
99 Cahaya di Langit Eropa. Gambar diambil dari situs Indosinema.
::: 99 Cahaya di Langit Eropa :::
| 2013 | Maxima Pictures | Directed by : Guntur Soeharjanto | Producer : Ody M Hidayat |
| Starring : Acha Septriasa, Abimana, Raline Shah, Nino F, Dewi Sandra, Marissa N |
| Penulis : Alim Sudio, Hanum Rais & Rangga Almahendra | Running Time : 90 minutes | Genre : Drama |
| Penyunting : Ryan Purwoko | Rating ala Omnduut : 9.0/10 |
Film 99 Cahaya di Langit Eropa adalah film yang diadaptasi dari buku yang berjudul sama. Menceritakan tentang kehidupan dua pasangan muda (yang juga penulis buku ini) yakni Hanum Rais (Acha Septriasa) yang harus tinggal di Wina, Austria untuk menemani suaminya, Rangga (Abimana) yang tengah menempuh pendidikan strata 3 di sana. Kehidupan yang indah di Eropa ternyata tidak berlangsung lama. Hanum mulai merasa bosan dan sempat memutuskan untuk kembali ke Indonesia.
Di saat jenuh itulah Hanum berkenalan dengan Fatma (Raline Shah). Mereka sama-sama belajar bahasa Jerman di sebuah lembaga bahasa. Hari-hari Hanum mulai berwarna seiring persahabatan mereka. Hanum juga sayang sekali dengan Ayse (Geccha Tavvara) anak semata wayang Fatma yang cantik dan cerdas. Dalam hubungan persahabatan itu pula banyak hal yang dipelajari Hanum dari Fatma. Betapa, wanita berjilbab asal Turki itu memiliki wawasan yang sangat baik. Terlebih mengenai sejarah masa kejayaan Islam di Eropa.

Fatma dan Ayse. Gambar diambil dari situs Clear.
Dalam setiap perjalanan mereka, Fatma selalu berusaha memperlihatkan kebesaran Islam sebelum dijatuhkan oleh tentara Austria dan Polandia. Fatma juga bercerita bahwa sisa-sisa kejayaan Islam banyak bertebaran di Paris dan Cordobba (Spanyol). Hanum pun sempat berujar harapan bahwa suatu hari nanti ia berharap bisa melakukan perjalanan menapaki jejak kejayaan Islam bersama Fatma. Sayang, ketika Hanum akhirnya berkesempatan mengunjungi Paris dan mengetahui banyak hal seputar kejayaan Islam dari Marion Latimer (Dewi Sandra), sepulangnya ke Wina, Fatma beserta suami dan anaknya seolah hilang tanpa jejak. Fatma bahkan tidak sempat mengambil sertifikat siswa terbaik dalam kursus bahasa Jerman yang mereka jalani bersama. Kemanakah Fatma?
Bagi yang sudah terlebih dahulu membaca buku ini, tentulah jalan cerita film ini sudah bisa ditebak. Aku sendiri bisa dibilang sangat suka dengan film ini. Bahkan, aku berani bilang 99 Cahaya di Langit Eropa adalah salah satu film sineas anak bangsa terbaik yang pernah dibuat. Mengapa? Karena film ini sangat setia dengan bukunya. Bisa dibilang, 95 persen film ini setia mengadaptasi bukunya. (Hal yang tidak aku temukan di beberapa film adaptasi buku belakangan yang… berakhir mengecewakan).
Bagiamana dengan pemainnya? Sebelumnya, aku pribadi sempat protes dengan terpilihnya Abimana sebagai Rangga. Karena, image ke-sinetron-an dia sangat lekat (dengan nama Robertino-nya dulu). Ternyata, Robertino aka Abimana bisa bertransformasi menjadi aktor yang baik. Dengan penampilannya yang sekarang (berambut cepak) aku pikir Abimana cukup sukses memerankan sosok Rangga. Lalu bagaimana dengan akting Acha? Acha adalah aktris yang baik. Untuk di film ini menurutku dia juga berhasil. Secara fisik dia memang mirip dengan Hanum. Wajah pilu-rona-menangis-yang-berlebihan (seperti yang selama ini dia perlihatkan) tidak nampak di film ini. Aktingnya terasa begitu natural.

Salah satu adegan yang memorable dan bikin merinding. Rangga azdan di menara Eiffle. Gambar diambil dari situs Muvila.
Kredit lain patut diberikan kepada Raline Shah si pemeran Fatma. Jujur saja, sosok Fatma di film ini sangat jauh dari gambaranku ketika membaca bukunya. Dalam bayanganku Fatma adalah sosok wanita bertubuh besar. Namun ternyata Raline Shah juga berhasil memerankan Fatma. Yang patut mendapatkan jempol lagi adalah akting si gadis cilik Geccha Tavvara si pemeran Ayse. Aktingnya sangat bagus. Pemeran pendukung lainnya seperti Nino Fernandez, Alex Abbad dan Marissa Nasution juga baik. Yang mungkin agak timpang adalah keberadaan Dian Pelangi yang menurutku make upnya terlalu tebal dan cameo si Fathin yang… aktingnya dikalahkan oleh Hanum Rais itu sendiri.
Aku sangat puas menonton film ini. Eropa yang indah jadi makin terlihat menawan dengan pengambilan gambar yang detail dan baik. Ibarat kata, tiket yang aku beli sudah terbayar lunas dari sinematografi pembukanya saja (haaaaaaa Hallstat! *mupeng*). Tensi romansa, komedi dan drama terasa sangat pas di film ini. Aku suka! Oh ya, aku juga suka mendengar para pemain film ini menggunakan bahasa asing walaupun masih campur bahasa Indonesia. Sebagian penonton juga sepertinya memaklumi hal ini.

Behind the scene. Fatma melamar pekerjaan. Gambar dari situs Wowkeren.
Walau begitu, Film dan Buku tetaplah berbeda. Demi plot yang lebih menarik, ada beberapa hal yang sedikit diubah di film ini. Misalnya saja email pengunjung kafe yang harusnya terbaca ketika Hanum berada di Turki namun sudah ketahuan isinya di Wina. Ternyata oh ternyata hal ini berhubungan dengan ‘kondisi’ film ini yang rupanya dipecah menjadi dua bagian. Walau begitu, menurutku itu pilihan yang tepat. Buku 99 Cahaya di Langit Eropa terlalu dipaksa ‘selesai’ jika disajikan secara terburu-buru dan dalam durasi 90 menit. Aku masih rela datang lagi ke bioskop untuk menonton part 2-nya. 🙂
Akhir kata, selamat untuk film 99 Cahaya di Langit Eropa. Film ini memaparkan dengan bijak untuk setiap umat Islam untuk menjadi agen muslim yang baik. Love it!
Udah punya novelnya tapi belum sempat dibaca juga. PR banget nih 😀
Kalau nonton di bioskop, saya udah 2 tahun absen ke bioskop. Mungkin tunggu di dvdnya keluar aja… atau nunggu nongol di tv hahahaha :))
Bukunya baguuuus mbak 🙂 coba deh baca. Atau nonton filmnya juga boleh. Sensasinya hampir sama ketika baca buku, malah lebih hidup 🙂
Andalusianya adakah?? :p
Belum tahu 🙂 bagian Spanyol dan Istanbul ada di part 2 🙂
Tapi, karena film ini sangat setia dengan bukunya, menurutku tidak akan jauh berbeda. Ketika film selesai diperlihatkan cuplikan di Cordobba. Jadi gak sabar nunggu part 2-nya.
Nonton film ini serasa baca buku dalam bentuk visual. Cinta deh sama film ini ^^
Waduh dibagi dua? Jadi cuma ke paris dan cordoba?
Part 1 ini fokus ke Wina dan Paris aja mbak. Istanbul dan Cordobba dikasih liat sekilas di cuplikan adegan part 2-nya. Haiyaaah jadi gak sabar 😀
Waduh knp pada hobi motong film sih? 😀
Hahaha 😉 bikin penasaran ya mbak. Cuma kalo digabung durasinya bisa 3 jam! 😀 bagus untuk penonton, gak oke buat produser. Cuma aku seneng aja dipotong 2 ketimbang diedit habis2an dan dipadatkan, jadi kurang puoooll
Soalnya settingnya juga keren yak. Hehe. Moga ntar sempat nonton film ini 🙂
Iya mbak 🙂
Sebelum ini ada kan ya film Prisia Nasution yang setting di Eropa jg, cuma gak terlalu tertarik nonton. Aku nonton ini pure karena udah baca bukunya 🙂
Sama. Aku juga baru aja nih baca bukunya. Jadi penasaran! 🙂
Pasca kecewa dengan beberapa film adaptasi buku, aku awalnya gak terlalu espektasi besar (namun tetap antusias) dengan film ini mbak. Ternyata hasilnya keren! 😀
Haa makin penasaran. Eh dian pelangi main juga ya di situ?
Iya mbak, jadi Cameo temen-temen Turki-nya Fatma (yang belajar bahasa Inggris bersama di flat Fatma). Aktingnya sih nggak sekaku Fathin, tapi lipstiknya tebeeel :p Hanum Rais juga cameo dan aktingnya baguuus 🙂
Waa ada hanum rais juga. Ya sudah deh. Ntar nggak seru lagi kalau aku nanya melulu. Hihi
Iya, dia tampil sebagai Cameo 🙂 bagus aktingnya ^^ maklum mantan anchor, jadi terbiasa dengan kamera 😀
O iya. Di trans tv kan ya?
nonton film ini dijamin nambah lagi racun jalan2nya (bikin list baru destinasi) #garuk2
Haaaa bener banget mas Danan. Sepanjang nonton aku terus membatin, “Ya Allah, semoga aku bisa ke tempat itu” 😀 *amin*
Aku penasaraaaan 😆
*Blm pernah lihat filmnya dan baca bukunya*
Setidaknya cobalah nonton film ini mbak 🙂 untuk beberapa bagian, film ini jauh lebih ‘kaya’ ketimbang bukunya.
waw…aku pikir filmnya biasa ajah… kcb dong dipecah 2 :p
horeee kayaknya minggu depan bisa nonton , yuk om ke jambi (kota)
galau nih antara film ini, apa edensor, soekarno juga bagus soalnya aku penasaran sama ambarawa haha
Nah hayo Isna, keluar dari Bangko, hirup udara kota Jambi 😀
sagarmatha juga bagus kayaknya, himalaya euy… pengen semua, bagus2 😦
KCB = Ketika Cinta Bertasbih? aku gak baca novel dan nonton filmnya hihi 🙂 jadi gak bisa bandingin. Kalo untuk film ini aku pribadi puas dengan hasilnya 😉
iyah..kcb novelnya dan filmnya juga dikasih tulisan “bersambung” gitu *tepok jidat…
aku gak suka kcb soalnya ceritanya 101% persis sama… duh, boring -_-
hirup asap om?? 😀
Iyalah sesekali kudu isep asap biar kangen Bangko dan pingin balik kesana segera :v
dak ah *rai lempeng 🙂
jadi penasaran 😀
Melihat antusias penonton terhadap film ini, kayaknya bakalan lama di bioskop mas 🙂
bagus loh filmnya..keren sekali..menyentuh…
Tos 🙂 jadi sepakat ya dengan ulasanku ^^
part 2-nya jangan lama – lama ya…
dah ga sabar nih…
Iya mbak 🙂 aku juga gak sabar pingin nonton ^^
Baru nonton minggu kemarin, asyik dinikmati kok filmnya, walaupun yaaah kalau dicermati mungkin ada kurang di sana-sini, tapi bagus sebagai film Indonesia yang menghibur sekaligus memberi pencerahan :). Sekarang tinggal baca bukunya nih, hihihi, belinya udah dari Ramadhan tapi belum kebaca juga (seperti aku pernah cerita, malah mamaku yang sudah tamat duluan bacanya).
Ada beberapa elemen yang sengaja ditambahkan di film mbak 🙂 baca deh hihihi. So far aku suka dengan filmnya ^^ dan gak sabar nunggu part ke-2nya 🙂
Sama, aku juga nggak sabar :).
Lha ini tadi pagi bukunya baru ketemu, rupanya dibaca ayah Fathia hehehe.
Haha asyik mas Teguh mau baca 🙂
gara-gara ne buku..saya jadi suka buku sejarah hehe….
Kalo aku, gegara buku ini jadi MAKIN CINTA buku sejarah hehehe 🙂
intinya “MAKIN CINTA” OR “BIKIN CINTA”. pokoe buku itu sip telah merubah mindset saya tentang sejarah. guru-guru sejarah mulai SD – SMA tak berhasil mengubah mindset saya bahwa sejarah itu “KUNO”. yes, hanya karena buku ini