
.
“Sakitnya tuh di sini
Di dalam hatiku
Sakitnya tuh di sini
Melihat kau selingkuh”
Duh neng, abang mah satu aja belom dapet gimana mau selingkuh –eh curcol? auk.
Bener ini aku di Malaka? Kok ya kayak main di halaman rumah tetangga aja gitu (maklum, tetangga demen dangdutan dan goyang dumang). Hahaha ternyata begitulah, lagu-lagu yang didendangkan oleh Cita Citata ini begitu semarak terdengar di sekitaran Bangunan Merah, Malaka, Malaysia.
Hah, kok bisa?
Itu karena rombongan penarik becak hias yang rata-rata memutar musik dangdut ini. Bayangin, ada puluhan penarik becak yang masing-masing memiliki tape dan lagu yang diputar itu rata-rata lagu Indonesia. Apa nggak bangga tuh? Memang sih mayoritas menabuh lagu dangdut. Ya, seperti lagu Cita Citata, Inul Daratista dan Ayu Tingting. Cuma, ada juga yang memutar musik pop band Noah. Sebagian lagi memutar lagu melayu dan India.

Becak dengan boneka. Lucu ya! 🙂
Malaka adalah kota pertama di Malaysia yang aku jejaki lebih dari 1 jam. Sebelum mencapai kota ini, aku masuk ke Malaysia melalui Johor Bahru (setelah sebelumnya berangkat dari Bandung ke Singapura) namun di Johor Bahru hanya sebentar. Sekadar menunggu bus ke Malaka berangkat sembari mencicipi nasi kandar. Kesanku pertama kali terhadap Malaka ialah : Kota ini tenang. Dan… aku suka!
Dari Malaka Center, kami menaiki bus dalam kota dengan jurusan Bangunan Merah.
“Bangunan Merah itu pusatnya kota Malaka, bang,” ujar Indra.
Dan benar saja, Bangunan Merah adalah ikon-nya kota Malaka. Alun-alun kota yang disebut sebagai Red Square ini berada tak jauh dari Jonker Street dimana hostel kami berada. Jadi, dari Bangunan Merah, kami tinggal berjalan kaki saja menuju hostel. Terlebih, hostel kami berada di pinggir sungai Malaka sehingga rasanya semakin syahdu.
Aku cinta kota ini.

Semua merah!
Bangunan Merah sendiri merupakan penyebutan oleh masyarakat sekitar dari bangunan The Stadthuys beserta beberapa bangunan lainnya, dimana kata itu berasal dari bahasa Belanda kuno yang berarti Balai Kota. Disebut Bangunan Merah ya karena memang bangunan di sana mayoritas berwarna merah. Kawasan ini sendiri mulai dibangun pada tahun 1650 dan hingga sekarang tetap terjaga keasliannya. Tak heran kota Malaka (bersama Penang) telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu Situs Warisan Dunia yang harus dilindungi.

The Stadthuys
The Stadthuys sendiri merupakan bangunan 3 lantai yang dibangun di atas reruntuhan benteng milik Portugis. Secara garis besar, gedung ini menampilkan semua fitur umum dari arsitektur kolonian Belanda dengan ciri khas pintu besar dan jendela Louvered. Sayang waktu itu aku gak masuk ke dalam. Tapi cuma foto dari luar aja sama Indra.

Posenya kagak nahan. Bikin eneg dan bisa bikin muntah. Beware!
Gedung ini digunakan sebagai pusat administrasi pemerintah selama 3 abad lamanya hingga pada tahun 1982 The Stadthuys diubah menjadi museum yang memperlihatkan perjalanan sejarah Malaka yang kental akan campuran budaya Kesultanan Melayu, Portugis, Belanda dan Inggris. Nah tepat di depan The Stadthuys ini terdapat sebuah fountain aka air mancur berukuran kecil namun dengan adanya suara gemericik air cukup mempengaruhi suasana hati sehingga kawasan Bangunan Merah terasa lebih adem.

Air mancur ijo royo royo
Air mancur ini dinamakan Queen Victoria’s Fountain karena ketika dibangun pada tahun 1901 Malaysia masih diduduki oleh Inggris. Hebat ya! Walaupun sudah berusia lebih dari 100 tahun namun air mancur ini masih beroperasi dengan baik. Lagi enak-enak duduk, aku didekati oleh seorang penarik becak hias.
“Mau jalan tak? Murah je!”
Sekilas aku melirik secarik kertas yang disodorkan oleh si penarik becak. Kertas berlaminating itu dilengkapi dengan berbagai macam gambar lokasi wisata seputaran kota Malaka. Terus terang aku lupa berapa tarifnya, hmm seingatku sekitar 20 ringgit. Lumayan sih, kalau mau jalan dan gak mau capek, becak hias dengan full musik ini dapat dijadikan pilihan.
Terlihat beberapa turis asing berminat terhadap tawaran si pengemudi becak dan mulai berjalan-jalan. Aku? Ah, Malaka itu ke mana-mana enaknya jalan kaki. Mending uangnya buat jajan, beli oleh-oleh atau merasakan atraksi berbayar lainnya yang ada di kota Malaka. Misalnya saja nyobain jalan-jalan sungai-nya di malam hari. Seru!
Orang datang silih berganti. Walaupun ramai, namun menurutku seramai-ramainya Malaka, masih kondusiflah. Paling kalau ada rombongan datang kayak gini yang bikin susah foto hahaha. Tapi sebetulnya menarik juga untuk memperhatikan para rombongan yang kayaknya berasal dari Tiongkok ini. Mereka memakai atribut yang sama dan kelihatan si tour leadernya ngak-ngapan ngaturnya hwhwhw. Kalau rombongan anak sekolahan kayak gini sih masih mendinglah ya!

Rame buanget!
Kalau sore, biasanya ada beberapa pekerja seni yang mangkal di kawasan ini. Misalnya saja si Gold Man ini –superhero terbaru hwhw, yang memakai pakaian dengan warna serba emas. Salut euy, udah sepuh tapi tetap saja aktif berkegiatan. Gak gampang loh berdiam diri bermenit-menit tanpa gerakan. Kalau mau foto bareng boleh? Tentu saja boleh, tapi letakkan dulu beberapa ringgit ke dalam wadah kecil yang sudah beliau siapkan.

Cent Ringgit Man (lawannya Million Dollar Man)
Si Gold (old) Man ini biasanya mangkal persis di dekat sebuah menara jam yang juga berwarna merah. Menara jam ini aslinya bernama Tang Beng Swee Clock Tower sebagaimana penamaan oleh pembuatnnya Mr.Tan Kim Jiak untuk memenuhi keinginan ayahnya –Tan Beng Swee, yang merupakan generasi ketiga dari keluarga philantrophic jutawan Tionghoa. Menara jam ini dibangun pada tahun 1886. Luar biasa dedikasi keluarga Tan beng Swee ini karena beliau sendiri merupakan anak dari Tan Kim Seng yang membangun 2 jembatan yang menghubungkan kawasan Bangunan Merah dan Jonker Street.

Tang Beng Swee Clock Tower
Trus ada apalagi di kawasan Bangunan Merah ini? Tentu saja keberadaan Christ Church yang merupakan gereja Anglikan tidak boleh ketinggalan. Gereja yang dibangun pada tahun 1741 dibangun oleh pemerintah Belanda pasca penaklukan penjajahan Portugis sekaligus menggantikan Bovenkerk (gereja tua) yang sudah tergerus masa. Pembangunan dilakukan oleh Abraham de Wind atas perintah ayahnya Claas de Wind. Gereja ini dibangun dalam tempo waktu 12 tahun! Mantap!

Church Christ. Maaf narsis 😀
Uniknya, gereja protestan ini awalnya berwarna putih. Gereja ini dicat merah pad atahun 1911 dan terus digunakan hingga sekarang. Gereja yang dibangun dengan gaya colonial ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran 23 x 13 meter. Jarak langit-langitnya sendiri setinggi 12 meter. Pantas saja gereja ini kelihatan cukup tinggi ya!

Gerejanya memanjang ke samping. Kalau kayak gini keliatannya kecil.
Tak jauh dari Bangunan Merah, terdapat sebuah bangunan bergaya Melayu yang lantai dasarnya digunakan sebagai tourism center. Aku dan Indra sempat masuk dan meminta peta. Sayang, penjaganya keliatan cuek. Mungkin karena wajah kami kurang bule kali ya –langsung warnain rambut haha. Di dekat sana juga ada kincir angin kecil yang suka dijadiin tempat narsis haha.

Kantor turisnya Malaka
Gedung Tourism Center ini tepat berada di pinggir Sungai Malaka. Nah, di belakang gedung ini juga terdapat beberapa tempat menarik. Diantaranya kincir air (Malaka Sultanate Watermill) setinggi 13 meter yang dibangun pada tahun 2007. Heh ternyata baru ya dibangunnya! Kirain kincir air ini juga berusia ratusan tahun kayak bangunan lainnya. 2 kali aku ke Malaka, aku gak pernah lihat kincir air ini beroperasi. Apa sudah rusak? Ntahlah…

Tingginya lebih dari 6 kali lipat tinggi badanku.
Di dekat kincir air juga ada sebuah benteng kecil dengan beberapa meriam di bagian atas. Jika bicara benteng, mungkin benteng Famosa yang paling terkenal ya! (aku akan tulis terpisah), namun jauh sebelum penjajah Eropa (Belanda dan Portugis) datang, Sultan Malaka telah memiliki benteng yang dibuat dari batu merah tepat di samping sungai Malaka, sayang benteng ini kemudian dihancurkan Portugis. Walau begitu sisa reruntuhannya masih ada sekarang.
Di sini pulalah seingatku dulu tayangan salah satu acara lomba memasak femes melakukan pengambilan gambar.

“This is is…” ujar Indra

Tembaaaak!
Malaka itu kecil, sepi dan cenderung membosankan. Namun, aku sukaaaa banget kota ini. Kalau sumpek dan butuh leyeh-leyeh santai, kayaknya Malaka cocok dijadikan destinasi tujuan. Modal kaki aja bisa kok jalan ke mana-mana (ya tentu seputaran pusat wisatanya saja). Kalau ada yang ngajakin ke Malaka lagi kayaknya aku masih mau deh hahaha!

Sungai Malaka
Di Selat Malaka…. Di Ujung Sumatra
Dua Hati Kita… Satu Dalam Cinta
Di Selat Malaka… Di Ujung Sumatra
Cintapun Berpisah… Ku Merana
Hati Siapa Tak Luka by Poppy Mercury
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Terkait
:’)
itu aja deh komenku yan
Ini kalo aku keluarin foto aku goyang dumang pasti komennya lebih heboh hahaha
Diselat malaka diujung sumatra
*sodorin mic* 🙂
Langsung k inul vista 🙂
Jangan lupa cek tangga darurat *jadi ingat kejadian di Manado >.<
Wuih apa nih..ada sesuatukah
Baru-baru ini Inul Vista kebakaran dan menewaskan 13 orang hiks
O iy kmrn liat berita 😦
Iya, di Palembang juga pernah ada kejadian kayak gitu. Diskotek sih yang kebakaran, puluhan orang terpanggang hiyyy
Wah klo itu azAb illahi mas
Mungkin. Tadi penasaran cek di google, yang meninggal 22 orang dan kejadiannya tahun 2002
Haha… saya sukaaa lagunyaaa Poppy mercury itu… 😄😄
Aku juga pas nulis ini jadi dengerin lagi lagunya di utube hehehe
Lagu terakhir kok saya agak-agak tidak kenal ya Om? Tahun berapa sih itu? :hehe. Om Jendela Louvered itu yang macam bagaimana ya, apa yang seperti di foto itu? :hehe.
Bagus dan masih terjaga. Tipe stadhuisnya mirip dengan di Jakarta, bangunan besar dengan air mancur di tengah-tengah alun-alun di depan balai kota. Cuma di sana masih terjaga lho, dan itu membuat semua terasa berbeda… ah, jelajah bangunan tua di Malaka pasti tak cukup sehari, ya!
Dih Gar, kita kan seumuran Gar, masak gak tahu hahahaha.
Nggak ding, itu emang lagu lama Gar. 90-an awal. Aku sendiri masih kiyut banget waktu itu hehehe. Jendela Louvered itu jendela dengan banyak kerang-kerang/ruang diantara kaca-kacanya. Duh ribet ya aku jelasin hehe, coba googling Gar. Kayak jendela bangunan lama itu.
Iya, Malaka walaupun kecil gak cukup sehari. Cuma kalo waktu terbatas, sehari juga bolehlah.
Oalah maksudnya jendela krepyak toh Mas :hehe. Keren juga nama aslinya ya.
Sip, indah banget buat dijelajahi, semoga suatu hari nanti bisa ke sana :amin.
Namanya jendela Krepyak ternyata yaaa. 🙂
Cantik sekali ya Malaka itu
Kalau diibaratkan orang, Malaka itu kayak dik Chelsea Islan mbak Arni hwhwhwhw
kalau jakarta dibuat begini pasti keren abis ya om
Iya Win. Harus lebih banyak kawasan seperti Kota Tua ya, biar peninggalan sejarah makin terjaga.
betul oom di indonesia bnayk sebenarnya kurang ‘package” saja
Sebenarnya kalau Indonesia mau menjaga semua warisan banguan era kolonial, pasti banyak kota kota cantik yang tak kalah dengan Malaka. Lebih cakep malah. Tapi orang Indonesia juga ‘hebat’ karena mereka dah ‘move on’ dari masa lalu 🙂
Move on yang kebablasan >.<
Bangunan tua berganti ruko. Huhuhuhuhuhu. Untungnya di Palembang ada satu kawasan yang bangunan tuanya masih dipertahankan mbak Zulfa. Yuklah ke sini, aku ajakin jalan 🙂
Dan GONG-NYA adalah….. POPPY MERCURY 😆 😆 #HeitzPadaJamannya #KetauanUsianya
Hahaha aku masih 17 looooh 🙂
Sebetulnya aku lebih “mengenal” Nike Ardilla ketimbang Poppy Mercury. Ketika Nike Ardilla meninggal, aku masih SD dan kepergian beliau jadi bahan obrolan sama pedagang siomay *inget momen itu hehehe*
Etdah siomay, hahahaha.
Siomay perbuah harganya 100 perak hehehe
Oh brati kita seumuran wkwkkwwk. Waktu SD, siomay di sekolahku jg per-piece 100perak harganya 😆
Pasti aku lebih muda #sokyakin hahaha
Ya Allah itu lagunya Popy Mercury….jadi ketauan kita generasi 90an ya Yan, tapi aku bangga 😀
Mungkin Malaka ini kayak kota Wlingi di Blitar, kota kecil yang bisa jadi tempat fave di kala ingin menyepi.
Aku sampe googling Wlingi wan 🙂 kotanya tenang ya nampaknya.
Andai Kota Lama Semarang dirawat pasti kagak kalah cetar membahana. Jalan kaki bisa gempor dari ujung ke ujung *komen curcol 😀
Tinggal kontak tukang pijet :p
Ping balik: Secuil Kisah di Gereja Tua & Benteng Famosa Malaka |
warna merah itu memang selalu bikin ceria dan semangat.. ngeliat bangunan2 merah gini, mata juga ga bosen mandanginnya :).. sayang aku blm pernah ke Malaka.. pdhl temen2 kuliah dulu bnyk yg asalnya dr sana.. dgr2 makanan di sana juga ada yg khas dan enak ya mas..yg aku srg denger bacang biru tuh.. penasaran pgn icipin
Saking penasarannya aku sampe googling. Ternyata bacang biru itu disana dikenal dengan nama kue nyonya Chang. Keliatannya enak bangeeeet. Kalo ke Malaka lagi kayaknya harus coba 😀
Ping balik: Menulis Saat Traveling? Ini 5 Hal yang Harus Diperhatikan |
Ping balik: Menulis Saat Traveling? Ini 5 Hal yang Harus Diperhatikan |
hebat ya malaka ini bener2 terawat dan bersih … andai kota2 tua di indonesia seperti ini … *ngarep
btw .. jangan2 tukang becaknya adalah tki, makanya puter lagu dangdud ..
Saya dulu pernah tinggal di malacca selama 3thn mas..yg kincir air itu baru di buat sekitar 5tahun or 6 tahun yg lalu…duku wkt saya tinggal di sana dr tahun 2002 sampai 2005 kincir air belum ada…masi jd pelabuhan buat ferry yg datang dari indonesia.
Malacca memang tempat yg adem n tenang
Ya ampun komennya baru dibalas 6 tahun kemudian. Makasih mbak, dan maaf untuk respon lambatnya.
Ya ampun lagu terakhir itu aku punya catatannya di notes zaman bocil dulu. ketahuan deh angkatan berapa, huff. Eh tapi Malaka memang masuk kawasan heritage ya. Kulinernya sendiri gimana? Sm yang kayak di KL dan sekitarnya?
Iya, bersama Penang, Malaka masuk sebagai Unesco WHS City, keren kan? 🙂
Makanannya juga enak dan MURAH haha, aku suka Malaka.
bahahaha malah ikutan nyanyi lagu poppy mercuri. Memang umur ga bisa dibohongi.
Btw baru sekali ke Malaka, dan itupun cuma 2 malam. Masih pingin ulang lagi nih. Kemarin juga sempat ke bangunan merah merah ini, tapi dalam kondisi kabut asap dari Riau. jadi ya ga kelihatan awannya
Oh pas lagi kebakaran lahan di Sumatra ya. Sampe nyeberang gitu jerebunya >.<
Kenapa ya di kota tua atau kota lama tuh selalu ada manusia emas. Ga di Kota Tua Jakarta, gak di Malaka ini juga ada. Di Kota Tua Jakarta malah ada manusia silvernya segala.
Waktu ke Bangunan Merah, aku liat sih ada becak-becak itu, tapi ga naik, dan gak dengar ada dangdutan. Adanya liat pengamen ganteng-ganteng “konser” depan kami yang lagi ngaso depan gereja itu. Lagunya lagu-lagu Peter Pan haha Terkenal kali lah lagu-lagu Indonesia di sana ya. Ga dangdut, pop, sama aja rupanya.
Haha manusia emas dan silver bersatu padu di mana-mana 🙂
Huaaah.. sedih deh, aku kan daftar tour sing – malaysia itu karena mau ke Malaka ini omndut… eh, si tour guidenya bilang pas kami tiba itu, jalan menuju Malaka sedang ditutup karena ada perayaan apa gitu
jadi ngga bisa ke jalan Sultan Abd Samad, boro-boro ke Malaka!
akhirnya diganti dengan ke Genting highland lebih lama dan rehat di mesjid mana gitu… sambil jajan (pastinya!)
Genting juga asyik, cuma beda banget sama malaka yang UNESCO world heritage. Semoga nanti bisa main ke Malaka ya mbak Amel.
Dimulai dengan Cita Citata, diakhiri dengan Poppy Mercuri. Xiix. Tapi kalau bicara dangdut, memang dari Sumatera ke atas hingga ke Malaysia bahkan Thailand, orang-orang lebih senang mendengarkan lagu dangdut dan melayu ketimbang pop Indonesia.
Saya sekitar 2014 pernah ke sini juga. Tapi hanya ke beberapa tempat saja, curi-curi waktu karena bepergiannya dalam rangka dinas. Xixi.
Dan memamg setuju, kawasan Malaka ini lebih enak dieksplor berkalan kaki daripada naik becak.
Ya, apalagi sore-sore gitu menyusuri sungainya. Wah apik dan menyenangkan.
Eh kalau disana yang di puter lagu dangdut jadi berasa kayak lagi jalan-jalan di negara sendiri ya. Cantik banget sih bangunannya apalagi sama becak hiasnya
Haha bener, ngerasa jalan di depan gang rumah.
Agak deg-degan melihat meriam yang besar-besar dan uniknya adalah di daerah The Stadthuys ini berasa kembali terlempat ke zaman Portugis. Dari mulai ambiance dan detil bangunan serta suasananya pun… klasik.
Iya kebayang kayak dulunya ada perang gede banget gitu di sana 🙂 padahal sih nggak ya.
wah cakep banget ini tempatnya, yan. ini dalam 1 kawasan gitu ya dan memang tempat wisata kayak kota tua gitu ya? kalau untuk kawasan penduduknya sendiri gimana yan di malaka ini
Iya mbak, satu kawasan dan semuanya gratis! (ya kalau sekadar foto dari luar hwhw, kalau masuk resto jelas bayar)
Pertama kali ke Melaka itu tahun 2019. Tapi karena tiba di melaka sore, jadinya kurang dapat view cerah ceria bangunan merah.
Tapi memang ya kegiatan disana berbagai macam
Utamanya leha-leha santai dan kulineran 🙂