Pelesiran

Impian Ke Eropa Itu Lunas di Leopoldsberg

.

Seorang teman secara ruting bilang ke saya, “hayo dong bikin buku perjalanan. Tentang jalan-jalan gratisan karena menang lomba,” ujarnya. Hmm, saya sih memang udah lama banget mau bikin buku tentang perjalanan. Selama ini kan tulisan perjalanannya baru muncul di antologi, alias buku yang ditulis keroyokan. Satu-satunya buku solo yang saya tulis itu ya tentang pengalaman saat ngegembel jadi teller di bank hahaha. Cerita di balik terbitnya buku itu dapat dibaca di sini, ya!

Nah, balik lagi ke saran teman saya itu. Iya sih saya udah beberapa kali menang lomba yang hadiahnya jalan-jalan. Tapi kayaknya belum terlalu banyak juga. Mungkin, nanti kalau saya menang lomba ke-5 benua baru deh ya saya tulis. Judul bukunya mungkin, “Si Gendut Beruntung Menang Pelesiran ke Lima Benua” hahaha. Mana aminnya gengs? Amiiin.

Tapi, jangan salah ya. Saya juga sering jalan-jalan modal sendiri. Ntah saya harus senang atau sedih kalau pas saya jalan, ada yang nanya….

“Ini jalan-jalan karena menang lomba yang mana?”

“Wah asyik ya bisa ke sana. Dapat undangan dari sponsor, ya?”

“Hebat euy bisa ke situ. Pasti jadi simpanan tante-tante!”

Jalan menuju Leopoldsberg

Haha yang terakhir saya ngarang tentu saja. Walau mungkin ada juga yang berpikiran demikian lol. Nih ya, saya jelaskan. Jalan-jalan itu udah jadi passion saya. Sejak kecil ya saya sahabatan sama peta dunia dan globe. Hobi saya ngumpulin kartu pos pun terkait akan mimpi saya untuk dapat mengunjungi tempat-tempat yang ada di kartu pos itu. Makanya, demi sebuah passion, saya merelakan banyak hal demi dapat menabung buat pelesiran.

Ada banyak jalan bagi seseorang untuk dapat melakukan perjalanan. Seperti yang saya singgung, paling mudah tentu dengan menabung dan mengeluarkan uang dari kartu debit sendiri. Sebagian lagi, orang dapat pelesiran karena banyak sebab. Misalnya dikirim kantor buat bussiness trip sambil jalan-jalan colongan, dapat undangan dari pihak sponsor atau juga ya menang kompetisi. Macam-macamlah, tergantung rezekinya.

Santai di Leopoldsberg

Dari dulu, saya emang suka ikutan lomba/kompetisi yang hadiahnya jalan-jalan. Beberapa kali berhasil, namun lebih banyak juga yang belum beruntung. Kadang, orang lihatnya saat berhasil saja. Prosesnya nggak hehe. Nih ya, kalau saya kasih lihat folder berisi tulisan lomba, kalian pasti kaget karena jumlah tulisannya banyak.

Eropa adalah benua impian saya. Tak heran, jika ada kompetisi yang dapat mendekatkan saya ke impian itu, saya akan giat mengikutinya dengan serius. Saya yakin banget bahwa suatu saat saya akan ke sana. Ya, selain mencoba beberapa peruntungan, saya juga menabung. Dan, alhamdulillah, kesempatan itu datang di awal tahun 2018 di mana saya terpilih sebagai pemenang utama lomba yang berhadiahkan sepasang tiket menuju London.

Yuhuu, Eropa, saya datang!

Walau begitu, banyak hal yang harus saya persiapkan. Misalnya saja pengurusan visa, mempersiapkan biaya hidup selama di sana, mencari tumpang di couchsurfing dsb. Intinya, memenangkan lomba berhadiah ke Eropa gak serta merta bikin saya ongkang-ongkang kaki.

Sulit digambarkan betapa noraknya saya saat kemudian menghidup udara di Eropa dan merasakan dinginnya cuaca di musim gugur. Andai ada Vidya Balan, udah saya ajak joget India kali ya hahaha. Saya sangat menikmati perjalanan hampir 1 bulan di sana. Namun, ada satu momen saat kemudian saya mengingat perjuangan-perjuangan saya sebelumnya dalam mewujudkan impian saya ke Eropa.

Momen itu terjadi di Leopoldsberg!

Jalan Panjang Menembus Eropa

Rasanya udah banyak sekali lomba berhadiah perjalanan ke Eropa yang saya ikuti. Namun, ada beberapa lomba besar yang rasanya saat itu Eropa sudah dalam genggaman, namun serta merta terlepas saat pengumuman pemenang dilakukan haha.

Kecewa?

Oh itu makanan saya! Tapi, semakin lama berkecimpung di perlombaan, semakin selow-lah saya. Ya mau gimana lagi kalau belum rezeki, ya kan? Masa iya saya harus mengancam Tuhan kayak si tante nganu itu haha. Mau ditarok di mana lemak saya yang banyak ini. Eh.

Ini nih yang bener, ke Leopoldsberg naik sepeda. Nggak naik bus kayak saya lol

Kota Wina dilihat dari Leopoldsberg. Sayang cuaca berkabut.

Suasana pinggiran kota Wina

Saya ingat dulu, sekitar tahun 2013, penulis buku traveling Claudia Kaunang membuka audisi untuk mencari asisten. Bukan sembarang asisten, karena siapapun yang akan terpilih, akan menemani dia jalan ke semua rute Open Trip yang diadakan, termasuklah trip ke Eropa.

Nggak pernah seserius itu saya mempersiapkan proposal. Dulu bikin skripsi kayaknya gak sepusing itu haha. Ya maklum, soalnya saat itu saya merasa, itu satu-satunya kesempatan yang ada, jadi kalau nggak dapet, kecil kemungkinan akan ke Eropa “gratisan” nantinya.

Hasilnya? Saya nggak terpilih. Tapi, selang beberapa waktu kemudian, saya terpilih sebagai salah satu pemenang trip ke Bangkok. Itulah momen saat paspor saya pecah perawan. Paspor yang sudah saya buat sejak 3 tahun sebelumnya itu akhirnya terpakai juga.

Masih di tahun yang sama, muncullah lomba menulis yang diadakan oleh NESO. Hadiahnya nggak main-main, yakni summer course selama 3 bulan di Universitas Utrecht yang ada di Belanda. Untuk ikutan lomba ini, saya juga mempersiapkan tulisannya gila-gilaan. Saya bikin 3 tulisan yang sayangnya masuk di 20 besar finalis saja nggak! Hahaha nasip! Sedih euy.

Saya kecewa bukan main karena merasa 3 tulisan itu berpotensi untuk menang. Harapan saya, minimal banget panitia NESO pilih salah satu tulisan sebagai finalis agar bisa dibaca langsung oleh dewan juri. Tapi ya, lagi-lagi artinya belum rezeki. Bisa jadi emang tulisannya jelek, kan? Haha. Yang bikin saya nyesel ialah, saya nggak sempat ke Utrecht saat ke Belanda akhir tahun lalu. Padahal, lumayan ya bisa pose kece di depan kampus itu. Demi sebuah “rasa dendam” hahaha ampun!

100 besar finalis TBBE. 12 blogger Indonesia masuk 25 besar.

Sekitar tahun 2015 ada lagi kompetisi yang memungkinkan saya untuk menjejakkan kaki ke Eropa. Lombanya bertajuk The Big Blog Exchange yang diadakan oleh Hostelling Internasional. Intinya sih, blogger yang terpilih sebagai finalis akan ditukar kehidupannya dalam beberapa waktu. Misalnya blogger Malaysia akan ke Jerman, begitupun sebaliknya.

Ternyata, ini lomba yang zonk. Banyak blogger Indonesia yang masuk di deretan 25 besar. Tapi, nggak ada satupun yang terpilih. Heboh dong hahaha. Nah berdasarkan analisis abal-abal, blogger Indonesia nggak terpilih karena belum ada jaringan Hostelling Internasional di Indonesia. Gila, kan! Mestinya sejak awal mereka ngadain lombanya buat blogger yang di negaranya ada jaringan HI saja.

Tapi tentu ada hikmahnya. Saya dan finalis-senasip-lainnya sampai sekarang jadi teman baik. Satu bagian yang seru lainnya ialah saat saya ke kota Zagreb, Kroasia, tanpa direncanakan (karena apartemen yang saya pesan tidak dapat saya gunakan) saya sempat menginap di salah satu hostel yang termasuk dalam jaringan Hostelling Internasional buahaha. Lucu kan jalan hidup saya!

Saat berkompetisi di lombanya Yoris.

Selanjutnya, sekitar Agustus 2017, penulis sekaligus motivator Yoris Sebastian mengadakan lomba bertajuk Langgas To Europe. Dibandingkan lainnya, lomba ini sangat sederhana. Hanya dengan posting foto di IG, tadaaa, kamu akan diajakin ke beberapa negara di Eropa.

Foto saya sempat masuk di kolase foto yang disukai oleh Yoris. Sayangnya, lagi-lagi saya belum beruntung. Tapi, secara udah sering ikutan lomba yekan, lebih selow. Mentalnya sudah terasah. Kecewa? Manusiawilah, tapi saya cepat move on. Ingat, kalau belum rezeki, mau dipaksa gimana juga gak akan jadi hak kita. Sayangnya, saat kisah perjalanan mereka dibukukan, saya kecewa dengan buku tersebut. Kekecewaan itu saya tuangkan dalam ulasannya di sini.

Dik Fatin, Nih Abang Udah Sampe ke Eropa!

“Fatin siapa sih?”

Itu, Fatin yang jebolan ajang kompetisi menyanyi yang herannya kalau nyanyi suka lupa lirik itu loh. Jadi, saat itu kan Fatin lagi ngetop abis. Dia dipercaya sebagai penyanyi lagu film 99 Cahaya di Langit Eropa. Nah, dengan sponsor utama KFC, Fatin mengadakan lomba bertajuk Goes to Europe Bareng Fatin. Syaratnya, harus berfoto di KFC.

758f316b-8bd9-48e2-975d-dc556a8ed65c

Demi ke Eropa! haha

Dengan  iming-iming hadiah perjalanan ke Turki, Austria, Perancis dan Spanyol, jelas saja saya gak mau ketinggalan. Padahal saya mah gak ngefans sama Fatin hahaha. Tapi, tetap dong, saya persiapkan lomba ini dengan baik. Saya kepikiran berfoto dengan menggunakan tanjak, topi khas Palembang. Untuk melengkapi, saya juga bikin gambar beberapa ikon bangunan terkenal di Eropa yang akan saya pakai saat foto.

Terbukti, foto itu berhasil menarik minat juri. Saya dikabari kalau terpilih jadi finalis. Untuk menjadi pemenang utama, saya harus ke Jakarta dan mengikuti prosesi selanjutnya secara live di acara Dahsyat RCTI. Haha serius banget ya kayaknya. Sempat sih kepikiran untuk datang. Tapi, karena feeling saya nggak enak, saya kemudian memutuskan untuk tidak datang ke Jakarta.

Hanum dan Rangga saat (pura-pura) nggak sengaja ketemu Fatin. Adegannya sebentar, tapi banyak dibully netijen hehehe. Image source : detik dot com

Hei dik Fatin, nih abang sampe di tempat yang sama.

Benar saja, saat saya nonton caranya, semua finalis diuji pengetahuannya tentang Fatin. Pertanyaan yang ditanyakan misalnya saja, kapan Fatin lahir, lahir di mana, siapa nama orang tuanya, dulu ngelahirin sesar apa normal buahaha. Ya kurang lebih begitulah. Untung kan saya gak datang. Saya mah maneketehe soal begituan mah.

Terlepas dari lomba Fatin itu, saya memang suka bukunya (well, mbak penulis, mending nulis novel aja deh ketimbang titiktitik), so, saya memutuskan untuk nonton filmnya di bioskop. Benar saja, di salah satu adegan yang berlangsung di dataran tinggi, Fatin muncul.

Ceritanya sih, Hanum dan Rangga gak sengaja sepapasan sama Fatin yang lagi syuting video klip. Adegan  sekian detik ini cukup membekas di ingatan saya walaupun adegannya sendiri banyak dibully netijen, terlebih sama hatersnya Fatin hahaha.

Nggak Sengaja ke Leopoldsberg

Di kota Wina, saya jumpa dengan Mbak Rini dan Mbak Desti. Mereka ini WNI yang mendapatkan beasiswa belajar di Wina. Selain mereka, saya juga bertemu dengan Mas Sony dan Nara –anaknya yang kiyut. Mas Sony tinggal dan bekerja di Wina. Nah, oleh merekalah saya akhirnya dikompori untuk mendatangi Leopoldsberg, tempat syuting film 99 Cahaya di Langit Eropa.

“Nggak jauh, kok!” ujar Mbak Rini.

“Nanti saya temani. Kita janjian ketemu di sana,” kata Mas Sony. Sebelumnya, sudah sejak sore saya diajak keliling sama Mas Sony. Dibawain bekal siomay yang nikmat banget! Sampe ditraktir pula di salah satu restoran fancy yang masuk ke dalamnya saja saya minder hahaha.

“Biasanya orang jalan sampai Kahlenberg saja. Tapi, kalau mau ke tempat syuting itu, mesti naik lagi ke atas. Langsung saja pakai bus jurusan Leopoldsberg, ya!” info dari Mas Sony.

Perjalanan ke Leopoldsberg. Aslinya sih ini saat akan pulang hehehe

Jadilah, berbekal informasi dari mereka dan juga petunjuk google, saya akhirnya berhasil mendatangi Leopoldsberg. Lucunya, saya nggak sengaja ketemu Mas Sony di dalam bus, padahal tadinya kita janjian di tempat tujuan. Saya kaget ada yang nepok pundak di bus. Takutnya cewek cakep mau hipnotis gitu. Walau, tanpa dihipnotis pun abang rela, neng! Hahaha.

Leopoldsberg sendiri merupakan bukit paling terkenal di Wina. Berada di 1.394 kaki atau 425 meter di atas permukaan laut, Leopoldsberg menjulang di atas Sungai Danube. Tak seperti kebanyakan pegunungan di zona flysch, Leopoldsberg memiliki lereng curam karena kekuatan erosif dari Sungai Danube di satu sisi dan dari sebuah sungai kecil di sisi lainnya.

Syukurnya, dari tempat pemberhentian bus, jalanan menuju ke atas sudah bagus dan dipagari beton sehingga nyaman dan aman. Untuk menuju puncak juga nggak sulit. Jalan kali sekitar 10 menit juga sampai. Oh ya, sebelum naik ke atas, di dekat halte bus terdapat sebuah monumen berupa 3 buah patung yang dinamakan Cossacks Monument. Monumen ini dibangun untuk mengenang peperangan Austria melawan Ukraina.

Halte busnya. Hebat bus segede ini bisa sampe ke puncak

Cossacks Monument

Saat saya datang ke sana, matahari bersinar terang walau cuaca dingin. Sepanjang perjalanan ke atas, saya dapat melihat kota Wina dari kejauhan. Sayang, kabut cukup tebal sehingga kota nampak samar terlihat. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa hepi yang saya rasakan.

Kawasan Leopoldsberg ini nggak begitu besar. Tahu-tahu, saya sudah tiba di satu area yang terlihat semacam ruang terbuka. Dari atas sana, pemandangan kota Wina nampak semakin jelas. Di sinilah saya ingat satu adegan di film 99 Cahaya di Langit Eropa, yakni saat Ayse dan ibunya Fatimah (Raline Shah) berbincang banyak kepada Hanum (Acha Septriasa).

Dari sini, bisa ngeliat kota Wina dari atas.

Bawahnya sih itu bukan jurang, ya. So pose ini amanlah buat saya.

Pemandangan ini muncul di film 99 Cahaya di Langit Eropa

Saat saya ke sana, suasana cukup sepi. Jadilah saya dan adik puas foto-foto. Demi hasil yang haqiqi, saya rela membuka jaket dan kedinginan saat difoto haha. Bahkan, pohon “mati” yang kami lihat di google tempat Acha dan Abimana foto masih ada di sana. Jadilah kami narsis foto dengan pose yang sama hahaha.

Nggak lama, kami kembali ke bawah, menuju sebuah bangunan yang ternyata merupakan Gereja Leopoldsberg. Gereja yang dibangun pada tahun 1679 sebagai bentuk dedikasi terhadap Saint Leopold ini tidak dapat kami masuki. Gerbangnya terkunci. Sempat ada satu pengunjung yang membawa ibunya dengan kursi roda. Mereka mengetok keras pintu gerbang tapi nggak ada jawaban.

Kelihatan kan gerejanya? nah ini gerbang pintu masuknya. Di sinilah Fatin muncul di film itu.

Finalis ANTM dengan posenya yang menjijikkan hahaha

Tepat di dinding gerbang gereja, terdapat sebuah kran air yang dibangun pada tahun 1936. Saya sempat mengisi botol air minum saya di sana. Rasanya segar sekali! Saya sih belum ke Swiss ya! Tapi dari semua kota yang saya datangi, tap water paling segar ya di Wina ini. Kami sempat duduk santai di sana bersama beberapa pengunjung lain sebelum kembali ke halte bus dan menemui Mas Sony di Kahlenberg.

Mampir Ke Kahlenberg

Untuk berkeliling di Wina, saya membeli tiket terusan seharga 8 euro atau sekitar Rp.140.000. Mahal? Iya sih, tapi dengan tiket terusan itu saya bebas pakai transportasi umum apa saja di kota Wina. Termasuk berganti kereta, tram dan bus untuk menuju Kahlenberg. Nah, dari Leopoldsberg menuju Kahlenberg tidak begitu jauh. Cukup naik bus sekitar 10 menit.

Sesampai di Kahlenberg, saya menuju ke satu area yang nampak ramai. Saya mau mencari Mas Sony. Ternyata, turis jauh lebih banyak di Kahlenberg ini. Soalnya ada cafe dan restoran. Dari sana, pemandangan kota Wina juga nampak jelas.

Gereja di Kahlenberg

Lebih banyak bangunan juga di Kahlenberg ini. Nampak juga sebuah gereja besar yang tentu saja jauh lebih modern ketimbang gereja yang ada di Leopoldsberg tadi. Tak lama setelah bertemu dengan Mas Sony, kami sempat jalan sebentar sebelum lanjut jalan ke destinasi selanjutnya. Baiknya Mas Sony ini, setelah sehari sebelumnya ditraktir dan dibawain bekal, eh ternyata di Kahlenberg, Mas Sony udah siapin camilan juga buat kami. Tak hanya sampai di situ, setelah kami lanjut jalan, lagi-lagi Mas Sony kasih bekal buat makan malam dan juga souvenir. Haaa, tahu saja kalau kami kere ya mas! Hahaha. Terima kasih banyak ya Mas Sony dan keluarga.

Ada restoran kayak gini di Kahlenberg. Makanya banyak yang datang ke sini.

Cerita petualangan saya di Wina belum berakhir di sana. Masih banyak tempat menarik yang belum saya ceritakan. Yang jelas, dari tulisan ini, saya ingin kasih tahu bahwa rencana Tuhan terhadap rezeki kita itu sudah diatur. Lihat saja saya, berkali-kali ikut lomba, eh pas rezeki datang, akhirnya bisa ke Eropa.

Saya suka bilang juga ke orang-orang, “percayalah, jika kamu belum berkesempatan jalan-jalan gratis, itu artinya Tuhan masih akan memampukan kalian dengan cara memberi lebih banyak rezeki agar bisa jalan-jalan sendiri.”

Pemandangan dari Kahlenberg

Saya jadi mikir, nih ya, andai saya terpilih jadi asisten Claudia Kaunang, menang lomba NESO, terpilih di The Big Blog Exchange, menang di lomba Yoris atau di lomba Fatin, belum tentu saya dapat menjelajahi Eropa seleluasa seperti yang saya lakukan tahun lalu. Belum tentu juga saya dapat mendatangi tempat-tempat impian saya di Eropa secara kan kalau jalan sama orang, ya mesti ngikutin jadwalnya mereka. Iya, nggak? 🙂

41 komentar di “Impian Ke Eropa Itu Lunas di Leopoldsberg

  1. Mereka lupa, menang lomba itu ada usaha yang dilakukan. Riset, meniulis artikel yang berbeda, atau ekstra keras mencari ide tulisan.

    Mereka nggak sadar, undangan trip itu adalah bonus setelah perjuangan bertahun-tahun kala menulis blog.

    Saya juga pernah bilang ke kawan blog (daenggasing) kalau tulisan-tulisannya bisa dibuat buku. Cuma sampai sekarang belum ada lanjutan ahhahahah. Semoga omdut juga bisa menyicil cerita yang lain dan dipublikasikan sendiri di buku. Khususnya tentang perjalanan. Semoga!

    • Amin, makasih supportnya Nas. Iya bener, bisa menang lomba itu karena telaten kalah berkali-kali. Pun ketika dilirik dapet undangan, setelah ngebangun blog sekian lama.

      Banyak orang meraih impian nggak mudah. Dan aku termasuk di antaranya 🙂

  2. Wah seru sekali ya omndut bisa sampai ke Eropa..pasti banyak banget pelajaran hidup yang diambil pas kesana..aku juga sejak kecil suka ama peta dunia dan globe tapi belom kesampaian ke eropa. Btw semoga segera diberi kesempatan lagi ke Eropa ya om ndut.
    Salam

  3. (Brb browsing siapa itu Vidya Balan)

    Sejauh ini aku baru 2 kali menang lomba berhadiah jalan-jalan, yaitu ke KL (dari Coca Cola) dan Bangkok (dari Vizitrip). Aku beberapa kali ikut lomba berhadiah jalan-jalan ke tempat yang belum pernah kukunjungi (Macau, Jepang, dan yang terakhir adalah Hainan Cina). Semuanya gagal hahaha, bahkan lomba ke Hainan yang optimis banget itu juga gagal. Aku jadi agak trauma buat ikutan lomba yang hadiahnya ke negara yang belum pernah dikunjungi, kayak nggak jodoh.

    Aku nggak sembarangan ikut lomba. Kalo aku merasa aku cocok di situ, baru aku ikutan, dan sebagian besar memang berbuah manis. Cuma segelintir aja yang meleset dari iman, misalnya saat lomba Skyscanner dan Bang Joni. Dua-duanya diakhiri dengan sistem nominasi dan polling, kan kampret. Gue pun berakhir di nominee saja. Yang Bang Joni itu gondok banget. Aku udah berminggu-minggu bertengger di posisi 3, eh di saat-saat terakhir gue lengser!

    Btw mas, tulisan ini dibuat buru-buru kah? Nggak biasanya banyak typo kayak gitu.

    • Yang Hainan itu aku sengaja nggak ikutan haha. Takut menang, tapi lagi bokek banget di mana tiket domestik mahal gila. Belum lagi urus visa. Daripada menang dan galau mau berangkat, jadi beneran skip hehehe.

      Yang Bang Joni itu emang ngehe mekanisme akhir lombanya ya. I feel you. Kalau di posisi Nugie aku juga pasti akan “ngamuk” buahaha.

      Soal tulisan, dibilang iya dan nggak. Sengaja dibuat sebagai penghantar pengumuman lomba Scoot. Barusan aku cek emang masih nemu 3 typo haha. Sudah diperbaiki, makasih ya.

  4. Melihat kota dari ketinggian selau jadi favorit saya kalau sedang bepergian, terutama saat berada di tempat-tempat yang belum dikunjungi. Ah, gara-gara tulisan ini, destinasi impian saya bertambah lagi! Semoga bisa kesampaian menginjakkan kaki di benua ini. 😀

    • Tos! secara gak punya drone yekan haha. Kalau mau foto aerial gitu ya mau gak mau ke bukit, menara atau gedung bertingkat. Amin amiiin, sebut aja terus impiannya, siapa tahu nanti akan terkabul.

  5. Tapi Mas, cerita menang lombamu ini akan lebih seru kalo sempet dateng ke RCTI terus live di Dahsyat. Lala~ yeyeyeye~ cuci cuci~ jemur jemu~
    😁
    Tapi betul sih, ikutan lomba sebenernya nothing to lose. Menang ya alhamdulillah, kalah ya menangislah. Halah, maksudnya kalah ya sudahlah. Sebelum ikut lomba dari Scoot kemaren aku udah lama banget nggak ikut lomba. Dulu sering pas aktif di Twitter. Tapi yang diincer hadiahnya tiket konser, karena kalo jalan jalan takut nggak pas sama jadwal kuliah.

    • HAHAHAHA gerakan cuci jemur yang khas itu ya.

      Asli gak kebayang kalo aku beneran datang. Udahlah malu-maluin zogetzoget, udah pasti kalah pula (lah ulang tahun ayah-ibuku sendiri aja kadang kelupaan, nah ini mau ngingetin tanggal lahir dia), langsung tercipta aib besar dalam hidupku. Pulang ke Palembang dapat gelar raja alay lol.

      Makasih mas udah ikutan. Sayang belum beruntung. Semoga gak kapok hehe.

  6. Travelling gratisan karena menang lomba dan travelling karena modal sendiri sejujurnya mungkin rasa puasnya sama. Sama-sama karena kerja keras sendiri, bukan orang lain 😁😁
    Kecuali kalo gratisnya karena disponsorin hehe

    • Untuk dapatin tawaran sponsor juga gak mudah. Malah lebih mudah menangin lomba karena terukur. Aku ikutan, dinilai, menang-kalah. Nah kalau sponsor, yang dinilai reputasi yang mana lebih susah diukurnya dan penilaiannya jauh lebih subjektif. ^^

  7. “Si Gendut Beruntung Menang Pelesiran ke Lima Benua” >>> si Gendut yang melanglang buana karena simpanan tante-tante.

    kayaknya lebih menjual hahaha

    btw, dikau adalah blogger misqueen panutanku, om.. karena dikau, aku tetap melangkah, biar miskin, yang penting gaya :))

  8. sebwah motivasi yang sangat berfaedah. aku ikut lomba blog belum sampe 5x, entah 2 entah 3 yaa,, gagal semua dan kecewa trs males ikutan lagi.. setelah liat perjuangan omndut,, rasa2nya harus tumbuhkan semangat lagi nih.. baru hitungan jari aja udah nyerah nih wkwkwkk…

    btw tante itu siapa sih?

    -Traveler Paruh Waktu

    • Identitas si tante tetap harus dirahasiakan. Ntar kamu rebut. Susah aku nyari tante baru hahaha.

      Iya, semangat terus ikutan lomba yang kira-kira sreg di hati. Aku gak semua lomba dihajar sih, yang menurutku (hadiahnya) menarik aja lol.

  9. Ping balik: Jalan-jalan Keliling Dunia Lewat Film - Indonesia News

Tinggalkan Balasan ke omnduut Batalkan balasan