“Kami sudah 9 bulan tidak menerima gaji,” ujar Ibu Ida lesu.
Seketika, kami semua para inspirator yang tengah berkumpul di ruang guru saat jam istirahat terkejut.
“Kenapa bisa begitu, Bu?” tanyaku heran.
“Soalnya dana BOS belum juga cair.”
Hening.
“Coba adik-adik semua bayangkan, jika adik terlambat mendapat gaji beberapa hari saja, pasti sudah kelimpungan, kan? Lha kami, sampai berbulan-bulan.”
Kembali hening.
“Tapi saya bersyukur memiliki guru-guru yang walaupun gajinya kecil dan belum dibayar berbulan-bulan tapi masih mau mengajar. Itulah dedikasi seorang guru. Kalau bukan kami, siapa lagi yang akan mendidik anak-anak ini.”
* * *
Yeay! Akhirnya bisa ikutan lagi Kelas Inspirasi (KI) setelah tahun lalu sempat jadi inspirator ala-ala di SD Gandus. Terus terang, tahun ini aku tidak begitu semangat buat ikutan. Kenapa? Soalnya belum tahu bakalan bisa datang atau tidak di hari pelaksanaan. Selain itu, ngebayangin ke-chaos-an menghadapi para siswa aku rasanya kok… gak kuaaat haha. Tapiiii, ya ujung-ujungnya tetap aja daftar dan… aku gak menyesal untuk gabung di Kelas Inspirasi lagi.
Alhamdulillah sekali, beda dengan KI sebelumnya dimana aku kebagian SD di daerah antah berantah, KI 2015 ini aku kebagian SD yang letaknya tak jauh dari rumah. Tepatnya di Madrasah Ibtidaiyah Nusantara yang berada di kawasan Sentosa, Plaju, Palembang. Dari rumahku sih yaa sekitar 15 menitlah. Walaupun letaknya agak ke dalam, namun menurutku akses menuju sekolah ini sudah cukup baik.
Sekolahnya terletak di lingkungan masyarakat perkampungan.
“Kebanyakan siswa di sini orang tuanya tukang becak, buruh kebun atau berjualan di pasar,” sahut bu Ida lagi. Sebagai kepala sekolah, Bu Ida tentu orang yang paling mengenal keadaan siswa yang bersekolah di sana.
Walaupun sederhana, kondisi MI Nusantara menurutku masih cukup baik. Benar jika lokal kelasnya terbatas sehingga harus bergantian, namun suasana rindang di sekolah menjadikan MI Nusantara terasa begitu nyaman.
“Apa pernah minta bantuan Diknas, bu? Siapa tahu Diknas mau bantu dan mau menambah kelas.”
“Seumur-umur sekolah didirikan oleh ayah saya, belum pernah sekalipun Diknas berkunjung. Untuk itu, ibu harap kalian semua dapat menjadi penyambung lidah kami ke pihak berwenang. Ibu tunggu perubahan yang kalian lakukan di MI Nusantara ini.”
Lidah kami kelu.
* * *
Seperti biasa, sebelum dimulai Kelas Inspirasinya, kami semua berkumpul di lapangan sekolah untuk memperkenalkan diri. Tahun ini kami semua kebagian jatah “mengajar” di kelas 1 sd 6 dan masing-masing akan kebagian jatah mengajar di 4 kelas selama 4 sesi. Semua diacak biar kebagian. Namun, aku sendiri ujung-ujungnya hanya kebagian 3 sesi karena sesi terakhir di kelas 1 ternyata jadwal sekolahnya berubah sehingga mereka pulang lebih dulu. Ntah aku harus senang atau sedih hahaha.
Di sesi pertama, aku kebagian mengajar di kelas 5.
“Ini kelasnya paling ribut, semoga kamu bisa mengatasinya, ya!” sahut seorang guru.
Toeng! Belom apa-apa aku udah jiper hwhw. Begitu masuk….
Semua diam.
“Adik-adik, hayo kakak ajarin salam Wuzzz!”
Begitu salam wuzz selesai.
Semua masih diam. Oalaaah, cobaan apa ini? Ternyata menghadapi anak yang pasif itu lebih susah ketimbang yang aktif.
Oh ya, omong-omong apakah aku memperkenalkan profesi deltiologist lagi seperti di KI sebelumnya? Jawabannya tidak. Kali ini, aku memperkenalkan profesi yang betul-betul aku geluti yakni sebagai seorang pedagang.
“Ada yang mau jadi pedagang?” tanyaku.
“Nggak mauuuu,” teriak seorang siswa.
“Kenapa tidak mau?”
“Nggak keren!”
Gubrak! Hahaha.
Kalau dipikir-pikir, profesi pedagang emang nggak keren apalagi jika dibandingkan dengan dokter, polisi, tentara atau pegawai bank –uhukuhuk, maaf batuk. Kalau profesi yang memakai seragam itu memang nampak sangat gagah. Lha pedagang?
“Eh tapi kalian tahu kan kalau nabi Muhammad Saw itu pun dulunya seorang pedagang.”
Mayoritas kompak berkata, “tidak tahuuuu.”
Aha!
Siplah, jadi aku punya bahan buat ngedongeng, kan? Lantas aku bercerita tentang nabi Muhammad dan beberapa tokoh penting yang mengawali hidupnya dengan cara berdagang. Misalnya saja ibu Susi Pudjiastuti, Bob Sadino, Chairul Tanjung dan Ghibran Rakabumi anaknya Jokowi.
“Nih, walaupun dia anaknya presiden tapi dia lebih memilih menjadi pedagang makanan, loh! Jadi jangan malu menjadi pedagang asalkan dilakukan dengan cara-cara halal.”
Beberapa siswa terlihat menganggukkan kepalanya.
* * *
“Kami tidak punya ruangan lain selain ruangan ini.”
Ruangan yang dimaksud itu ialah berupa satu ruangan kecil yang merangkap menjadi ruang kepala sekolah, ruang guru dan juga UKS. Ruangan itu pula yang kami pakai untuk beristirahat saat siswa bermain dan jajan.
“Kami tidak punya perpustakaan, padahal standarnya sekolah yang baik itu setidaknya punya perpustakaan mini. Anak-anak kami ini haus ilmu, adik-adik boleh lihat sendiri nanti.”
Aku jadi teringat anak-anak di kelas 3 pada saat sesi kedua mengajar yang sangaaaaat aktif dan berani.
“Ada yang mau ke depan dan bercerita mengenai cita-citanya?” tanyaku.
Dan, satu kelas tunjuk tangan! Luar biasa. Beda sekali dengan kelas 5 yang cenderung pendiam dan malu-malu. Melihat antusias dan semangat belajar mereka, aku harus setuju apa yang disampaikan oleh ibu kepala sekolah. Mereka haus ilmu!
Tapi di sisi lain anak-anak ini, walaupun dibilang anak kampung, mereka bukan termasuk anak yang gagap teknologi.
“Ada yang punya akun facebook di sini?”
Sebagian besar siswa kelas 6 di sesi 3 mengangkat tangan.
“Nah ada yang kenal sama ibu ini?”
Aku mengangkat foto ibu Susi.
“Semua diam.”
Aku lalu mengangkat foto Chairul Tanjung dan Bob Sadino. “Kalau yang ini?“
Beberapa menebak dengan asal-asalan, mereka berusaha membuat lelucon. Sayangnya, semua tebakan mereka salah. Aku tidak tahu, apakah foto yang aku cetak dan bawa ke sekolah itu memang tokoh yang sangat susah dikenali atau tidak. Namun, seingatku di zaman SD dulu, aku bisa menghapal wajah-wajah menteri dan juga jabatannyanya. Ah zaman sudah berubah, anak-anak ini jauh mengenal lelaki pesolek yang ada di sinetron. Salah seorang siswi bahkan dengan lancar menyebutkan beberapa judul sinetron tanpa kuminta.
Jangan salahkan mereka…
* * *
“Kalian tahu berapa gaji guru di sini?” tanya ibu Ida lagi kepada kami semua.
Kami diam.
“Perbulannya hanya sekitar 500 ribu. Dan itupun tertunggak hingga 9 bulan lebih. Coba, gaji guru di sini berapa persen gaji dari kalian?”
Tidak ada yang menjawab. Ini adalah saat yang tepat bagi kami untuk menyediakan banyak telinga, mendengarkan keluh kesah pahlawan tanpa tanda jasa ini.
“Makanya kami tertolong sekali dengan program sertifikasi guru. Namun ya itu, sering kali pencairannya terlambat sehingga kami harus tutup lubang-gali lubang.”
Terus terang, aku penasaran ingin bertanya apakah guru-guru ini statusnya pegawai negeri atau bukan. Namun, sepertinya petanyaan yang ada dibenakku itu telah menjadi satu paket dengan jawabannya. Mana ada gaji pegawai negeri yang sekecil itu, bukan?
“Lihat ibu ini,” sahut ibu Ida sambil menunjuk salah satu rekannya. “Beliau sudah mengajar sejak tahun 1995. Rumah ibu ini jauh sekali di Sungai Lais, tapi ibu ini (maaf aku lupa namanya, red) hampir tidak pernah absen.”
“Jadi apa bu yang membuat ibu tetap bertahan hingga sekarang?” salah seorang inspirator bertanya.
“Ibu tidak semata mengejar materi, dik. Ibu juga mengharapkan akhirat. Selain itu ibu kasihan sama anak-anak di sini. Jika kami yang bertahan, lalu siapa lagi?”
Kami memandang takjub para guru ini.
“Sekolah ini dulu dibangun oleh ayah saya. Saya hanya meneruskan,” seloroh bu Ida. “Coba bayangkan jika area ini saya bangun bedeng, tiap bulan saya menerima uang tanpa harus capek mengajar. Tapi ya itu, hidup tak selalu untuk bertumpu pada materi, kan? Melihat anak didik kami yang sekarang menjadi orang yang sukses, kami sudah sangat senang sekali.”

Anggra dengan murid-murid berpeci lucu dan jilbab kucar kacir hehehe
Aku yakin semua temanku setuju, apa yang disampaikan oleh guru sekolah ini adalah suatu hal yang tulus.
* * *
Tepat pukul 11:30 kegiatan Kelas Inspirasi di MI Nusantara berakhir. Sama seperti di pagi hari, siang ini acara ditutup dengan apel/upacara siang. Singkat saja, intinya kami mengucapkan terima kasih karena sudah diterima dengan sangaaaaat baik di MI Nusantara bahkan di tengah keterbatasan sekolah, mereka masih bersusah payah menyuguhkan beberapa makanan dan minuman untuk kami. Kami sangat berterima kasih.
Sebagai bentuk terima kasih juga dari kami, Dika –fasilitator Kelas Inspirasi, sudah menyiapkan sebuah piagam penghargaan untuk sekolah. Selain itu teman-teman yang lain (mbak Maryati, mbak Thita, Anggra, Tika, Kak Robby dan Dika) sudah menyiapkan beberapa buku bacaan. Selain itu ada juga bibit tanaman yang mudah-mudahan dapat menjadi bagian dari sekolah yang terus tumbuh bersamaan harapan dan cita-cita siswa di sana.
Semoga!

Formasi nggak lengkap (Ki-ka : Kak Robby, Dika, mbak Mita, mbak Maryati, Tika, Joseph Gordon Levitt eeehh Omnduut) :p
Catatan : Semua foto diambil oleh mbak Thirta & mbak Mita.
Oooooom. Mataku berkaca-kaca bacanya. Hiiikssss. Semoga bisa ada perbaikan ya Om.
Amin mas Dani. Yang aku dengar bahkan gak jauh dari ibukota pun masih banyak yang kayak begitu ya
Miris ya… melihat nasib guru di sekolah itu…. tapi kagum juga dengan keikhlasana mereka. Semoga saya juga bisa se-ikhlas mereka nanti kalau jadi guru….
AMIN
Amiiin. Soal fasilitas sekolah, ketika semua relawan kumpul, ternyata ada sekolah yang jauh lebih parah. Miris banget.
sedih bacanya, semoga keikhlasan mereka dibayar pahala dan berkah yang berlimpah dari Allah 😦
jadi guru itu susaaaahh, aku sempet ikut KI tapi masih ga pede ngajar. Gak sanggup mengendalikan anak-anak 😀 jadi relawan fotografer aja
Nah pas jadi relawan fotografer pun udah keliatan ya betapa serunya mengajar mereka hahaha
baca ini saya ketampar! sering ngga bersyukur
Senengnya kalau ikutan kegiatan begini ya itulah mbak Kiki. Jadi makin merasa bersyukur.
kereeeeeen. Eh om, jangan pedagang atuh..pengusaha aja *terdengar keren* *padahal intinya yg namanya pengusaha kan pedagang juga yak* hahahaha
Nah ituuu tetep aja pedagang hahaha lagian usahaku BELOM gede haha nanti kalo udah gede baru deh pede bilang diri sendiri pengusaha 😀
Aku curiga dirimu cuma low profile sadja om 😀 tapi tapi didoaken supaya makin gede maju lancar dagangannya, Aamiin 😀
Nanti ya, kalo udah gede, bisa ngupah blogger kece kayak kak Nina ini buat nge-endors usahaku baru deeeeh hahahaha. Amiiin ya Allaaaah. 🙂
Iya aku blogger kece om, KECE-bur sungai musi ahahahaha 😀
Kalo kata temenku, kece itu… KECEbong haha
Gyahahaha 😀
Anak-anak kelas 3 hebat pd berani bercerita ttg cita-tanya… keren *gak sekeren pedagang 😀 *
Saya terharu sama perjuangan bu Ida dkk bener2 pahlawan tanpa tanda jasa.
Salut juga buat om dan temen2 fasilitator nya yg berdedikasi mau membagikan ilmunya buat anak-anak itu.
terus nerkarya ya om. semangaaaat!!
Hahaha. Iya, anak kelas 3 semangatnya luar biasa. Bikin bajuku basah! #eh hwhwhw.
Kalau ditanya sekarang, “mau ikutan lagi gak KI?” jawabannya : nggak hahaha, masih kerasa capeknya hwhwhwhw. Kayaknya tahun depan mau coba jadi dokumentator aja 🙂
Hah? pake basah-basahan? cemana ceritanya itu om ampe basah?
Oh kapok? haha… saya kudu nyobain kayanya biar tau rasanya. hehe
Hahaha soalnya mereka sangat aktif aku sampe dibikin berkeringat, mana kelasnya lumayan panas. Harusnya anak-anak yang sekolah di sekolah elit, ada AC jauh lebih semangat ya.
Wogh… sampe kaya sauna gitu yaa. hihi
Iya harusnya, tp anak2 sekolah elit ga bakalan menyadari kemewahan meraka sampe mereka nyobain sekola di pelosok.
Guru-guru yang hebat. Semoga Allah memudahkan jalan mereka 🙂
Amin ya Rabb
Saya agak kurang percaya lho mas. Masa di zaman seperti ini masih ada guru yang gajinya belum dibayar?
Kan sekarang gaji guru udah lebih dari cukup. Ah… Mungkin saya saja yang kurang pengetahuan he he he
Ini mereka guru kecil berstatus honorer (walau sudah mengajar belasan tahun), mereka bukan PNS. Kebetulan salah satu sepupuku guru MI juga di sekolah lain. Dan memang, gajinya juga terhambat. Dia masih beruntung ditopang suami, sayangnya sebagian guru MI Nusantara bergantung penuh terhadap gaji.
Makanya, ketika gajinya tertahan, mereka memutar otak mencari tambahan. Ada yang sebagian mengajar les tambahan, berdagang dsb
Terenyuh bacanya. Gaji cuma limaratus ribu, pengharapan setiap bulan, tapi ditunggak hingga 9 bulanan? Masya Allah, gak kebayang gimana galaunya. Di lain sisi, mereka dituntut untuk tetap berbakti dengan dedikasi tinggi.
Tapi di samping itu, yang membanggakan adalah karena motivasi mereka itu bukan sekedar dunia, melainkan amalan yang dapat menyelamatkan mereka di akhirat. Sungguh luar biasa.
Btw oom, pedagang itu profesi luar biasa lho. Aku pernah dengar satu riwayat yang menyatakan bahwa dibukakan sembilan pintu rejeki bagi profesi pedagang. cmiiw. Jadi dagang apa? *serius nanya*
Untungnya mereka mendapatkan uang tambahan dari sertifikasi guru. Aku kurang paham itu apa, dan seberapa besar tambahannya. Dan… sayangnya juga dibayarkan per beberapa bulan sekali. Hehehe.
Aku dagang diri om, mau beli om? hahaha. Dan bener, 9 dari 10 pintu rezeki adanya di perdagangan 🙂
Noted. Ooo kamu dagang diri? hmm mendingan aku beli tiket aja deh Yan, daripada beli dirimu hahahahaha
Dagang diri yang tak laku-laku *kayak lirik lagu hahaha
Hahaha promo terselubung iniii ,,, Sabar Yan, dunia dagang emang lagi sedikit lesu belakangan ini 😀
“Dagang” yang satu ini terlampau sepi muahahaha
Pssst ke ‘orang pinter’ doong, pake penglaris. Pasang susuk! *ngajarin gak bener* 😀
Insya Allah para guru akan mendapat pahala yang tak pernah putus dari ilmu yang sudah diajarkannya. Tapi semoga saja ke depannya nasib guru-guru di.pedalaman bisa lebih baik
Amiiin. InsyaAllah rezeki akan datang dari mana saja.
Baca ini rasanya nyeeeees ngebayangin pengorbanan para guru itu
Iya mbak Arni. Salut buat para guru di seluruh Indonesia
Mudah-mudahan kita tetap jadi orang yang yang punya hati bersih, niat tulus, dedikasi tinggi, dan kegigihan membaja seperti para guru itu. Sungguh meski tak bertanda jasa, tapi jasa guru jauh lebih besar dari orang-orang dengan lencana dan tanda jasa terberat sekalipun. Setuju dengan teman-teman di atas, Tuhan akan memberi hadiah pada orang-orang beruntung seperti bapak dan ibu guru di sana, Mas :hehe.
Banyak harapan tersemai setelah saya membaca tulisan ini. Kelas inspirasi itu keren! Dan sejujurnya profesimu itu hebat Mas, saya baru tahu soal deltiologis dari tulisan ini :hehe, tapi pedagang pun pekerjaan yang sangat mulia, kayaknya salah satu dari pekerjaan pertama di muka bumi ini, deh. Kurang hebat apa, coba?
Tapi dulu cita-citaku itu kayak om Gara loooh, bener, sumpah bahkan sampai sekarang masih kepingin hehehe.
Tapi ternyata nasip berkata lain ^^
Amin amin Gar, makasih doanya.
(Memangnya saya ini kerjanya apa sih :haha).
Iya, sama-sama :hehe.
Kerja gitulah hahaha
Kelas Inspirasi itu ngangenin beneran ya. Aku padahal kapok ikutan yang pertama karena keganasan anak2 ini, eh lha kok kecemplung lagi kedua kali haha.
Sebagai anak seorang guru, aku tau jeritan hati para guru. Ibukku dulu juga sering ga digaji berbulan2, ngajar pakai sepeda ontel sampai ke pelosok desa. Tapi para guru ini memang tulusnya luar biasa.
Salam buat mamanya ya mbak 🙂 salut saluuuut. Dan iya bener, kalo ada keluarga yang guru, pasti tahu deh perjuangan mereka kayak apa.
Sepupuku bahkan pernah mengajar sambil ngendong anak. -_-
“…hidup tak selalu untuk bertumpu pada materi, kan? Melihat anak didik kami yang sekarang menjadi orang yang sukses, kami sudah sangat senang sekali.”
ibuku dulu sebelum menjadi guru adalah seorang guru bantu / honorer yang menunggu belasan tahun untuk diangkat menjadi cpns, Yan.. sesekali ibuku membantu ayahku yang seorang tukang jahit di rumah 🙂
Bonusnya sekarang punya anak sukses. Alhamdulillah 🙂
:’) alhamdulillah banget …
kasih jempol
Para guru itu memang luar biasa pengabdiannya, mengapa negara ini tak bisa menghargai jasa mereka dengan lebih baik ya 😦
Semoga aparatur pemerintah yang berwewenang tergerak hatinya, aamiin.
Amin, semoga begitu Wan. Dan tugasnya kita-kita inilah menyuarakan suara hati mereka
Ececiyeee ikutan lagi nih. Uhuk! *dibalang kamera* :p
Denger cerita gini itu rasanya tertohok. Keren banget pengabdian mereka. Salut. Angkat topi 🙂
Semoga ada gerakan lebih lanjut ya. Aamiin 🙂
Alhamdulillah ikutannya modal fun walau capek, gak drama kayak kamuuu :p
Heh? Drama? Nggak ada kok. Adanya cuma masih nyangkut tuh baper sampai sekarang. Wkwkwkwkwk :p
Taun depan aku mau jadi pengamat aja. Hahaha 😀
Tahun depan jadi inspirator aja, jadi orang luar, dijamin tetap aja ada drama muahaha
Hiks… ikutan trenyuh bacanya….Semoga Allah membalas mereka dengan pahala besar… aamiin. ira
Amiiin. Semoga kesejahteraan mereka juga dapat meningkat.
Aih aih, lucunya anak2 itu. Ekspresi mereka begitu polos dan menggemaskan. Jadi ingat pengalaman saya waktu mengajar SD dulu. Sekarang malah kembali ke SMA, jadi tidak bisa bercanda dan melihat kepolosan anak2 kecil lagi. Saya patut bersyukur, seumur-umur tidak pernah mengalami permasalahan seperti Ibu Ida. Semoga dinas pendidikan setempat di sana segera mengatasinya ya.
Saya salut Bang Ndut selalu memberi inspirasi kepada kami semua. Tetap semangat ya, salam untuk semua anggota Kelas Inspirasi 😇
.
Tetap semangat juga mengajarnya mas Sugih 🙂 salutttttt
Tentu Bang. Oya, saya kaget Bang Nduut bawa gambar tokoh2 Indonesia ke dalam kelas. Zaman sekarang jarang ada guru yg membawa sesuatu ke dalam kelas. Saya pun malah hampir lupa siapa itu Opa Bob Sadino. Ide Bang Nduut sangat kreatif untuk membangkitkan semangat mengajar para guru, terutama saya. Besok2 saya mau bawa foto juga ah klo ngajar di kelas. Hehe… 😆
Suka duka dunia pendidikan. Allah sudah mencatat pengabdian bu Ida dan para pahlawan tanda jasa lainnya sebagai amal jariyah. Salam buat Gordon Levitt di foto terakhir ya 😀
Hahahahahahahahaa salam kembali 😀