Beberapa waktu lalu, saya mendapati kabar jika Sahabat Cagar Budaya Palembang akan mengadakan Heritage Walk ke Kampung Perigi Laut yang ada di Palembang. Terus terang, puluhan tahun tinggal di Palembang saya nggak tahu di mana itu Kampung Perigi.
Ada beberapa tempat yang akan dikunjungi selama kegiatan Heritage Walk itu. Dengan semangat mengenal kota Palembang lebih dalam, saya tertarik sekali ikutan. Setelah berhasil ngomporin Heru untuk ikutan, jadilah Minggu, 24 September 2023 kami mendatangi lokasi Kampung Perigi Laut yang berada di sekitaran Kelurahan 2 Ulu.
Awalnya saya bingung ini kampung ada di mana. Setelah ngecek di google maps dan ketika tiba di lokasi sekitar pukul 10 pagi, barulah saya ngeh jika Kampung Perigi Laut ini sering sekali saya lalui ketika bersepeda di Minggu pagi saat melintasi Jembatan Musi 6.

Jembatan Musi 6, salah satu rute bersepeda saya di Minggu pagi
Sering loh saya kepikiran, “pengen juga main ke bawah situ,” sambil menunjuk perkampungan dari atas jembatan. Tapi, ya gak bisa ujug-ujug datang ke kampung orang, kan! yang ada ntar bisa dicurigai. Dan nganu, hehe, saya takut juga kalau ada warga yang gak berkenan dan marah.
Dipandu oleh Kak Robby Sunata kami berkumpul di kediaman Bapak Ahmad Fanhuri sebagai titik pertemuan. Selain kak Robby, beliau jugalah yang akan memandu perjalanan saya dan peserta Heritage Walk. Selain ketua RT, rupanya Pak Ahmad juga dianggap sebagai tetua adat di Kampung Perigi Laut. Begitu jumpa sama temen-temen lain, eh ternyata ketemu juga sama beberapa teman yang sudah lama dikenal seperti Joni dan Mbak Dona. Wah bakalan seru ini!
Ke mana saja perjalanan kami hari itu? Ini dia!
Rumah Persinggahan Soekarno
Rumah yang dimaksud ternyata adalah rumah kediaman Bapak Ahmad sendiri. Dari awal melewati jalan setapak menuju rumahnya, saya sudah kagum dengan bentuk bangunannya yang menyerupai rumah limas.

Bagian dalam rumah Pak Ahmad. Nah bagian berundak itu mirip rumah limas.
Kolom tiangnya menggunakan kayu berdiameter besar. Begitu masuk, rumahnya berundak persis rumah limas yang pernah saya datangi di Museum Balaputera Dewa Palembang yang mana masing-masing undakan itu ada maknanya. Ya, jika tamu biasanya cukup berada di area teras atau undakan pertama. Selanjutnya, bagian privasi yang tidak sembarangan diperlihatkan.
Untungnya, kami semua diperkenankan untuk melihat rumah Pak Ahmad secara leluasa. Beliau bahkan mengajak saya secara khusus ke bagian belakang rumahnya di mana ukiran pintu kamarnya masih tradisional sekali.

Ventilasi yang diukir. Telatenna orang zaman dulu, ya!
“Rumah ini dibangun tahun 1935,” ujar Pak Ahmad.
Wah usianya sudah 88 tahun. Untuk rumah dengan material kayu rumah ini tergolong awet. Walau, ya tiang bagian bawahnya sebagian sudah miring sehingga harus ditopang dengan kayu lain.
“Dan, dulu rumah ini berada di tepian Musi.”
Saya jadi teringat rumah datuk saya yang ada di tepian Sungai Aur, anak Sungai Musi. Rumahnya juga persis di pinggir sungai sehingga garang/teras dan tangganya itu langsung menuju air dulunya.

Sudut favorit. Angin sepai-sepoi bikin mager 🙂

Tidak terlalu banyak perabot jadi keliatan lega kalau tinggal di sini.
“Namun karena pendangkalan Sungai Musi, sekarang rumah ini nggak lagi berada di paling tepi.”
Ya, di samping rumah Pak Ahmad kini berdiri beberapa rumah lainnya. Kampung Perigi menjadi saksi bahwa dulu, sejak tahun 1821 ketika ada, kampung Perigi (perigi artinya semut) ini didatangi oleh tokoh penting seperti Soekarno dan jauh sebelum itu bisa ada tokoh besar lainnya juga yang pernah melewati atau bahkan singgah di sekitaran Kampung Perigi. Siapa? Hmm, Laksamana Cheng Ho mungkin? Hehe.

Berjalan melewati rumah panggung di pinggiran Musi

Jujur saya kaget dan takjub sebab Kampung Perigi Laut ini relatif bersih dan rapi.
Peralatan Rumah Tangga Berbahan Aluminium
Selain pempek dan pindang, Palembang juga terkenal dengan aneka jajanan pasar unik dan juga kue basahnya. Dari kue lapis, kue engkak, maksuba atau yang paling terkenal mungkin kue 8 jam yang sesuai namanya dimasak selama 8 jam untuk mendapatkan hasil terbaik.

Rumah Pak Nasir. Di sinilah produksi peralatan rumah tangga berbahan aluminium dibuat.

Pemandangan dari teras atas rumah Pak Nasir. Bersiiiiih!

Mbak Dona lagi mikir mau beli atau nggak dandang besar ini hehehe
Dulu waktu kecil dan mendekati lebaran, saya sering bantuin ibu bikin kue (hem, ngerecokin mungkin tepatnya). Menggunakan pemanggang tradisional atau bahkan dulu pernah pakai tutup dari tanah liat yang dibakar di atas tungku lalu setelah panas baru dipasang di atas cetakan kuenya.
Nah, di Heritage Walk ini saya berkesempatan mengujungi kediaman Pak Nasir yang sudah puluhan tahun bergelut dalam pembuatan berbagai peralatan rumah tangga berbahan aluminium. Termasuklah cetakan kue basah dengan beragam ukuran.
Dari ukuran kecil hingga besar. Persegi panjang atau bulat semua ada. Bahkan tersedia pula dandang besar yang biasa dipakai ibu saya masak nasi kalau lagi ada job katering. Selain itu, ada pula alat pembuat lontong, parutan kelapa dan camilan tusuk gigi, semacam kerupuk yang dicetak seperti ulat sagu.

Tabung untuk membuat lontong

Sebelah kiri parutan kelapa. Yang kanan untuk bikin camilan tusuk gigi.
“Bahan bakunya ini ambil di mana, pak?” tanya saya ke Pak Nasir.
“Oh beli di Pasar 16,” jawabnya. Menarik sih, sebab nantinya barang-barang ini akan diambil oleh pengepul dan sebagian dijajakan kembali di toko-toko yang ada di Pasar 16 Ilir Palembang.

Alat pemotongnya aluminiumnya.
Sayangnya, Pak Nasir masih belum merambah ke pasar digital. Sementara ini jika mau membeli kerajinan yang ia buat, harus langsung datang ke rumahnya. Belum bisa dibeli secara online. Ya, semoga ke depan ada anak atau kerabat Pak Nasir yang dapat membantu mengelola penjualan secara online, ya!
Menikmati Musi dari Rumah Panggung
Tak jauh dari rumah Pak Nasir, kami berjalan lagi menuju tepian Musi. Tujuan kami kali ini mendatangi kediaman Pak Syarif, salah satu tetua kampung dan sudah lama menempati sebuah rumah panggung persis di tepi Sungai Musi.

Bagian lain dari Kampung Perigi Laut

Rumah Pak Syarif yang berada tepat di pinggir Sungai Musi
Dua tangga yang berada di sisi kiri dan kanan itu menjadi ciri khas rumah lama. Biasanya, jika hanya memiliki satu tangga, rumah panggung Palembang memiliki tangga melingkar sebagaimana rumah datuk dan yai saya dulu (kedua kakek).
Senang rasanya dapat bersilaturahmi dengan Pak Syarif beserta keluarga. Kami diterima baik, dijamu, disuguhi minuman serta camilan dan diceritakan banyak hal terkait Kampung Perigi Laut.

Ruang tengah tempat kami berdiskusi.

Terdapat lemari ukiran khas Palembang juga.

Ruang tamu depan. Biasanya, tamu yang nggak begitu akrab diterimanya di sini.
Begitu kami datang, semua jendela dibuka. Langsung terasa embusan angin yang masuk di semua jendela. Beberapa perabotannya, seperti lemari ukir sangat menonjolkan budaya Palembang. Bagi sebagian orang, mungkin baru berkesempatan lihat lemari semacam ini di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Pak Syarif banyak bercerita tentang guguk/kelompok masyarakat di sekitaran Kampung Perigi Laut pada dulunya. Juga tokoh terkenal seperti Kemas Rindo yang mempunyai nama asli Kemas Abdullah, tokoh penyiaran agama Islam yang terkenal rendah hati dan juga merupakan salah satu guru dari Kiai Marogan yang dipercaya punya kekuatan supranatural seperti berlayar dengan pelepah pisang di atas air Sungai Ogan dan Musi ketika menunaikan salat Jumat di Masjid Agung Palembang.

Dari jendelanya terlihat Jembatan Musi 6
Menurut informasi dari Pak Syarif pula, makam Kemas Rindo dapat dijumpai di sekitaran daerah Mataram, Kertapati, tak jauh dari Pasar Sungki. Menarik, ya! Siapa tahu kan nanti Sahabat Cagar Budaya Palembang mengadakan heritage walk ke makam-makam tua ini.

Tetangganya Pak Syarif gak bisa didatangi dengan berjalan kaki. Harus naik perahu hehehe

Heru motret dari garang/teras depan rumah Pak Syarif

Rumah tetangga Pak Syarif. Unik juga.
Sungguh menyenangkan duduk santai di kediaman Pak Syarif. Dari terasnya Jembatan Musi 6 dan deretan rumah rakit dapat terlihat dengan mudah. Kebayang ya, jika ada event besar seperti perlombaan Perahu Bidar, gak perlu susah payah untuk nonton. Tinggal duduk di teras saja maka atraksi itu dapat dilihat secara leluasa.
Rumah kediaman Pak Syarif bisa jadi sederhana, tapi punya pemandangan yang mahal dan mewah!
Melihat Proses Pembuatan Rokok Pucuk Nipah
Waktu mengunjungi rumah Baba Boen Tjit beberapa waktu sebelumnya, saya sempat melihat perahu yang membawa tumpukan nipah. Ya, di sekitaran Kawasan 4 Ulu Palembang banyak industri rumahan yang mengolah nipah dan diubah menjadi berbagai macam peralatan rumah tangga seperti piring anyaman, besek, tikar, keranjang, tampah hingga hiasan.

Pak Ahmad menjelaskan tentang nipah
Sebagian nipah ini juga diolah menjadi rokok pucuk. Rokok tradisional khas Palembang yang sudah ada sejak lebih dari 300 tahun lalu! Sayangnya, saya belum pernah lihat langsung bagaimana pengolahannya.
Nah, rupanya di Kampung Perigi Laut pun ada pengusaha yang masih membuat rokok nipah. Beliau adalah Pak Iyan, yang dengan senang hati mengajak kami ke gudang tempat rokok nipah diproses.

Di ruangan ini proses pembuatannya dilakukan

Simpanan rokok pucuknya, siap untuk dipocong
Di kediaman utamanya terlihat tumpukan nipah kering yang telah dijemur dan siap diproses. Ternyata ya, prosesnya cukup panjang. Dari proses ngelam alias memisahkan nipah sesuai ukurannya, lalu kemudian dibancu atau diaduk untuk kemudian dikemel atau digenggam sebagaimana kepalan tangan untuk kemudian dipotong menjadi 3 bagian.
Oh ya nipah ini juga nantinya akan dirabun atau diasap pakai belerang selama 3 jam.
“Biar nipahnya awet,” ujar Pak Iyan.
Lalu kemudian digendang atau dibuat ikatan dan dinyoros atau dibungkus menggunakan daun nipah. Proses pembungkusan ini juga unik karena berbentuk pocong sehingga Pak Iyan juga menyebutnya sebagai dipocong. Satu pocong gini harganya Rp.120.000.

Ini, setinggi pinggang orang dewasa. Pantes disebut pocong hehe
Terus terang saya sudah tak pernah lagi melihat orang-orang di sekitar saya konsumsi rokok pucuk. Tapi rupanya penggemarnya masih banyak di luar Palembang. Umumnya, rokok pucuk ini akan dikirim ke kabupaten-kabupaten lain yang ada di Sumatra Selatan. Bahkan juga dikirim ke Curup, Bengkulu.
Kebayang gak ada cerita cinta di balik rokok pucuk ini sebagaimana kisah Jeng Yah dan Raja yang heboh belakangan ini? Hihihi.
Ratu Belanda Membuat Kapal
Hehe, yang bikin kapal tentu saja bukan ratu belanda. Sub judulnya emang agak “clickbait” haha, maafkan. Ini sih saya mau cerita soal tempat terakhir tempat pembuatan ketek/getek atau perahu yang biasa digunakan di Sungai Musi.

Rumah tante Dewi yang sebelah kiri. Yang tengah itu rumah khas Palembang juga.

Ornamen berhiaskan mahkota ratu Belanda yang pernah ditawar orang.
Namun, sebelum ke sentral pembuatan perahu, oleh Kak Robby dan Pak Ahmad, kami diajak dulu untuk mampir ke salah satu rumah yang ternyata menyimpan ukiran berbentuk mahkota Ratu Belanda.
“Dulu satu set ukiran ini udah pernah mau dibeli orang, tapi kami sayang menjualnya,” ujar tante Dewi pemilik rumah sekaligus pengusaha pempek di kawasan itu.
Rumah itu lama ditinggal pasca orang tuanya meninggal dunia. Saat ke sana, lumayan banyak debunya. Namun, ke depan, Sahabat Budaya Palembang akan membuat acara khusus di rumah itu. Gak hanya jalan-jalan, tapi juga sambil mencicipi berbagai macam hidangan khas Palembang. So, saya sengaja nggak banyak cerita dulu hingga kemudian ikutan acara yang dimaksud, ya!

Pak Dadang di pondokannya.

Tumpukan papan meranti yang siap diolah.
Oke, setelah dari rumah itu, saya dan rombongan kembali menuju pinggiran Sungai Musi sebab tempat usaha Pak Dadang ada di sana.
Bengkel pembuatan perahu milik Pak Dadang sederhana saja. Ada pondok kecil tempat ia berteduh dan beristirahat. Di sisi kanan pondok terlihat tumpukan papan/kayu meranti yang kemudian akan dipotong menyesuaikan ukuran perahu. Di sisi sebelah kiri ada dua bangunan beratap dengan masing-masing perahu setengah jadi terlihat berada di bangunan tersebut.
“Rata-rata 1 perahu ukuran sedang dibuat dalam waktu 20 hari,” ujar Pak Dadang saat kami tanya.
“Dan, harga 1 perahu sudah dilengkapi mesin dan peralatan itu 30 juta.”

Tuh persis di bawah Jembatan Musi 6

Salah satu perahu yang tengah dikerjakan
Nah lumayan juga ya harganya, setara sepeda motor berbodi besar. Bedanya, jika sepeda motor hanya dapat membawa 2 atau maksimal 3 penumpang, perahu sih bisa 3 kali lipatnya. Entah Pak Dadang menapatkan keuntungan yang sesuai/layak atau tidak mengingat 1 perahu butuh setidaknya 2,5 kubik kayu.
Yang menarik lagi, dari penuturan Pak Dadang saya baru tahu jika dempul yang digunakan untuk merekatkan papan itu tahan hingga 10 tahun. Jika kemudian saat pemakaian ada yang bocor, itu biasanya dikarenakan kayunya keropos, bukan dari dempulnya yang nggak tahan lama.

Di depannya ada rumah rakit juga

2 perahu yang sedang dikerjakan Pak Dadang
Saya pribadi jarang naik perahu di Sungai Musi. Kalau mau ke Pulau Kemaro, nah baru deh naik perahu. Jujur saja, saya nggak pandai berenang jadi suka parno kalau berperahu hehe. Walau begitu, jika kalian berkesempatan ke Palembang, tentu saja menggunakan perahu di Sungai Musi adalah salah satu kegiatan yang rasanya wajib dilakukan.
* * *
Walaupun kami hanya mendatangi 6 tempat yang letaknya berdekatan, tapi kegiatan Heritage Walk ini baru selesai setelah ashar. Memang acaranya intimate dan santai. Belum lagi kami dihidangkan nasi minyak di kediaman Pak Ahmad saat makan siang. Wah, ini hidangan yang mewah! Jarang dijumpai. Biasanya kalau kondangan aja makan nasi minyak, itu pun gak semua yang punya hajatan menyediakan.
Lalu sore harinya setelah semua kegiatan selesai, rupanya kami disuguhkan lagi beberapa camilan yang enak-enak banget! Dan hebatnya semua makanan itu disediakan oleh penduduk di sekitar Kampung Perigi Laut.

Sampai jumpa di Heritage Walk lainnya.

wah….jadi pengin ke semua ya tempat yang disebutin
Bisa didatangi sendiri tapi rasanya segan ya kalau ujug-ujug bertamu haha, paling enak emang ikutan heritage walk karena sejak awal sudah dikomunikasikan dengan pemilik rumah.
Berarti rumah pak Syarif itu termasuk rumah khas Palembang yang paling sepuh ya? Saya pernah naik perahu pergi ke Pulau Kemaro dalam perjalanannya nampak rumah berjejeran di dekat sungai, tapi gk tahu entah tempat ini.
Pak Syarif masih cukup muda menurutku. Tapi memang banyak mengerti sejarah Kampung Perigi Laut jadi termasuk yang dijadikan sesepuh kampung 🙂
Untuk ke Kemaro, arahnya ke sebelah kanan dari depan rumahnya.
Selalu amaze kalau liat ada rumah lama yang terawat sampai sekarang, apalagi kalau masih ada sisa-sisa peninggalan lama juga seperti foto atau dokumentasi lainnya.
Etapi itu tetangganya pak Syarif serem ga sih rumahnya di pinggir kali persis gitu? apalagi kesitunya gabisa jalan kaki ya, musti naik perahu. Kayak kebayang aja gitu.. misalkan hujan badai, serem banget pasti suasananya.
Hwhw iya, memang repot tinggal di rumah rakit. Tapi zaman dulu memudahkan orang jika mau berpindah tempat. Sekarang sih ya masih bisa jalan rumahnya tapi setahuku mostly berdiam aja di titik yang sama.
Kalau air pasang dia akan naik ikut permukaan air sungai.
Aih ada aku disana. eh aku mau balik lagi ke rumah tukang prabot,mau beli kesing lontong 😁
Beli yang banyak mbakdon, biar makin enak bikin lontong hwhw
Om lu kalau healling ko dapet aja gitu low budget mana info yang didapet banyak hihi syukaaaaa….btw nasi minyak kekmana rasanya isinya apa hahaha salfok belum pernah nyobain, kalau deket uda skalian borong borong tuh perkakas dapurnyah 🙂
Haha ya alhamdulillah dapet infonya. Btw, kegiatan Tour Guide atau Heritage Walk ini mulai marak di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Sebab ada komunitasnya. Coba aja cari di kotanya, siapa tahu ada.
Nasi minyak the best! sampe jadi main menu di Airasia saat chef Farah Quinn jadi chef ambassadornya. kebetulan Farah juga orang Palembang.
Nasinya dimasak pakai minyak samin, rasanya gurih apalagi kalau menu pendampingnya malbi (daging dimasak kayak rendang gitu) dan sambal nanas. MasyaAllah enaknya.
Jadi semacam Desa Wisata gitu kah?
Seneng banget diajakin jalan-jalan selusur Kampung Parigi yang bersih. Orang Palembang ini pastinya kaya raya yaa… secara rumahnya luas (dari segi tanah tempat bangunan berdiri), tinggi dan kebayang aliran udara yang semiliirr.. Gak perlu menggunakan AC, uda adem.
Sejauh ini belum ditetapkan sebagai desa wisata mbak. Tapi siapa tahu ke depan ya, minimal heritage walk ke sana bisa diselenggarakan reguler. 2 kali sebulan misalnya.
Adeeeem banget. Bener gak perlu AC ^^
Idaman banget yaa..
Rumah panggung dengan interior serba kayu.
Oh, ternyata Desa Wisata butuh legalitas dari Kemenpar yaa??
Sepertinya ada kriteria tertentu yang harus dimiliki sebuah kampung untuk ditetapkan sebagai desa wisata. Kalau nggak salah, salah satunya menyediakan akomodasi. Kayak salah satu desa di Lombok yang pernah aku datangi dulu, dan seingatku kepala kampungnya menginformasikan demikian. Cmiiw.
Haturnuhun..
Jadi paham sekarang. Ga semua destinasi Desa/kampung bisa jadi Desa Wisata
Betul mbak. Harus ada standarnya. Ini bagus juga sih menurutku sehingga gak sembarangan kampung dapat klaim mereka desa wisata.
Pas pertama lihat rumah pak Ahmad, aku langsung seneng banget, memang khasnya rumah lama, dan ingetin banget Ama rumah kakek nenek di kampung ❤️. Dari kayu, berundak2 pula. Ga perlu pake AC, Krn biasanya ventilasi udh bagus, dan angin banyak masuk 😍.
Gila ih, udh 88 tahun usia rumahnya, itu pake kayu apa mas. Kuat banget. ❤️❤️.
Perlatan masak aluminium ini pasti bikin kalap ibu2 yg suka masak 🤣🤣. Kalo aku sebatas mengagumi aja lah, dibeli juga ga bakal dipake di rumah hahahahaha. Eh tapi di sana ga jual cobek batu yaa 😄? Susaaaah cari ini.
Ngeliat rokok Nipah, aku langsung inget pas di Aceh. Di sana pun msh banyaaak yg ngerokok ini mas. Dulu yaa aku pikir, ini apaan sih.. jerami atau rumput kering? Kok diisep kayak rokok 🤣🤣. Biasanya yg hisap kakek2 tua tapi. Kalo yg muda mah pake rokok biasa. Ternyata itu juga rokok yaaa 🤣. Beruntung banget bisa liat langsung.
Sejak pindah JKT aku ga pernah liat lagi rokok Nipah ini.
Penasaran juga pengen tahu cara bikin perahu 😍. Walopun kita sama kok, takut naik begini. Krn aku ga bisa berenang. Wassalam aja kalo sampe nyebur 😅
Kalau mbak Fanny gak komen gini, aku gak tahu kalau di Aceh (tepatnya di Gayo ternyata) ada Rokok Nipah Oen yang bentukannya sama kayak rokok pucuk Palembang. Betapa ragam Indonesia luar biasa ya, bisa sama bentuknya, namanya beda dan bisa jadi orang nggak saling tahu haha.
Rumah pak Ahmad kayaknya pakai kayu kulim atau tembesu sebab kayu itu terkenal kuat. Tapi tepatnya aku gak ngeh, rasanya dijelasin tapi aku lupa hiks.
Untuk wadah aluminium, bener, ibuku aja punya koleksi lumayan banyak di rumah walau udah lama gak terpakai hwhw.
Rokok nipah ini tradisional bgt yaa blm pernah lihat. Seruu ya jalan2 sambil mengenal sejarah dan kebudayaan di kota sendiri. Apalagi bisa beli dandang dan alat2 dapur lain.
Jadi pengen makan pempek wkkwkw.
Main ke Palembang, surganya pempek hehehe
samaan mba aya juga belum pernah melihatnya membuat rokok dengan nipah ini, kalau ke sana bakal jadi pengalamn seru banget ya, bayarnya 50k aja, sementara pengalamannya bakal banyak banget, semoga bisa ke Palembang main ke sini buat traveling mengelilingi dan menikmati suasana daerah ini
Betul. Biaya Rp.50.000 itu pun sudah termasuk makan siang istimewa dan juga camilan di sore hari. Sangat sepadan 🙂 ditunggu kehadirannya di Palembang.
paling seru jalan2 bareng komunitas seperti ini, kita jadi bisa mengunjungi tempat yang gak kepikiran seperti pembuatan perahu, proses pembuatan rokok pucuk nipah juga tempat pembuatan peralatan masak… Wah, menggoda utk belanja banget tempatnya
Iya, beruntung di banyak kota kegiatan walking tour/heritage walk ini sudah marak.
Ventilasi rumah nya bagus banget, dekorasi rumah pak Ahmad pun sangat khas berasa berkunjung ke rumah Kakek ya, senyaman itu. Kemudian aku tertarik duduk-duduk dan memandang sungai musi dari rumah panggung.
Pembuatan perahu nya pun sangat bikin tertarik buat melihat secara langsung ya, bagus dan rapi hasil pengerjaan nya.
Ternyata Heritage Walk di Kampung Perigi Laut sangat worth it pisan, dengan pengalaman yang kita dapatkan. Must try sih kalau lagi jalan ke Palembang.
Iya, jadi nggak perlu AC kalau ventilasinya kayak gitu. Ciri khas rumah lama juga jendelanya besar, tanpa kaca. Jadi kudu dibuka lebar biar sinar matahari masuk 🙂
Aku penasaran sama camilan tusuk gigi. Yang kebayang malah tusuk gigi dimakan (?)
Emang ya kalau makanan khas tuh ada aja yg aneh di otak kita huhu
Hwhw namanya emang unik. Tapi sebetulnya itu kerupuk hanya memang dibentuk dengan cetakan yang saat ditekan adonannya jatuh langsung ke minyak panas.
Yayan, kalau aku ke Palembang, mau dong diajak ke sini yaaunik banget dan menyenangkan menjelajahnya yaa…paling seru blusukan ke kawasan perkampungan di mana banyak rumah-rumah penduduk asli seperti ini…
Ayo mbak Dedew, sekalian ntar aku ajak ke SMA 3 buat kangen-kangenan hwhwhw
Wah komplit banget.. Jd makin tau tentang Palembang. Kenalnya cuma sungai Musi aja selama ini huehue.. Jd pingin ke Palembang
Semoga ada kesempatan untuk main ke sini ya 🙂
Seru ya heritage walknya, keliling kampung Perigi Laut dan meliha rumah-rumah di sana yang rata-rata sudah berusia puluhan tahun, bahkan ada yang 88 tahun masih awet banget dengan khas tradisionalnya. Benar-benar terawat banget. Oh ya termasuk murah banget ya, bisa heritage walk gini dengan cukup keluarin uang 50rb aja.
Betul. Apalagi sudah termasuk makan siang dan camilan di sore hari. Sepadan banget.
Jadi pengen keliling Kampung Perigi Laut lagi 😁
Ntar bareng mbak Tati 😀
Seru banget. Secuil saja dari tepian Sungai Musi punya cerita yang beragam. Saya nggak nyangka ada usaha pembuatan perahu di sana.
Btw, rokok nipah itu dulu sering saya lihat waktu kecil. Orang-orang tua zaman dulu tampaknya lebih senang pakai daun nipah sebagai garet ketimbang kertas. Rasanya, sih, agak nggak karuan, ya. Apalagi kalau ada yang mencampur tembakaunya dengan kemenyan. 😀
Tulisannya keren, Om!
Wah ya bener, ada juga yang campur pake kemenyan seingatku dulu pas masih kecil haha. Gak kebayang aromanya kayak apa :))
Kapan-kapanlah tak cari. Kalau ada, lucu juga itu melinting tembakau pakai nipah. 😀