
.
Langkahkanlah kaki ke mana angin mengarahkan
Itu pula yang aku dan Indra lakukan pasca mengunjungi kawasan Bangunan Merah, kawasan tua yang menjadi ikon kota Malaka. Pasca ber-dangdut-ria di sana, kami melangkahkan kaki ke jalan setapak menuju bukit kecil yang berada di belakang The Stadthuys. Terus terang aku tidak tahu ada apa di atas sana. Dari bawah, nampak sebuah bangunan berwarna putih berdiri kokoh diantara rerimbunan pohon berusia tua.
… Sepi
…… Sunyi
………… hening
Ntah apa karena kami terlalu pagi memulai petualangan di kota (yang nampak) kecil ini, atau memang tidak banyak orang yang merasa tertarik untuk bersusah payah untuk naik ke atas, aku merasakan perjalanan menuju ke atas nampak begitu kosong. Apa karena pikiranku tak berada di raga? Duh ini postingan macam apa, kok mendadak puitis gini. –panggil dik Chelsea Islan.
Perjalanan dari bawah ke atas sih tidak terlalu jauh. Namun, untuk lelaki berbodi semok kayak aku gini, ya lumayan kepayahan juga. Untunglah pemerintah kota Malaka sudah memfasilitasi jalan berupa puluhan anak tangga yang siap dijejaki. Gak kebayang jika harus menapaki jalan bebatuan atau masih berupa tanah. Capek kaki berbih bang!
Emejing!
Separuh jalan menuju atas saja aku sudah dapat melihat panorama Malaka dari ketinggian. Walau Malaka sejatinya kota tua, namun kawasan pinggiran kota sungai ini sudah tersentu moderenisasi. Nampak hotel-hotel berbintang berdiri di beberapa titik. Terlihat pula deretan atap ruko yang beradu dengan garis batas antara laut dan langit kota Malaka.
Lalu, menara apa yang nampak menjulang itu? Oh, itulah Taming Sari Tower, menara setinggk 80 meter yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan karena pengunjung dapat naik ke atas sana dengan menggunakan kereta khusus yang dapat memutar 360 derajat. Menarik, bukan? sayang aku gak nyobain saat itu.

Malaka dari ketinggian
Aku kembali melangkahkan kaki menuju ke atas. Tak lama kemudian, aku sampai dan disambut sebuah menara tinggi berwarna putih. Ternyata, menara ini adalah bagian dari Gereja St.Paul, gereja katolik tertua yang awalnya hanya berupa chapel yang difungsikan pada tahun 1521 oleh seorang kapten Portugis bernama Duarto Coelho (eh nenek moyangnya Paulo Coelho, ya? Hehehe). Ntah kenapa begitu difoto, hasilnya ada orb-nya. Berkali-kali difoto tetap saja cahaya aneh berwarna terang itu muncul. Padahal gak ada lampu loh di sekitar situ.

Orb-nya keliatan kan?
Chapel ini lalu diserahkan kepada Mary dan diberi nama ‘Nosa Senhora –Our Lady on The Hill. Paderi Francis Xavier selalu menginap di gereha ini tiap kali beliau mendatangi Malaka. Ketika beliau meninggal di Pulau Sancian, jasad belia sempat disemayamkan di dalam gereja ini selama 9 bulan lamanya hingga kemudian dipindahkan ke Goa, India.
Wuiih, ternyata gereja ini sempat menjadi tempat bersemayamnya jasad Fancis Xavier. Pantas saja auranya agak gimanaaa gitu. Apa karena sepi, ya?
Apalagi nih ya, begitu masuk ke dalam reruntuhan gereja utama, nampak berdiri batu-batu besar yang berbentuk pintu berdiri rapi berjejer diantara dinding-dinding gereja yang nampak dipenuhi lumut. Bikin suasananya terasa begitu berbeda. Namun, aku sama sekali merasa tidak takut. Apalagi aku membayangkan betapa megahnya gereja ini 5 abad lalu.

Backlight, jadi gelap

Model ala ala

Nah banyak banget pintu kayak begini
“Kotak apa ini?”
Aku mendekati sebuah kotak dengan bagian atas berbentuk segitiga. Kotak ini penuh dengan rongga-rongga kecil. Aku lupa-lupa ingat, apakah terdapat sebuah lubang di dalamnya? Atau ini dia tempat jenasah Francis Xavier disimpan? Entahlah.

Kotak misterius
Puas berkeliling di area seputar gereja, aku dan Indra memutuskan untuk menjelajahi bagian belakang. Kami melewati pohon-pohon besar yang melindungi kami dari sengatan matahari. Nampak seorang pedagang meletakkan beberapa cinderamata berupa magnet, postcard ataupun mainan kunci disebuah meja kecil. Baru dia saja pedagang yang kulihat siang itu. Mana yang lain? Atau malah memang dilarang berdagang di area ini? 🙂

Pohonnya bikin suasana jadi rindang
Begitu berjalan menuju ke belakang, eh ternyata ada sebuah tangga menuju ke bawah. Nampak sebuah reruntuhan bangunan lagi berdiri di sana. Terlihat juga banyak orang yang berfoto di bawah. Wah, bangunan apa itu?

Porta de Santiago nampak kelihatan
Itu adalah Porta de Santiago, sebuah gerbang kecil dan merupakan satu-satunya bagian dari Benteng Famosa yang masih tersisa. Benteng Famosa sendiri merupakan benteng Portugis yang dibangun oleh Afonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menyerang dan mengalahkan tentara kesultanan Malaka pada tahun 1511. Afonso meyakini bahwa Malaka akan menjadi pelabuhan penting yang menghubungkan Portugal dan Cina sehingga beliau meyakini penting untuk membangun benteng ini.
Benteng ini kemudian berpindah tangan 1 abad kemudian, tepatnya pada tahun 1641 dan diambil alih oleh Belanda. Terdapat sebuah tulisan ANNO 1670 di Porta de Santiago yang menunjukan logo relief Dutch East India Company.

Gerbang tua yang cukup besar
Benteng ini kemudian berpindah tangan lagi di akhir abad ke-18 ketika Belanda menyerahkannya ke Inggris untuk mencegah agar tidak jatuh ke tangan Napoleon, ekspansionis Perancis. Inggris waspada menjaga benteng dan memerintahkan untuk dihancurkan pada tahun 1806. Namun, gerbang kecil ini rupanya luput dari kehancuran dan masih berdiri hingga sekarang.

Benteng Famosa
Tak jauh dari Benteng Famosa ini terdapat beberapa museum dan bangunan unik lainnya. Tepat di seberangnya ada sebuah mall yang walaupun bangunan modern tapi keberadaannya tidak menjadikan kawasan ini terlihat timpang. Aku paling suka duduk-duduk di sekitar Porta de Santiago ini. Ada beberapa bangku taman di bawah pohon yang asyik banget buat nyantai. Bahkan kalau sepi, aku bisa tidur-tiduran di bangku kayu itu. Seperti yang kubilang di tulisan sebelumnya, aku cinta kota tenang ini dan rasanya gak akan bosen untuk kembali lagi ke sana.
Tahun depan? 🙂

Angin yang akan mengarahkan kemana kaki ini akan terus berjalan
Cantik banget ya Om tempatnya meskipun bagimu mungkin masih lebih cantik dik Chelsea Islan… #eaaa *ditabok
Hahaha iya, dik Chelsea Islan selalu di hati duileee 🙂
ahh aku kangen Malaka jadinya
waktu ke sini kurang puas karena perginya bareng temen yang lebih demen shopping daripada sejarah. Jadilah dia selama ke sini ngeluh terus dan minta ngadem di mall belakang itu x)))
Kali kedua ke sana juga aku sama ibuk yang… lebih memilih ke mall itu hahaha ya walaupun cuma liat-liat sih. :p
Lebih beruntung drpd Dita, aku ke sini berdua sama temen yg dgn suka rela nemenin masa2 galau pdhl dia udh pernah ke sini. Suka sama kulinernya dan suasana makan di pinggir kanal sama ngeliatin org naik perahu
Ahaaa yang makan di pinggir kanal itu aku tahu 🙂 selalu makan siang di sana. Suka sama petugasnya yang ramah dan cekatan.
Sayang dia gak buka sampai malam. Kalau malam kami makan di warung makan India tak jauh dari sana. Serunya pegawainya orang Indonesia 🙂
Om, keren Om. Nanti Prewed disini aja Om *ting ting* 😀
Aha aha aha hahaha. Boleh juga nih 🙂
lajang yg sukanya duduk di bangku kayu bawah pohon di kota sepi, aku tahu, pasti dalam hatinya trs berdoa smg kesepian ini lekas berakhir 🙂
Mbak Wik knows me so weeellll 🙂
Terus doakan yaaaa 🙂
Suka sekali kalau sejarah dipertahankan seperti ini. ira
Reruntuhan yang tak sengaja tidak diruntuhkan, untung tetap dijaga sama pemerintah Malaka 🙂
Aku lelah wsata macam ini, aku tunggu di bawah aja dan cari tempat AC alias melipir ke mall di depan nya hahaha
Mentang-mentang di mall adem dan banyak cewek cakepnya hahaha
Di lawang sewu juga ada spot tertentu yg bakalan muncul Orb nya mas, pdhl ga ada celah masuk sinar tuh.
Mungkin “yang lain” pada mau ikutan foto bareng mbak Uniek 🙂
Aaaak jadi makin mupeng kaaan
Jom ke Malaka kaaak 🙂
ternyata ada tempat2 seperti ini yah. baru tau.
Iyaaaa
Waktu ke Malaka tahun 2011, ke gereja ini suasananya lagi ramai pengunjung. Banyak pengunjung lokal melempar koin ke kotak segitiga dari celah-celahnya dan mulai diikuti oleh wisatawan manca negara lainnya. Aku tanya sama wisatawan lokal yang kebetulan keturunan India, katanya untuk make a wish koin itu di lempar ke dalam kotak. Terus aku juga naik perahu fery boat menyusuri sungai di Malaka, mereka sedang membangun kota kecil mirip Venice ya (bagus sih klo kataku menarik), padahal ketika naik taxi sebelumnya saat menuju pusat Malaka, si Abang taxi berbicara sama kami, ngapain mau naik perahu di sungai yang bau itu? Saya aja orang sini males..Hahaaha..klo kita lagi jadi turis emang super norak bang, kali aja naek genter di Ciliwung berasa lagi menyusuri sungai Amazon juga 😀
Iya dooong, kalau sudah berkunjung ke satu tempat, gimanapu keadaannya ya tetap aja menarik. Namanya juga mengunjungi tempat baru ya hahaha, apalagi jiwa blogger ala-ala ini hwhw, langsung mikir, “hmm, bisa ditulis nih kayaknya” lol
Om har, aku kesitu pas mau maghrib malah. Banyak orang bule lagi melakukan ritual entah apa. Di depannya yng di belakang patung St Paulnya ada yg jualan. Dan ternyata eh ternyata katanya yang batu gede2 itu Nissan om! Dan menurut pedagang yang jualan di depan kuburan berjeruji besi itu, disitu kuburannya siapa gitu lupa yang kemudian dipindahin. Semakin ke dalam ke runagan kecil di sebelah kanaan aku juga ngerasain hawa2 gak enak. Trus kita main ke kuburan belandanya. Agak horror emang sih…
Wah ngapain ya magrib-magrib di sana? hehe. Kalo balik ke Malaka lagi aku bakalan cek deh, jadi penasaran.
Dan betul, dulu chapel (yang sekarang jadi gereja) itu tempat bersemayamnya jasad Fancis Xavier
Ping balik: Menulis Saat Traveling? Ini 5 Hal yang Harus Diperhatikan |
Ping balik: Menulis Saat Traveling? Ini 5 Hal yang Harus Diperhatikan |
wah kalau ke tempat begini supaya lebih berkesan .. lebih nampol .. mesti malam2 yach … supaya lebih terasa penjiwaannya … siapa tahu dapat wangsit nomor juga 😀
Buahahaha, aku gak berani kalau malam, apalagi sendiri. Mending main-main di sungai Malakanya kalo malam 🙂