Kuliner / Pelesiran

Dari Masjid Kapitan Keling Hingga Nasi Kandar : Penyelamat Dikala Lapar

DSC_1313

.

“Bang, kita makan di sini aja gimana?”

“Hmm aku temenin aja ya Ndra, aku agak kurang sreg nih makan di sini.”

Aku melirik sekitar, bisa dibilang semuanya restoran yang ada di sini merupakan restoran Tiongkok. Beberapa restoran tersebut bahkan memajang bahan makanan yang nggak bisa aku makan karena alasan prinsip. Terus terang, melihatnya saja seleraku lenyap walaupun aku sedang lapar sekali saat itu.

DSC_1310

Restoran di dekat hostel. Papan namanya penuh dengan huruf keriting 🙂

Aku penasaran banget bang makan laksa Penangnya,” rayu Indra lagi.

“Aku temenin aja ya, nanti aku cari makan tempat lain.”

Indra terlihat agak sebel saat itu. Mungkin karena sudah sangat lapar dan bingung mau makan di mana lagi.

“Trus kita makan di mana dong?”

“Kita cari ke arah sana yuk!”

Aku dan Indra lantas berjalan tak tentu arah menyusuri jalan-jalan kota Penang yang dipenuhi oleh mural-mural yang indah. Dari peta kota yang kami dapatkan di bandara, terdapat sebuah masjid tak jauh dari kawasan Kimberley, tempat di mana hostel kami berada. Benar saja, sekitar 15 menit berjalan kaki, menara masjid Kapitan Keling sudah mulai terlihat. Alhamdulillah!

Lapar? Kok malah nyari masjid?

Yup, sebagaimana salah satu tips mencari makanan halal yang aku tulis sebelumnya, salah satu kiat menemukan makanan halal itu ialah dengan cara mencari masjid. Kenapa? Karena biasanya komunitas atau masyarakat muslim banyak terdapat di sana. Dan, benar saja, persis di samping masjid Kapitan Keling, aku melihat sebuah restoran yang di Malaysia lebih dikenal dengan Nasi kandar.

Nasi Kandar? Apaan?

Itu bukan nama nasi ya. Tapi nama tempat makannya. Ya kalau di Indonesia mirip-mirip nasi padang-lah. Mengenai nama ini, aku jadi ingat ketika pertama kali merasakan nasi kandar di Johor Bahru, aku nanya ke petugasnya.

“Kak, pesan nasi kandar, boleh?”

“Jom pilih sendiri.”

“Itu nasi kandar, ke?” tunjukku ke sebuah dandang nasi yang masih terisi penuh.

“Bukan…bukan, ini nasi biryani.”

“Lalu, mana nasi kandarnya?”

“Nasi kandar tuh, nasi same lauk-lah.”

Oalaaah. Hahaha. Salah tangkep niyey! Ya maklum, baru pertama kali soalnya. Kukira nasi kandar itu nasi tradisional khas Malaysia. Yaa semacam nasi uduk, nasi minyak, atau nasi kuning kayak di Indonesia. Ternyata nasi kandar ya konsepnya yang seperti warteg. Lihat, tunjuk (kalau ada petugasnya, kalau nggak ada ya langsung ambil aja sendiri), lalu wadah dan hitung harganya. Unik, ya?

DSC_1316

Warung Nasi Kandar Kapitan Keling. Penjualnya keturunan arab

Nah, karena sudah hampir seminggu di Malaysia aku jadi paham. Ya kalau mau pesan nasi kandar, langsung aja pesan jenis nasi apa yang dimau. Pilihannya sih biasanya antara tiga, yakni nasi putih, nasi tomato atau nasi biryani (eh penulisannya yang benar briyani atau biryani coba?) dan sebutkan mau lauk apa. Hal Itu jugalah yang aku lakukan malam itu di warung Nasi Kandar Masjid Kapitan Keling (tuh saking deketnya, nama warungnya aja sama kayak nama masjidnya). Malam itu aku memesan nasi biryani, teh o ais (es teh manis) dengan lauk ayam gulai.

Malam itu, rasanya nasi kandar tersebut terasa jauuuh berkali-kali lebih nikmat 🙂

Catatan : Baru saja mendapatkan informasi nih dari salah satu pembaca blog Omnduut. Ternyata ada sejarahnya penamaan nasi kandar ini. Menurut situs PenangTalk.com, Nasi Kandar pertama kali dijual di sekitar area pelabuhan di Weld Quay. “Nasi Kandar” sendiri berarti “Rice on Stick”, namun stick di sini bukan berarti tongkat, namun sepertinya mengacu ke gerobak panggul yang sepertinya terbuat dari buluh itu. Jadi dulunya, nasi kandar ini dijajakan tak ubahnya pedagang bakso keliling. Ya semua nasi dan lauknya dibawa dan ditempatkan di gerobak panggul itu. Untuk lebih jelas, coba lihat gambar ini. Unik, ya?

Nasi kandar

Source : PenangTalk.com. Makasih infonya mbak Puspita Lie 🙂

Oke lanjuuut 🙂

Ya maklum, lagi laper berat dan sebelumnya sempat rada ribet memutuskan mau makan di mana. Walaupun warung nasi kandar ini sederhana sekali, tapi tetap saja terasa syahdu. –andai ada dik Chelsea Islan menemani –dipelototin Indra hahaha. Warung ini semacam warung tenda gitu. Tendanya pun berbentuk payung lebar dengan meja dan kursi di bagian bawahnya.

DSC_1349

Payung sebagai atap warung 🙂 romantis ya. Ntah kalo hujan haha

Kita makan persis di pinggir jalan. Ntah ya kalau siang hari apakah memang diperkenankan berjualan di trotoar. Bisa jadi payung tenda itu hanya dikeluarkan mulai sore hari saja seperti warung tenda amigos (agak minggir got sedikit) yang ada di Indonesia khususnya kota Palembang 🙂 malam itu, kami makan bersama beberapa pengunjung lokal lainnya. Untuk makan malam senikmat itu, aku hanya membayar sekitar 5 MYR saja. Lumayan, kan?

Oke perut sudah kenyang, selanjutnya kami memutuskan untuk shalat Isya di masjid Kapitan Keling. Begitu memasuki gerbang masjid, pandanganku tertuju terhadap minaret atau menara masjid yang nampak berdiri kokoh. Sekilas sih terlihat menara itu memiliki 4 bagian dengan bagian paling atas yang berisi toa. 4 kubah kecil nampak terlihat di antara tangga menuju bagian atas.

DSC_1347

Yang punya blog mejeng dulu. :p

Masjid Kapitan Keling sendiri merupakan masjid tua yang dibangun pada abad ke-19 oleh pedagang muslim India. Letak masjid ini berada di George Town dan menjadi salah satu bagian penting yang menjadikan Penang ditetapkan sebagai salah satu kota Warisan Situs Dunia oleh UNESCO. Masjid ini terletak diantara Lebuh Buckingham (keren ya namanya) dan jalan Masjid Kapitan Keling. Dari Komtar, jarak masjid ini sekitar 15 sd 20 menit saja jika berjalan kaki.

 

DSC_1328

Ini dia masjidnya 🙂

Terus terang, masjid ini tidak begitu megah dalam aspek negatif (seperti halnya masjid-masjid di Indonesia, yang kadang megahnya berlebihan), namun nuanasa nyaman, hangat dan religius sangat terasa. Ini dikarenakan komitmen pemerintah yang berusaha menjaga bentuk bangunan aslinya. Terakhir, masjid ini direnovasi pada tahun 1930 dan hingga sekarang hanya dilakukan perawatan saja tanpa mengubah bentuknya.

Saat dibangun,  para pembangun dan batunya didatangkan langsung dari India. Struktur asli masjid ini ialah bangunan persegi panjang satu lantai dengan atap miring di semua sisi dan dikelilingi oleh pondasi batu.

DSC_1321

Cakep ya masjidnya

“Kenapa sih dinamakan keling?”

Gitu ya kali pikir kalian. Sama, aku juga begitu. Seingatku, keling itu tak ubahnya berarti hitam atau gelap. Nama “kapitan keling” digunakan sebagai perujukan atas kepala atau pemimpin komunitas Muslim India Selatan. Istilah “keling” berasal dari kerajaan Hindu kuno di pantai Coromandel di India Selatan, dan masyarakat Hokkien lokal “merusak” kata tersebut dan menggunakannya untuk menggambarkan masyarakat India pada umumnya (mereka menyebutnya “keling-an”)

Nah sedangkan “Kapitan” sendiri adalah turunan dari bahasa Inggris yakni “Captain/Kapten”, dan digunakan untuk menunjukkan pemimpin masyarakat. Demikian pula, pemimpin masyarakat Cina selama periode itu disebut Kapitan Cina.

DSC_1336

Pintu masuknya segede gini

Begitu berada di pintu masuk, kami disapa oleh seseorang yang sepertinya salah satu pengurus masjid.

Nak solat, ke? Sila ambil air wudhu,” ujarnya sambil mengarahkan.

Ada sarung?” tanya Indra. Kebetulan Indra memakai celana pendek malam itu.

Sila ambil di kat sana,” sahutnya lagi sambil menunjuk setumpuk sarung di sudut masjid.

DSC_1337

Sarung dan jubah bagi pengunjung

Terlihat ada beberapa jubah juga di sana. Aha, ini pasti dipergunakan bagi turis asing yang ingin masuk masjid. Ide sederhana namun keren ya? Mengingat aku sendiri pernah diusir dari halaman masjid Agung Palembang karena mengajak dua warga asing yang memakai celana pendek dan baju tanpa lengan. Baru berada di halaman masjid loh ya, bukan teras masjid.

Begitu aku tanyakan, “apa ada pinjaman jubah bagi pengunjung?”

“Kakak masuk aja dan ambil mukenah.”

Oalaaah. Oke, lupakan sejenak masjid Agung Palembang.

Aku dan Indra lantas mengambil air wudhu. Uniknya, di sini air wudhunya ditampung di sebuah bak besar. Bahkan menurutku sudah seperti kolam mini. Untuk berwudhu, kami menggunakan gayung. Seru juga sih, soalnya terakhir ambil wudhu begini ketika SMA dulu di mushola sekolah hehe. Tak lama kemudian kami shalat. Pasca shalat aku sempat mengabadikan interior masjid yang banyak dihiasi oleh tiang-tiang besar berbentuk lengkungan tapal kuda. Coba lihat, bahkan mimbar imamnya pun sangat sederhana, mirip dengan mimbar masjid yang ada di kampungku. Aku suka….

DSC_1330

Mimbarnya terbuat dari kayu. Sederhana sekali.

DSC_1333

Lengkungan tapal kuda di antara tiang-tiangnya

DSC_1335

Kaligrafi di dinding

Dari papan petunjuk yang terdapat di depan masjid, diketahui ada information service-nya. Hmm, mungkin sejenis kantor bagi pengurus. Apakah ada bagian-bagian yang disulap menjadi museum? Ntahlah, karena sudah malam kami tidak sempat masuk ke sana.

DSC_1323

Panahnya menunjukkan ada bangunan lain di samping

Kami sudah siap-siap meninggalkan masjid ketika pengurus yang sebelumnya menegur kami mendekat dan berkata…

Bagi sikitlah duit.”

Aku dan Indra saling menatap dan rada bengong. Terus terang aku lupa apakah aku memberi beberapa ringgit kepada si bapak atau tidak. Terus terang, kejadian ini bikin agak nggak nyaman dan cukup disayangkan. Bukan masalah mau menderma atau tidaknya ya mengingat di dalam sudah disediakan kotak derma/sumbangannya, tapi, ya begitulah.

Tak lama, kami kembali menyusuri jalan pulang menuju hostel. Walaupun suasanyanya sangat sepi dan tidak banyak lagi kendaraan yang melintas, aku merasa tenang-tenang saja. Begini ya rasanya berjalan-jalan di kota wisata dengan tingkat keamanan yang baik. Indonesia harusnya bisa! Mengingat banyak sekali masjid-masjid bersejarah di negeri kita ini.

DSC_1311

Motornya juga parkir di trotoar 🙂

Iklan

27 komentar di “Dari Masjid Kapitan Keling Hingga Nasi Kandar : Penyelamat Dikala Lapar

  1. Meski saya baru selesai makan tapi membaca deskripsi buat nasi kandar membuat saya jadi lapar lagi. Om selalu berhasil membuat saya kelaparan :haha! Masjidnya keren, bangunan aslinya masih terjaga. Menjaga bentuk orisinil memang bukan pekerjaan gampang di tengah godaan modifikasi tapi bila berhasil maka hasilnya akan cantik dan indah sekali! Sayang sih agak ternoda dengan penjaga yang minta sumbangan–apakah itu normal?

    • Aku gak bisa memastikan apakah beliau marbot (penjaga masjid) yang resmi atau bukan. Bisa jadi dia hanya penduduk biasa yang tinggal di sekitar sana yang kebetulan malam itu bertemu denganku di masjid.

      Iya Gar, menjaga bentuk asli bangunan itu gak gampang. Hiks jadi ingat beberapa bangunan rumah panggung di tepian sungai musi yang kini berganti jadi ruko >.<

      • Iya mungkin juga ya, tapi memang penduduk sana bisa bebas masuk masjid terus interaksi dengan wisatawan gitu ya Om?
        Wah sayang sekali ya… mudah-mudahan pas saya ke sana nanti rumah panggung masih bisa saya temukan :amin.

    • Karena tempat ibadah ya, jadi memang gak ada batasan sih untuk datang dan pergi.

      Oh masih ada tentu Gar. Nanti aku ajakin ke kampung-kampung gitu ya 🙂

  2. Wah kita makan di tempat yang sama. Pas jalan siang-siang di sekitaran masjid Kapitan Keling, aku juga makan di sini. Meskipun Nasi Kandar paling mantap itu tetap di Line Clear. Dan sampai sekarang aku masih suka ngeces kalau membayangkan Nasi Kandar, sukaaa banget. Sampai-sampai pas ke KL nyari-nyari juga, cuma kayaknya yang paling mantap baru yang di Georgetown aja 🙂

    • Aku sampe googling mas Bart, huaa aku belom nyoba nasi kandar Line clear itu. Kudu balik ke Penang lagi nih kapan-kapan hahaha. Selanjutnya kami makan nasi kandar di komtar yang pegawainya kebanyakan orang Indonesia 🙂 seru ngobrol sama mereka hehehe.

      • Kalau gitu harus, dan nginep sekitaran situ deh Yan. Aku jamin pagi siang malam terjamin kalau mau makan, karena Line Clear buka 24 jam. Aku malah belum terlalu eksplor sekitaran Komtar. Kapan-kapan pengen main ke Georgetown lagi 😊

    • Bisa dibilang waktu ke Penang aku gak begitu cari informasi seputar tempat makan. Pikirku, beti-beti sama Indonesia yang muslim jadi bakalan gampang. Selama seminggu baru di Penang inilah yang rada susah nyarinya haha.

  3. Makasih ya Om sudah dibagi info tentang nasi kandarnya. 😀 Kali aja kalo lagi ke Malaysia biar gak malu. 😀
    Sayang bener ya penjaga masjidnya minta duit Om. Padahal kesan awal udah bagus ya..

    • Haha jadi jangan pesan nasi kandar ya karena itu nama tempatnya ^^

      Semoga itu penjaga masjid abal-abal dan dia gak sering ada di sana sehingga gak bisa “malakin” pengunjung, amin.

  4. mas, kamu harus cobain nasi kandar pelita… ^o^… dulu pas msh kuliah di penang, aku ama temen2 hampir tiap hari kali nongkrong di nasi kandar pelita depan kampus USM… itu uennnakkkkk dan buka 24 jam… apalagi kalo lg puasa.. wuaaahhhh udh jlslah kita sahur di sana :D… hiks…. jd kangen penang..

Jika ada yang perlu ditanyakan lebih lanjut, silakan berkomentar di bawah ini.

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s