Pelesiran

[Thailand] Rayuan Maut di Pasar Chatuchak

… tulisan lengkap mengenai perjalananku ke Thailand kurangkum di sini.

Sabtu pagi yang cerah, setelah melepas lelah semalaman, pagi itu peserta #TripBarengCK akan mengunjungi Pasar Chatuchak (ซื้อของที่ตลาดนัดจตุจักร) yang diklaim sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara (bahkan di dunia). Nggak tanggung-tanggung memang, di pasar ini terdapat lebih dari 15.000 kios dan setiap kunjungan per harinya rata-rata menyedot lebih dari 200 ribu orang. Padahal nih ya, Chatuchak hanya buka di akhir pekan saja, alias cuma Sabtu dan Minggu. Nah, nggak kebayang kalo pasar ini buka tiap hari ya 🙂

DSC_0636

Gerbang Pasar Chatuchak

Sehari sebelumnya Gem sudah mengingatkan, “besok pake celana pendek aja, soalnya panas!” memang, Bangkok pagi menjelang siang itu panasnya mulai terasa menyengat, tapi, berhubung belanjanya dari satu kios ke kios yang lain (yang tentu saja beratap), rasanya cukup adem kok. Aku yang pake jeans dan kaos nggak terlalu merasa kegerahan. Ya, panas-panas sedikit biasalah ya.

Dari hostel, menggunakan bus kami semua menuju Chatuchak. Nggak butuh waktu lama, kurang lebih 20 menit-lah, tahu-tahu udah sampe. Kami diturunkan di seberang jalan. Dari sini pun tanda-tanda keberadaan pasar tradisional sudah mulai terlihat. Para pengrajin kayu terlihat menempati area seberang pasar ini. Sepertinya toko ini khusus untuk kursi anak-anak TK kali ya 😛 oh ya, selama beberapa hari berada di pusat kota Bangkok, aku nggak liat ada pengemis, pengamen atau penjual koran (apalagi tukang bersih mobil pake kemoceng hehe). Bisa jadi karena pemerintah di sana menampung para tunawisma ini di suatu tempat atau saking ketatnya dan demi menjaga citra bangsa keberadaan mereka benar-benar diawasi terutama di pusat kota.

DSC_0632

Pengrajin kayu

Nah, ketika menggunakan tangga penyeberangan menuju Chatuchak inilah akhirnya aku berjumpa dengan ibu-anak pengemis. Secara tampilan mereka sama kayak di negara kita, tapi mereka tidak meminta dengan paksa, mereka cenderung pasif (kalo di Palembang sini, pengemis minta duit nggak dikasih, bisa-bisa kita dipukul atau diludahi grrggh).

DSC_0634

Menggunakan tangga penyeberangan untuk menuju Chatuchak di seberang jalan

DSC_0635

Lalu lintas tidak terlalu padat. Bisa jadi karena akhir pekan atau libur menyambut imlek

Dengan mengunjungi pasar Chatuchak, list terakhir ‘tempat yang ingin aku kunjungi di Bangkok’ akhirnya terpenuhilah sudah 🙂 (setelah sebelumnya ingin foto sama pak Soekarno dan jelajah Grand Palace). Begitu berada di depan gerbang Chatuchak, temen-temen yang lain sih sudah pada masuk ke pasar, nggak sabar pingin belanja kayaknya haha. Aku dan mbak Cho Eng yang doyan motret memilih untuk mengabadikan keberadaan kami di pasar ini terlebih dahulu hahaha. Nih diaaaa…

DSC_0638

Keliatan kan kalo Chatucak ini pasar banget 😀

Nggak jauh dari gerbang Chatuchak ada ibu-ibu yang membagikan peta secara gratis. Hweeh, memang ya, tokonya banyak banget. Keberadaan mereka dipisah per-area. Bagian makanan sebelah sini, toko baju sebelah situ, pecah belah disebelah sono begitu seterusnya. Nggak sampe 5 menit, rombongan sudah mencar kemana-mana. Aku dan mbak Cho Eng lalu menjelajah pasar bareng. Tujuan utama kami adalah mencari pernak-pernik untuk oleh-oleh.

Sebagai pecinta kartu pos, tujuan utamaku adalah mencari benda ini untuk dikoleksi juga untuk dibagi-bagikan. Aku lantas menelusuri kios-kios yang menjual banyak souvenir. Rasanya puluhan toko aku datangi tapi nggak satupun yang menjual postcards. Di beberapa kios yang aku hampiri, aku dan mbak Cho Eng tertarik dengan beberapa benda yang cocok untuk dijadikan oleh-oleh. Diantaranya cermin bercirikan negara Thailand ini.

DSC_0641

Cermin-cermin lucu 🙂

DSC_0640

Mbak Cho Eng sibuk memilih

Oh ya, di sini pedagang kasih harga awal gila-gilaan ya. Sayang mereka nggak tahu kalo yang beli orang Indonesia yang kalo nawar juga bisa sadis banget hahaha. Kayak cermin ini ya, awalnya satu buah harganya THB 100. Oleh kami, cermin ini ditawar jadi THB 50. “Jangan…jangan… 60 baht-lah,” sahut pedagang. Duh nyesel deh nawar separuh harga, harusnya kan nawar THB 30 aja tadi kwkwkwkw. Tawar menawar cermin saat itu berakhir dengan harga tengah, yakni THB 55 aja!

Oh ya, di tulisan-tulisan awal, aku udah bilang kalo selama di Bangkok aku cuma bawa THB 3000 aja. 😛 ya, memang dari awal udah niat datang ke sini bukan untuk belanja sih. Apalagi selepas perjalanan Bangkok ini aku nyambung perjalanan ke Belitong. Ngebayangin bawa barang aja udah males. Makanya, sedari awal udah niat mau cari barang yang kecil-kecil aja (selain aku khawatir soal backpack-ku yang ketika ditimbang di Soeta 23 Kg lebih! Ntar kena biaya bagasi tambahan pulak :p )

Selama perjalanan menjelajahi Grand Palace + makan di jalan aja duitku udah habis THB 1300 lebih. Jadi uang yang tersisa lebih THB 1800 alias Rp.500 ribuan aja. Nah, pokoknya belanja oleh-olehnya dicukup-cukupin segitu deh. Hehe. Selama kartu pos belom ketemu, aku masih nahan-nahan buat belanja. Untuk ukuran orang yang nggak doyan belanja aja nih ya, mataku bisa-bisanya kalap lihat barang ini itu yang murah-murah dan lucu-lucu.

Walaupun belom nemu postcard, akhirnya aku gak nahan buat beli magnet kulkas THB 200 dapet 8 biji. Trus, dari awal aku udah ngincer banget untuk beli piring bergambar panorama Thailand. Harga yang ditawarkan gila-gilaan euy. Satu piring kecil rata-rata THB 250. Aku sempet ngerayu pouuulll agar pedagang ngasih harga THB 100 aja (dia tetap tahan harga di THB 130), sampe-sampe aku dicuekin dan aku pergi soalnya ngeri disambit sapu sama yang jual hahahahaha.

Tapi seenggaknya aku dan mbak Cho Eng sudah punya patokan harga. Paling tidak di penjual yang lain, minimal banget dapetin tuh piring THB 130 juga. Selama pencarian, kami sempat mampir untuk beli kaos dulu. Rata-rata harganya THB 100. Jika ukurannya lebih gede, harga lebih tinggi sedikit. Naaah, di sini aku ketemu sama peserta tur lain. Hebaaaaat, bahkan ada yang borong dua lusin lebih buahahahahaha! (termasuk mbak Cho Eng xixixi).

Di pedagang kaos yang penjaganya cuantiiikkkk buangeeeet ini (sayang lupa foto saking terkesimanya haha), kami nawar gila-gilaan. Lha iya dong, lha wong belinya udah berlusin-lusin gitu. Ada lima orang yang beli, dan rata-rata beli lusinan, masak nggak dikasih diskon. Perjuangan nawar di sini cukup alot ternyata haha. Si penjual nggak mau terima duit kita jika masih belum deal. Ya udah mau gak mau kita bayar sesuai harga (itupun setelah di diskon THB 200 lebih. Kita kan maunya diskon lebih dari 50% buahahahaha).

Udah dapetin kaos (aku sih cuma beli dua doang, buat kedua adik di rumah). Kami coba cari penjual piring lagi. Akhirnya kami mendatangi seorang pedagang yang sebelumnya sudah kami datangi, tapi yang jaga si anak usia SMP dan nggak bisa diajakin transaksi pake bahasa tarzan sekalipun. Kali ini emaknya sudah ada dan jaga jualan.

y1

“Hiasan dinding? oooh 200 baht,”ujar si Ibu.

Mulailah tawar menawar piring dilakukan. Sama kayak pedagang lainnya, harga awal yang dikasih THB 250, dan aku ngotot nawar THB 100 *hihi* tapi tetep aja nggak dikasih. “Ya udah, kalo ibu kasih THB 130, aku ambil 5, gimana?” tawarku. “Hmm… ya udah deh gapapa,” sahutnya. Sip, beliau mau. Aku juga tertarik dengan sebuah gambar dinding, “gambar itu berapa harganya, Bu?” tanyaku. “Oh, itu THB 200 aja. Tapi karena kalian sudah beli banyak, aku kasih THB 150 deh.”

“Ah mahal banget. THB 100 ya?” tawarku. “Wah jangan, kalo segitu saya gak balik modal. THB 125 ya?” lamaaa banget kami tawar menawar sampe akhirnya aku yang nyerah, “silahkan di cek, nggak ada yang jual hiasan dinding semurah ini. Saya bisa kasih harga minimal THB 150, tapi berhubung kalian udah borong, saya kasih THB 125.” Ya ya ya… ya udah deh sikaaaat. Aku dan mbak Cho Eng masing-masing beli 1.

Piring 130 x 5 = THB 650. Hiasan dinding 125 x 2 = THB 250, total THB 900. Dengan uang pecahan 1000 baht masih sisa THB 100. “Mainan tas ini  THB 100 aja ya! Biar nggak usah kembali lagi,” tawarku kepada satu deret mainan tas isi 6. Tanpa ba bi bu, penjual mau kasih harga segitu.

Barang yang dibeli mulai dimasukin plastik. Uang pecahan THB 1000 udah aku kasih, tiba-tiba… “Ini uangnya kurang THB 100,” kata si ibu penjual. Heeh, kok bisa kurang? Aku lalu menjelaskan rincian barang yang kubeli. “Kan piring THB 130, trus gambar dinding…” belom sempat aku selesai ngomong si ibu sudah ngebantah. “Tidak… tidak… piring itu harganya THB 150,” argumen si ibu.

Wadoooooh, gimana ini, padahal sebelumnya udah jelas dikasih THB 130. Angka yang kutekan di kalkulator sudah cukup jelas kok. Apa ini termasuk scam juga, ya? Aku dan mbak Cho Eng bersihkeras kalo sebelumnya harga piring itu udah deal THB 130. Si ibu ternyata sama keukeuhnya. “Ya sudah kalo nggak jadi nggak apa-apa, saya nggak bisa kasih harga segitu,” sahut si ibu. “Ya udah deh batal, aku beli hiasan dindingnya aja. Dua buah THB 250, kan?” sahutku agak sebel. “Nggak, satu hiasan harganya THB 150. Tadi saya kasih THB 125 karena kalian sudah borong piring, kalo sekarang nggak jadi, saya nggak bisa kasih harga segitu.”

y4

Ngotot-ngototan bersenjata kalkulator 😀

Damn! Menyebalkan banget rasanya. Karena nggak ada yang mau ngalah, jadilah kami mengurungkan diri. Kami berdua lalu pake strategi pura-pura pergi. Ehh si ibu nggak manggil-manggil hahahaha. Aku lalu berdiskusi dengan mbak Cho Eng, “mbak apa kita balik lagi aja ya?” saranku hehe. “Apa nggak apa-apa? Kamu malu nggak?” ujar mbak Cho Eng. “Alaaaah cuek aja mbak, lagian waktunya mepet banget nih. Sudah mendekati jam kumpul,” sahutku. “Ya udah deh, kita balik lagi aja,” ajak mbak Cho Eng.

Kami lalu kembali ke kios ibu itu. “Tadaaaaa…. Kami kembali bu. Gapapa deh kami jadi beli semuanya, soalnya udah capek mau blusukan ke dalem lagi,” ujarku cuek hehe. Melihat kami kembali si ibu senyum sumringah. Kesimpulannya : hari itu aku kalah dari seorang ibu-ibu hahahahaha! Btw, tapi piring seharga THB 150 itu masih worth it lah. Piring yang dijual si ibu emang motifnya lebih bagus ketimbang di penjual sebelumnya.

Setelah pembayaran selesai, kami lanjut ke tempat lain. Oleh-oleh buat orang tua belum ada euuy. Daaaan… aku masih belum nemu kartu pos *nangis*. Awalnya kami mau beli tas tangan, tapi nggak jadi. Mbak Cho Eng juga udah naksir berat sama kain tradisional, sayang uang bahtnya udah menipis. Ujung-ujungnya, aku beli hiasan buat dipajang di rumah. THB 100 baht saja (padahal di pedagang sebelumnya sempat dikasih THB 90).

Nggak kerasa ya, waktu 4 jam berlalu. Harusnya dengan waktu sebanyak itu udah termasuk makan siang. Oh ya, sempat liat juga ada penjual makanan halal di sini. Kayaknya menggiurkan, tapi berhubung waktu mepet, kami urung makan di sana. Jadilah, untuk menganjal perut kami berdua milih beli buah aja. Aku beli nanas potong (nanas terenak yang pernah kumakan haha) dan mbak Cho Eng pilih mangga. Banyak penjual makanan sih sebetulnya, tapi lagi-lagi aku khawatir dengan kehalalannya.

y7

Berdiri di sini cuma buat di foto doang lho hahaha

DSC_0643

Mungkin kayak gado-gado kali ya 🙂

Ketika akan menuju meeting point, kami lewat kios-kios bagian depan pasar. Eh ada penjual hiasan dinding yang motifnya sama persis dengan yang kami beli. Aku jadi penasaran pingin tanya harganya. “Only one hundred baht. Murah…murah…” sahut penjual dengan sebagian menggunakan bahasa Indonesia. Wadoooooh, kena tipu si ibu. Dia bilang kan, “silahkan dicek, nggak akan ada yang jual lebih murah ketimbang saya!” oalaaaaah, kami termakan omongan si ibu. Belom ditawar aja harga bukanya cuma THB 100. Gimana kalo udah ditawar coba? hiks. Ahhh sudahlah, mungkin sudah rezekinya si ibu kali ya 😛

Info : Ada anggapan bahwa semakin ke dalam, maka harga di sana lebih murah. Dengan pengalamanku ini, anggapan itu sudah terbantahkan ya! Nggak selamanya harga barang di dalam lebih murah ketimbang di luar.

Di meeting point, ternyata masih belum banyak peserta tur yang ngumpul (tahu gitu kami juga lama-lama deh di dalem hehe). Di sini, CK memanggil aku dan mbak Ira. “Hayo yang menang #TripBarengCK, ke sini yuk, kita foto bareng.” Dan inilah hasilnya…

DSC_0650

Bersama CK 🙂

Pada akhirnya ya, setelah 4 jam berpindah dari satu kios ke kios yang lain, aku nggak menemukan SATU PUN penjual kartu pos. Huaaaa nyeseeeeeeelll banget kemarin gak beli di penjual yang ada di Grand Palace. Hmm, bisa jadi memang ada penjual kartu pos di pasar TERBESAR ini, tapi kok aku gak nemu, ya? *poor me* Perjalanan di Chatuchak berakhir sudah, tapi… untuk wisata belanja ke tempat lain belom selesai dong 🙂 tujuan selanjutnya adalah : IKEA

…. Bersambung.

43 komentar di “[Thailand] Rayuan Maut di Pasar Chatuchak

    • Ada mbak Noni 🙂 Habis ini ya ceritanya. Iya, gede banget, waktu mau nyari meeting point dari jauh udah keliatan gedung seberang jalan, eh ujung-ujungnya nyasar juga hahaha.

  1. Pasar besar, capek pastinya ya Cek Yan kalo dihampiri semua kiosnya. Lumayan buat pelangsingan :))
    Selama belanja, tawar menawarnya pake bahasa Thailand? Apa bahasa badan? 😀
    Eh itu baru liat penampakan mbak CK-nya.

    Pengalaman yang menarik, Cek Yan. Tfs.

    • Selama belanja kebanyakan pake bahasa Inggris mbak. Salut juga sama pedagang sana, walaupun emak-emak, bahasa Inggrisnya lumayan 🙂 Kalo nggak ngerti pake bahasa kalkulator hihi. Waktu itu, kayaknya 1/4 pasar aja nggak kedatang semua saking itu pasar gede banget ^^

  2. hahaha kalah sama si ibu.. daku sih bukan tukang belanja, kalu ga dapat ya udah bukan rejeki.. ga tahunya di depan lebih murah meriah.. iya salah juga kalu ada yang bilang makin ke dalam makin murah.. ku belajar di pasar bali tuh, ternyata makin jeli yang makin murah.. ada yang dalam murah ada yang depan murah..
    kapankapan aja kalu mo ketemu kartupos mah.. jangan nyesel lamalama..

    • Iya, kalo nemu pedagang yang mau kasih harga murah itu artinya lagi rezeki 🙂 Masih nyesel nih mbak Tin, soalnya kan emang suka sama kartu pos. Ya, lama-lama akan hilang rasa sebelnya.

  3. membaca tulisanmu…. ternyata harga ku lebih murah wkwkwkwk cermin aku dapat 40 THB, hiasan dinding 2 buah 150 THB, awalnya minta 100 THB, Piring yg warna emas atau silver ya, motif Thai… kalo ga salah aku 120 THB…. xixixixixi selamat besok kalo ke Chathuchak jadi referensi ya harga ku hahahaha

    • Issh tega banget nih ya kasih bocoran. Hahaha…. ampoooon emang kalo emak-emak, nawarnya pasti lebih dahsyat. Eh mbak Ika, tahu nggak kalo kita berdua itu nyariin mbak Ika. Secara yaaa yang stok bahtnya banyak, kan bisa kita pinjem dulu gitu hahahahaha…

  4. Waaaaaa, ini edisi yg paling ditunggu2, penasaran sama pengalaman berbelanja disana 😀
    Dulu seringnya dapet harga yang “one-fifty”, cara penjual2 nyebut 150 baht.
    Dan sama, belanjanya sambil kalkulator hihihihihihi, kadang klo lagi gak heboh, suka mengkonvert ke nilai rupiah *kurang kerjaan*
    Inget, pernah agak “sakit hati” pas beli dompet kecil. Di tengah pasar semua nawarin 100baht/4 dompet (jadi dapetnya 25baht/dompet) eh pas mau pulang, dipinggir pasar nemu si dompet dijual eceran dengan harga 10 baht, hix 😦

    Eh klo aku dibisiki => “mbak apa kita balik lagi aja ya?” … “Alaaaah cuek aja mbak, lagian waktunya mepet banget nih. Sudah mendekati jam kumpul,” Aku pasti juga ikutan balik ke si penjual, kapan lagi bisa kesana hihihihihihi

    • Beberapa malah pake bahasa jari. SATU. LIMA. NOL. Hehe. Kebanyakan sih udah bisa pake bahasa Inggris. Mungkin ala bisa karena biasa kali ya 🙂 Naaaah…. harusnya THB 100 bisa dapet 10 dompet tuh hihi. Kayaknya kita sama-sama ‘kena tipu’ ya haha alias membeli di pedagang yang salah. Salah karena nggak bisa kita ‘tekan-tekan’ hingga dia mau menurunkan harganya 😀

      Iya, lagian, selepas kita pergi, paling dia udah lupa. Belum tentu ketemu dia lagi hahahaha.

  5. Pas ke sini, aku cuma belanja baju-baju dari sutra, harganya murah dibanding di sini, ataupun di Indonesia. Dan….sama seperti dirimu, aku ke sini hari terakhir, di mana duitku dah menipis, setelah malam sebelumnya kena tipu di Pat Pong, masuk pertunjukan yang aneh-aneh itu….,maklum penasaran, kena 1500 Bath, untuk satu gelas Coca-Cola….:(

    • Temenku yang penasaran sama Patpong juga ketiban sial mbak haha. Bukannya ke Patpong yang tempat ‘itu’ tapi malah nyasar ke cafe dengan nama Patpong, ujungnya mereka cuma ngopi-ngopi hehehe.

  6. yayan, kartu pos itu di area magnet kulkas. banyak banget lho. karena kupikir yayan udah beli di sana, aku ga jadi beliin kemarin. hrhehe

    • Astaga, kok aku masih gak ketemu ya Kang? hiks… ketemu yang jual magnet kulkas tapi tetep gak liat penjual postcard. 😦
      Biar Kang, nanti aku balik lagi ke sana, sekalian mau balas dendam ke ibuk-ibuk itu hahaha

  7. Chatuchak = racun. Hehehehe. toko langgananku ada di Sector 4 yg rada adem. “A Lot of home” yg jualan pernak pernik rumah,kamar, dan traveling. Juga ada 70’s Up yg jual barang2 dengan desain retro & psychadelic.

    • Bukanya dari jam 8-an. Tutupnya aku lupa tapi kayaknya sore nggak sampe malam. Nah waktu itu dari Chatuchak karena rame-rame jadi naik bus sewa. Ke IKEA agak jauh 1 jam-an. Kayaknya alternatifnya taksi atau tuktuk. 🙂

  8. terimakasih atas sharing pengalaman di Thailand. Semoga suatu saat Allah mengarahkan angin agar meniup langkah kaki saya ke sana juga. Suasananya seperti di Indonesia. Bahkan foto jembatan penyeberangan dan jalan di bawahnya mirip sekali dengan di pasar Jatinegara. Mirisnya kalau di LN, g di Asia g di Eropa rupiah selalu nilainya lebih rendah 😥

    • Sama-sama mbak 🙂 Alhamdulillah jika apa yang aku tulis ada manfaatnya.
      Amin, jika mbak baca dari awal tentu tahu bahwa aku bisa ke Thailand pun tanpa diduga. 🙂 InsyaAllah kesempatan selalu terbuka.
      Iya, Bangkok nggak jauh beda dengan Indonesia. Paling transportasi mereka yang jauh lebih baik. Untuk rupiah…. memang nilai tukarnya rendah. Tapi setidaknya lebih tinggi dari dong Vietnam 🙂 nilai rupiah 2 kali lipat dari dong 🙂

      • Browsing all about Thailand
        Eh…nemu blog ini..
        Makasih banget ya 😀
        Bs buat refrensi travelling q bzok..
        Pas d hr terakhir pas hari saptu
        Mdh2n k Chatuchak jg 🙂
        Tp semoga gx ketemu ibu itu yaaaaa…
        Aamiin O:)
        Hahaha….

        • Hahaha, jikapun ketemu ibu itu, udah tahu kalo nawar harga ke dia harus ekstrem mbak 😀
          Selamat jalan-jalan, hati-hati ya, mengingat kondisi Bangkok agak kurang bagus belakangan

  9. ingin banget ke tempat ini, buat belanja yang banyak, tp kurang bs nawar, klu nawar takut kena marah, hihihhi, gimana ya jurusnya

    • hi Mun 🙂 Makasih udah mampir ke blogku ya. Haha, sebetulnya aku juga gak jago nawar dan tipenya gak enakan. Cuma, ya mumpung ada di sana. Trus mikirnya, “udah nekat aja, lagian besok gak ketemu lagi” hihihihihi

  10. Ping balik: Oouch! Saya Tersasar di Blog Omnduut | La Rêveur Vrai

    • Salam kenal kembali 🙂 kalo sektor makanan aku lupa nomernya, tapi makanan sektornya agak di depan ^^ dan aku gak lihat makanan kering kayak ikan, juhi dsb karena memang gak banyak ke sektor makanan waktu itu. Jika apakah bisa ditawar, YA! 😀 semua bisa ditawar di pasar tradisional ini 🙂

  11. Salam kenal mas. aku Bram, aku mau nanya kira2 klu mau ke pasar chatuchak rute mana ya? trus nginep yang murah kisaran 200 ribuan per malam dimana ya?
    tolong jawab ke emailku ya.

  12. Wah, minggu kemarin tanggal 18 Januari 2015 aku sama temenku nemu kok mas kartu pos. Harganya 10bTHB. Ga bisa ditawar sayangnya T_T Kita dicuekin. Akhirnya aku beli 2.
    Eia, kebetulan tempat kami magang di daerah Chatuchak. Naik taksi sekitar 70 THB.

    • Ntah ya, aku kayaknya apes akibat terlalu pelit di Grand Palace hahaha. Pasar segede gitu kok gak liat dan gak ada yang tahu dimana penjual kartu pos. 10 THB kurang lebih sama kayak di Indonesia. 3000-an ya? 🙂

  13. Ping balik: Serunya ”Mencicipi” Perayaan Imlek di Bangkok |

  14. Ping balik: 7 Jurus Jitu Berbelanja di India : Serunya Blusukan Ke Pasar Tradisional |

Tinggalkan Balasan ke tinsyam Batalkan balasan