“Dari mana?”
Seorang petugas tanpa seragam tiba-tiba datang mendekat dan bertanya kepadaku.
“Dari Palembang, Pak,” jawabku sopan.
“Oh maksud saya, apakah adik ini dari media?”
Heh, belum apa-apa kok pertanyaannya aneh begini ya. Kalau aku dari media trus kenapa? Kalau nggak kenapa? Karena aku gak ngerti maksud dan tujuan si bapak ini, akhirnya aku jawab seadanya saja.
“Saya blogger, pak!” Sambil berdoa semoga si bapak kagak tahu apa itu blogger hehe.
“Kalau adik ini dari media, adik harus izin dulu dari dinas pariwisata di sini dan harus ditemani pemandu jika ingin berkeliling.”
Duh ribet bener, ya? “Gak kok pak, saya bukan dari media. Ini aja paling fotonya saya pajang di facebook.”
“Pokoknya kalau mau ditulis harus izin dulu. Biar yang ditulis bener dan nggak salah. Cuma kalau untuk dokumentasi pribadi kali ini saya kasih izin.”
Ya ampun! Datang ke Candi Muaro Jambi ternyata ribet, ya!
* * *
Perjalananku ke Candi Muaro Jambi bener-bener tanpa perencanaan. Sekiranya aku datang ke Jambi hanya untuk kondangan. Namun, si Isna [djangki dot wordpress dot com] berhasil meyakinkanku untuk datang sehari lebih cepat di Jambi dan menghabiskan satu hari tersebut untuk berkeliling. Jadilah, aku rela berangkat lebih dulu menggunakan travel padahal keesokan harinya orang tua juga berangkat dan membawa kendaraan sendiri.
Di Jambi, aku menginap di rumah bang Lukman, host yang sudah lama aku kenal di couchsurfing dot com. Biasanya tamu yang menginap di rumahku akan menginap di rumah bang Lukman. Begitupun sebaliknya 🙂 nah sekarang gantian bener-bener aku yang menumpang hehe. Isna juga ikutan menumpang di rumah bang Lukman malam itu. Dan, dari hasil ngobrol-ngobrol tercetuslah, “Yayan harus ke Candi Muaro, nanti abang pinjamkan motor.”
Kalau sudah begitu, aku kan gak bisa nolak hahaha.
Keesokan harinya, sekitar pukul 9 pagi aku dan Isna mulai menyusuri jalan menuju Candi Muaro Jambi ini. Letaknya “hanya” 15 km dari pusat kota Jambi. Tidak begitu jauh sebetulnya. Terlebih, di sepanjang perjalanan banyak sekali hal menarik yang dapat dilihat. Salah satunya keberadaan jembatan ini.
Sejak candi ini dicalonkan ke UNESCO untuk dijadikan salah satu Situs Warisan Dunia, aku sudah sangat penasaran untuk mengunjungi komplek percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia ini. Apalagi jarak Palembang-Jambi relatif lebih dekat. –ya kali ketimbang ke Angkor Wat 🙂 Selain itu yang bikin penasaran lainnya ialah ada tanggapan bahwa candi ini jarang diketahui oleh warga Jambi sendiri. Kenapa? Apa karena kurang menarik? Nah mari kita buktikan bersama.
Isna sudah pernah ke candi ini beberapa tahun lalu. Walau begitu, untuk memastikan jalan yang kami tempuh benar, kami sempat bertanya 2 kali ke penduduk setempat. Untunglah orang-orang yang kami tanyakan tahu letak candi ini. Papan petunjuk arah juga sebetulnya ada namun masih kurang banyak. Sekitar 20 menit berkendara, tibalah kami di gerbang masuk komplek Candi Muaro Jambi.
Wuih gerbangnya besar dan cukup megah. Ornamen berbentuk angsa juga nampak di dinding gerbang. Melihat gerbang secakep ini, aku makin bersemangat. Setelah foto-foto kami bergerak masuk. Nggak jauh dari sana, kami bertemu dengan pos penjagaan. Ada perugas yang meminta uang kepada kami.
“Berapa, bang?”
“Orang dua sepuluh ribu.”
Aku langsung memberikan uang tersebut. Kebetulan ada juga tamu lain di belakang kami dan tamu itu meminta tiket masuk. Aha, aku hampir kelupaan. Aku harus minta juga tiketnya.
“Bang boleh tiketnya saya minta? Ini mau saya masukin ke internet bang sebagai informasi.”
Si petugas masuk ke dalam dan akhirnya memberikan 3 lembar tiket. 2 lembar pertama bertuliskan Rp.3000. Ini untuk tiket masuk pengunjung. Sedangkan kendaraan dikenakan biaya Rp.3000 untuk sepeda motor, Rp.5000 untuk mobil dan Rp.10.000 untuk bus. Bagi yang pandai berhitung harusnya tahu ya bahwa ada sisa kebalian Rp.1000. Aku baru nyadarnya ketika sudah jalan lagi. Di satu sisi uang segitu memang tidak besar, namun di sisi lain aku turut memfasilitasi praktik ketidakjujuran. Hal-hal seperti ini yang kadang bikin aku sebel sama diri sendiri. Piuh….
Bagi temen-temen yang berkunjung ke satu tempat wisata, pastikan tiketnya diambil ya. Karena jika tidak, kita tidak akan pernah tahu uang yang dipungut ke mana larinya. Yang jadi korban adalah situs tempat wisata itu sendiri.
Oke oke, mari move on.
Untuk mobil dan bus harus diparkirkan ke halaman parkir sebelum pos penjagaan. Jarak antara area parkir dan komplek candi cukup jauh sebenarnya. Nah, untuk mengakomodir para pengunjung, tersedialah penyewaan sepeda murah meriah karena tarifnya hanya Rp.10.000 saja dan dapat dipakai sepuasnya. Berhubung aku dan Isna membawa motor, kami dapat terus masuk dan parkir tak jauh dari area candi.
Ada sebuah bangunan berukuran sedang berdiri kokoh di seberang candi. Bangunan ini ternyata museum. Di sinilah aku bertemu dengan petugas yang aku ceritakan di awal tulisan. Ternyata museumnya sedang direnovasi. Namun untunglah kami diizinkan masuk walaupun saat itu listrik padam. Alhasil aku dapat mengambil gambar isi museum hanya dengan bantuan lampu kamera.
Berbagai barang peninggalan zaman dulu disimpan di museum ini. Ada juga maket miniature kawasan Candi Muaro Jambi dan rencana pengembangan kawasan ini di masa yang akan datang. Sayang karena gelap kami tak begitu leluasa menikmati museum ini. Udara di dalam juga pengap sehingga tak lama kami langsung memutuskan untuk keluar dan mulai mengeksplor kawasan candi yang pertama kali ditemukan pada tahun 1824 ini.
Tak jauh dari museum, kami langsung menemukan Kolam Telagorajo yang ditemukan pada tahun 1970. Kolam alami ini hanya terbuat dari tanah dan dulunya digunakan sebagai waduk agar air yang ada di sungai Batanghari tidak menggenangi candi. Kolam ini juga dijadikan penampungan air bersih. Sayang ketika ke sana, debit airnya sedikit. Maklum saja, sekarang masih musim kemarau. Udara di sekitar candi bahkan terlihat berkabut/berasap.
Tak jauh dari kolam Telagorajo ini aku melihat sebuah pemandangan yang bikin kepala mumet :p yakni gundukan sampah yang sangat menggangu pemandangan. Di kawasan ini memang banyak terdapat pondok pedagang. Bisa jadi sampah-sampah ini berasal dari pedagang yang sebegitu malasnya membawa pulang sampah. Miris ya… tipikal pemandangan area wisata di Indonesia nih walaupun tidak dapat dipukul rata. Dan, maafkan aku pak petugas, hal seperti ini akhirnya aku ceritakan agar dapat dijadikan perhatian sama pengelola kawasan candi ini.
Beranjak dari tumpukan sampah kami langsung menuju ke Candi Tinggi I. Candi ini dulunya hanya berupa gundukan pecahan bata yang tertutup vegetasi hutan. Pada tahun 2000, area ini dibuka dan candi mulai direstorasi. Keunikan candi ini ialah struktur bata bagian dalam candi berbeda dengan bagian luar. Hal ini menunjukkan bahwa dulunya terjadi pengembangan dan perluasan dari candi ini. Menarik, ya?
Candi ini tidak begitu tinggi. Kayaknya kurang dari 2 meter karena ketika aku berfoto bersejajar maka tinggiku dan candi hampir sama.
Puas melihat-lihat, aku dan Isna berpindah tempat. Yakni ke candi primadona yang ada di kawasan Candi Muaro Jambi ini. Apalagi kalau bukan Candi Tinggi. Dan, tadaaa ini dia candinya.
Sesuai namanya, ini adalah canti paling tinggi yang ada di komplek Candi Muaro. Tinggi candi ini 7,6 meter dan luas bangunan utama 16 x 16 meter. Sama seperti candi Tinggi 1, candi Tinggi ini juga merupakan candi perluasan jika dilihat dari struktur bangunannya.
Selain itu, ada bangunan pendukung berbentuk (hampir) persegi panjang yang tersebar di area Candi Tinggi ini. Tepat di depan candi juga ada sebuah pondasi yang ntahlah apakah dulunya ada candi atau itu adalah candi yang belum selesai.
Tak jauh dari Candi Tinggi juga ada bagian candi yang masih dalam proses restorasi. Bagian ini dibuatkan atap.
Selesai mengamati Candi Tinggi, kami bergerak ke sisi kanan candi. Ada sebuah candi yang sedikit lebih besar di sana. Namanya Candi Gumpung. Oh ya, rata-rata candi yang ada di sana buntu alias tidak dapat dimasuki bagian dalamnya. Begitupun candi Gumpung ini.
Coba lihat, hanya ruang celah sekecil ini saja yang ada di candi Gumpung ini. Apa yang ada di tengah candi masih menjadi misteri 🙂 apakah candi ini merupakan tumpukan bata atau ada rongga di tengahnya aku nggak tahu.
Hal unik lainnya yang ada di Candi Gumpung ini adalah keberadaan arca Dewi Prajnaparamita (seingatku acra ini disimpan di museum Nasional) dan juga ada patung hewan penjaga yang tidak diketahui hewan apa itu. Sekilas mirip gajah karena ada belalai namun mirip domba juga karena memiliki tanduk sedangkan telingganya terlihat seperti cangkang keong.
Dari buku tamu yang ada di museum, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Candi Muaro Jambi ini juga cukup banyak. Di saat aku ke sana pun ada sekelompok turis asing yang terlihat mengeksplor kawasan candi ini. Hari makin siang dan perut mulai lapar, aku dan Isna memutuskan untuk pulang.
Ternyata perjalanan pulang mempertemukan kami dengan komplek candi lainnya….
Dari awal, begitu melewati jalan besar kami melihat ada candi dari kejauhan dan posisinya berada di seberang sungai. Mengira itu berada di kawasan candi yang sama kami memutuskan tidak mampir. Namun ternyata setelah keliling lebih dari 2 jam di kawasan Candi Muaro Jambi, kami tidak menjumpai candi yang kami lihat di awal perjalanan.
Jadilah Isna memutuskan untuk mampir. Untuk menuju ke candi tersebut, motor harus melewati jembatan kayu. Ada pos penjaga tak jauh dari sana. Kami diminta untuk mengisi buku tamu namun tidak harus membayar lagi. Ternyata candi yang kami datangi itu ialah Candi Kedaton. Candi “baru” yang ternyata berukuran paling luas yang berada di kawasan Candi Muaro Jambi.
Candi ini berukuran 28,13 x 25,5 meter dan berada di luas wilayah 55.580 meter persegi yang dibatasi pagar yang terbuat dari bata. Candi ini baru ditemukan pada tahun 1976 sesaat kegiatan survey kepurbakalaan dilaksanakan. Sampai sekarang komplek candi ini masih terus diperbaiki. Saat kami ke sana, belasan pekerja terlihat beraktifitas di kawasan ini.
Masih ingat dengan patung hewan yang ada di Candi Gumpung? Nah di Candi Kedaton ini juga ada ternyata. Dan jumlahnya 2 buah. Patungnya hampir sama dan tetap saja aku kesulitan menebak hewan apakah itu. Hmm, apakah hewan dari khayangan? 🙂 entahlah.
Jadi, terkait judul postingan ini, “Apakah Candi Muaro Jambi Laik Dikunjungi?” dengan sepenuh hati aku menjawab : IYA! Terlepas dari kekurangan yang ada (seperti tumpukan sampah dan pondok pedagang yang semerawutan), dapat mengunjungi Candi Muaro Jambi ini adalah salah satu pengalaman seru selama aku berada di Jambi. Ibaranya, nggak lengkap ke Palembang jika nggak narsis di Jembatan Ampera dan makan pempek, hal yang sama juga terjadi di Jambi. Gak sah rasanya ke Jambi jika belum menjelajahi kawasan Candi Muaro Jambi ini.
Sayang pakai batu bata ya. Seandainya pakai batu kali atau batu lainnya mungkin daya tahannya akan sangat luar buasa.
Kurang begitu paham mengenai jenis batunya mbak Lina. Tapi memang sangat mirip bata. Dan bisa jadi karena agak susah nemuin bebatuan lain kali ya sehingga apa yang ada dipakai.
trus apa sebenernya yang dikhawatirkan si petugas di awal itu? Ada cerita apa dibalik situs ini ? atau cuma sekedar gertak si petugas doang?
Masih jadi misteri mas 🙂
Bisa jadi tujuannya baik, misalnya kalo aku ditemani oleh pemandu maka aku akan mendapatkan gambaran sejarah yang lebih lengkap. Tapi pertanyaan selanjutnya, kenapa harus orang media yang diberi perlakuan spesial seperti itu? 🙂
Kan pengunjung biasa juga bisa jadi ada yang butuh jasa pemandu terlebih pemandu yang cakap berbahasa asing.
Bukan mau berprasangka jelek, tapi kayaknya si bapak khawatir aku menulis sesuatu yang bisa bikin nama Candi Muaro Jambi jelek, apalagi mengingat candi ini dalam pengawasan UNESCO (berada di daftar tentatif Situs Warisan Dunia). Ya harusnya gak dengan mengjegal media ya (kalo niatnya emang begitu) tapi harus dengan perbaikan secara keseluruhan. 🙂
iya, tapi sambutan begitu menurutku ga ramah buat pengunjung. biar entar berhasil dinobatkan jadi situs warisan dunia percuma juga kan kalo pengunjungnya sepi gegara oknum yg kayak gitu. sayang aja.
Betuuul sekali. Dari awal rasanya udah males kalo belom jalan sudah diwanti wanti begitu.
Lumayan besar juga ya candi Muaro Jambi ini
Candinya kecil tapi memang kompleknya gede banget. Katanya ada 80 candi di sini mbak (dan sebagian besar terlihat pondasinya aja). Katanya lagi, kompleknya lebih gede dari Angkor Wat. Ntahlah 🙂
Luas banget kalau gitu Yan
Iya mbak. Makanya banyak banget yang nyewain sepeda walaupun menurutku jumlah sepeda gak sebanding dengan jumlah pengunjung. Padahal aku datang di akhir pekan loh, harusnya rame kan ya :p
Udah cita-cita kalo ke Jambi musti mampir ke candi ini. Kenapa terbuat dari bata merah, kalau tak salah karena satu periode dengan Majapahit dimana peradaban manusia sudah lebih berkembang dibanding candi pendahulu yang terbuat dari batu andesit. CMIIW.
Dan semoga urusan sampah di sana bisa ditanggulangi..
Ironisnya kalau pakai batu andesit lebih tahan lama, gitu gak sih mas Aldi? jomlah main ke Jambi sesudah dari Palembang hehehe. Soal sampah, amin.
Aku pernah minta karcis tempat wisata dan katanya nggak ada trus aku ngotot trus aku dibentak T____T
aku penasaran dengan bentuk hewan mitologinya,,,
Tuh kan >.< trus ngarep pariwisata maju? jika hak pengunjung aja gak diberi.
Patungnya kalo diliat lama-lama serem juga :p
Wah kayaknya candinya masih belum final rekonstruksinya. Merekonstruksi candi memang nggak mudah, butuh ilmu dan ketelatenan tingkat dewa 😀
Candi sekelas Prambanan aja sampai kini belum lengkap dan masih belum kelar.
Iya, karena berhubungan langsung dengan peninggalan sejarah ya Wan. Gak bisa sembarangan 🙂
Di candi2nya ada papan2 informasi yang bisa dibaca pengunjung gak Cek Yan? Menurutku, walau sedikit, info2 seperti ini sangat bermanfaat bagi pengunjung.
Ada mbak Ira 🙂 informasi dari papan itulah yang aku tuliskan ulang (walau secuil) di postingan ini 🙂
Kadang suka gemes juga ya, Yan.. Kalo kita datang ke suatu daerah dan pengen dateng ke suatu tempat yang iconic di situ tapi justru dapet omongan gak enak dari penduduk setempat yang bilang “ngapain kesitu? gak ada bagus-bagusnya..”
Kayaknya kalo nanti kesana mau coba keliling naik sepeda ah.. 🙂
Iya. Tapi walau begitu kitanya tetap ke sana karena makin penasaran. “Apa iya sejelek itu?” hehehe. Sepedaan di sini seru mbak Dee, apalagi ada yang sepeda gandeng. Romantis eaaaa
Kompleks candi purbakala itu semestinya menimbulkan suasana nyaman bagi pengunjung, karena bisa berkontemplasi merenungi sejarah masa lampau. Tapi memang, sejarah itu sendiri pun kurang dihargai bagi penduduk setempat di sekitar candi. Dan, tindak tanduknya seperti pungli, sampah, ketidakberaturan seolah menjadi sifat kurang berterima kasih dengan peradaban lampau.
Ah, Jambi memang sering kabut asap ya Om? Tapi tetap menarik, utamanya melihat bahan dasar candi yang terbuat dari batu bata, memang sepertinya seperiode dengan Majapahit yang juga pakai batu bata merah. Pendahulunya seperti Singhasari, menggunakan batu andhesit.
Karena banyak pembakaran lahan gambut Qy. 2 hari ini giliran Palembang diserbu kepungan asap hiks.
Iya bener, sudah saatnya penduduk setempat lebih menghargai sisa peradaban sejarah. Padahal bener, komplek ini istilahnya nggak malu-maluin. Buktinya tamu asing banyak aja yang datang ke sini, bahkan dulu di majalah film ada aktris hollywood yang sengaja ke Jambi hanya untuk ke candi muaro ini.
Hmmm, padahal ozon makin tipis yah, dibakar-bakar gitu. Penerbangan jadi sering terganggu, pernapasan terganggu. Tapi Om Ndut sehat kan? *sok perhatian* wkwkwk
Nah tuh orang asing aja penasaran dan sudah banyak riset asing tentang kepurbakalaan kita, la kita? 😦
Harusnya sih ya, maklum salah satu kampus top Indonesia 🙂
Alhamdulillah sehat. Kamu? *gantiansokperhatian* hahaha.
Kalo kaaa si petugas itu, banyak mahasiswa juga yang datang dan melakukan penelitian Qy. Ada yang dari UI segala. Cuma ketika aku datang gak keliatan mereka.
WKwkwkwkwk. Sehaaaat 😀
Ah iya UI bagus arkeologinya… 🙂
Biasanya sih bahan batu menjadi indikator tahun pembuatan kompleks candi, yang mungkin dikaitkan dengan masa kejayaan suatu dinastikah atau gmn. Kayak Angkor Wat kan ada yg dari batu batu hitam besar dipahat, ada jg dari batu merah. Nah batu merahnya itu pertanda kalo pada saat dibangun, dinasti Khmer sedang mengalami kemunduran sehingga menggunakan bahan yang katanya lebih dianggap ekonomis ketimbang pakai batu hitam besar. Kompleks Bayon atau smiling temple adalah Candi terakhir Angkor yang menggunakan bahan batu besar. #untuk cerita selanjutnya bisa dibaca di buku sayah ASEAN ESCAPE yang bakal hadir mungkin bulan depan #eaaa promcol… promosi colongan
Wuih infonya kece abis. Bener juga ya, ekonomis. Tapi ya itu, jadinya mudah hancur hehe.
Tak sabar diriku menjamahi asean escape itu dear pandah supandah. Kapankah gerangan dia akan datang ke rumahku? hehehe
arca prajnaparamitha ada di museum di candi itu yan..
ada tuh nyempil di salah satu frame foto yayan
yayan sih buru2 pergi, hehee… ada liat sesuatu kah?
masukan dikit dong, yayan belum nulis yang mbangun candi ini raja dari kerajaan mana hihihi….
Isna, aku mau juga dong ditemeni ke Candi ini kayak Om Yayan. Klo Om Yayannya, mau dong aku ditemeni keliling Palembang. Pengen banget ke kedua kota (daerah) itu soalnya.
Btw, klo dari bandara Jambi ke candi ada angkutan umum gak sih? Rekomendasinya naik apa ya, secara gak punya kenalan cs juga nih 😥
Haha, monggo ke Palembang mas Adie 🙂
sayangnya nggak ada kendaraan umum di sini. Agak pinggiran, sepi dan orang kemana-mana naik motor/mobil. Kalo belum ada kenalan CS, ya kenalan atuh hehe
halo om ganteng :p
dari bandara cari pintu keluar langsung naik angkot merah turun di terminal rawasari, sambung ojek om…. gak tau berapaan yak, sekitar setengah jam ke candi itu…
di jambi sekarang udah ada taksi argo…kalo rame2 ya bisa sewa mobil..
atau nggak nebeng CS yang betebaran di kota jambi, kita welcome kok, n ada grup WAnya kok hihi, terserah mau tinggal sama siapa 🙂
kemaren kebetulan jadwalku match sama yayan, sama2 jomblo.. eh, sama2 lagi kosong jadwalnya jadi aku bisa nemenin yayan di jambi..
Oh yang di museum itu yah. Habisnya udah rada illfeel sama si bapak penjaga, mana pengap >.<
iya yan, yang arca dewi tanpa kepala lagi bermeditasi 🙂 tuh…dia nungguin kamu di pojokan hahaha…
Jadi tambah pengen ke Jambi dan berkunjung ke Candi ini. Sejak ia ditulis di National Geographic bayangannya suka melintas di kepala..ah saya lebay..tapi benaran, Mas Yan..:)
Aha, udahnya mampir ke Palembang dong yaaa 🙂
Kok candinya pendek-pendek ya Oom, di Malang jg ada bbrp candi tp bentuknya imut2 aje. Jd bingung maksudnya dibikin candi buat apa ya ^^
Tp emang ga semua tiket masuk disediakan sih walaupun harganya murah, museum2 pasti ada kalo candi blm tntu..
Dulu sering main ke Jambi tp ga pernah mampir sini krn kan mengunjungi sodara. Next time ah kalo ada kesempatan
Harus ke sini Ge. Ajak keluarganya. Eh jangan2 keluarganya malah belum pernah xixixi.
Iya, candinya minimalis haha. Mungkin sekadar tempat pemujaan aja ya.
Next time, aku bilang dari media aja deh ya, Agar aku tahu “sudut” pandang lain atau cerita seru yang tak banyak orang ketahui. Biasanya kalau gunakan guide mereka biasanya gitu, hehehe
Semoga masuk dalam warisan UNESCO biar terjaga dengan ciamik 🙂
Aku juga kepikiran begitu mbak, cuma aku khawatirnya pas dia bilang “Harus urus dulu di dinas Pariwisata kota Jambi” weleh, di mana itu kantornya >.< males aja kalo udah sampe sana batal hanya karena gak ada izin.
Amin, semoga masuk UNESCO 🙂
yan..mo nanya dong, tulisan yayan yg terbaru dak otomatis muncul di halaman depan ye??
Muncul pak. Ini online pake hape kah? kalo pake komputer muncul di slide show gitu pak.
make pc tuh…. yan, ditunggu yo cerito2 lain soal jambi, nasi minyak, ancol, jembatan gentalanyo hehehe…. belum sempat nulis lagi :p
InsyaAllah besok nulis tentang Radja Sambal dan Temphoyak 🙂
koffiekopi idak?hihihihi…
radjasambal tu namo yg dulu, sekarang genti konsep n namo baru jadi radjafoodcourt 🙂
tempat itu unik menurutku, yg jual unik, yg beli dak kalah unik…wkwkwkwkw
tp kemaren stok foto disitu dak banyak
Iyo salah satunyo itu, nyesel dak foto >.< nyesel nian.
itu artinyo yayan kudu wajib mesti ke jambi lagi pak hehehe…
Hahaha siaap
Ping balik: Traveling with Omnduut#2 : Candi Muaro Jambi | kelana negeri andalas
Eh kalo komplek nya lebih gede dari angkor, knp ngak terus di gali dan benahi yaaa hehehe #Nyinyir
Nah ituuu… mungkin karena belom didatangi sama mbak Jolie om, jadi masih belom terkenal.
Penggunaan batu bata memang cenderung lebih dulu dikenal di Sumatera ketimbang di Jawa, saya juga tak tahu kenapa. Mungkin karena peradaban di sana lebih tinggi, atau mungkin juga karena mayoritas candi di sana dibangun pada masa Majapahit akhir di mana penggunaan batu bata sudah sangat umum (meski teori ini kontradiktif dengan fakta bahwa Sriwijaya hadir lebih dulu).
Luasnya masif! Gilak, ini luas banget, dan semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa candi-candi Budha lebih spektakuler dari segi luas dan jumlah bangunan ketimbang candi Hindu. Kalau ini bisa digali, mungkin saja jadi kompleks yang lebih masif dan lebih indah dari Angkor Wat ya Om :hehe.
Soal bangunan candi, terima kasih atas foto-fotonya, saya mulai bisa menduga kalau mungkin struktur candi di bagian atasnya adalah material dari kayu (sebagaimana candi-candi Majapahit akhir) yang tak bisa bertahan sepanjang material batu. Soal arca yang seram di akhir itu, bentuknya sepintas mirip dengan Jaladwara, binatang mitis yang di candi biasanya digunakan sebagai pancuran air (saya melihat beberapa yang mirip di Candi Sambisari). Cuma ketiadaan lubang pancur (di bagian bawah) dan melihat materialnya yang sepertinya dibuat dari batu andesit serta letaknya yang ada di sana, membuat tanya, apakah struktur asli dari kompleks candi ini berupa istana air?
Maaf kalau komentarnya panjang, tapi saya suka banget dengan postingan ini!
Wih Gara pinter banget sih 😀 pengetahuannya buanyaaak. Aku sampe googling-googling dari info yang diberikan. Terutama Jaladwara itu. Pas dilihat dan dibandingkan dengan yang ada di google mirip ya, bedanya bukan dipakai untuk lubang pancur.
Mengenai candi yang beratap kayu, nah itu juga pengetahuan baru bagiku. Karena kukira semua candi ya modelnya kayak Prambanan atau Borobudur. Semoga bisa ke Angkor Wat nanti biar bisa bandingin luas kawasannya hehe
Cek Yan, itu yang dibilang mirip gajah, namanya patung Ganesha 🙂 Di Pura Ganesha, Pulau Menjangan, tinggi patungnya sampe 15 meter. Menjulang di atas tebing.
KOmplek candi Muaro Jambi ini luas juga ya. Walau candinya kecil-kecil dan tinggi, tapi banyak. Kalau dilihat dari adanya patung ganseha itu, berarti dulunya candi-candi itu didirikan pada masa kerajaan Hindu. Tapi kerajaan yang mana ya Cek Yan?
Kalo dari om Wiki, bilangnya kerajaan Srwijaya mbak Rien. Sriwijaya memang Hindu, kan? 🙂
Candinya kecil. Berharap semoga pemeliharaan situs2 arkeolog diperhatikan serius oleh pemerintah.
Amin. Iya, semoga begitu ya. Minimal tuh sampah diangkut dulu dan udahnya para pedagang dikasih ultimatum agar mau buang sampah dengan benar.
Ping balik: Gratis ke Hongkong : Ibarat Menjilat Ludah Sendiri |
Duh, pengalaman buruk banget itu Om kok bisa2nya diinterogasi kayak gitu pas mau masuk candi. 😦
Eh, aku baru saja ke sini bulan April 2015 yang lalu Om. Untungnya nggak ditanyain yang aneh2 sama petugasnya. Padahal aku ya nenteng DSLR sama bawa tripod.
Eh, bisa jadi juga karena mereka iba Om. Soalnya aku ke sininya jalan kaki, hahaha. XD
Tapi belom sempet aku tulis di blog sih. Ya nanti deh, bulan Oktober, hehehe. :p
Eh iya, itu kenapa candinya pakai batu bata aku menduga karena tanah buat bikin batu bata relatif lebih mudah dijumpai daripada pakai batu andesit. Batu andesit itu kan ada kalau ada gunung berapi. Lha di Jambi ada gunung berapi? Kerinci kan jauh. 😀
Oiya, semoga kabut asap yg mampir ke Palembang segera menghilang deh Om.
Kabut asap makin tebal, hiks.
Wah mungkin petugasnya waktu itu gak ada jadi aman hehe. Ditunggu postingannya ya
Aduh, ngapaain petugas itu nanyain anda wartawan atau tidak, lgian kalau ada wartawan bukan urusan petugas itu.ngak adalah seribet itu masuk candi muara jambi, bisa cek di blog blog lain.saya malah ada merasakan sedikit sentimen, sbg orang palembang anda tahu sendirukan bamyak sekali arkeologi mengatakan klw muara jambilah pusat sriwijaya,sbg pusat pengajaran agama budha asia tenggara, muara jambi paling layak sbg pusat sriwijaya, hal itu mmbuat pak alex nurdin berang, ya tahu sendiri di palembangkan ngak ada di temukan candi,jdi ngak mungkin dikatan pusat pengajaran agama budha, loh wong candinya ngk ada,penggunakan batu bata, ya karena muara jambi bukan daerah peggunungan yg mnghslkan batu andesit, sama candi2 di thailan juga mnggunakan batu bata merah, candi muara jambi lebih tua dari borobudur dan angkor, candi itu sudah dibangun di abad 4 dan bangungan paling muda abad 11
Iya banyak yang mengatakan hal itu. Tapi aku gak ambil pusing selama pempek masih ada yang jual di Palembang, maka hidupku aman hehehe
Ping balik: Terkesima di Balaputra Dewa : Museum Uang Rp.10.000! |
Wuiiiih 😀 di Jambi jembatannya rata-rata dari baja semua ya 😀 gokiiiil 😀
Candi memang selalu layak untuk di kunjungi ya mas? suka aja sama peninggalan sejarahnya 😀 dan yang ini sih, keren juga kok 😀 reruntuhannya malah yang kayaknya bikin unik 😀
Iya betul, reruntuhannya itu yang bikin candi ini keliatan beda. Kalo soal jembatan, mungkin konstruksi baja lebih cocok untuk di sana. Atau pertimbangan biaya juga kali ya 🙂
saya harus kesana tahun ini… hampir 5 tahun kerja di Sungai Lilin, cuman ke Jambi aja gak kesampaian… hahaha
Nah udah deket itu hahaha hayo main ke Candi Muaro Jambi
siap om.. insya Allah tahun ini kesana, #lirikkalendernyaritanggalmerah
Sipp 🙂
wah, menarik ya kak. aku pas agutus 2016 juga ke Jambi dan persis ke Candi Kedaton. sebenernya, mungkin maksud si bapak itu baik sih. Soalnya, tulisan mengenai candi disana buat mengangkat nama candi itu senditi, cuma mungkin salah cara aja kali ya. Buat kenapa pakai bata merah, karena sumber daya alam disana menyediakan bahan baku pembuatan bata. Bisa kita lihat disekitar candi yang ada sungainya itu kak, Kenapa gak pakai batu andesit? karena sumber dari batu andesit itu disana jarang, beda dengan di Jawa yang banyak sih. hehe.
Bisa jadi, tapi beliau serius banget gitu. Jadi gak nyaman.
candi muara jambi lebih dulu ada sebelum kerajaan majapahit, bahkan sebelum kerajaan sriwijaya.
menurut penelitian, diperkirakan komplek candi muara jambi merupakan tempat pendidikan agama budha, seperti pondok pesantren lah klo di islam.
mungkin kalo ditemani pemandu akan lebih tahu sejarah tentang candi tersebut.
candi kedaton bisa diakses dari pintu utama, dibelakang candi gumpung itu ada jalan ke utara, nanti akan ketemu candi gedong 1, candi gedong 2, candi kedaton dan candi koto mahligai (yg ini msh berupa gundukan yg dikelilingi pohon2 besar.
di sebelah selatan juga masih ada beberapa candi lagi, bahkan di seberang sungai batanghari masih ada candi teluk.
saya sudah beberapa kali mengunjungi candi ini, dan menginap di rumah penduduk sekitar candi, mereka sangat ramah kok.
lebih bagus lagi kalo berkunjung pas musim duren atau duku, karena candi ini dikelilingi kebun duren & kebun duku warga setempat 🙂
Aha! noted banget buat ke sana lagi saat musim buah ya mas. Aku suka banget duku. Duren juga suka walaupun sekarang agak membatasi hahaha. Makasih atas informasinya ya. 🙂