
.
Dari jendela pesawat, sesaat sebelum mendarat di bandara Ahmad Yani, pandanganku menyapu ke bagian daratan. Nampaklah deretan pepohonan hijau yang awalnya kupikir tumbuhan bakau. Namun, saat itu aku tidak begitu yakin, mengingat hanya melihat sekilas dan akar menyeruak khas bakau tak terlihat dengan jelas. Maklum saja, wong aku ngeliatnya dari ketinggian, kan?
Eh ternyata, itu beneran bakau, loh!

Di sekitaran titik awal briefing.
Hal ini baru aku ketahui di hari kedua pelaksanaan #FamTripBlogger2017, aku dan rombongan diajakin berwisata ke Desa Wisata Tugu untuk melihat langsung hutan mangrove yang ada di sana. Uwuuu, gak nyangka, gak jauh dari pusat kota Semarang ada satu kawasan khusus yang kece banget, tempat berdirinya pohon-pohon bakau yang berfungsi untuk “melindungi” kawasan pesisir.
Menuju Mangrove Tapak
Dari hotel Pandanaran yang berada tak jauh dari Lawang Sewu, bus yang kami kendarai butuh waktu sekitar 1 jam untuk tiba di Desa Wisata Tugu. Hmm, sebetulnya bisa lebih cepat jika jalanan nggak macet. Saat itu sih menurutku normal saja. Di beberapa titik memang nampak kepadatan, tapi aku sangat mengikmati perjalanan bersama teman-teman blogger yang lain.

Akar bakau yang menyeruak ke permukaan air.
Akses menuju pesisir hanya dapat dilalui oleh 1 kendaraan besar semacam bus. Kalau mobil kecil sih kayaknya bisalah berpapasan dengan sedikit mengalah di beberapa ruas jalan. Sejak awal, aku kira bus kami akan parkir tak jauh dari bibir laut. Namun aku salah, untuk menuju ke sana, kami harus menggunakan perahu. Berenang? Ya monggo, kalau kamu punya bakat kayak pesut.
Di sebuah pondok, kami dikumpulkan diberikan arahan oleh pemandu yang bernama mas Arifin. “Kalian harus mengenakan sepatu boot dan jaket pelampung, ya!” ujar beliau.

Yak, caping, boot dan jaket pelampungnya dipakai ya 🙂
Beberapa pengarahan diberikan. Termasuklah welcome drink semacam wedang jahe yang rasanya hangat. Kami juga dibekali dengan 1 botol air mineral untuk dibawa. Ya, kali-kali nanti kehausan. Gak ada warung kan di sana hehehe. Walaupun belakangan ternyata diketahui ada mbok pedagang makanan yang memanggul nasi bungkus dan minuman dalam plastik yang dijual kepada para pekerja tambak dan penduduk yang datang untuk memancing.

Perahu-perahu yang kami gunakan
Saat pembagian jaket pelampung dan sepatu boot, ternyata disediakan juga caping. Fungsinya sih untuk melindungi kepala dari dahan-dahan bakau yang menjorok ke tengah jalur air. Padahal, lumayan nih, bisa menghalau sengatan matahari. Hehehe.
Oke, begitu peralatan lengkap telah dipasang, kami berjalan menuju kanal kecil selebar 4 sd 5 meter tempat perahu-perahu berada. Aku lupa, seingatku kami menggunakan 5 perahu saat itu. Maklum saja, rombongan banyak dan 1 perahu hanya dapat dimuati oleh maksimal 7 sd 8 orang saja.
Menyusuri Kanal dan Singgah di Tambak
Perahu yang beroperasi dengan bantuan sebuah motor/mesin itu bergerak pelan. Beberapa kali mesin perahu mati atau sengaja dimatikan saat baling-baling kapal tersangkut sesuatu (baca : rrr sampah). Namun, pemandangan tanaman bakau yang berada di sisi kanan dan kiri kanal betul-betul menyita perhatian.

Kata beliau ini pose pura-pura bahagia. Ah, mbak Pungky mah emang bahagia! 😀
Belum pernah aku merasakan sensasi petualangan semacam itu. Coba lihat foto yang ada, ujung dahan masing-masing bakau yang berada di sisi kanan dan kiri kanal bertemu di satu titik sehingga kanal ini membentuk sebuah terowongan. Wow, terakhir kali aku masuk ke terowongan air semacam ini waktu balita di TMII kayaknya hahaha.

Diinformasikan mengenai pembibitan bakau.
Di sebuah dermaga kecil kami berhenti. Di sana, salah satu tim dari pengelola Kelompok Sadar Wisata –yang aku lupa namanya, menjelaskan tentang proses pembibitan bakau. Dari si mbak dan mas Arifin, tahulah kami bahwa mangrove yang ada di sana itu terdiri dari 3 jenis yakni Rizophora yang dikenal dengan bakau, lalu ada Avicennia marina yang dikenal dengan grey mangrove, dan yang terakhir adalah Bruguiera, mangrove yang berukuran lebih kecil.
Nah, tak jauh dari area pembibitan ini, ada sebuah area mangrove yang oleh pengelola dimanfaatkan sebagai tambak. Saat perjalanan pulang, kami sempat mampir dan melihat secara langsung proses panen ikan dan udang.
Hooo, ikannya banyak banget! Ukurannya memang tak terlalu besar. Namun, kalau buat lauk makan siang mah cukup banget barang makan satu atau dua ekor hahaha. Ikan yang sekilas mirip ikan kembung ini menjadi salah satu sumber pemasukan bagi pengelola. Belum lagi udang galahnya, wuih belum apa-apa, aku udah ngebayangin jika udangnya dimasak goreng tepung atau saos tiram tentu maknyus bana-bana!
Menanam Bakau di Pulau Tirang
Jika baling-baling kapal dapat tersangkut sampah atau tanaman di dasar kanar, tentulah kanalnya cetek kan ya? Lalu untuk apa sih pakai jaket pelampung segala? Nah, pertanyaan yang ada dibenakku itu terjawab ketika perahu mulai bergerak jauh menuju ujung kanal dan tahu-tahu, kami sudah berada di pinggir laut wilayah pesisir yang tentu saja kedalaman airnya jauh lebih dalam ketimbang yang ada di kanal.

Ada semacam lorong di bawah pohon rindang ini. Itulah kanalnya 🙂
Di sepanjang perjalanan, aku melihat banyak sekali tiang-tiang bambu yang ditancapkan. Kata pengemudi kapal, bambu ini digunakan sebagai penanda dan juga dapat digunakan untuk meletakkan jaring. Di sisi lain, terdapat juga bangunan dari bambu yang banyak digunakan penduduk untuk memancing.
Ingin rasanya mampir ke salah satu bangunan dari bambu tersebut. Ngapain? Duduk-duduk aja sambil selfie hahaha. Tapi, tujuan kami saat itu ialah Pulau Tirang, sebuah land area yang terlihat terletak di tengah-tengah perairan. Kami datang ke sana untuk menanam bakau.
“Dulu, ada 2 sumber mata air di pulau ini,” kata mas Arifin. “Namun sekarang sudah hilang. Pulau ini makin menyempit karena pengaruh abrasi dan reklamasi di sebelah sana,” ujarnya lagi sambil menunjukkan lokasi reklamasi yang dimaksud.

Pulau Tirang
Di Pulau Tirang, ternyata sudah disiapkan sejumlah bibit untuk kami tanam. Ternyata proses menanam bakaunya juga mudah. Aku hanya harus menggali lubang sekitar 15 sd 20 cm, lalu akar plastik pembungkus akar bakau dibuka, tanam, dan hola, selesai!

Yuk mari menanam bakau 🙂
Jika teman sebelah mau menanam juga, pastikan kasih jarak antara 1 sd 1,5 meter dari bakau yang telah kita tanam. Mudah sekali! Ah, mudah-mudahan bakau yang kami tanam dapat tumbuh besar dan dapat bermanfaat bagi Pulau Tirang, ya. Amin.

Pesawat terbang melintasi Pulau Tirang
Begitu akan pulang, tiba-tiba sebuah pesawat melintas tepat di atas kami. Benarlah, bisa jadi, bakau yang ada di Pulau Tirang inilah yang dulu aku lihat dari jendela pesawat. Rasanya jaraknya dekat sekali hehe. Untung saja saat itu aku gak nekat teriak, “pesawaaat, minta duit!” kayak dulu pas masih kecil.

Semoga, ketika kamu main ke Mangrove Tapak, sampah-sampah ini sudah tidak ada ya 🙂
Aku lihat masih kurang asri ya pohon bakaunya. Atau memang masih kecil-kecil jadi kurang lebat. Soalnya di tengah hutan bakau biasanya bisa foto alay sama sulur-sulur batang pohon hehehe.
Pantai utara jawa ya memang gitu lah keadaannya 😦 kotor
Aduh itu udangnya ditempura enak kali yak 😀
Di beberapa bagian sudah gede-gede itu pohonnya Lid, kayak yang ada di salah satu foto itu 😉
Pasirnya hitam ya. Dan iya, kotor. Sayang banget, jadi mengganggu.
Semakin banyak mangrove dijadikan destinasi wisata, dan pengelola harus lebih jeli agar sampah-sampah tidak berrserakan. Sekilas sampah itu kiriman dari laut.
Hutan Mangrove ini tempat berkembangnya biota laut.
Iya, sampah kiriman laut. Sayangnya jadi menumpuk dan “menyatu” sama tanahnya. Kalau dia berada di permukaan enak ngebersihinnya ya.
sedihnya lihat sampah bawaan nya..apalagi ada si burung yang sepertinya lagi cari makan disekitar situ..semoga sampahnya bisa segera bersih ya
Amin. Iya, itu burungnya lagi cari makan kayaknya 🙂 semoga segera bersih.
Reklamasinya sepertinya akibat proyek perluasan bandara ya Om? Mohon benarkan kalau saya salah, hehe.
Iya, saya juga kagum waktu tahu di pantura menjelang Semarang ada lahan bakau lumayan luas. Padahal kalau jalan rayanya dijajal, sepertinya kawasan sana sudah padat banget, apalagi pabriknya banyak. Sepertinya mesti lebih ke utara lagi ya supaya bisa berkunjung ke hutan bakau ini? Beda dengan di Jakarta yang lahan bakaunya dibelah tol (eh ini absurd juga sih, haha).
Mudah-mudahan hutan bakaunya dikelola dengan lebih baik sehingga bisa jadi alternatif masyarakat mencari udara segar, hehe.
Sepertinya betul Gara, soalnya aku pernah baca katanya Semarang bakalan punya bandara yang “mengapung” ya? 🙂
Aku sih optimis Mangrove Ngapak ini bakalan jauh lebih baik ke depan. Pengelolaannya sudah bagus. Tinggal pembenahan sampah dan penambahan fasilitas penunjang lainnya saja 🙂
Kalau saya tak salah ingat, di hall kedatangan bandara Semarang ada papan petunjuk proyeknya, hehe. Sepertinya demikian Om, hehe.
Amin, semoga ya… supaya bertambah lagi khasanah objek wisata di Semarang.
Aku gak merhatiin hahaha, kayaknya bener ada. Tapi emang, Semarang butuh banget bandara baru, Yang sekarang ini kecil dan kayaknya kapasitasnya udah gak memadai untuk menampung penumpang.
Eh dibalas lagi, terima kasih banyak ya mas, wkwk.
Aku paling suka bertualang naik perahu seperti ini Yan, menembus hutan bakau dari lorong2nya, menyenangkan. Walau diliputi takut hehe. Bakau itu bagiku identik dengan ular, biawak, dan buaya. Hiiiii… Ada ga Yan di sana?
Airnya tampak butek ya Yan, ada sampah pula. Tapi salut dgn gerakan tanam bakaunya. Moga ke depannya ga ada sampah lagi.
Alhamdulillah nggak ada kalo buaya mah haha. Tapi kalo ular dan biawak aku yakin banyak, secara banyak ikan dan ada tambak juga di sana mbak Rien.
Eh aku beneran baru tau loh, ternyata di Semarang ada wisata mangrove juga.. selama ini kalo ke Semarang aku cuma fokus nyari lumpia aja siih, hehehe…
Kalo aku nyari baso tahu dan ikan bandengnya hahaha
Yang bikin aku sedih itu banyak smpah, hiks. Semarang sebenarnya punya banyak potensi wisat tp beberapa y gitu deh kurang terawat. Bagus banget ini kalo bener2 dijaga kebersihannya.
Banyak banget destinasi di Semarang yang belum aku datangi mbak. Mesti banget balik ke sana lagi 🙂
Waktu kecil bapakq sering ngajak jalan2 ke daerah ini trus tujuan akhir ke marina (pantai)
Kadang sempet lihat ikan amphibi yg lompat2 dr dlm tanah basah
Kangeeen kamu SEMARAAAAAAAANG
Mbak dulu apakah daerahnya sudah seperti ini? tandus, atau malah dulu lebih bagus?
Bagusan skrg smpai jd destinasi wisata.
Kalau dulu apa adanya saja
Ic, alhamdulillah artinya berkembang baik 🙂
Udangnya menggodaa, hutan bakau ini akan jadi obyek wisata yang menarik ya cekYan. Masuk list kalau ke Semarang ^_^
Mesti! haha, apalagi Yogya – Semarang deket bener 🙂
Jadi pengen kesini, liat udangnya menggoda euy, kalau di Jakarta juga ada hutan Mangrove di PIK
Aku langsung googling tentang hutan mangrove PIK. Hwaaaa bagus banget. Suka sama rumah-rumah beratap tradisional itu.
Seru juga ya Mas berkeliling Mangrove dengan kapal seperti itu.. Aduh, sampahnya banyak banget itu Mas. 😢😢
Iya, itu sampah dari laut Fajrin 😦
Waw, bakaunya bgtu memukau. Keren abis.
Anda mengulas eksplorasinya dg bgtu runut, detil dan dilengkapi gambar2 kece itu. Luar biasa.
Semoga tumbuhan bakaunya makin terlihat/trjga ya.
Oya, ini agenda para bloger juga ya?
Sori typo:
terlihat=terpelihara
Terima kasih mas. Aku menulis didasari ingatan saat kejadiannya berlangsung aja hehehe. Biasanya terbantu dengan melihat foto-foto yang sudah dijepret.
Iya, ini juga dalam rangka undangan mas. Alhamdulillah bisa main ke Semarang 🙂
Jadi keinget abis resepsi nikah dicuilik fotografer buat foto2 di hutan mangrove di SUrabaya #Eh
Ah, mudah-mudahan bakau yang kami tanam dapat tumbuh besar dan dapat bermanfaat bagi Pulau Tirang, ya. Amin —-> Aamiin 😀
*googling hutan mangrove Surabaya
AHA, baru inget, dulu sempat direkomendasiin sama MANTAN gebetan (yaelah, gebetan doang, belom pacar hahaha) buat main ke hutan mangrove ini. Kebetulan dia sama suaminya tugas di deket situ hehehehe.
Amin amin
udangnya gede-gede banget om
Iya, enak banget pasti kalo dimakan hehe
Walah saya asli Semarang malah belum pernah menjelajahi kesana hutan mangrovenya Semarang. Itu tepatnya di daerah mana, jngan2 yg sering saya lewatin tuh kalo pulang ke Semarang deket jalur jalan lingkar.
Patokannya sih Tugurejo, Tugu, mbak haha. Nah dimana itu aku bingung juga jelasinnya. Gak jauh dari pusat kota tapi 🙂
JElajahin hutan bakau emang seru ya om, belom pernah saya. Pernah waktu itu sih di R4, tapi banyak buayanya jadi takut haha
Btw di Jakarta juga ada om, di daerah pluit.
Aku penasaran sama yang di Pluit itu. Googling aja cakep bener Bay. Mupeng dah.
sayang banget, Pekalongan mangrove park mulai terbengkalai. padahal ada officenya disana…it means kan ada yg ngelola secara resmi bukan hanya swadaya masyarakat.
Apalagi jika ada biaya masuk, mestinya ya bisa terus digunakan biaya itu untuk perawatan ya 😦
Aku paling suka waktu mulai masuk perairan lepas, rasanya freeee..
Sama waktu adegan makan siang di resto rumah Putri Tirang, enak banget kepitingnya! 😀
Aku rasa-rasanya gak kebagian (banyak) kepiting itu mas hahaha. Sayang pas makan di danau itu, aku kedapetan ikannya yang udah gak segar. Gak kemakan hiks.
paragraf terakhirnya makljlebb, sayang kalau keindahannya tercemar sampah ya
sekarang ngajarin saladin biar buang sampah di tempatnya, kalau ga nemu ya dikantongin dulu
jadi pengen ke sana,cari inspirasi untuk sketching hehehehe
Ih keceee, bakalan keren banget kalo sketching di sana. Di dermaga2 kayunya itu aaaaak.
Yah gak jadi makan udang nih ceritanya. Kadang orang gak banyak mikir buang sampah ke laut. Padahal itu sampah berbaya buat ikan dan akhirnya nanti juga terdampat ke bibir pantai.
Ada udangnya, tapi yang di rumah makan hwhw, bukan udang yang kami “tangkap” ini. Iya, sedih kalau ada yang buang sampah gitu.
Ping balik: Singgah Sekejap di Lawang Sewu | Omnduut