Pelesiran

Abu Nawas di Taman Nasional Tanjung Puting

shop

.

Klotok yang kami tumpangi melaju pelan di Sungai Sekonyer pasca mengunjungi camp Leakey yang terkenal itu. Aku memilih duduk di atap klotok. Bersama mas Andrew, Gilang dan Rizki, kami berempat berusaha menyecap kesyahduan hutan Kalimantan sembari menyusuri sungai tenang yang airnya berwarna hitam pekat. Pelesiran ini memang terasa sangat berbeda. Cukup dengan duduk diam, merasakan terpaan angin yang menyentuh kulit dan pori-pori saja rasanya aduhai nikmatnya.

Di samping kami, seorang ABK (Anak Buah Klotok) berceloteh kesana-kemari sembari mengarahkan nahkoda agar tidak menabrak pohon-pohon yang ada di sisi kanan sungai. Ya, sungai Sekonyer di bagian dalam ini memang jauh lebih sempit ketimbang yang ada di muara. Tiba-tiba….

“Aku kadang merasa serba salah,” ujarnya mulai bercerita.

“Kenapa bang?”

“Jika bule yang datang, biasanya mereka pakai bikini dan guling-guling di atas atap klotok. Ngeliatnya aku merasa berdosa, nggak dilihat kok kayaknya menyiakan rezeki,” sahutnya lagi.

Mendengar itu, spontan kami tertawa. Ini adalah salah satu kelucuan yang dia lontarkan di sepanjang perjalanan menembus Taman Nasional Tanjung Puting. ABK yang oleh temannya dijuluki sebagai Abu Nawas ini memang jadi salah satu warna di perjalananku selama 3 hari di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Dan jujur saja, apa yang ia celotehkan itu sempat aku rasakan juga saat berada di Ketuvallam di kota Alleppey, Kerala, India tahun lalu. So, I feel you, Inang! (Inang adalah panggilan untuk para lelaki dalam bahasa setempat.)

dsc_0736a

Menyusuri sungai Sekonyer

Ini perjalanan penuh keterlanjangan. Maksudnya? ya kali ada orangutang yang pakai baju. Eh gini, maksudku, melakukan perjalanan di hutan yang ada di taman nasional Tanjung Puting ini pun kami (baca : aku) merasa ditelanjangi : betapa alam sudah memberikan begitu banyak berkah kepada kita manusia, namun hal yang sama belum tentu berlaku sebaliknya.

Seperti yang aku tulis sebelumnya, betapa pentingnya hutan bagi orangutan dan kita sebagai manusia. Chris Noth bahkan berkata, “most people know that forests are the lungs of our planet, literally playing a critical role in every breath we take. And that they’re also home to incredible animals like the orangutan and elephant, which will go extinct if we keep cutting down their forests.”

Apakah Masih Ada Harapan di Tanjung Harapan?

Sehari sebelumnya….

Sebagian besar dari 20 (dua puluh) orang peserta open trip yang diselenggarakan oleh BeBorneoTour berkumpul di dermaga kecil yang berada tak jauh dari pelabuhan Kumai. Rombongan yang berangkat dari 3 (tiga) kota yakni Surabaya, Semarang dan Jakarta ini akhirnya dipertemukan di sebuah klotok berukuran besar untuk makan siang bersama.

dsc_0948

Dermaga Kumai. Kami dijemput di dermaga ini

Karena tidak ada penerbangan langsung dari Palembang menuju Pangkalan Bun, aku sendiri harus terlebih dahulu terbang menuju Jakarta untuk kemudian berganti maskapai dan mengudara lagi membelah langit untuk mencapai kabupaten Kotawaringin Barat yang pusat pemerintahannya berada di Pangkalan Bun yang sekaligus menjadi pintu gerbang kami menuju TN Tanjung Puting.

Berbeda dengan sungai Musi yang cukup berarus, sungai Kumai, sungai besar yang harus kami lalui sebelum masuk ke sungai Sekonyer arusnya terasa tenang. Bisa jadi hal ini disebabkan karena sungai ini masih relatif sepi. Dari dalam klotok, aku melihat kapal-kapal nelayan berukuran sedang terparkir di bibir sungai. Klotok berukuran besar yang digunakan demi kepentingan wisata juga nampak berbaris rapi.

dsc_0932

Rumah panggungnya mirip dengan yang ada di pinggiran sungai Musi.

Butuh waktu sekitar 20 menit untuk klotok mencapai muara sungai Sekonyer. Keberadaan sungai ini dapat “terdeteksi” dari sebuah patung orangutan berukuran besar yang berada di sisi kanan sungai dikelilingi pohon nipah.

dsc_0638

Kami disambut oleh tugu orangutan ini. Di sisi kiri itulah Sungai Sekonyernya.

“Hanya sisi kanan yang termasuk dalam taman nasional. Sedangkan sisi kiri adalah lahan perkebunan sawit,” ujar bang Zul, salah satu guide kami di perjalanan tersebut.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, “ini dia, baru Kalimantan,” batinku. Di Palembang sih (bisa jadi) masih ada hutan ya. Tapi untuk aku yang tinggal di kota, paling banter mainnya ke hutan wisata Punti Kayu. Itupun sudah banyak sentuhan modernnya. Beda dengan hutan yang ada di sini. Semua masih sangat alami.

dsc_0679

Hi jungle!

Suara berbagai macam hewan mulai terdengar. Burung, monyet dan juga serangga. Dari muara sungai Sekonyer, kami masih harus menempuh perjalanan sekitar 1 jam menuju pos pemberhentian pertama di Tanjung Harapan. Rencananya, kami akan melihat proses pemberian makanan kepada orangutan tepat pukul 3 sore.

Tiba di dermaga kecil, kapal kami bersisian dengan kapal-kapal lain yang sebagian besar ditumpangi oleh wisatawan asing. “Memang biasanya lebih banyak orang asing yang datang ke sini ketimbang orang lokal,” ujar mas Indra.

Di dekat dermaga, terdapat bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah ini sebagian ditempati oleh ranger atau petugas yang mengurusi orangutan. Orang-orang inilah yang melakukan penelitian, melihat perkembangan kehidupan orangutan sekaligus memberi makan kepada orangutan tersebut.

dsc_0665

Rumah informasi di Tanjung Harapan

Dari sini, kami masih diharuskan berjalan kaki sekitar 20 menit menuju titik pemberian makan kepada orangutan. Untuk menuju ke titik tersebut, kami berjalan melewati area yang ditanami pelbagai tanaman obat. Semakin ke dalam, kami semakin menyatu bersama alam. Kami melewati pepohonan berdiameter lebar, tanah-tanah yang becek, sungai-sungai kecil dan tentu saja perjumpaan kami dengan berbagai jenis hewan. Lintah atau pacet? Oh jangan sedih, mereka bahkan dapat merayap ke badan hehehe.

dsc_0680

Taman Nasional Tanjung Puting becek dan nggak ada ojek, loh! berani?

Takut?

Nggak sama sekali. Toh, kami ditemani oleh pemandu yang berpengalaman. Berhati-hati itu jelas harus dilakukan. Namun, jika banyakan khawatirnya, tentu saja seharusnya sejak awal tidak memilih berlibur ke hutan, toh? 🙂 untungnya, teman-teman seperjalananku ke TN Tanjung Puting nggak ada tuh yang kaget dengan keadaan tersebut. Semua nampak keren dan berani. Maklum, sebagian besar memang biasa traveling atau bahkan naik gunung. Hebat!

“Lihat ke sebelah kanan, itu dia orangutannya!” ujar bang Dodi, pemandu kami yang lain.

dsc_0711

Let’s play with us!

Mata kami langsung awas menatap sekitar. Dan, HOLA! Benar saja, beberapa orangutan nampak bergelantungan di atas dahan. Luar biasa perasaanku saat itu. Akhirnya, penantian panjang demi melihat orangutan secara langsung tercapai sudah. Jumlah orangutan memang semakin hari semakin berkurang akibat keberadaan mereka seringkali dianggap hama oleh warga.

dsc_0692

Menyaksikan orangutan bergelantungan di dahan

Mereka juga sering ditangkap dan dibunuh karena merusak kebun sawit milik perusahaan. Padahal, sesungguhnya perusahaan-perusahaan itulah yang lebih dulu merusak tempat tinggal mereka, toh? Belum lagi penambangan emas secara illegal yang turut mencemari sungai Sekonyer.

dsc_0690

Menyambut kami!

Namun, jujur saja, dapat melihat orangutan hidup liar walaupun di area taman nasional seperti ini, turut memunculkan sebongkah harapan agar habitat mereka terus terjaga, tidak ada pembakaran terhadap hutan (yang efeknya sagat luar biasa itu!), tidak ada lagi perburuan orangutan HANYA untuk dijadikan hewan peliharaan. Percayalah, masih ada orang-orang sinting di bumi ini yang membunuh orangutan, mengambil bayi orangutan, hanya untuk dijadikan hewan peliharaan. Biarkan harapan mereka untuk terus hidup kian terpatri di Tanjung Harapan, TN Tanjung Puting ini.

https://www.instagram.com/p/BN4M-AGhon3/

Perjumpaan Lainnya di Pondok Tanggui

Kami menghabiskan malam pertama di TN Tanjung Puting dengan damai. Tidur bertirai kelambu, di dalam klotok yang terparkir rapi di tepi sungai Sekonyer sembari ditemani suara hutan. Rasanya belum pernah aku merasakan sensasi menginap sekeren ini! 🙂

Pagi menjelang, kami kembali siap melakukan petualangan baru. Saking nikmatnya perjalanan ini, deru mesin klotok yang bertugas menggerakkan baling-baling kapal pun terdengar harmoni. Kami kembali menyusuri sungai Sekonyer selama kurang lebih 2 jam untuk mencapai titik selanjutnya : Pondok Tanggui.

dsc_0743

Sepanjang perjalanan, klotok kami kerap berpapasan dengan klotok lain.

Di sana, aktifitas pemberian makanan kepada orangutan dilakukan pada pukul 9 pagi. Jujur saja, sebelum berangkat, aku sempat mendengarkan suara-suara sumbang, “ngapain ke sana? Lha nggak ada bedanya dengan kebun binatang.”

Oh well, aku memaafkan mereka, karena mereka berceloteh hanya berdasarkan, “katanya” orang-orang. Kata siapa, ntah aku tidak tahu. Faktanya, taman nasional itu tentu saja tidak sama dengan kebun binatang dimana hewannya dikerangkeng beton  atau  pagar khusus.

Untuk memberi makan, ranger harus “memanggil” terlebih dahulu orangutan yang ada dengan menyerukan suara-suara khusus. Di Pondok Tanggui, kami menunggu cukup lama hingga kemudian seekor orangutan yang membawa serta anaknya bergerak menuju tempat diletakkannya buah untuk mereka makan.

Jika akses menuju Tanjung Harapan jalannya tergenang air dan lumpur di sana-sini. Di Pondok Tanggui kami bahkan harus melepas alas kaki karena aksesnya dibanjiri oleh air. Desember memang musim penghujan. Sebagian teman menghindari bulan ini untuk berkunjung ke TN Tanjung Puting. Padahal, inilah saat yang baik untuk bertemu dengan orangutan.

dsc_0772

Buka sepatu. Dipatok ular nggak ditanggung 😀

Kenapa?

Pohon berbuah lebat saat musim hujan. Dengan demikian, orangutan akan mudah ditemui. Kami berkali-kali berjumpa dengan orangutan di sepanjang perjalanan. Coba jika datang saat musim kemarau, selain debit air sungai Sekonyer yang berkurang (dan itu sedikit banyak menyulitkan akses klotok), ancaman asap juga dapat menyebabkan makin sulitnya menemukan orangutan karena mereka biasanya akan bergerak menjauhi kepungan asap.

Foto oleh Gilang. Ini diambil saat turun hujan, loh!

Ada kalanya kedatangan kita melihat orangutan cukup dengan hanya mengamati. Tanpa harus ribet mengeluarkan kamera. Itu yang terjadi saat kami mendatangi Pondok Tanggui. Tiba-tiba hujan deras datang. Dengan memakai jas hujan, kami hanya berdiri sambil menikmati orangutan yang lahap menyantap sarapan pagi mereka. Percayalah kawan, itu sangat luar biasa!

“Tawaf” di Camp Leakey

Kedatangan kami bertepatan dengan libur panjang. Sesuai itinerary, kami akan mengunjungi Camp Leakey di hari Minggu (12/12). Dari Pondok Tanggui, kami masih harus menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam sebelum tiba di Camp Leakey.

dsc_0829

Selamat datang di Camp Leakey

“Ada yang bawa novel Partikel-nya Dewi Lestari?” tanya mas Indra.

“Memangnya kenapa?” tanyaku.

“Tokoh utamanya diceritakan berkunjung ke Camp Leakey ini,” jawab mas Indra.

Pengakuan dosa dimulai. Baiklah, aku sebetulnya punya buku itu. Dibeli saat Dewi Lestari melakukan kunjungan ke Palembang dan aku sengaja beli demi mendapatkan tanda tangannya. Ironisnya, hingga kini buku itu belum aku baca. Opps.

Aku lantas diberikan “kursus” singkat mengenai novelnya Dewi Lestari oleh mbak Pungky dan mas Indra. Intinya, Dewi Lestari mampu mendeskripsikan Camp Leakey dengan sangat baik di novelnya. Nah, ntah karena hasutan novel itu atau memang biasanya ramai, terlihat banyak sekali orang yang datang ke Camp Leakey.

dsc_0795

Si Abu Nawas 🙂

Puluhan klotok berdatangan ke sana. Beberapa terlihat kelebihan muatan. Ramai sekali! Menurut bang Zul, ini adalah penduduk lokal yang melakukan one day tour hanya ke Camp Leakey. Wajar saja, karena kami tidak melihat rombongan ini di Tanjung Harapan atau di Pondok Tanggui. Sebelum mengeksplor Camp Leakey, kami makan siang bersama di klotok. Terlihat, di dermaga seekor orangutan berukuran besar berdiam diri di sana.

dsc_0789

Siswi yang jahil menyambut kami semua di dermaga Camp Leakey

“Itu adalah Siswi. Primadona Camp Leakey,” info bang Dodi.

Terlihat beberapa orang yang mendekati Siswi dan berfoto bareng.

“Apa nggak berbahaya,” tanyaku.

“Dia jinak, namun tetap berhati-hati. Siswi juga dikenal sebagai orangutan yang jahil. Sudah banyak wisatawan yang hartanya dirampas oleh Siswi,” imbau bang Dodi.

Benar saja, saat perjalanan pulang kami melihat seorang warga asing yang kebingungan karena kameranya dirampas oleh Siswi. “Nevermind, it is a cheap one,” ujarnya. Ya, kameranya bisa jadi murah. Namun, hasil jepretannya itu yang mahal, bukan? Penting bagi pengunjung untuk mengindahkan tiap arahan yang diberikan oleh pemandu. Jika tidak, ya begini yang akan terjadi.

dsc_0818

Udah macam jalan raya. Padat antrian 🙂

Oke, lupakan tentang Siswi. Ada banyak orangutan yang dapat kami temui di Camp Leakey ini.

“Nanti kita akan menggunakan jalur memutar,” ujar bang Zul. “Dengan begitu, kita tidak akan bertemu dengan rombongan (tawaf) tadi,” sahut beliau lagi.

Hehe, ya aku maklum saja. Ada saat-saat tertentu tempat wisata padat dikunjungi wisatawan. Kurang nyaman sedikit tidak apa-apa. Walau jujur aku khawatirnya apakah orang seramai ini akan berdampak dengan orangutannya? Faktanya : tidak sama sekali. Mungkin karena sudah terbiasa ya, jadi orangutannya tetap saja muncul di area pemberian makanan.

dsc_0825

Jembatan di Camp Leakey

Medan yang kami lalui lumayan panjang. Ditambah lagi, di tengah perjalanan kami-kami dihadiahi hujan. 🙂 mungkin bagi kalian yang baca tulisan ini, kok ya naas sekali kehujanan mulu. Tapi kok ya kami (baca : aku) kok ya nggak merasa begitu. Aku betul-betul menikmati tiap detik berada di tengah hutan dibawah guyuran hujan itu. Dan, aku berani bertaruh, teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama. Kami merasa betul-betul menyatu dengan alam.

Lagi-lagi, di sepanjang perjalanan kami bertemu dengan orangutan. Ntah ya bagi pengunjung yang melalui akses wisata, apakah mereka berkesempatan dan merasakan hal yang sama seperti kami. Yang jelas, ketika kami berada di titik pemberian makanan, sudah tidak terlalu banyak orang di sana. Bisa jadi sisanya menyerah ketika hujan datang. Kami, yang sudah membekali diri dengan jas hujan tentu santai saja.

dsc_0835

Kehujanan, jalan memutar dan cukup jauh tapi bonusnya ini 🙂

Begitu tiba di titik pemberian makanan kepada orangutan, hujan reda. Namun orangutannya belum nampak. Yang ada malah babi hutan berukuran besar. Ranger mulai memanggil-manggil orangutan. Dan tiba-tiba saja, sekumpulan orangutan datang dari berbagai penjuru. Seingatku, setidaknya aku melihat lebih dari 5 ekor orangutan saat itu. Mereka tidak datang bersamaan karena orangutan lain akan melipir ketika pimpinan/raja mereka berada di sana.

dsc_0882

Sambil nunggu orangutan datang, yo wes kita nonton babi hutan dulu

Cukup lama kami berada di sana untuk melihat aktifitas orangutan. Saat semua orang sudah beranjak pulang, kami masih memilih untuk bertahan. Di saat itulah kami berkesempatan berbincang dengan 2 ranger yang bertugas saat itu. Salah seorang diantara mereka ternyata sudah mengabdikan diri di hutan Kalimantan selama lebih dari 15 tahun!

dsc_0842

Ramai!

“Kenapa bang tetap bertahan di sini. Apa nggak kepikiran cari pekerjaan lain?” tanya salah seorang teman.

“Hmm, gimana ya? Sepertinya karena saya sudah terlalu cinta dengan orangutan yang ada di sini. Jika saya cuti seminggu saja, ada perasaan kangen.”

dsc_0894

Orangutan di Camp Leakey

Kami menanggapinya dengan canda tawa, walaupun jauh di lubuk hati kami, tidak ada secela ronggapun untuk meragukan apa yang ia katakana. Lihatlah, orangutan dengan mudah bikin orang jatuh cinta. Dan, sepertinya cinta yang sama mulai tumbuh di hati kami semua.

Tiba saatnya kami pulang sembari kembali menyusuri sungai yang warnanya menghitam dikarenakan gambut yang ada di dasar sungai. Hitam tak selamanya jelek. Yang ada di hadapan kami saat itu malah nampak luar biasa indah.

*   *   *

dsc_0790

Sampai jumpa lagi

“Lihat ada bekantan!” seru mas Indra.

Kami mengedarkan pandangan ke sekitar pohon besar di sisi kanan kapal.

“Kok dikit ya?” ujar kami heran.

“Biasanya lebih banyak loh. Mereka lagi sekolah dan kayaknya belum jam istirahat,” sambar si Abu Nawas.

“Ini mah bukan jam istirahat kali bang, ini mah udah jam ngaji,” cecar mbak Pungky.

Dan, lagi-lagi gelak tawa kami menggema, memecah kesunyian hutan Taman Nasional Tanjung Puting. Perjalanan 3 hari 2 malam di Taman Nasional Tanjung Puting bisa jadi langkah awal baru bagi kami untuk terus menyerukan gerakan #SaveOrangutan.  Kenapa? Karena tempat ini begitu istimewa jika hanya untuk dihancurkan oleh tangan manusia.

Di atas atap kelotok, harapanku terpatri. Semoga suatu saat dapat kembali lagi ke tempat ini. Tempat dimana cinta kami terhadap orangutan bermula. Aku menghirup napas dalam-dalam. Sejenak memejamkan mata dan sayangnya saat mataku terbuka, ada Abu Nawas di sana. Antiklimaks! Hehehe.

53 komentar di “Abu Nawas di Taman Nasional Tanjung Puting

  1. Manis sekali rasanya bisa menyaksikan langsung orang utan di habitat aslinya, kak. Duh, aku terharu baca tulisan ini☺. Sebagai penyayang binatang, akupun ngga ingin menyaksikan kekejaman terhadap orang utan dimanapun. Mereka pantas diperjuangkan kehidupannya. Semoga tulisan dari perjalanan luar biasa ini bisa menginspirasi semua orang, ya. Nice post!😀

  2. Duh itu ABK melihatin kejadian apa mas dsaat wisatawan asing gulet di atas kapal.. 😄😄

    Duh orang yg tidak bertanggung jawab telah membunuh orang utan.

    Seru pasti y mas menyaksikan sendiri orang utan..

  3. Panggilan Inang kirain punya orang batak aja..rupanya disana juga iya tapi buat ke cowok..gimana kalau inangnya sana menikah sama orang batak, trus istrinya dia ke mamanya manggil Inang 😀 wkwkwk bisa lucu akhirnya 😀 ha ha ha
    Rame banget itu masyarakat ngeliat orang utan sampe segitunya ya…

  4. Eh bentar, itu yang nonton segitu banyak? Yasalam apa nggak kaget orang utannya 😦
    Eh ini yang liburan long wiken kemarin yak, kemarin aku sempet mau pesen tiket ke Pangkalan Bun tapi nggak jadi hehehe.

    • Yang rame kayak gitu di Camp Leakey aja Lid. Sisanya nggak. Dan kebetulan itu lagi libur panjang ya, ajdi membeludak. Aku juga mikir nih orangutan pasti kaget, eh tahunya nggak. Mungkin karena udah biasa.

  5. Selain hewan peliharaan, biasanya orangutan juga dibunuh sekalian karena dianggap senagai hama. 😦

    Btw, salah satu daftar tujuan yang harus dikunjungi tahun depan. 😀

  6. Rameee bgt om itu di Camp Leakey.. Semoga orang utannya gak stres yaa diliatin banyak orang, eh apa mereka malah seneng, ya.. Aku dari dulu pingin ngelus2 orang utan.. 😀 Kalo di sana megang tapi gak boleh ya om?

  7. Ah, aku juga pengen banget ke Tanjung Puting, mas. Bukan karena suka orang utan sih (meski nanti kalau ketemu langsung mereka di hutan juga akan girang), tapi pengen merasakan sensasi menginap di dalam kelotok berhari-hari 🙂

  8. biasanya foto omnduut clear dan bening om, ada masalah ya kameranya? aku sdh baca novel Partikel iya Dee bagus deskripsinya ttg orang utan dan hutan Kalimantan. Aku belum ada rencana mau ke Tanjung Puting soalnya biayanya lumayan

    • Huhuhu bener banget. Lensaku rusak 😦 *nangis
      Butuh banget kamera baru. Ya Allah, berikanlah rezeki padaku amiiin

      Btw, ke Tanjung Puting gak mahal-mahal banget ternyata. Di tulisan selanjutnya akan aku bahas.

  9. Ping balik: Mau ke Taman Nasional Tanjung Puting? Perhatikan 5 Hal Ini | Omnduut

  10. Melihat orang utan seperti melihat anak kecil, mata mereka lugu dan tanpa dosa. Moga aku ada rejeki bisa melihat mereka secara langsung seperti kamu Yan.
    Btw iya neh foto-fotomu kok jadi ga bening seperti biasanya, sayang banget 😦

  11. Paling suka berpetualang outdoor begini. Apalagi dalam pelukan belantara, sensasinya luar biasa.

    Selain membantu memanajemen diri, menumbuhkan sifat-sifat positip, menyalurkan hobi, lebih cinta lingkungan sekaligus lebih mengenali diri sendiri.

    Terutama dengan hijaunya bentang alam, untuk sesaat seperti terhenti dari dunia, asyik berinteraksi dengan diri sendiri, hasilkan energi positif, Insya Allah.

    • Beruntungnya mbak Ros yang tinggal di Kalimantan, kalo mau ketemu orangutan “deket” hahaha *jadi inget obrolan kita soal tujuan P.Bun tapi transit Jakarta dulu itu kan ya hehehe.

  12. Ping balik: Paras Semarang di Gemerlap Semarang Night Carnival 2017 | Omnduut

  13. Ping balik: Jiya Jale di Taman Nasional Periyar | Omnduut

  14. Ping balik: Review Tour ke Komodo Bersama Be Borneo Tour | Blog | Tour Komodo Murah

Tinggalkan Balasan ke jonathanbayu Batalkan balasan