“Hah, ngomongin makanan lagi?”
Gitu ya kali pikir kalian. Bosan? Ah, hanya orang yang makan listrik kayak gadget yang bosan ngomongin makanan. Kalau kamu manusia normal apalagi yang berstatus mamamholic kayak aku, ngomongin makanan itu seru! Trus, coba pikirkan, mending mana : aku ngomongin kejombloan akut atau ngomongin makanan? Jajajaja.
Di hari ke-2 perjalanan bersama teman-teman blogger atas undangan dari Kementerian Pariwisata RI yang tengah mengadakan rangkaian kegiatan bertajuk Musi Triboatton 2016 di Sumatra Selatan, pasca mengarungi sungai Musi dan menjelajahi Pulau Kemaro, kami memutuskan untuk menyantap kuliner khas yang berada di restoran terapung tepat di pinggir Sungai Musi.
Jika selama ini aku hanya mendatangi restoran terapung pada saat malam hari di kawasan BKB yang hanya menjual cemilan (berupa pempek dan teman-temannya), nah sekarang kita mau nyobain restoran terapung yang menawarkan menu makan siang.
Namun letaknya lebih mengarah ke sekitaran pasar 16 Ilir. Ya maklum saja, di sana aktifitas warga jauh lebih berdenyut di kala siang. Namanya juga pasar, ya jelas rame, kan? Kalau mau sepi, sono main ke sekolah saat ujian nasional hwhwhw.
Sepengamatanku, setidaknya ada 3 restoran terapung yang ngetem di sekitaran pasar 16 ilir tersebut. Tujuan kami sebetulnya ke warung mbok War yang kapalnya paling besar. Namun sayang, beliau tidak berjualan. Mungkin lagi pelesiran ke Hong Kong, ya? Hwhwhw. Ya sudah, nggak ada mbok War, Dik Chelsea Islan pun jadi. Eh maksudnya, restoran lain aja atuh!
Kami memilih sebuah restoran dengan warna ceria. Namanya restoran Mbok Yah namanya. Kami datang tepat di jam makan siang, tak heran restorannya penuh sehingga kami harus menunggu dan masuk secara bergiliran hingga kemudian kami mendapatkan tempat duduk. Walau begitu tetap aja tidak cukup untuk menampung kami semua. Gus Mus yang demen Pancasila dan Pak Dhe BlontankPoer memilih untuk makan di tempat lain tak jauh dari kapal.
“Nak mesen apo?”
Sapa seorang pegawai warung terapung Mbok Yah. Warung ini menyediakan beraneka macam menu pindang (sup ala Palembang), nah berhubung aku sudah makan pindang di waktu-waktu sebelumnya, aku memesan ayam goreng aja. Teman-teman yang lain memesan beraneka macam pindang. Ada yang pesan pindang ikan patin, ikan gabus, ikan baung dan juga pindang tulang.
Walaupun aku memesan ayam goreng, aku tetap meminta kuah pindang. Soalnya nggak enak makan tanpa kuah, seret! Hehehe. Alhamdulillah diperbolehkan. Rasanya juga enaaak. Cocok di lidahku. Ya wajar juga ya, soalnya Mbok Yar ini menjual pindang Meranjat, sehingga rasanya cenderung pedas dan asam. Segar di lidah. Beda dengan pindang Pegagan yang manis dan kurang cocok di lidahku.
Sebagai pecinta sayuran, keberadaan berbagai macam lalapan yang dihidangkan di piring, semakin menambah selera makan. Aku sendiri memilih mengambil sejumput rebusan pucuk daun singkong dan daun kemangi. Saat semuanya dikombinasikan dengan sambal masak dan kuah pindang, wuiiih, enaaak!
“Ayuk minta es tehnyo, yo!” pintaku.
Tak lama, es teh pesananku datang. Rasanya segar sekali! Aku dan teman-teman blogger makan dengan lahap. Apakah istimewa sekali rasanya? Hmm, menurutku standar ya. Tapi setidaknya tidak mengecewakan, mengingat sehari sebelumnya aku makan pindang yang kurang cocok di lidah. Makanya, saat nemu pindang meranjat Mbok Yar di saat lapar seperti itu, jadinya makin terasa nikmat.
“Ibu silakan dihitung berapa semuanya,” ujar mbak Nina. “Dirjen Keuangan” kami selama perajalanan #MusiTriboatton2016 kali ini. Saat si ibu mulai menghitung, mbak Nina bertanya kepada kami mengenai pisang yang kami makan. “Tadi yang makan pisang siapa saja?”
Belum kami menjawab, salah satu pegawai warung sudah memotong.
“Untuk pisangnya gratis, bu!” ujarnya.
Wah lumayan ya. Jadi gak perlu ribet menghitung. Kutaksir, lalapan yang disediakan juga gratis. Eh maksudnya harganya sudah termasuk paket makanan/menu yang kami pesan.
Lantas, berapa sih harga makanan di warung terapung semacam ini? Oh, harganya lumayan terjangkau. Untuk pindang bervariasi antara Rp.20.000 sd Rp.25.000. Paling murah jelas pindang patin. Yang tertinggi dipegang oleh pindang gabus. Potongan ikanya cukup besar, loh!
Untuk minumnya cukup Rp.5.000 saja. Lumayan, kan? Udah makannya enak, sensasi goyangan air sungai Musi menjadikan makan siang kami kali ini semakin istimewa hehehe. Oh ya, omong-omong, di pinggiran Sungai Musi wilayah daratnya banyak juga warung makan sejenis yang berdiri rapi.
Warung-warung ini difasilitasi oleh pemerintah beberapa tahun lalu. Asyiklah, jadinya enak dan sedap dipandang. Nah, mas Agus Mulyadi dan Pak Dhe Blontankpoer makannya di sana. Aku sempat berbincang kepada pemilik warung mengenai harga makanan yang ia jual.
“Untuk nasi rendang Rp.30.000, mas” ujarnya.
Hmm, menurutku kemahalan ya. Mengingat, jika beli nasi rendang di warung padang biasanya harga yang ditawarkan setengah dari harga itu. Sayang aku gak lihat seberapa besar irisan daging rendang yang diberikan oleh ibu pemilik warung ini. Bisa jadi sih emang potongannya lebih besar, ya!
Terakhir, mau pilih makan di mana saja silakan. Mau nyobain sensasi warung bergoyang ala Mbok Yar, ya monggo. Kalau gak tahan goyangan yang bikin pusing dan memilih makan di darat, ya tentu saja boleh. Yang jelas dengan makan di warung tradisional seperti ini, kita turut menyokong pertumbuhan ekonomi kerakyatan. Makan dan minum di restoran mahal yang pas bayar suka bikin istighfar juga gak salah, tapi jangan sampai bikin anti makan di tempat-tempat seperti ini saja. Betul, nggak?
Jadi, apa pindang favoritmu? Yakin gak mau coba makan di warung terapung seperti ini? Hihihi.
Aku kangen makan di Mbok Yaaaah dengan sensasi goyang-goyang kena ombak sungai hahaha.
Semoga kita bisa segera kopdar yaaa ^_^
Yang mbak Eka datangi waktu itu warung mbok War. Eh tapi sama aja, sama-sama mbok, sama-sama bergoyang, sama-sama enak hahaha. Yuk yuuuk ditunggu di Palembang (lagi) mbak 🙂
Aku sempet mbatin sih, kayaknya dulu warna merah kok sekarang ada garis ijonya.. ternyata siwer sama nama Mboknyaaa 😀 hahaha.
Yuuuks… Kalo aku lagi dinas kantor kawani yaaaa
Aku sempet mbatin sih, kayaknya dulu warna merah kok sekarang ada garis ijonya.. ternyata siwer sama nama Mboknyaaa 😀 hahaha.
Yuuuks… Kalo aku lagi dinas kantor kawani yaaaa…
Hahaha iya, namanya juga mirip-mirip. Siyap siyap insyaAllah akan ditemanin mbak ^_^ kabarin aja yaaah. Ditungguuuu 🙂
Hai mbok yaaaa … Masih inget aku ngak ??? #Gaplok
Om cumi ayok kita blusukan ke pasar sekali lagi hahaha. Pasar emol aka MALL :)) om belom nonton AaAaDeCeh nih *trus kenapa? 😀
Tongkooooll!! pindang favorit aku dari kecil ya pindang tongkol yg lainnya ga suka (Ralat: GA PERNAH NYOBAIN) 😀
Itu makan di mbok Yah perahunya ngeliling ga? apa diem goyang-goyang kena ombak seadanya aja?
Eh gak pernah ikan tongkol di jadikan pindang di sini. Kayaknya pindangnya lain deh hehe secara pernah juga temen pas ke Palembang aku kenalin Pindang Palembang tapi ternyata katanya beda dengan yang ada di Jakarta sana.
Oh, masa sih? jadi ikan tongkol kalo disana diapain om?
Biasanya dibikin sambal atau dimasak santan, rasanya manis pedas. Kayak asam pade gitu 🙂
sama ya nama ikannya sama di Medan hehe. Ikan tongkol
Di sini juga banyak ikan tongkol mbak 🙂
Aku selalu sukaaa sama tema makanan. Jangan menyerah yaa Om untuk bahasa makanan *huahaha uoppooo ini. Om, kalo kami ada rejeki ke Palembang, temenin yaa wisata kuliner. Mudah2an pada saat itu dirimu sudah bersanding dengan Dik Chelsea 😍
Berhubung aku gak anti barang KW, Chelsea Islan KW Super juga gakpapa deh. Yang penting lucuk, kiyut dan mau diajak backpackingan hahaha.
Hayo dong mbak Den, main ke siniiiih. Sebelum aku keduluan main ke sana *amin amin amiiiiinnn Den Haag, tunggu akuh!*
Hadeuh gimana rasanya makan sambil digoyang-goyang? hihihi
Jika nggak terbiasa, awalnya akan pusing. Lama-lama asyik aja, apalagi ditambah musik dangdut hihihi
Sensasinya beda ya makan pindang di warung Mbok Yah pinggir sungai Musi.. Makin lahap makan siang diterpa angin semilir.. Kalo aku suka makan di Mbok Yah samping kantorku di samping kantor Leideng..
Wah ada cabangnya ya bu? aku suka juga makan di emperan di depan kantor Ledeng itu bu 🙂 murah meriah enak hehehe
Eksotik ya Mas
Iya kang Alee. Kapan mau ke Palembang? kontak kontak ya 🙂
Makan sambil digoyang-goyang gak mabuk kan, Kak Yan? Ketutup oleh keseruannya kali yah…Mbok Yah…Aku padamu 🙂
Hahaha belum apa-apa mbak Evie udah terpesona dengan mbok Yah. Nanti cobain makan di sini ya mbak 🙂
Mesti coba kalau mampir Palembang lagi, biar bisa kenalan sama mbok Yah 🙂
Ayuk om, nanti aku kenalin hehehe
Wah aku mah kalo ngomongin makanan selalu suka mas, makanya gembul 😆
Emangnya kuah pindang enak ye? Jarang nyeruput2 kuah ikan nih
Uenaak bangeeet. Tapi kayaknya pindang Palembang sama pindang yang Ge kenal beda deh. Kalo di sini sama kayak sup gitu 🙂
Wiiiiih, jadi inget makan siang di perahu kecil ini waktu ke Palembang! Masih kebayang segernya kuah dan empuknya daging ikan patin di mulut, Om… 😀
Untuk harga, memang murah kalo menurut saya. Makan hidangan khas daerah yang baru buat saya, dimakan di tempat ikonik dengan pemandangan ajib. Murah! Cuma, agak ga kuat lama-lama makan di sana. Goyangannya itu… Beuh… Hahahaha.
Dibilang murah banget nggak juga, tapi harganya masih sesuai dengan rasa dan pengalaman makan di tempat yang tak biasa 🙂 aku suka rasa pindangnya, pas di lidahku. Kapan ke sini lagi? 😀
Iya. Seger banget yak, asem-asem pedes gemes minta nambah gitu. Hahaha. Belum tau, Om. Kemarin aja belum puas makan-makan di sana. Kalo ke sana, saya kabarin. Hehe.
Iya dooong, jangan sampe gak ngabarin. Kita blusukan nanti hehe
Horeeeee! Siap, Om!
hmmm.. yang komentar posting makanan mulu artinya dia tidak begitu menikmati hidup XD
agak ragu juga makan di tempat terapung krn pernah makan di floating marketnya lembang langsung mual2, hahahaha
Kalau ini, mungkin karena tertambat di dermaga, goyangannya gak begitu kuat walau masih kerasa sih 🙂
Oalahh, hahaha
Aku pusing abis makan di warung terapung, nanti kecemplung :))
Pegangan sama mbok Yah dong haha
aku malah belum pernah makan pindang di mbok yah ini, hmm gimana ya feeling gue makanannya kurang sedap, nah klo makan pempek di warung cek Merry yg ke arah Riverside sudah om, cukup enak pempek dan pisang gorengnya apalagi ukurannya besar
Ya jangan disamain sama pindang Sri Melayu, Musi Rawas atau pindang mentereng lainnya haha. Jelas beda. Tapi untuk makan siang merakyat dengan sensasi berbeda, bolehlaaah
Saya pengen merasakan makan sambil digoyang, pasti sensasinya beda hehehe…
Apalagi ada angin semilir makin lahap makannya.
Yuk mas, aku anterin 🙂
Pakdheeeeee…yang bener itu Mbok Yah apa Mbok Yar? Coba deh baca lagi dari awal. Endingnya kok kebanyakan Mbok Yar 😀
Akoh mau diajakin ke siniiiih. Siang-siang makan di atas kapal. Nikmatnyoooooooo 😀
Yang betul itu mbok Yah hahaha. Ntah kenapa jadi mbok Yar >.< mungkin lamunanku mbuYAR jadinya ketik Yar terus
makan pindang cukup di bangko aja, kalo “balik dusun” ke pelembang makan pempek itu wajib, makan ;pindang itu “sunah” hahaha…
di bangko cuma ada pindang komering, dulu ada pindang meranjat tp tutup, mungkin karena kalah saing
pindang disini kuahnya asin-asam-sedikit pedas, terus potongan kemanginya banyak, selain pindang komering, aku pernah nyicip pindang meranjat, jujur kurang suka karena pedes banget.. di sarolangun adanya pindang ogan, kurang suka juga soalnya pedes banget haha
jadi penasaran sama pindang yg oroginal khas kota palembang, tanpa embel2 musi rawas, pagaralam, meranjat, ogan, komering, pegagan.. adakah??
Hmm pindang cek Ipah di rumah, tapi pindang meranjat hehehe. Kayaknyo dak ado pindang tanpa embel-embel pak.
maksudku, ado dak pindang yg memang khas palembang nian? selain pindang meranjat samo pegagan..
Hmm cubo tanyo cek Ipah gek ye di rumah heehehe
kemaren kato koh huang samo heru yg pindang khas palembang namonyo pindang fatin, eh..patin 😉
Yah nyesel deh pas ke Palembang ngga sempet nyoba ini. Padahal udah di depannya. Soalnya perut kekenyangan gara2 ngabisin sisa2 anak-anak…
Artinya kudu balik ke Palembang lagi mbak 😀
Waaah ayam goreng kuah pindangnya, hmmm….
Hayo ke sini mas, nanti tak ajakin makan ke sana 😉
siang-siang, puasa-puasa malah buka postingan kuliner! ngiler deh hahaa. pingin coba beraneka masakan pindang palembang, apalagi ikan patin ini favorit banget, pas bagian perutnya yang berlemak itu lho, yumm!
Iya, lemak sehat 🙂 aku juga suka pindang patin. Biasanya bagian kepala biar otaknya disedot buahaha
Jadi penasaran ama ikan baung
Rasanya kayak gimana om
Kayak ikan patin sih, baung itu enaknya digoreng menurutku 🙂
Sensasinya luar biasa. Bikin ga peduli soal rasa makanan haha
Tapi pindang pegagan yang aku makan di warung mbok War enak-enak aja kok. Makin enak karena sambil goyang2 😀
Masih penasaran ingin coba makan di warung terapung lagi
Dibandingkan warung pindang tempat kita pertama ketemu di Palembang itu, aku lebih suka yang di warung terapung ini mbak Rien 🙂
Ping balik: Dari Rokok Pucuk Hingga Pembuatan Perahu: Serunya Keliling Kampung Perigi Laut di Palembang | Omnduut