Saya merasakan aura yang khas dan berbeda di satu tempat setiap kali melakukan perjalanan. Karenanya, saya dapat datang ke destinasi yang sama, berulang kali, hanya untuk merasakan aura menyenangkan seperti yang pernah saya rasakan di perjalanan sebelumnya.
Hmm, saya kira, masing-masing pejalan juga merasakan hal ini. Dan, tentu saja apa yang dirasakan seorang pejalan di satu destinasi belum tentu sama dirasakan oleh pejalan lain. Lalu, bagi saya, salah satu tempat yang memiliki aura yang sedemikian positif itu ialah Yogyakarta.
Saya menyukai semua jenis wisata, baik wisata alam atau budaya. Namun, mendatangi kawasan tua di satu kota ternyata lebih menyenangkan untuk saya lakukan. Jika di kota yang saya datangi tidak memiliki kawasan kota tua, cukup bagi saya untuk mendatangi museumnya. Yogyakarta sendiri merupakan satu paket yang lengkap. Kota ini memiliki panorama alam yang indah serta dipadukan dengan kebudayaan yang kental.
Inilah sekelumit perjalanan saya menyusuri lorong-lorong waktu di Yogyakarta….
Museum Sonobudoyo menempati sebuah bangunan yang berusia 88 tahun. Dari luar, bangunannya nampak sederhana saja, namun tetap terasa khas Yogya-nya. Bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke keraton, dapat dibilang Sonobudoyo adalah “gerbangnya” karena letaknya yang berada di kawasan Alun-Alun Utara dekat dengan area keraton.

Salah seorang teman saya, datang jauh-jauh dari Filipina ke Yogyakarta “hanya” untuk ngeborong topeng semacam ini.
Dari area depan, berjejer pelbagai instrumen musik khas Jawa. Begitu masuk, Ruang Purbakala langsung menyambut dengan benda peninggalan masa prasejarah (nirlikha) yakni masa saat orang belum mengenal tulisan. Selain itu, setidaknya ada 10 jenis benda koleksi yang tersimpan di sini. Mulai dari koleksi geolika, arkeologi, historika dan sebagainya.

Patung Sendi Singaambara yang melambangkan kekuatan, kekuasaan dan jiwa kesatria ini menjadi salah satu benda seni yang dipamerkan.
Saya suka dengan penataan museum yang dulunya merupakan yayasan yang bergerak di bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok ini. Favorit saya adalah Ruang Topeng dan Ruang Wayang, karena sangat terasa Jawa-nya. Di ruangan lain, saya sempat melihat kitab suci yang ditulis dengan aksara Jawa. Luar biasa!

Wayang Golek, salah satu jenis wayang yang dikenal luas di Indonesia terutama tanah Jawa. Perhatikan batik yang digunakan, cakep, ya!

Kitab suci yang ditulis menggunakan Bahasa Sansekerta
Saat kedatangan ke sana, museum cukup ramai oleh wisatawan. Selain karena lokasinya yang strategis, biaya masuk ke museum yang buka setiap hari dari pukul 08:00 hingga 15:30 ini juga sangat murah. Hanya Rp.3000 untuk dewasa dan Rp.2500 untuk anak-anak.
Diskon sebesar Rp.500 akan dikenakan jika pengunjung datang dengan rombongan. Untuk turis asing, perbedaan harganya pun menurut saya masih wajar, hanya Rp.5000.
Cuaca sangat bersahabat saat itu. Saya melewati trotoar sambil menikmati hembusan angin. Kehidupan warga lokal tergambar baik di sini. Tukang becak duduk sabar menunggu calon pengguna, sebagian lagi menunggu di warung kecil sambil ngopi. Namun ada satu hal lagi yang sangat menarik perhatian, yakni keberadaan “Cukur Neng Ngisor Ringin” atau tukang cukur di bawah Pohon Beringin.

Pak Udin sedang merapikan rambut salah satu pelanggannya yang berada di sebuah Pohon Beringin besar.

Deretan becak berbentuk khas Yogakarta di sekitaran keraton.
Saya salut, berbekal kursi plastik dan sebuah cermin, Pak Udin –nama beliau, ternyata sudah 18 tahun mencari rezeki sebagai tukang cukur di kawasan ini. Tarifnya sangat murah, hanya Rp.5000 saja. Di Palembang, mana ada tukang cukur yang masih menerima upah sebesar itu. Salut buat kegigihan Pak Udin mencari nafkah untuk keluarga. Juga, pejuang kehidupan lainnya yang ada di sana.
Saya memutuskan untuk beranjak dan kembali berjalan. Saya tiba di pintu masuk keraton tak lama kemudian. Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya disebut Keraton Kasultanan Ngayogyakarta sampai sekarang masih menjadi tempat tinggal resmi para sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta.

Patung Batara Kala di pintu masuk keraton. Memiliki unsur dewa dan dewi yang diceritakan dalam cerita wayang Jawa yang diyakini sebagai simbol untuk menolak bahaya (tolak balak) dan menangkal roh jahat.
Keraton/karaton sendiri bentuk singkat dari ke-ratu-an, yakni tempat ratu bersemayam. Saya baru tahu, di Jawa, “ratu” pun dapat diartikan sebagai “raja”.
Pembangunan keraton pun tidak sembarangan, penuh dengan nilai-nilai filosofi (dan juga mistik) yang kental. Masing-masing bangunan yang berdiri di sana, dibuat dengan perhitungan yang matang.

Bangunan-bangunan yang ada di area keraton. Tidak semua bangunan ini memiliki akses masuk ke dalam bagi wisatawan. Semua area ini dapat dijelajahi dengan hanya membayar Rp.5000 saja.

Salah satu pendopo yang ada di area dalam keraton. Konon, dulu tamu yang datang biasanya dijamu di pendopo ini.

Salah satu bagian keraton yang dilarang diakses wisatawan. Hanya dapat memandang keunikan dan kemegahannya dari pagar pembatas.
Sejak pertama kali didirikan pada tahun 1755 oleh Sultan Hamengku Buwuno I, hingga sekarang, secara umum komplek kesultanan ini masih berdiri kokoh dan terawat dengan baik. Sungguh, saat berada di sana, saya seolah diajak masuk ke dalam lorong waktu. Belum lagi ditambah alunan gamelan di pertunjukkan wayang yang mengalun merdu. Sungguh harmonis.

Dari balik layar pertunjukkan wayang di area keraton. Berbagai macam instrumen musik ditabuhkan di sini.

Salah satu pemukul gamelan. Sungguh harmoni saat mendengarkan alunan musiknya secara langsung.
Satu hal lagi yang saya suka dari kawasan keraton ini ialah keberadaan Abdi Dalem yakni orang yang mengabdikan dirinya kepada keraton dan raja yang masih memakai pakaian Jawa lengkap. Abdi Dalem sendiri terbagi dua yakni Abdi Dalem Kaprajan yang punya derajat lebih tinggi dari Abdi Dalem Punakawan. Walau begitu, apapun bedanya, pengabdian mereka tetaplah sama.
Awalnya, saya mengenal tempat ini dari foto-foto yang ada di instagram. Ya, sekarang instagram jadi salah satu media promosi yang luar biasa. Saat baru akan berencana ke Taman Sari saja, saya sudah membayangkan berbagai macam foto yang akan saya dapatkan 🙂
Istana Air yang terletak sekitar 500 meter dari keraton ini menempati area seluas 12 hektare dan pertama kali dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758 yang terdiri dari 57 bangunan berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air ataupun danau buatan yang disebut dengan segaran.

Salah satu sisi reruntuhan dari Gedhong Kenongo, bangunan dua lantai yang dulu seolah terlihat mengambang karena berada di sisi danau buatan. Kini danaunya sudah berganti dengan rumah-rumah penduduk 😦

Ini dia dinding-dinding kokoh Gedhong Kenongo yang masih dapat dilihat sekarang. Kebayang kan betapa megahnya bangunan ini dulu.
Makanya, tak heran istana ini dikenal sebagai Istana Air karena dulunya kawasan ini terlihat mengambang diantara danau buatan yang ada. Sayang, komplek Istana Air yang juga dikenal dengan nama Taman Sari ini sudah hancur karena bencana alam. Hanya reruntuhannya saya yang dapat dilihat.
Namun, ada bangunan-bangunan yang masih berdiri tegak. Misalnya saja Umbul Binangun/Umbul Pasiraman yang merupakan kolam pemandian bagi Sultan, permaisuri, garwo ampil (para istri), serta putri-putri raja.
Saat berada di sana, sekali lagi, saya seolah tersedot oleh mesin waktu. Imajinasi saya bergerak ke ratusan tahun lalu, saat para sultan dan keluarga menikmati kolam pemandian yang dikelilingi oleh beton tinggi ini.

Ini dia, Kolam Pemandian Umbul Binangun yang dulu digunakan oleh para raja dan segenap anggota keluarganya.

Kolam Pemandian Umbul Binangun jika dilihat dari bagian dalam menara.

Kolam Pemandian Umbul Binangun terdiri dari 3 kolam utama. Ini dua kolam yang berada bersisian, satu lagi berada di bagian belakang menara tempat saya mengambil foto ini.

Kolam Pemandian Umbul Binangun yang berukuran paling kecil, berada di bagian belakang menara.
Bagian lain yang buat saya penasaran adalah keberadaan Sumur Gumuling yang menjadi satu bagian dengan Pulo Panembung, bangunan berlantai dua yang konon, dulu, digunakan sultan untuk bermeditasi.
Nah, saat menuju Sumur Gumuling inilah, saya harus melewati lorong-lorong temaram yang membuat jiwa petualangan saya menyeruak. Sungguh, ini sebuah perjalanan luar biasa di Yogyakarta.
Saya tak ingin mengakhiri perjalanan terlalu cepat hari itu. Segera, selepas menyusuri lorong-lorong waktu di kawasan Keraton dan Taman Sari, saya melangkahkan kaki menuju Kotagede, sebuah kecamatan yang berada sekitar 5,5 km dari keraton. Saya ingin menyaksikan sisa-sisa kejayaan Kerajaan Mataram dari sana.

Semacam pintu gerbang Kotagede, berupa jembatan yang membelah Sungai Manggisan.
Sebelum menuju ke kawasan komplek pemakaman raja-raja, saya menyusuri kawasan bernama Between Two Gates atau Di Antara Dua Gerbang, sebuah frasa/penamaan dari sebuah sistem tata lingkungan Kampung Alun-Alun di RT.37 RW.09 yang berada di Kelurahan Purbayan. Frasa “Between Two Gates” sendiri pertama kali diperkenalkan oleh tim peneliti arsitektur dari luar negeri pada tahun 1986.
Berjalan di kampung ini, saya serasa masuk ke dalam sebuah labirin raksasa. Sebagian besar lorong-lorong yang ada berukuran sempit dan hanya dapat dilalui oleh manusia, atau setidaknya sepeda. Sebagian lagi ukurannya cukup besar sehingga dapat dilalui sepeda motor atau becak, namun tidak untuk mobil.

Ini tipikal jalanan di kawasan Between Two Gates. Hanya muat maksimal 2 becak.

Pintunya dan jendelanya model lama. Mengingatkanku akan rumah-rumah yang ada di Kampung Arab Al-Munawar di Palembang.
Bersih! Itu kesan pertama saya terhadap kampung ini. Rumah-rumah yang ada sebagian besar masih mempertahankan desain tradisional, termasuk keberadaan Rumah Joglo milik UGM yang dapat saya lihat secara langsung interiornya.

Ruang tengah Rumah Joglo yang dimiliki oleh UGM. Dapat dibilang, ini sebuah rumah pajang bagi wisatawan yang ingin melihat isi Rumah Joglo.

Bagian dapur Rumah Joglo. Peralatan memasaknya masih tradisional.
“Coba lihat bambu kecil ini,” ujar Mas Wawan, penduduk lokal yang menemani perjalanan saya di Kotagede. “Ini lambang semangat gotong royong di sini. Setiap hari, warga memasukkan uang yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan bersama,” sahutnya lagi.

Di setiap rumah, ada tabung kecil yang terbuat dari bambu seperti ini. Setiap hari, ada petugas datang untuk mengambil uang yang diberikan oleh pemilik rumah.

Satu hal yang sulit dicari di kawasan ini ialah sampah. Yang mudah ditemukan? keramahan penduduknya!

Cantik sekali jendelanya.
Saya terharu, hal-hal semacam ini sudah jarang saya temui. Namun, pemukiman kecil yang sudah ada sejak tahun 1840 (ditandai dengan tulisan “Atmosoeprobo 1840” di sebuah gerbang di bagian ujung timur) ini masih mempertahankannya.

Unik ya, ini pintu gerbang masjid namun macam pintu masuk sebuah pura. Menunjukkan keharmonisan luar biasa di kampung ini.

Area Masjid Gedhe, besar dan sejuk karena tanpa penyekat sehingga angin langsung menyentuh lembut kulit saya.
Selanjutnya, perjalanan saya berlanjut ke di Masjid Gedhe Mataram. Di sana, saya sempat menunaikan shalat di masjid yang dibangun oleh Sultan Agung bersama-sama penduduk setempat termasuklah umat Hindu dan Buddha pada tahun 1640 lalu. Tak heran, arsitektur bagian gerbangnya mirip pura yang ada di Bali. Masjidnya sendiri tidak terlalu besar, namun cukup mengakomodir kebutuhan beribadah penduduk sekitar. Di area samping masjid inilah terletak makam para raja-raja Mataram.
Selama ini, saya sangat terbantu saat melakukan pemesanan transportasi pesawat atau kereta dan juga pemesanan hotel melalui Traveloka. Kini, Traveloka hadir dengan layanan Aktivitas & Rekreasi-nya, dimana, para pelancong dapat mempercayakan aktivitas liburannya kepada Traveloka tanpa perlu antre sehingga waktu berlibur menjadi lebih efektif.

Sebuah gerbang dengan ukiran indah yang berada di kawasan Taman Sari.
Dulu klo ke Taman Sari mblusuk lewat belakang Kampung Cyber, sekarang loket di mana-mana hahaha. Terakhir ke sana malah dikasih tiket lima lembar sama tante-tante haha.
Nah, aku sempat nyasar di Kampung Cyber ini hahaha, padat dan macam labirin juga gampungnya.
Itu tante-tante kamu kedipin atau gimana, kok bisa sampe dikasih tiket segambreng hehe
tiket pijet yta? mau donk kontak nomor tante
No-nya khusus Alid doang mas Danan ;p
Aku suka dengan konsep rumah joglo. Selain itu auranya juga terasa beda. Ngademin banget istilahnya. Kesan Njawani yang kuat bikin betah lama-lama di sana☺. Udah lama aku ngga mampir ke Jogja, nih. Rinduuuuuu😍
Iya, bonusnya lagi penjaga rumahnya ramaaaaah banget. Bener-bener paket komplet Yogya ini.
Asik banget ya, disambut hangat begitu. Wajar siapapun yang ke Jogja akan merindu kembali ke sana☺
Betul banget mbak Molly. Bahkan sempat main-main sama cucunya si mbah. Main bola di tengah rumah hahaha
Asik itu😀. Kitanya jadi ngga ngerasa jadi tamu ya. Hehehe.
Bener, serasa sedang berada di kediaman kerabat sendiri 🙂
Jogjakuuuu, ditulis apik sama cek Yan. Mgkn tempat2 ini jarang jadi objek wisata tujuan kami yg NB org Jogja. makasih yaaa sudah mampir dan menuliskan ttg kotaku. ^_^
Sama-sama mbak Ima 🙂
Samalah, di Palembang juga penduduk lokalnya bisa jadi gak pernah mendatangi tempat wisata tertentu jika gak sedang nemanin tamu. hihi
Cakeeep,belum kesampaian ajak bocah ke Keraton dan museum Yogyaa, Makasih artikelnya yayaan…kereeen..
Makasih mbak Dedew. Pasti anak-anak suka diajakin ke keraton. Banyak yang dapat dilihat dan dipelajari.
Ikut balik ke Jogja?? Jelas mau lah..
Aku mau puasin kulineran dan wisata alam kalo balik lagi ke Yogya 😀
Ikut.. mau nebeng lah wisata alam yg jauh sekaliab ke Gunkid itu bagus2. Masih banyak banget yang bisa dijelajahi kalau ke Jogja, ga habis2=)
Aku mau nyobain zipline yang katanya tertinggi (apa terpanjang) di Jawa itu. Niatnya sih kalau bisa extend mau ke sana, apa daya, gak bisa jadilah harus diagendakan lagi nanti mbak Dian ^^
Wah traveloka ada jualan paket wisata juga yah 🙂
Iya ada 🙂 selain menyediakan paket wisata, beberapa tiket masuk wahana/atraksi juga dijual dengan harga yang lebih murah ketimbang situs resmi wahana tersebut. Keren banget emang Traveloka ini 🙂
wuih pak de..jogja memang istimewa kan ya
kok ra dolan solo kene loh mas
Gak cukup waktunya mas. Padahal emang sudah diniatin melipir ke Klaten dan Solo. Next time insyaAllah 🙂
yes mas..tinggal by pramex train
Murah pula ya tiketnya, gak sampai 10 ribu. Wow deh.
Wuaaaaa bolak balik ke Yogya, aku belum pernah ke Tamansari
KAyaknya seru juga ya menikmati reruntuhan bangunan bersejarah begitu
Mau ah mengulang perjalanan Yogya lagi
Spot foto kecenya juga banyaaak mbak Arni haha. Mesti ke sana kalo balik lagi ke Yogya ya 🙂
Siaaaaaaap
Mau bangetlah aku balik ke Yogya
Foto-fotomu itu lho bikin mupeng sangat
Haha ikuuuuut.
Makasih mbak Arni 🙂
Entah kenapa dulu saat masuk Taman Sari itu, nuansa mistisnya berasa sekali. Kecuali bagian kolam yang terbuka. Ada satu kamar yang di dalamnya ada ranjang “ratu”, aku masuk dan melihatnya. Saat ditawari masuk lorong bawah tanah, aku menolak. Abis dari sana aku cari bacaan tentang lorong itu. Penasaran.
Btw, fotomu bagus2 banget Yan. Jogja tergambar indah dalam gambar dan tulisan ini.
Aku yang ngerasa nuansa mistis itu pas di Sumur Gumuling mbak Rien. Walau begitu, aku tetap nyaman berada di sana.
Makasih mbak Rien, masih terus belajar menangkap momen yang baik saat di perjalanan 🙂
Setuju sama Mbak Rien, tulisannya Jogja banget ah. Saya yang di Jogja mendadak kangen ke tempat-tempat yg ditulis Yayan di sini=)
Iih makasih mbak Dian ^^ semoga aku bisa balik lagi ke Yogya dan kita mitap lagi, yes! 🙂
Jogjaaaa 😍😍😍
Eh tapi bolak-balik ke Jogja, aku selalu terlewat mau singgah di Taman Sari. Padahal penasaran banget.
Nah, artinya next mesti sengajain ke Taman Sari ya mbak Dee 🙂
Iya, Yan.. Sepertinya emang harus disengajain ya.. Apalagi setelah ngeliat foto-fotomu ini. Rasanya jadi makin harus disengajain, hehehe
Iya mbak, dijamin suka ambil gambar di sana. Banyak objek yang fotogenic 🙂
Bertahun-tahun tinggal di Klaten yang tetanggaan sama Jogja, aku baru sekali lho ke Museum Sonobudoyo, bulan Agustus tahun ini. Hahahaha.. dan setuju, ini museum cakep banget sebenernya. Cuma sayang sepi pengunjung.
Oh, juga Kotagede itu bikin jatuh cinta setengah mati sama Jogja. Aku suka banget pas main ke Between Two Gates di sana.
Kebetulan pas aku datang itu agak rame museumnya, mungkin karena akhir pekan, ada beberapa wisatawan yang mau ke keraton mampir dulu ke Sonobudoyo 🙂
Iyaa 🙂 kayaknya aku kalau tinggal di sana bakalan betah. Kayaknya tenang gitu. ^^
Yok ke jogja lagi.. Sekarang pas ada even pasar malam sekatenan… Mas yan dah tau blm sejarah ada nya pasar malam sekaten??? Hayuuuuk.. Jogja emang nggak ngebosenin dah
Sebentar, mau panggil Alid dulu hahahahaha.
“Aliiidd aliiiiddd siniiii” hihihi
Belom tahu sejarahnya. Ntar aja diceritain sambil makan gudeg yah haha
Sewaktu ke Jogja (padahal udah 2x) nggak sempat eksplor keraton dan museum-museum. Jadi tetap Insya Allah kapan-kapan akan balik ke Jogja lagi.
Visit keraton is a must 😀 semoga bisa ke sana nanti ya mbak Lina.
Aha, Water Castle! Ini tempat pertama yang kukunjungi di awal-awal merantau di Jogja tahun 2000 dulu. Ada teman yang kerja di toko Dagadu (bajakan) persis di sebelah Pasar Burung Ngasem yang sekarang kayanya udah gak ada. Dulu biasa masuk ke Gedhong Kenongo lewat jalan belakang Pasar Burung Ngasem ini.
Udah gitu, masuk ke Sumur Gumuling alias masjid bawah tanah yang cuma sepelemparan batu dari Gedhong Kenongo. Masa itu belum ada tiketnya, cuma disediain wadah buat orang-orang yang mau nyumbang sukarela aja.
Puas di Sumur Gumuling, masuk ke Taman Sari lewat “jalan belakang” alias kampung-kampung yang sekarang kondang sebagai Kampung Cyber itu. Nanti tembusnya pas di gerbang yang ada di foto. Tapi sekarang kayanya udah gak bisa ya lewat situ, mungkin udah ada yang jaga juga. Hahaha.
Sekarang banyak penjaganya mas Eko. Rasanya di tiap pintu masuk baik itu lorong, atau bangunan, ada orang-orang yang menjaga. Untungnya tiket masuknya (masih) murah, dan aku suka gap antara harga turis lokal dan asingnya nggak gila-gilaan banget.
om photomu cakep cakep banget pas aku kesana gk bisa ambil sebagus ini
Makasih Win. Mungkin pas ke sana lagi rame ya Win? emang kadang ada beberapa momen yang ngambilnya kudu sabar hihi
Dari semua yang dirimu beberkan di atas, cuma Kotagede aja yang belum pernah aku kunjungi. Anehnya, setiap kali ke Jogja adaaaaa aja yang membuat aku urung ke tempat satu itu. Kalau dilihat sekilas sih, Kotagede ini mirip dengan kampung kakekku di Kudus. Penuh labirin, rumah-rumah berbenteng, bangunan yang lawas-lawas dengan penanda tahun di atasnya, dan juga gapura-gapura bergaya Hindu Buddha.
Yayan harus main ke Kudus ya kapan-kapan 🙂
Pernah nulis tentang kampungnya yang di Kudus itu mas Bart? aku mau bacaaa 🙂
InsyaAllah jika ada kesempatan, Kudus ini udah lama denger namanya. Mesti cakep ya kalau kampung-kampungnya sama seperti yang di Kotagede ini. Ditambah lagi kalo penduduknya welkom sama wisatawan. Aaah love
Kalau beberapa tulisan soal Kudus aku pernah buat, tapi kalau soal kampungku malah belum. Sekarang sudah banyak berubah sih sebenarnya. Cuma nanti deh, kalau aku balik ke Kudus lagi, aku bikin liputan khusus 🙂
Plus video ya mas Bart. Ayeeey, ditunggu 🙂 jangan lupa colek-colek kalo tulisannya sudah jadi. Pasti menarik bacanya dan lihat foto-foto yang diambil sama master 😀
Insya Allah Yan, tapi harus nunggu aku pulang kampung dulu kayanya hahahaha ,,,
Kalau mau lihat liputan masakan khasnya sih, aku udah pernah nulis Yan. Wajib dicoba pokoknya, unik dan khas banget!
Langsung meluncuuuuur 🙂
Siap-siap aja pengen ya Yan 😀
Dan memang terjadi… #mupeng :))
😀
Bang yayan, saya senin insyaallah ke yogya. Tfs ya, nanti aku mau coba ke tempat2 di tulisan ini kalau sempat 🙂
Wah perasaan baru di postingan sebelumnya mbak Liza bilang belom pernah ke Yogya dan kepingin ya. Alhamdulillah kesempatannya datang tak lama lagi 🙂
Jangan lupa ke Prambanan juga, itu cakep banget. Aku belom tulis lengkap hehe
Iya, cuma ga sempat jalan2 jauh kayaknya. Cuma seputaran aja karena tugas kantor.
Mudah-mudahan sempat, soalnya letak tempat wisata yang aku ceritakan ini di pusat kota 🙂
Kalau sedang suntuk aku sering sepedaan ke sudut-sudut ini. Menikmati waktu sambil cari inspirasi nulis hahahhaha
Aku kalau ke Umbul Binangun lagi, mau nyobain bikin sketsa kayak anak-anak seni yang kulihat waktu itu. Cakep-cakep banget skesta mereka.
Aku pertama liat kolam pemandiannya langsung menganga om. Besar kali. Coba kalo sedikit di pugar. Foto di sumur gumuling itu instragamable banget, sering juga digunakan untuk prewed tjakep. Aku dapat informasi sumur gumuling itu ada yang bilang masjid bawah tanah, terliha dari lorongnya. Rumah joglo itu milik UGM ya om, emang dari dulu kah? Gak ada habisnya kalo ke Jogja kayak akan wisata. Udah lama gak ke sana >.<
Seingatku, rumah joglo itu dulunya bukan disitu, sama UGM dibeli, dibongkar pasang dan ditempatkan di lokasi yang sekarang di sekitaran Kotagede 🙂
Iya, aku setuju, kolamnya bisa direnovasi, tapi jangan sampai menghilangkan “kejadulannya” karena itulah yang bikin cakep. Betul, Sumur Gumuling juga katanya masjid bawah tanah. Keren ya 🙂
Oalah dibeli toh rumah joglonya. Sayangnya, rumah bersejarah dijual. Padahal itu kan aset
Bukan begitu 😀 jadi dibeli sama UGM karena demi mempertahankan si rumah.
I’m not sure, namun menurutku kurang lebih begini, itu rumah penduduk lokal yang mau dijual. Sama UGM dibeli dan dipindahkan ke kawasan ini. Dibeli untuk mempertahankan si rumah, karena jika dijual sama orang lain, kita gak tahu rumahnya bakalan diapakan.
Sama UGM, rumah ini dijadikan semacam rumah contoh, dan semua orang bisa datang, masuk dan melihat isi rumahnya dengan segala perabortannya yang masih asli.
Noted !!! Klo ke yogya aku mo main ke between two gates.
Cerita yg menyenangkan omndut 🙂
Dijamin juga jalan-jalan di Between Two Gates akan terasa menyenangkan 🙂
Makasih ya.
Kereeen… Smg menang masyan. Yg ikut pada hebat2, aku memutuskan ga ikut dulu.
Eh btw aku kepo sm infografis yg ada gambar hpnya. Itu gmn bikinnya hehe.
Amiin amiin makasih Ijah.
Untuk bikin infografis itu, aku pake “aplikasi” online. Coba buka di canva.com, mudah banget, untuk aku yang gak paham soal grafis aja serasa mudah pakenya.
Semua header blogku (foto yang ada tulisannya di awal postingan) sebagian besar juga ditambahkan pake canva.com atau aplikasi offline photoscape.
Iya aku juga suka pake canva. Tapi bikin hp nya itu gmn masyan? pake canva jg?
Iya 🙂 tinggal cari aja gambar hape. Aku pake keyword, “handphone black and white *png”
Formatnya PNG, format JPEG juga bisa, yang penting gambar dalamnya polos. Gambarnya diunggah di canva, juga gambar hasil skrinsut aplikasinya, tinggal tempel deh 🙂
ilmu baru, makasih ya=)
Huaaa tks berat mas yan ^^
Iya 🙂 hayo dipraktikkan mbak Dian ^^
Sama-sama ^^
belum kesampaian kesini nih kak, semoga tahun 2018 bisa kesini.. aamin
Amiiin, semoga ya mas 🙂
aku udah berkali-kali ke Jogja (karena memang dekat dari Salatiga), tapi belum pernah ke Keraton lho…next visit i must be there 🙂
Untuk aku yang orang Sumatra ini, masuk keraton itu rasanya gimanaaa gitu. Auranya beda banget, dan aku suka berlama-lama berada di keraton 🙂
Sebagai orang Jawa dan sering ke Jogja, aku malu lho baca postingan ini karena belum pernah ke Kotagede. Bahkan, weekend kemarin pas mau Borobudur Marathon pun udah merencanakan mampir ke Kotagede belum kesampaian juga. Hiks 😥
Haha, insyaAllah kalo ke Yogya lagi bakalan ke sana mas. Aku suka suasana di sana, rasanya tentram gitu. Tenang dan orangnya ramah-ramah banget.
Oh ya ampyuuunnn
Gini ini yg bikin mupeng k jogja lagii lagiii dan lagiiii
Kayaknya gak ada orang yang gak pingin balik ke Yogya lagi, lagi dan lagi ya mbak hahaha, kecuali orang yang punya kenangan jelek di sana. Macam, diputusin pacar hihihi
Jogja memang seru yah, tapi tempat-tempat kaya keraton, istana air, apalagi dumur gumuling kadang bikin merinding eh apa itu perasaan aja yak
Aku pun merasakan hal yang sama mbak 🙂 karena emang auranya begitu. Tapi untungnya gak mengganggu acara jalan-jalan secara keseluruhan ^^
Kalo liat foto-foto jogja jadi pengen ke Jogja again,,, rasanya masih banyak tempat yang belum saya kunjungi
Di dua kali kunjungan ke Yogya pun aku merasa masih banyak sekali tempat yang belum kujelajahi mas 🙂 mesti balik lagi ke Yogya ini.
Masyaallah serasa lagi di Jogjaaaa… Lengkap buanget mas Har 👍
Terima kasiih 🙂
keren banyak spot buat foto,terima kasih utk sharingnya.
Sama-sama 🙂 Yogya emang fotogenik
Wah ngiriiiiiiii 😛
Di sana masuk museum boleh ya foto2 bawa kamera, soalnya kan ada bbrp museum yg gak ngijinin.
Jadi ikut ngebayangin masa lalu di keraton2 itu, keluarga raja tinggal. TFS
Boleh mbak 🙂 Iya bener, ada beberapa museum yang gak boleh bawa kamera di beberapa bagian museumnya. Kalau di sini mah boleh.
Keren-keren fotonya om
Terima kasih mas Helmi 😉
Saya suka Masjid terpendam itu. Sumur yang sebenarnya tempat buat azan itu. Enaknya sih pas sepi, jadi leluasa buat motret. Kalau pas rame, susah dapat momennya…
Iya bang. Datang di hari biasa aja jadi PR buat motret, apalagi di akhir pekan. Wuiihh, mesti keluarin jurus soto-sop hehehe
Wah sebagai orang Jogja saya malu sama Mas Yayan ih. Belum pernah ngubek-ubek Sonobudoyo. Dulu pernah sekali kesana tapi pas renovasi, jadi banyak banget yang ditutup.
Oh pantes sekarang museumnya cakep. Karena habis direnovasi ternyata 🙂
Hehe sama mbak. Udah hampir 10 tahun di Jogja tapi saya cuma lewat depannya doang :v
Klo rumah di Kotagede yang punya UGM, dulu sempat sekali ke sana waktu ikutan acara komunitas seni. Enak banget suasananya. Tenang dan ndeso, padahal di tengah kota sibuk 🙂
Mesti disiapkan waktu banget berarti buat ekplor ya 🙂
Tes tes tes….. *semoga komen ini nggak mental lagi -__-”
Hai Salam kenal !! *dikeplak.
Duh aku tuh dalam sebulan bisa dua kali bolak balik Jogja buat ngatur bisnis wkwkw tapi kok yaa nggak pernah sempet mampir ke museum sonobudoyo itu (atau mungkin udah pernah kali ya, terus aku lupa).
Aku pengguna traveloka garis keras banget, tapi belom nyobain beli tiket rekreasi via traveloka *cobainahabisini.
Alagh sok mau ngatur bisnis, padahal ada cem-ceman kan di sana? hahahaha.
Haha aku pun penggemar garis keras Traveloka, sangat terbantu buat buking-buking. Aku mau cobain ah ntar beli tiket atraksi kalo main-main ke negara tetangga.
Keren, traveloka makin lengkap fitur2nya. Saya jadi kangen jogja
Iya betul. Fiturnya makin lengkap dan sangat mempermudah para pelancong kayak aku gini 🙂
Baru ngeuh kalo daftar pilihan rekreasi di Traveloka bisa seseru itu euy. Tiap buka app traveloka lihatnya cuma hotel + kereta api 😀
Saya pernah ke Kotagede & menjelajahinya. Sangat berkesan. Terutama kebersihannya. Apa yg bikin mereka sekompak & sepatuh itu ya. Iri saya mah euy. Di Bandung rasanya gak ada yg kayak gitu. Jogja ini ya, antara hedonisme wisata & kehidupan tradisinya bisa beriringan.
Iya setuju 🙂 aku juga salut masyarakat di sana bisa seharmonis itu. Mungkin karena pada dasarnya mereka menerapkan penuh prinsip-prinsip berkehidupan yang selaras ya. Gak usil sama tetangga, saling membantu dsb dsb 🙂
Yang uang dimasukkan ke dalam bambu itu namanya jimpitan kalo ndak salah.
Aku juga baru tau ada begituan pas kuliah di Jogja.
Jadi kangen jogja 😦
Iya betul. Namanya jimpitan. Bener-bener takjub dengan adanya ragam kehidupan seperti itu. Luar biasa.
Baca artikelmu yang ini Om, mengingatkanku waktu perjalanan ke Jogja dulu. Karena terbatas waktu dan maksa ke tetep ke Jogja jadi akhirnya gak sampe 24 jam di sana tapi aku sempet main ke Taman Sari dan Malioboro.
Setelah baca ceritamu, ternyata banyak banget yang belum ke-explore.
Nambah lagi deh nih bucket list destinasi buat balik ke sana 😄
Makasih udah sharing Om, nanti cerita lagi ya!
Bener, Yogya itu banyak banget yang bisa dieksplorasi. Alam, budaya dan kuliner, semua lengkap.
Makasih juga udah mampir. Siaaap, nanti akan cerita-cerita lagi 🙂
Nah, itu tuh yang bikin pengen balik lagi Om.
Dan pastinya mau ke tempat-tempat yang km share di artikel ini 🙂
Iya 🙂 Jogja (emang) Istimewa #Love
ahhitu komplek2 yang sering ku telusuri dulu, masih seperti dulu jadi nostalgia bacanya :D.
Wah gak berubah ya mas Alan. Semoga terus dipertahankan seperti itu. Amiiiin 🙂
Kangen jogja.. dlu hmpr tiap minggu k sana.. aktivitas di traveloka aq udah coba utk beli tiket transmart, cm petugasnya krg familiar cr reedemnya jd nunggu lmyn lama.. semoga ditempat laen g spt itu yaa..
Aku belom coba kalau reedem, Amin, mudah-mudahan tempat lain lebih lancar 🙂
Ping balik: Gagal Berlama-lama di Kota Lama Semarang | Omnduut
Hai, Om Ndut. Dah kesini belum ya, sepertinya gak asing sih sama blog ini. Tapi ya udah lah, salam kenal ya 🙂
Udah 4 tahun di Jogja, meskipun gak asing lagi tempat-tempat diatas, tapi bagiku tetap gak ngebosanin untuk main lagi ke tempat diatas. Terlebih disaat taman sari, dulu mah gak seketat sekarang. Maksudnya sekarang kan tiket dimana-mana ya. Dulu mah nggak seperti itu..he
Hi mas Andi 🙂 rasanya tak asing juga, makasih udah mampir yaaa.
Bener, tempat-tempat itu sungguh ngangenin. Btw, ada blog juga? apa alamatnya? aku mau mampir ke sana hehe
Di Jogja selain museum Sonobudoyo ada museum apalagi Om?
Ada beberapa lagi. Aku sempat mau ke museum Afandi, tapi gak cukup waktu huhuhuhu
Ada beberapa lagi. Aku mau ke Museum Afandi, tapi gak cukup waktu huhuhuhu 😦
Ommm omm.. om ndut..
Pas kesana, gak nyobak potong rambutnya pak udin sekalian?
Hwuheuheu
Ttd
kiaikenduri.com
Sebelum ke Yogya, udah ganteng, potong rambut sebelum berangkat hehehe. Heiii Bud, pa kabar kamu?
Baaik bang yayan. Ini lagi klayapan kerjaaa. Jahaha
Kabarmu piyeee?.
Baik Bud. 🙂 asyiknya yang bisa kerja sambil kelayapan haha
Bahahaha….
Klayapan naaik turun tangga maksudnya bang..
Wkwkwk
Gakpapa, minimal berat badan terjaga hahaha
Saya pernah lari terbirit-birit di bawah lorong Sumur Gumuling tahun 2011 bersama sahabat saya gegara kami tersesat cari jalan masuk awal kami parkir motor. Asli pengalaman konyol. Gelap, maghrib, mencekam..hahaha
Jogja gak ada matinya! Ngangenin
Hahaha, pantes ya, karena udah magrib. Pagi dan siang aja gelap. Pasti serem hwhwhw
Hwaa Jogja. Aku udah sempat ke Keraton (tapi tutup) terus mampir ke Tamansari tahun lalu 😀
Tahun ini belum ada ke Jogja lagi, Tapi kayanya kalau ke Jogja aku maunya main ke pantai2 yang di Gunung Kidul deh, tempo hari belum sempet. Tapi sik jalan-jalan di kotanya aja udah nyenengin sih kalo Jogja.
Aku juga penasaran dan pingin eksplor Gunung Kidul. Mau ngezip line yang katanya terpanjang di Asia. Wow
Dan, aku kepengen ke Jogja lagi tiba-tiba hehehe…. Memang bagus banget menyusuri kota gede hehehe
Ajak akuuuuuh
waaaahhh…. Jogja…
kapan saya bisa “pulang ke kotamu” lagi… 🙂
Mauuuu bangeeett ke Jogja dengan order tiket dan hotel pake Traveloka
Wah, aku nyasar ke sini pas nyari referensi tentang Kotagede. Pas setahun lalu hahaha.
Dulu semasa di Jogja wira-wiri ke Kotagede karena sempat punya teman kental yang kerja di galeri perak dan satu lagi tinggal di daerah Basen, Kotagede sebelah utara. Beneran deh, orang-orangnya ramah sekali. Lingkungannya bersih. Cuma paling males kalau lewat pasar, pasti rame banget, apalagi kalau masuknya dari arah Jl. Tegalgendu, tempat plang dan jembatan ikonik di atas berada.
Btw, gak jauh dari jembatan itu ada pondok sekaligus tempat tinggal almarhum kyai yang merumuskan metode belajar Qur’an bernama Iqra yang sempat legendaris itu.