Pelesiran

Mengejar Burung ke Sembilang: Rela Nggak Mandi 2 Hari!

Sudah lama banget nggak main ke Pulau Bangka. Selain pantainya yang cakep, perjalanan menuju ke sana juga masih lekat dalam ingatan. Dulu, alternatifnya ya naik feri dari Pelabuhan Tangga Buntung atau naik jetfoil dari Pelabuhan Boom Baru. Bisa juga sih naik pesawat tapi kan tiketnya mahal.

Berjam-jam menyusuri Sungai Musi, kapal/jetfoil biasanya akan mampir ke Desa Sungsang yang berjarak 85 km dari pusat kota Palembang. Dulu, kalau jetfoil sudah mampir ke Desa Sungsang ini, itu tandanya sungai akan berganti dengan laut. Dan itu artinya kota Muntok di Pulau Bangka sudah nggak jauh.

Tadinya, saya pikir akses ke Desa Sungsang itu satu-satunya ya via sungai. Soalnya teringat cerita orang tua yang kalau ke sana menggunakan sepit (baca: dari kata speed di speedboat). Eh ternyata ya jalur darat pun bisa malah lebih cepat.

Makanya, ketika diinformasiin sama Mbak Dona kalau Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Fascinating Banyuasin (Disporapar Banyuasin) mengadakan kompetisi foto di Sembilang, saya tertarik ikutan walaupun awal-awalnya sempat gamang.

Tipikal rumah yang ada di Sungsang

Kenapa? Soalnya kamera tua saya kondisinya sudah uzur. Lensanya pun standar yang mana sulit dipakai untuk motret dari kejauhan. “Ah gakpapa, kompetisinya terbuka bagi semua. Bahkan yang amatiran dan motret pakai ponsel pun boleh ikutan,” kata Mbak Dona lagi.

Iya juga. Saya sih kepikirannya, jika pun nanti nggak dapat foto yang sesuai harapan, paling nggak saya udah pernah main ke salah satu kabupaten terkaya di Sumatra Selatan ini. Apalagi, saya memang sudah lama pingin main ke sana. Bisa jalan-jalan gratisan (karena semua biaya ditanggung oleh Disporapar Banyuasin), ketemu teman-teman baru (yang sebagian besar fotografer pro yang akun IG-nya sudah saya follow), dan minimal kan kisah perjalanan ke sana dapat saya tulis di blog.

Apalagi ketika tahu kalau Kak Sandi dan Kak Tia dari Kompal (Kompasianer Palembang) juga ikutan, wah kebayang serunya perjalanan itu nanti. Ibaratnya, the more the merrier!

Dari Asrama Haji Menuju Sungsang

Sabtu, 16 Desember sekitar pukul 06:15 saya sudah bersiap memesan kendaraan online untuk mengantar saya ke Stasiun LRT Polrestabes. Saya mengejar LRT pukul 06:40 agar tiba di Stasiun Asrama Haji sekitar pukul 07:15. Sebab, waktu kumpulnya sudah ditentukan yakni pukul 07:30.

Saat tiba di Asrama Haji, peserta sudah banyak terlihat. Saya coba menyapa beberapa di antaranya yang dari tentengannya udah kelihatan “siap tempur” untuk memotret di Taman Nasional Sembilang. Terus terang, saya agak keder haha, tapi ya balik-balik ke niat awal, “minimal dapat pengalaman baru,” batin saya menghibur diri hehe.

SMP Negeri 1 Banyuasin II yang halamannya terisi air karena lagi pasang

Pohon pedada yang buahnya dibikin dodol dan dijual ibu PKK

Setelah briefing singkat dan pembagian bus, kami semua berangkat menuju Sungsang. Untuk mengakomodir kebutuhan 80-an peserta dan panitia, sudah disediakan 4 bus besar. Saya kebagian bus 1 yang dilengkapi dengan mic sehingga peserta pada heboh karaokean sehingga perjalanan 1,5 jam nggak begitu kerasa.

Sungsang sudah dikenal sejak abad ke-17, konon nama ini diambil dari kata terangsang atau terdampar. Kisahnya, saat itu nenek moyang masyarakat Desa Sungsang atau yang dikenal dengan nama Puyang Cinde Kirana terdampar di muara Sungai Musi dalam pelayarannya dari Pulau Jawa.

Tiba di Sungsang, kami langsung menuju SMP N 1 Banyuasin II tempat Festival Sedulang Setudung 2023 diadakan. Ini adalah festival tahunan yang diselenggarakan sebagai wadah dan ajang kreasi siswa/siswi yang ada di Kabupaten Banyuasin.

Saat saya dan rombongan tiba, terlihat beberapa siswa tengah menari di atas panggung. Tenda berukuran besar juga tampak dipadati oleh pengunjung. Sungguh meriah!

Saya juga berkeliling ke bagian dalam sekolah. Dan kaget mendapati lapangannya dipenuhi air!

“Wah enak ya, kalau kayak gini gak perlu upacara,” celetuk saya asal hwhw. Mohon maaf, terasa kurang nasionalis, ya?

Oleh PJ Bupati Banyuasin Bapak Hani Sopiyar Rustam SH, di waktu yang bersamaan berlangsung pula peluncuran Sekolah Peduli Air yakni dengan pembuatan sumur bor yang tak hanya dapat digunakan oleh siswa tapi oleh masyarakat sekitar.

Ya, walaupun nggak begitu jauh dari Palembang, dengan posisi kabupaten ini yang berada di ujung pulau, airnya payau. Ini saya ketahui saat mau salat zuhur di mushola samping sekolah, ketika mau wudhu, saya kaget sebab airnya terasa asin.

Peresmian sekolah peduli air

Kak Sandi dan Kak Tia makan siang with the view

Bukan dilahirkan sungsang tapi karena mereka asal Sungsang 🙂

Oh ya, di momen yang bersamaan, dipamerkan pula berbagai macam hasil karya PKK Desa Sungsang IV. Berbagai produk diperlihatkan. Dari sabun cuci, dodol dari buah pohon pedada, aneka pempek dan kerupuk berbahan udang hingga sirup buah bakau.

“Ini rasanya gimana, bu?” tanya saya ke ibu penjaga.

“Rasanya agak asam sedikit, tapi segar.”

Bersama ibu-ibu PKK

Rombongan ibu PKK

Wah penasaran kan, sayangnya, ketika saya tanya minumannya dijual berapa, salah satu ibu menjawab ragu-ragu, “hmm, anu, ini baru bisa dijual nanti setelah Pak Bupati icip, ya.”

Hwhw, oh baiklah, sengaja dipajang dulu biar biar Pak PJ Bupati lihat dan nyobain. Begitu selesai baru kemudian dapat dicoba oleh pengunjung, termasuk kami rombongan undangan. Sayangnya, begitu berkeliling dan makan siang, saya lupa kembali ke tenda mereka. Dan begitu lewat, dagangannya sudah habis, alhamdulillah laris manis!

Lemak Terguncang Menuju Sei Sembilang

Sekitar pukul 2 siang, kami diarahkan ke dermaga untuk kemudian menuju Desa Sei Sembilang yang letaknya lebih dekat dengan Taman Nasional Sembilang, lokasi tempat kami melakukan pengambilan foto burung-burung yang bermigrasi.

Di Sungsang banyak udangnya. Ini yang lagi proses dikeringkan

Pertokoan di Sungsang

Perjalanan menggunakan sepit butuh waktu 1,5 jam. Saat itu, semua rombongan diangkut menggunakan beberapa sepit kecil dan besar. Saya kebagian sepit kecil tanpa atap dan dinding pelindung. Saya sih suka, sebab kalau main ke Pulau Kemaro, lebih senang pakai perahu model ini karena gak terasa ngap.

“Nah ini sudah disediakan plastik,” ujar bapak pengemudi kapal.

Bingung juga sih itu plastik untuk apa. Yang ternyata, setelah sepit berjalan barulah diketahui jika plastik itu adalah pelindung badan agar nggak terlalu kena tampias air sungai.

Mulanya sih air yang menyiprat ke muka sedikit saja. Tapi, semakin ngebut sepit berjalan, maka semakin banyak pula hantaman air yang saya terima. Kepala dan separuh badan terutama di sisi kanan sudah sepenuhnya basah.

Saya di belakang hwhw. Foto diambil dari laman youtube “Sirajuddin Sirodj”

Yang “mengenaskan” lagi, ransel yang semula diletakkan di samping saya namun kemudian dipindahkan ke sisi depan karena ada penumpang lain di sebelah, sepenuhnya basah total. Ya ampun, padahal di sanalah semua pakaian ganti saya berada. Mestinya, ransel ini dititipkan di sepit yang lebih besar yang bodi kapalnya sepenuhnya terlindungi. Hiks, apa boleh buat, tepung sudah menjadi pempek.

Sesaat sebelum tiba di Desa Sei Sembilang, saya sempat melihat teman fotografer yang berada di sepit lebih besar berkerumun di atap dan sibuk memotret sekumpulan burung migran yang terbang rendah. Wah, itu pertama kali saya melihat burung migran.

Sepit kami berusaha mendekat, namun begitu mendekati rombongan sepit besar sayangnya momentumnya sudah lewat. Burung sudah bergerak terbang menjauh.

Kelihatan kan beda ukuran sepit kecil dan besar. Saya naik yang palingk kiri itu, nyempil.

Suasana di Desa Sei Sembilang

Dermaga sederhana Desa Sei Sembilang

Sebagian kapal nelayan di Desa Sei Sembilang

Pak Fran, salah satu penumpang di sepit yang sama sempat mengambil beberapa foto dari kejauhan. Itu pun waktunya sempit sekali sebab belum sampai semenit, pengemudi kapal udah bilang, “udah? Jalan, ya!”

Saya sendiri, mau mengeluarkan kamera, sudah kesusahan. Tangan dan baju saya sepenuhnya basah. Untuk membuka plastik pelindung, saya takut kamera tersiram sebab percikan air masih sesekali menghempas ke arah kapal walaupun posisi sepit kami berhenti.

Pengemudi kapal juga sepertinya nggak ngeh bahwa kedatangan kami semua ya untuk motret burung. Sehingga, salah satu panitia yang duduk di bagian depan berujar, “yo, ini kami memang nak datang buat moto burung, Mang. Jadi kalau teliat burung, berhenti.”

Sedih juga, saya kehilangan momen itu. Di sisi lain saya berharap semoga besok acara inti pemotretan berlangsung lancar dan saya dapat mengambil banyak foto.

Perjalanan kembali dilanjutkan. Luar biasa kecepatan sepit ini. Lemak saya yang bertumpuk di area perut sampai berguncang hebat, apalagi kalau perahu menghantam ombak yang cukup besar, badan ikutan terhempas. Khawatir juga sih dengan keselamatan, untungnya saya dan seluruh penumpang menggunakan jaket pelampung sehingga rasa khawatir itu sedikit terkikis.

Kapal nelayan

Lagi dicat ulang

Ketika tiba di Desa Sei Sembilang, hal yang sangat saya inginkan adalah minuman panas. Air putih panas pun rasanya cukup untuk meminimalisir perut yang mual (padahal saya udah minum obat anti mabuk, dan saking ngantuknya sempat keliyepan juga di perjalanan hehe). Untungnya, setelah pembagian homestay dan saya kebagian di markas besar yang lokasinya berada tepat di tepian, kami disambut dengan kopi hangat. Wah, alhamdulillah, perut jadi agak enakan.

Bertemu Ica di Masjid

Sejak awal ikut ke perjalanan ini, saya dan semua peserta sudah diperingatkan atas kondisi yang ada di Desa Sei Sembilang. “Di sana nggak ada sinyal. Listrik dan air pun terbatas.”

Tadinya, saya kira ukuran “terbatas” itu adalah kami harus menghemat penggunaan air tawar. Faktanya, walaupun sedang musim hujan, begitu tiba di homestay nggak ada sedikit pun persediaan air tawar di sana.

Suasana di Desa Sei Sembilang

Kebanyakan ya rumah panggung kayak gini

Pak Fran lagi ngajak anak Desa Sei Sembilang foto bersama

Saya juga kebagian kamar yang nggak ada lampu. Saya sih nggak masalah tidur dalam kegelapan, sebab sudah terbiasa. Namun, ya cukup susah kalau mau ambil barang. Untungnya, nggak lama panitia mengupayakan lampu tersebut sehingga kemudian tersedia penerangan. Alhamdulillah.

Namun, semacam blessing in disguise, kami mendapatkan homestay yang langsung viewnya ke arah laut. Suasana begitu syahdu terlebih ketika matahari terbenam dan terbit. Makan ataupun minum kopi pun terasa lebih nikmat.

Berhubung waktu nggak banyak, saya memutuskan untuk mengeksplorasi desa seluas 35 hektare ini. Tujuan utamanya sih mencari toko. Pakaian saya sebagian besar basah. Ada yang basah sedikit dan untuk dipakai tidur malam hari. Sialnya, semua celana dalam basah kuyup. Nah, sambil jalan-jalan, niatnya mau nyari toko yang menjual celana dalam itu.

Untungnya, saya menemukan sebuah toko yang menjual berbagai macam pakaian. Dari kaos, jaket, celana dan tentu saja celana dalam.

Homestay saya dan sebagian rombongan

Ruang utama

Terasnya langsung perairan. Viewnya mahaaaal.

Penjualnya ternyata berasal dari Solo dan sudah merantau ke Sei Sembilang sejak tahun 90-an.

“Jadi, sebelum ke Sei Sembilang, sudah ada teman yang duluan pindah ke sini kah Pak?” tanya saya penasaran. Ya maklum, ini desa terpencil yang butuh perjuangan untuk datang.

“Nggak ada,” jawabnya. “Jadi, saya dan teman-teman nekat saja merantau ke sini. Buka toko dan ya bertahan hingga sekarang.”

Menurut pengakuannya, ia mengambil barang dagangan di Palembang. “Dulu bisa sebulan sekali. Tapi sekarang 2 atau 3 bulan sekali baru belanja lagi.”

Satu hal yang ditekankan oleh Pak Kadus (Kepala Dusun) dan seluruh jajaran panitia bahwa keramah-tamahan warga Sei Sembilang patut diacungi jempol. Dan ya, saya setuju. Terus terang saya kerasan berada di desa ini. Saya, dan begitu pun rombongan lain merasa diterima.

Masyarakat di sini ya rata-rata nelayan atau pedagang. Begitu sore, para istri biasanya akan duduk di beranda rumah sambil merapikan jala yang rusak. Para suami ikut membantu atau melakukan perbaikan di perahu. Kebetulan tak jauh dari homestay saya melihat 2 perahu yang tengah dicat ulang.

Dengan penduduk mayoritas beragama Islam, saya kaget mendapati segerombolan babi berkeliaran bebas di kampung.

“Wah banyak ica!” celetuk teman-teman lain.

Ops, jangan marah ya bagi yang kebetulan bernama sama. Karena foto babi yang di bagian badannya dituliskan “ICA” maka kini nama/sebutan itu jadi lekat ke hewan berkaki pendek ini hehe.

Untungnya, babi-babi ini berkeliaran di bagian bawah jerambah/jembatan. Sehingga rumah penduduk yang berada di bagian atas ya, aman dari kedatangan babi-babi ini. Masjid yang berada tak jauh dari kediaan Kadus dan rumah warga juga dipagari sehingga aman dari kedatangan hewan.

Di masjid ini pula, bada Isya dilakukan pengarahan ulang oleh tim TN Sembilang, perangkat Desa dan orang-orang dari Disporapar Banyuasin. Dari musyawarah dan mempertimbangkan kondisi alam, terdapat beberapa perubahan pada itinerary sebelumnya. Kegiatan memotret burung yang semula direncanakan siang, diganti menjadi pagi hari.

“Burung biasanya berada di daerah yang surut. Begitu air pasang, mereka akan berpindah tempat.”

Sebagian panitia dari Disporapar Banyuasin dan TN Sembilang

Jadi, kami mengejar burung-burung ini sembari memperhatikan kondisi pasang surut air. Walaupun harus berangkat pagi-pagi sekali, tapi saya sih lebih suka begitu. Biar tiba di Palembang-nya juga nggak kemalaman. Mengingat rencana semula, kami diperkirakan tiba di Palembang itu pukul 8 malam.

Hujan dan Gelombang Menuju Tambak

Saya sulit tidur. Mungkin kombinasi antara belum mandi, banyak nyamuk dan nggak ada bantal dan guling hwhw. Jangan salah, ini bukan keluhan ya, hanya sebatas cerita pengalaman yang ada mengingat sebelum ini saya sudah pernah tidur di mana saja. Di bandara, stasiun, terminal. Bahkan nggak mandi lebih dari 3 hari pun pernah saat berkunjung ke India.

Saya juga terbangun beberapa kali, terutama ketika hujan deras mengguyur Desa Sei Sembilang. Di situasi normal, saya akan menikmati keberadaan hujan ini. Tidur seperti dibuai alam. Namun, yang jadi pikiran saya kemudian, “bagaimana rencana kami memotret nanti?”

Surut!

2 rumah di sisi kanan itu juga homestay. Perempuan yang menempati.

Untungnya menjelang subuh hujan mereda. Masih sih rintik kecil, namun tidak jadi kendala berarti. Sekitar pukul 7 kami bergerak meninggalkan Desa Sei Sembilang. Alhamdulillah, kali ini saya dipindahkan ke sepit yang lebih besar.

Walaupun kalau tetap pakai sepit kecil ya siap saja sih. Toh memang sudah siap basah sebab medan yang akan kami datangi penuh lumpur. Ngebayagin nanti saya dan teman-teman lain akan berendam di lumpur, diam-diam mengendap menuju sekumpulan burung, wah seru sekali! Untuk keamanan kamera, saya sudah menyiapkan dry bag.

Sekilas mengenai Burung Migran yang menjadi tujuan para fotografer ialah burung Siberia yang terbang dari Australia dan singgah di TN Barbak Sembilang antara bulan November dan Desember. Setiap tahun, rata-rata 30.000-40.000 burung air datang ke taman nasional ini. Namun jumlah ini sempat menyusut saat delta tempat mereka singgah itu terendam air.

Titik putih itu burung migran. Ini udah mentok kemampuan lensa saya. Hiks.

Pondok di sekitaran tambak

Hi burung

Terbang rendah di sekitaran tambak

Ada 10-28 jenis burung yang singgah. Kedatangan mereka pun ternyata baru terdeteksi di tahun 2000-an. Sungguh ini kejadian yang luar biasa. Bayangkan saja, burung migran ini melakukan perjalanan yang sangat panjang melewati berbagai benua dan zona waktu. Ya, mereka bermigrasi dikarenakan faktor perubahan suhu dan ketersediaan makanan. Tergantung sama musim.

Sederhananya, kalau di Siberia menjelang musim dingin ya mereka terbang ke daerah yang lebih panas dan memiliki makanan. Coba lihat video ini. Sangat menarik dalam menceritakan bagaimana burung-burung bermigrasi dan melakukan perjalanan yang sedemikian panjang.

Oke, kembali ke perjalanan di TN Sembilang. Sekitar 30 menit berkendara, dari kejauhan sudah terlihat sekawanan burung terbang rendah. Sepit yang lebih kecil terlihat mendekat ke tepian.

Memang direncanakan demikian, sepit kecil akan menurunkan penumpang lebih dulu, lalu menjemput kami di sepit besar di tengah laut yang nggak bisa merapat ke pinggir karena dangkal.

Sayangnya, gak lama sepit kecil itu terlihat menjauh dari tepian dan bergerak ke arah lain.

“Loh mau ke mana? Kok nggak jadi turun?”

Pertanyaan semacam itu banyak dilontarkan oleh rombongan. Dengan tanpa ada informasi memadai, kami harus berjuang melawan ombak. Jika kapal bergerak cepat, ombak ini nggak begitu kerasa. Namun, ketika mesin kapal dimatikan, alhasil beberapa teman langsung terkena mabuk.

Saya juga mulai oleng. Namun sepertinya obat anti mabuk masih dapat menolong. Selama saya fokus, diam tanpa banyak ngapa-ngapain, maka saya bisa menghindari mabuk parah. Tak lama, kapal kembali berjalan dan berhenti di muara sungai kecil yang ombaknya lebih tenang.

Masuk ke Sungai Barong

Bagian dalam sepit besar

Atapnya bisa dinaikin kayak gini

Rupanya itu Sungai Barong, sebuah sungai kecil yang menjadi jalur transportasi menuju tambak. Begitu tiba di area tambak, barulah paham kenapa kami diajak ke sini.

“Ini plan B. Sebab tadi di tempat sebelumnya ombak terlalu besar sehingga akan berbahaya jika turun ke sana,” ujar salah satu staf TN Sembilang.

Di area tambak, tentu saja lebih banyak udang, yang menjadi makanan bagi burung migran. Untuk menuju area utama tambak, kami harus lebih dulu berjalan melewati area berlumpur. Saya pribadi hampir terjatuh beberapa kali. Namun tidak dengan peserta lain. Ada yang terjatuh sehingga kameranya tercebur. Ya ampun, kamera super mahal dengan lensa segede pentungan ronda itu basah kuyup dengan lumpur dan air payau. Saya yang melihatnya saja pedih.

Sayang gagal merapat karena ombak gede

Kerang di sekitaran tambak

Gak banyak burungnya

Tambaknya, luas banget

Tukang foto ala-ala 😛

Lalu, apakah ada burung migran di area tambak ini? Iya ada. Bagi yang punya lensa tele, beruntung bisa menangkap momen ketika segerombolan burung itu terbang rendah sebelum menjauhi area tambak.

Bagaimana dengan saya? Sudah cukup terhibur dengan adanya segerombolan burung lain yang sempat terabadikan di kamera tua saya.

“Lumayan, bisa motret burung. Ketimbang gak dapat sama sekali. Masa iya kita fotoin burungnya Pak Haji?” begitu celetuk rombongan lain sambil gurau ke Pak Haji, pemilik sekaligus pengemudi kapal yang sepanjang perjalanan begitu ceria dan bersemangat hehehe.

Melihat Pembibitan Mangrove

Dari tambak, kami langsung bergerak kembali ke Sungsang. Waktu tempuhnya sekitar 1 jam. Badan kembali tergoncang hebat, tapi setidaknya lebih nyaman sebab di sepit besar, nggak perlu takut kebasahan.

Begitu tiba, dari informasi yang diberikan oleh Kak Sandi, saya sempat melipir ke hutan mangrove yang berada tak jauh dari pelabuhan. Terlihat beberapa pemancing di sana. Saat itu kondisi air sudah sedemikian pasang sehingga jerambahnya hampir ketutupan sama air.

Menuju hutan mangrove

Sebagian warga mancing

Pondokan

Selagi rombongan beristirahat dan menunggu bus, saya kembali melipir ke area lain. Tempat sebuah pondok markas Temasek Foundation berada yang sepertinya menjadi bagian Center For International Forestry Research. Bangunannya tertutup, tapi di area terasnya saya sempat melihat berember-ember bibit mangrove.

Perjalanan telah usai. Senang rasanya mendapati pengalaman yang benar-benar baru. Ini perdana saya pakai sepit menempuh jarak yang lumayan panjang. Lalu, mendatangi Sungsang dan Desa Sei Sembilang, melihat kehidupan pekerja tambak serta berbaur dengan masyarakat lokal di Desa Sei Sembilang.

Walaupun agak saya nggak berhasil mendapatkan foto yang layak untuk dikirimkan ke kontes (ya karena kondisi keterbatasan peralatan saya juga sih), tapi pengalaman ini rasanya akan selalu jadi cerita yang dapat dibagikan ke siapapun orang yang bertanya tentang keadaan Taman Nasional Sembilang.

Markasnya

Tempat pembibitan mangrove

Bibit mangrove

Perjalanan ini juga bikin saya lebih banyak bersyukur dengan hal-hal sederhana di rumah. Dari betapa berharganya air tawar dan betapa nikmatnya berwudhu tanpa khawatir mulut terasa asin. Lalu, kemudahan akses internet yang kalau di rumah lelet sedikit udah ngomel, padahal warga Sei Sembilang akses internetnya terbatas dan mahal sekali. Hingga kemudahan akses pendidikan dan kesehatan.

Bayangin, di Dusun Sei Sembilang cuma ada sekolah tingkat dasar. Kalau mau belajar di SMP dan SMA, maka harus ke Sungsang dulu atau ke Palembang sekalian. Bersyukur banget kan, di kota mau apa-apa mudah. Ya, sejatinya sebuah perjalanan emang harus bikin kita membuka mata lebih lebar dan bikin kita lebih bersyukur kan (atau juga lebih iri kalau kebetulan datang ke negara maju yang lebih disiplin dan modern hwhw).

Begini kira-kira penampakan burung migran jika beruntung dapat dilihat. Sumber foto https://giwang.sumselprov.go.id/

Terus terang, jika tahun depan ada kesempatan lagi, rasanya saya mau kembali ikutan. Tentunya jika peralatan memotret sudah lebih memadai, ya! Hehe. Pihak penyelenggara juga pasti belajar banyak dari pengalaman ini untuk merencanakan perjalanan serupa di tahun depan dengan jauh lebih baik. Terima kasih kesempatannya Disporapar Banyuasin. Tahun depan, ajak saya lagi, ya! 🙂

72 komentar di “Mengejar Burung ke Sembilang: Rela Nggak Mandi 2 Hari!

  1. Wah, keren perjalanannya. Unik juga nama daerahnya Sungsang, Sembilang (seperti nama ikan dan daerah di Kalimantan Selatan). Makanan khas nya juga unik, tidak ada di tempat lain. Kaya dan beragamnya Indonesia.

  2. Bismillah mas 2024 upgrade kamera plus upgrade lensa ya, biar mantep ngejar foto-fotonya. Ehehehe

    Btw aku amaze banget sama foto-fotonya. Seru aja ngeliat berbagai bangunan rata-rata berbentuk panggung, jadi udah siap untuk menghadapi berbagai kondisi, termasuk air pasang yang airnya sebanyak itu ya.

  3. bener-bener beruntung sekali mas bisa ikut kegiatan lomba foto migrasi burung ini..jadi bisa ekplore tempat baru juga…meskipun gak jd ikut lomba foto setidaknya ada pengalaman baru yang didapat…
    suka banget liat foto2 nya komplit jadi bisa melihat lengkap kondisi disana,,baru tahu juga ternyata bibit mangrove itu bentuknya kayak gitu yaa mirip apa yaa duri2 tapi besar 🙂

  4. Mau dibilang sayang banget nggak dapet momen yang pas untuk potret burungnya, tapi perjalanannya gratis jadi bingung wkwkw. BTW itu pesertanya kalau nggak berpengalaman bisa juga? Atau sejenis yang pakai smartphone yang numpang jalan-jalan gratis berkedok ikut lomba hoho. kasihan banget ya buat yang kamera dengan lensa segede knalpot sampai nyemplung ke lumpur, nggak kebayang kalau misalnya lecet atau sampai retak pasti trauma.

  5. Masyaallah Mas, seru banget sih kegiatannya, saya paling suka udah masuk-masuk ke pedalaman kayak begini, meskipun semua fasilitasnya terbatas tapi ada kebahagiaan tersendiri bisa bercengkrama dengan masyarakat lokal di snaa atau menghadiri acar mereka, btw itu airnya biasanya berapa lama surutnya Mas. Burung, kerang, mangrove, sungai kuning, klotok semuanya membuat saya kangen dengan kalimantan, saya pernah tinggal di snaa untuk penelitian dan mengajar juga, serta bekerja, ah indah sekali

    • Aku pernah ke Pangkalan Bun naik klotok juga bahkan menginap di sana. Itu pengalaman paling berkesan jelajah Indonesia dan rasanya aku ingin mengulanginya 🙂

  6. seruu, aku kalau diajak ikutan ga bakalan nolak. Kita bisa dapet kenalan baru pastinya dan sharing pikiran dengan yang lebih senior
    yang aku heran, waktu ibu-ibu ditanyai harga minuman, akan dipublikasikan kalau bupati udah mencicipi, agak aneh buatku. Mungkin mau bikin surprise ke pembeli kali ya soal harganya

    Selama aku dateng ke bazaar umkm misalnya sekalipun itu didatangi Bupati, pasti di mejanya udah ada pricelist, atau kalau penjualnnya ditanyai harga, udah bisa tau harga jualnya

  7. Luar biasa banget pengalamannya. Bisa menjelajah ke berbagai pelosok, naik sepit, melihat kearifan lokal dan belajar dari sulitnya kehidupan masyarakat di sana. Traveling itu emang seringnya bikin kita banyak-banyak bersyukur begitu sampai lagi ke rumah.

  8. Lucu amat nama daerahnya “Sungsang”, “Sembilang” … Lebih lucu lagi bnyk babi Ica di sekitaran sana hehe. Thanks sharing perjalanannya yang seru kak, bener² membuka wawasan ttg daerah Banyuasin

  9. Duuuuh mas, pas baca yg kamera mahal jatuh kena lumpur, aku yg baca pun speechless, kayak kebayang shock nya di pemilik kamera. Diasuransiin ga sih kalo kamera mahal gitu?

    Iya yaaa, kalo udh ngerasain tinggal di tempat yg ga ada air tawar, ga kebayang sih. Aku pun pernah pas nginep ke ujung genteng, penginapannya yg agak murah, ternyata airnya payau. Mau mandi juga trasa lengket 😔. Untung cuma sehari. Aku ga kebayang kalo oenduduk lokalnya gimana.

    Tapi kalo utk minuman mereka ada alat sulingnya atau beli air tawar buat minum?

    Part di atas kapal jadi kuyup, aku pikir yaaa waktu kalian diksih plastik, tujuannya buat muntah 🤣. Ternyata utk nutupin badan hahahaha. Gilaaaa, sengeri itu speednya sampe bikin basah ya 😂

    • Iya mbak, sebab plastiknya ukurannya lebar, kayaknya lebih dari 1 meter. Tapi ya itu tetep aja basah hahaha.

      Aku juga gak bisa ngebayang hidup dengan keterbatasan air tawar. Kayaknya gak bakalan betah ^^

  10. Cerita perjalanan nya lengkap banget, baca nya sambil bayangin ada di sana juga. Beneran sebuah kesempatan berharga bisa dapetin perjalanan sekomplit ini, walaupun enggak mandi 2 hari gapapa deh yang penting jadi kaya sama pengalaman, dokumentasi sepanjang perjalanan sangat oke banget. Akrab dan kenalan sama sesama peserta serta keramahan warga sekitar.

    • Saking banyaknya peserta, gak bisa ngobrol sama semua. Trus juga ada yang gak cocok diajak ngobrol (hmm mungkin bagi mereka akunya yang gak asyik haha). Tapi tetap pengalamannya menyenangkan.

  11. Naik sepit ini di bayangan aku beneran speedboat yang cepet.
    Tapi kayanya perahu biasa dikasih motor yaah.. Hihihi~

    Omdut alhamdulillah penjalan sejati karena gak mudah mabok.
    Melihat foto-foto perjalanan omdut, rasanya seneng banget bisa berinteraksi dengan hangat bersama warga setempat.

    • Aslinya cepet banget, ntah kecepatannya berapa kayaknya lebih dari 50 km/jam (kalau aku komparasi dengan motorku ya haha)

      Alhamdulillah gak mudah mabok pada dasarnya, cuma kl laut agak nyerah. Makanya kebantu banget sama antimo ^^

  12. Aku baca tulisan pemuda sungsang itu kebayangnya kok ya orang yg terbalik macam bayi sungsang itu. Wkwkwk.. seru banget ya ini the real ngebolang, apalagi ada nanam mangrove segala

  13. Masyaallah oom perjalanan yg mengesankan ya..seru banget.. aku ngakak pas baca tepung udah jd pempek.. kwkwk di mana2 org nasi jadi bubur ini tepung jadi pempek. Wkkwkw
    Indonesia itu memang beragam kebudayaannya dan nama-nama tempat serta kulinernya..

  14. Lapangan dipenuhi air dan ngga ada upacara?? (saya auto inget diri sendiri yang paling males kalo udah waktunya upacara) apa saya kurang nasionalis juga kah? hihihii

    Dalam sebuah perjalanan, emang paling pavorit itu ketika bisa ngobrol dengan warga setempat, anak2 yang dadah2
    Tapi kalo aku yang naik speed ngga yakin ngga mabok 😦

  15. Seru ceritanya.
    Kirain ICA itu nama fotografer atau blogger yang sudah lama nggak berjumpa, ternyata si makhluk gendut berkaki empat alias babi.

    Di sodori plastik, dalam bayangan saya tuh buat jaga-jaga kalau muntah, soalnya naik sepit kan biasanya bikin saya mabuk, eh ternyata buat pelindung badan dari percikan air karena laju sepit

  16. dari awal-awal baca daku tuh banyak dapat hal di luar ekspektasi, seperti sungsang -> kupikir itu kondisi bayi, ternyata tah bukan (hihi)
    Ica -> kupikir kek nama orang atau singkatan apa gitu, ternyata ya..ya.. hihi.

    Ya ndak apalah ndak mandi dua hari, minimal kan ransel yang berisi pakaiannya sudah basah kak karena ada penumpang di sebelah, eh ini apa pula, hihi

  17. Catatan perjalanan yang seru sekali.
    Yang mbaca serasa ikutan naik perahu, ada yg terkena cipratan air dan bawaan basah, ada yg ketemu ombak yg lumayan ‘mengocok’ perut. Dan setiap perjalanan selalu ada yg membuat bersyukur, seperti fasilitas listrik, air tawar dan internet yg dikira sudah hal yg lumrah, tapi ternyata di tempat lain itu merupakan produk langka dan mahal.
    Semoga bisa membeca keseruan perjalanan tahun depan, Om.

    • Iya, kebayang ya daerah yang lebih terpencil. Kalau di Sei Sembilang masih beruntung masyarakat bisa pake genset lalu bisa beli air tawar. Kalo yang beneran di pedalaman gitu, air susah, listrik nggak ada. Luar biasa perjuangan mereka.

  18. MashaAllah. Seru nian baco rangkaian perjalanan ini. Seru dan menantang. Sekaligus bikin kito banyak bersyukur dengan segala kemudahan yang kito dapat karena hidup di perkotaan. Dak kebayang harus berjuang dengan kondisi serba keterbatasan, terutama untuk urusan air, listrik, dan prasarana lain. Lingkungan pun terbangun dengan situasi dan fasilitas pas-pas-an yo. Kalo aku ikut di rombongan ini, pasti seringlah nitik air mato Yan. Dak lagi pacak konsen nak motret burung2 itu hihihihi. Apolagi sampe bebasahan berjuang sambil naik sepit itu.

    Eh ngomongi soal mangrove. Aku jugo pernah nyubo sirup buah bakau itu. Percampuran antara asem, manis, dan segernyo sempurna menurut aku. Apolagi diminumnyo dalam kondisi dingin. Waktu itu pas ngajar di Bontang, yang hampir 1/3 sisi kehidupannyo jugo diisi oleh kehidupan di atas air dan hutan mangrove. Dan karena memang udara di sano jugo panas tejengkang, aku pacak 5 gelas besak minum sirup buah bakau setiap harinyo hahahaha.

    • Nah berarti dak cuma di Sumsel yo yuk, di Kalimantan jugo masyarakat umum memanfaatkan bakau ini untuk diolah jadi minuman. Sayang nian kemaren dak icip, yo niat beli sudah ado padahal 😀

  19. Gapapa kak, walaupun belum berhasil mendapatkan foto yang layak untuk dikirimkan ke kontes. Tetapi melalui artikel ini, kami jadi banyak tau tentang sei sembilang. Next, semangat mencoba kembari membidik para burung tersebut.

  20. Perjalanan panjang yang seru, dan pastinya kembali membuat kenangan baru yang sulit tuk dilupakan. Apalagi bisa menikmati berbagai view, berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

  21. Ya Alloh perjalanannya luar biasa banget, kak. Ternyata menjadi fotografer itu nggak mudah ya, perjalanan untuk mengambil foto terbaik aja sebegitu berat perjuangannya, belum lagi alat tempur yang dibawa serta kesigapan ketika obyek yang mau kita ambil sudah ada di depan mata, wuihh hilang dalam hitungan detik nggak dapat apa-apa.
    Duhh butuh ditongkrongin blog kakak nih, buat nunggu cerita seru selanjutnya.

  22. kamera tua hasilnya sekeren ini? Wow
    Apalagi tulisan Om Nduut begitu mengalir, serasa ikut blusukan ke hutan mangrove, naik kapal, dadag dadag ke burung
    Huhuhu bikin ngiri,
    tapi lumayanlah, serasa udah ikutan traveling 😀

  23. wih, seru banget nih pengalamannya kak Haryadi jalan2 ke Banyuasin. Naik sepit n bisa hunting foto ngejar burung sembilang.
    btw saya kepo sama pohon pedada yg bisa dibikin dodol. Itu kalo di Jawa sejenis pohon apa ya kak?

  24. Seru banget ini pengalamannya apalagi kalau jalan-jalan itu penuh dengan tantangan aku belum pernah sih ke Bangka jadi aku penasaran baca ini seperti diajak jalan-jalan online ke sana

    • Iya tujuannya memang itu. Walau sebetulnya masih banyak PR dinas terkait untuk mendatangkan wisata ke daerah ini karena jauh dan keterbatasan aksesnya.

  25. Seru banget nih ceritanya, berasa lagi ikutan berpetualang di sana. Paling seneng kalau bisa jalan-jalan ke tempat kayak gini. Semoga dilain kesempatan bisa dapet foto yang proper ya kak!

  26. Ping balik: Melepas Dahaga di Lihaga | Omnduut

Tinggalkan Balasan ke Nanik Kristiyaningsih Batalkan balasan