku dan temenku pengin sekali berinteraksi dengan mereka. Pengin kenalan n menjajal kemampuan bahasa inggrisku, seru dan menyenangkan bisa ngobrol meski kadang ada yg nggak kami ngerti.
    Salam buat Julian, semoga perjalanannya menyenangkan.

  9. Ya Allah, Yan.. nyenengin banget kalo nerima tamu yang seperti Julian ini… beneran berusaha ‘melebur’ ke kebiasaan sehari-hari tuan rumah, bahkan mau ikut puasa segala… Semoga perjalanannya keliling Sumatra dimudahkan dan dia ketemu host-host yang baik hati seperti keluargamu selama perjalanannya ya.. Biar dia bisa pulang ke negaranya dengan kesan yang luar biasa baik tentang orang-orang Indonesia 🙂

    • Seperti film 99 Cahaya di Langit Eropa, hitung-hitung latihan menjadi agen muslim yang baik 🙂 dan semoga saja begitu ^_^

      Amin, semoga perjalanannya lancar jaya. 🙂

  10. Ada gitu bule yang sampai segitunya mau nyobain puasa? Waaaah ternyata bule lebih bhineka tunggal ika ya dari pada rakyat Indonesia kebanyakan. Atau mungkin itu cuman kebetulan aja si Julian bagus wataknya om? Hehe jadi penasaran sama bule, apa lagi yang perempuan, siapa tau ada yang bisa diperistri hahahaha

  11. Cieee…. Neng Zahra. Aku salut ama orang2 yang punya impian, trus kekeuh mewujudkan impian tersebut. Apalagi impiannya keliling negara lain pake sepeda motor. Semoga perjalanan Julian lancar…

  12. Ini ceritanya malah inspiring, bang. Senang ada CSer yang toleransinya tinggi begitu. Dan emang sih ya, banyak bule yang penasaran sama aktivitas muslim. Aku jadi ingat sama seorang teman guide yang pernah ngajakin tamunya bagaimana cara shalat di depan mesjid Raya Baiturrahman. Dan apa yang dilakukan Julian itu patut diacungkan dua jempol. Keren! Eh tapi kamu lebih keren lagi. Aku bangga pernah dihost sama kamu. Ah jadi kangen Palembang deh! 🙂

  13. Seru bingit critanya euy, bisa nambah teman dari berbagai negara..pengen nyoba tp blm pede coz inggris msh pas2an 😦 .. Btw itu si julian keliling sumatera pke motor ada SIM ga om? Kira2 pernah kena razia pak polisi ga yaa 😀

    • Justru itu, aku menerima tamu asing salah satunya untuk memperlancar bahasa Inggris 🙂 coba baca tulisanku yang lain di kategori COUCHSURFING, bahkan ada bule yang ke rumah gak bisa bahasa Inggris hahaha

      Soal SIM, dia punya SIM Internasional 🙂

  14. Ping balik: Saat Harus Menjemput Couchsurfer di Kantor Polisi | Omnduut

  15. Jadi ingat pengalaman bulan lalu, Bang. Pas kami kenalan sama Jan ( dibaca Ian ) , bule Jerman. Yang ternyata “ditipu” oleh orang lokal. Ian yang semula akan menghabiskan liburannya di Samosir. Karema rayuan seseorang yang sebelumnya dia temui di kawasan hutan Bukit Lawang. Akhirnya memutuskan ke Medan, untuk menemui orang itu. Eh, ternyata titik temunya adalah tempat yang rawan kejahatan. Alhamdulillah sopir travelnya baik hati. Diingatkan supaya gak menemui orang itu. Dan sama saudaraku yang kebetulan naik travel itu juga, Ian dibawa ke rumah tempat saudaraku menginap selama di Medan.

    Pas aku tanya, kenapa Ian mau menemui orang itu. Jawaban Ian bikin aku meleleh, Bang. Dia ingin merasakan kehangatan tinggal di keluarga Indonesia

    • Alhamdullilah Ian dipertemukan dengan orang baik. Di Palembang sini juga udah berapa kali bule kena copet di stasiun. Kasihan juga. Tapi untungnya selalu ada orang-orang baik yang membantu.

      Bener, bagi banyak orang luar, bisa tinggal di satu keluarga di Indonesia itu pengalaman yang luar biasa. Eh aku pun gitu sih, selalu penasaran tinggal sementara di sebuah keluarga yang asing di luar sana.

  16. Ada kepuasaan memang ketika bisa melayani orang lain. Karena hidup gk selalu harus dilayani tapi juga melayani.

    Salut om 🙂

  17. Menarik ceritanya mas. Dan gimana si julian ini? Apa masih srg kontak? Perjalanannya kliling sumatra dulu sukses kah?

    Prnh kepikiran sih rumahku dijadiin tempat couch surfing. Tp kayaknya suami ga ngizinin 🙂 .. Dia agak kurang yakin aja sih, apalagi di rumah cm ada babysitter kalo kita sdg di kantor..

    • Dibilang sukses, iya. Dibilang nggak, gak sesuai target hehe. Dia targetnya sampe Aceh, tapi ternyata hanya sampe Medan. Positifnya, dia berarti betah berlama-lama tinggal di kota yang ia kunjungi, makanya gak sampe ke Aceh.

      Kontaknya di FB aja, itupun dia jarang. Ini aku dapet kabar dia nikah malah dari papanya hahaha.

      Iya, kalau hanya ada babysitter riskan juga mbak. Aku juga udah lama gak terima tamu dari CS lagi 😀

  18. Kebanyakan bule begini sih, open minded, dan ingin mencoba, dalam hal ini mencoba puasa itu. Btw tadinya saya niat juga ikutan puasa, tapi baru jam 8 sudah lemes, memang nggak sahur, soalnya nggak bangun sepagi itu, mungkin sahur jam 7an ya, lagi mikir-mikir

  19. Ping balik: Menumpang Gratis ala Couchsurfing dan Pengalaman Menggunakannya di Eropa | Omnduut

Jika ada yang perlu ditanyakan lebih lanjut, silakan berkomentar di bawah ini.

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s