Pelesiran

Kepincut Heidelberg Sejak dari Alam Bawah Sadar!

Ada 2.056 kota (city & town sih, ya kota agak besar dan kota yang agak kecil) di Jerman. Nama-nama seperti Berlin, Hamburg, Munich, Frankfurt pasti lebih familiar dan didengar, bukan? Makanya, saat beberapa kerabat nanya saya di Jerman ke kota mana, trus ketika saya jawab ke Heidelberg, mayoritas pada bingung.

“Emang ada apa sih di kota itu?”

Mundur ke belakang, saat saya tengah menyusun itinerary. Sebetulnya ada beberapa negara yang sejak jauh hari udah saya incar mau ke kota mana saja. Kayak saat ke Republik Ceko tuh, udah wajib banget main ke Cesky Krumlov.

Nah untuk Jerman, sebetulnya masih agak ngambang. Saya terbuka untuk main ke kota mana saja, sih. Selama, cocok dengan jadwal perjalanan (baca: ketersediaan transportasi). Dari negara Luksemburg, opsinya sih ke Koln, Berlin atau Dresden. Soalnya, dari Jerman saya mau loncat ke Praha.

Suasana Heidelberg. Ini gak jauh dari flatnya si Armin

Tapi, salah satu “konsultan jalan-jalan” saya si Luhur ternyata menyarankan untuk saya main ke Heidelberg saja. Dia pernah ke sana. Dan begitu saya cek fotonya di google, alamak, saya langsung jauh hati. Heidelberg ini tipe saya banget: banyak bangunan tua, ada bukit-bukitnya, ada kastilnya dan…. Kotanya dibelah sungai! Saat saya cek rute dari Luksemburg, juga ada yang bus langsung ke sana. Jadwalnya juga pas!

Alhasil, tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk ke Heidelberg. Menjadikan Jerman, sebagai satu-satunya negara di Eropa yang saya skip ibu kotanya! Sementara, di negara lain, saya selalu -setidak-tidaknya, mampir ke ibu kotanya sebelum ke kota tujuan utama saya berpelesiran (seperti saat saya ke Brugge, Belgia. Tapi ya tetap mampir ke Brussels dulu yang jadi ibukotanya.)

Sekilas Tentang Heidelberg

Antara 600.000 dan 200.000 tahun yang lalu, “Heidelberg Man” atau Homo heidelbegensis, spesies manusia purba dari Pleisoesen Tengah di Eropa dan Afrika ditemukan tak jauh dari Desa Maurer. Tulang rahangnya ditemukan pada tahun 1907. Penanggalan ilmiah menetapkan sisa-sisa jasadnya sebagai bukti paling awal kehidupan manusia di Eropa.

Pada abad ke-5 SM, sebuah benteng perlindungan dan tempat ibadah bangsa Kelt dibangun di Heiligenberg, atau “Gunung Suci”. Kedua tempat tersebut masih dapat diidentifikasi. Pada tahun 40 M, sebuah benteng dibangun dan ditempati oleh kohort Romawi ke-24 dan kohort Kirenaika ke-2.

Rumah-rumah mewah di sekitaran Sungai Neckar

Almarhum Kaisar Romawi Valentinian I, pada tahun 369 M, membangun dan memelihara kastra (perkemahan permanen) yang baru dan memelihara kastra yang lebih tua serta sebuah menara sinyal di tepi Sungai Neckar. Mereka membangun jembatan kayu yang ditopang oleh pilar-pilar batu di atasnya. Perkemahan tersebut melindungi permukiman sipil pertama dan akhirnya direbut oleh suku-suku Jermanik. Pusat administrasi lokal pada zaman Romawi adalah kota terdekat Lopodunum, yang sekarang dikenal sebagai Ladenburg.

Kini, Heidelberg menjadi kota terbesar kelima di negara bagian Baden-Württemberg, Jerman, dan merupakan kota terbesar ke-51 di Jerman. Sepeti yang saya sebutkan sebelumnya, Heidelberg ini terbelah oleh sebuah sungai besar. Namanya Sungai Neckar, di mana kota ini berada di titik antara lembah sempitnya di antara Hutan Oden dan Hutan Oden Kecil, dan memasuki Dataran Rhine Hulu yang luas.

Lorong-lorong kecil di sekitaran Kota Tua-nya

Dengan jumlah penduduk 163.000 jiwa, seperempatnya adalah mahasiswa. Gak heran, sebab di sini ada Universitas Heidelberg, didirikan pada tahun 1386 dan merupakan universitas tertua di Jerman dan salah satu universitas paling terkemuka di Eropa. Sedikit cerita, selama di Heidelberg, saya menginap di kediaman Armin –yang menjadi host couchsurfing saya, yang tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan beberapa kamar.

Nah, saya dan adik sih mendapat tumpangan di kamarnya Armin ini. Walau begitu, di jam-jam tertentu, saya juga berkenalan dan ngobrol dengan mahasiswa penghuni kontrakan lainnya. Terutama di area dapur mereka yang hangat.

Lelaki Tua dan Piano Gereja

Setelah beristirahat semalam di kediaman Armin, kami memulai pagi dengan energi yang penuh. Dari flat/kontrakannya Armin ke pusat kota tua sebetulnya nggak begitu jauh mengingat Heidelberg ini kecil aja kan. Tapi, pagi itu kami memilih menggunakan tram.

Di sinilah, seorang pria tua menyapa kami. Ya, secara tampang kami yang Asia banget, ya, rupanya bikin ia penasaran dan memilih untuk menyapa. Saat tahu kami dari Indonesia, responnya jadi lebih antusias.

“Wah, anak saya tinggal di Malaysia,” sahutnya.

Jadilah sepanjang perjalanan kami diajak ngobrol. Untuk ukuran orang Jerman yang biasanya cenderung dingin, lelaki tua ini sangat hangat. “Tujuan kalian harusnya masih ada di beberapa halte lagi. Tapi sebaiknya kita turun sekarang,” ajaknya.

Rupanya, ia melakukannya bukan tanpa alasan. Lelaki tua ini secara otomatis jadi pemandu kami saat itu. Dengan semangat ia menjelaskan bangunan-bangunan yang kami lalui.

Keramaian di sekitar alun-alun Heidelberg

Alun-alun Heidelberg

Benar saja, rupanya kami berjalan menembus bangunan-bangunan dan berakhir langsung di pusat kota tuanya. Tepatnya di alun-alun di mana Church of the Holy Spirit atau Gereja Roh Kudus berada. Ini adalah gereja terbesar di Heidelberg, dibangun antara tahun 1398 dan 1515 dengan gaya romanesque dan Gotik.

Gereja Roh Kudus. Gereja terbesar di Heidelberg.

Tak hanya berhenti di depan pintu masuk, lelaki tua ini mengajak kami masuk ke dalam. Wah kesempatan baik. Di perjalanan di Eropa ini saya berusaha untuk masuk ke beberapa gereja terkenal yang ada di kota tersebut. Gak semua berhasil saya masuki, ada beberapa yang berbayar jika di luar jam ibadah, ada juga yang tidak terbuka untuk umum.

Paling enak tuh masuk ke gereja kalau ada yang menemani. Yang bikin saja takjub lagi, lelaki tua ini kenal dengan pengurus gereja. Ia dengan baiknya memperkenalkan saya dan adik ke orang-orang yang ada di dalam, padahal gereja ini setahu saja tidak terbuka untuk umum.

Lelaki tua dan piano tua. Terima kasih atas kebaikannya, om!

Bagian dalam gereja

Gereja ini direncanakan sebagai tempat pemakaman para Elektor Pfalz dan sebagai gereja perwakilan bagi tahta kerajaan Pfalz. Dalam Perang Suksesi Palatine, makam para pangeran Elektor dihancurkan; saat ini hanya makam pendiri gereja, Elektor Ruprecht III, yang tersisa. Gereja ini juga merupakan lokasi pendirian Universitas Heidelberg dan merupakan tempat penyimpanan asli Bibliotheca Palatina.

Langit-langit gereja

Jemaatnya awalnya beragama Katolik Roma, tetapi gereja ini telah berganti denominasi lebih dari sepuluh kali sepanjang sejarahnya. Secara berkala, selama periode 300 tahun, bagian tengah gereja dan paduan suara dipisahkan oleh dinding, yang memungkinkan umat Katolik dan Protestan untuk beribadah di gereja pada saat yang bersamaan. Dinding tersebut akhirnya dibongkar pada tahun 1936, dan jemaatnya kini sepenuhnya Protestan. Kini, gereja ini menjadi gereja paroki di dalam Gereja Injili Heidelberg dan merupakan bagian dari Gereja Protestan di Jerman.

Sebelum kami pamitan, lelaki tua ini mengajak kami ke ruang utama gereja. Dia lalu menghampiri piano tua yang ada di pinggir ruangan. Dan, seketika ia mulai duduk dan jemarinya lincah menekan tuts-tuts piano tersebut. Benarlah, jika lelaki tua ini bukan sekadar jamaat gereja biasa. Ia adalah salah satu pengurusnya. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.

Menuju Kastil Heidelberg

“Kalian tinggal berjalan ke arah sana,” ujar lelaki itu sambil menunjuk arah. “Nanti loket penjualan tiket funicularnya akan terlihat.”

Itu yang dikatakan lelaki tua itu sebelum benar-benar melepas dan berpisah dengan kami. Bak tamu agung, kami diantarkan ke luar pintu dan ia melambaikan tangan sampai kami benar-benar menghilang di tikungan.

Funicular yang mengantarkan kami ke Kastil Heidelberg

Kelihatan jalurnya lumayan panjang.

Tujuan utama saya mendatangi Heidelberg tentu saja ingin main ke kastilnya. Jika di kota sebelumnya kami berhemat dengan cukup ketat, dengan tidak mendatangi tempat-tempat wisata berbayar, namun di Heidelberg ini kami sepakat untuk mengeluarkan uang untuk membayar tiket funicular dan tiket masuk ke dalam kastil.

Harganya EUR 7 atau setara IDR 122.000 (kurs 2018). Sebetulnya jika nggak mau naik funicular bisa berjalan kaki lewat jalur perbukitan. Persis yang saya lakukan di Zagreb atau Ljubjlana. Tapi, tiket funicular ini udah sepaket dengan tiket masuk ke kastilnya. So, menurut saja ya harga segitu lumayan sepadan.

Satu pengalaman unik saat membeli tiket, petugasnya yang asli perempuan Jerman berkata, “kalian berasal dari (negara) mana?”

Saat saya menjawab dari Indonesia seketika ia berkata, “jalan lurus dan tunggu di sana,” dalam Bahasa Indonesia. Wah, sebuah dedikasi atas pekerjaan yang luar biasa walaupun mungkin bagi orang lain itu sederhana.

Berhenti di stasiun pertama, jalan sedikit. Nah kalau gak mau naik funicular, bisa menyusuri jalanan ini.

Sebab, dengan ia menghapal sebaris kalimat itu -dan saya yakin ia juga hapal kalimat yang sama di berbagai bahasa lain, ia sudah membantu turis untuk lebih memahami apa yang seharusnya dilakukan begitu tiket funicular didapatkan.

Funicularnya sendiri bentuknya tidak begitu besar, tapi lumayan mengurai kepadatan pengunjung. Perjalanan dari bawah ke atas juga nggak lama. Totalnya sih 1,5 km yang dibagi menjadi 2 pos terpisah. Rupanya, tiket saya itu hanya untuk sampai ke pos pertama, tempat kastilnya berada.

Pemandangan dari Königstuhl. Foto oleh Philipp Rothe. Sumber rnz.de

Sedangkan pos kedua menuju Königstuhl, area perbukitan yang posisinya lebih tinggi, mirip kawasan Leopoldsberg di Wina yang pernah saya kunjungi sebelumnya. It’s okay nggak sampai Königstuhl sebab pemandangan indah Heidelberg sudah cukup terwakili dengan view dari sekitaran kastilnya.

Setelah jalan sedikit dari pintu pos funicular pertama, kami masuk ke area kastil dengan terlebih dahulu menunjukkan bukti tiket funicular yang kami miliki. Wah, Kastil Heidelberg akhirnya ada di depan mata! Di mana, reruntuhan kastil ini merupakan salah satu bangunan Renaisans terpenting di utara Pegunungan Alpen.

Reruntuhan kastilnya

Taman di sekitar kastil

Berpose dengan view sisi lain kastil

Menara kastil

Area taman kastil

Kastil ini hanya sebagian dibangun kembali sejak pembongkarannya pada abad ke-17 dan ke-18. Kastil ini terletak 80 meter (260 kaki) di atas bagian utara lereng bukit Königstuhl, sehingga mendominasi pemandangan pusat kota tua.

Struktur kastil paling awal dibangun sebelum tahun 1214 dan kemudian diperluas menjadi dua kastil sekitar tahun 1294. Namun, pada tahun 1537, sambaran petir menghancurkan kastil bagian atas. Struktur yang ada saat ini telah diperluas pada tahun 1650, sebelum rusak akibat perang dan kebakaran di kemudian hari. Pada tahun 1764, sambaran petir lain menyebabkan kebakaran yang menghancurkan beberapa bagian bangunan yang telah dibangun kembali.

Gerbang menuju area kastil

Sudut lain kastil

Pose dulu mumpung dindingnya cakep

See, dari tepian kastil aja keindahan Heidelberg sudah terlihat, kan!

Ah pantaslah bangunannya terlihat melompong. Rupanya memang nggak direnovasi lagi secara penuh sebagaimana kastil yang ada di Ljubljana yang saya datangi kemudian. Halaman depan adalah area yang dibatasi oleh gerbang utama, sumur pangeran di bagian atas, gerbang Elisabeth, gerbang kastil, dan pintu masuk taman.

Di area taman inilah saya dan adik banyak mengambil foto. Yang menarik adalah sekitar tahun 1800, halaman ini digunakan oleh pengawas untuk menjemur cucian. Kemudian, halaman ini digunakan untuk menggembalakan ternak seperti ayam dan angsa. Walaupun bangunan utama kastilnya hancur, tapi saya udah bahagia sebab keindahan kota tua Heidelberg sudah terlihat jelas. Dari sana juga terlihat Old Bridge yang membentang di atas Sungai Neckar.

Pemandangan seindah ini tampak di depan mata!

Bangunan lain yang kemudian dipugar secara penuh dan berada di lokasi Friedrichsbau ini dulunya merupakan kapel istana. Namun, karena terdapat kerusakan struktural parah yang menurut para ahli tidak dapat diperbaiki, Elektor Friedrich IV memerintahkan pembangunan bangunan tempat tinggal tersebut antara tahun 1601 dan 1607.

Johannes Schoch (skt. 1550–1631) adalah arsitek bangunan tersebut. Fasad-fasadnya dihiasi patung-patung leluhur para elektor – sebuah konsep yang familiar mengingat sayap Ottheinrich. Sebastian Götz dari Chur (skt. 1575 – pasca-1621) adalah pematung utama yang bekerja dengan Schoch.

Bagian lain kastil merangkap museum

Semua tentang obat-obatan!

Tabung pembuat obat

Detailnya indah banget!

Meskipun terjadi dua kebakaran besar pada tahun 1693 dan 1764, bagian bangunan ini merupakan bagian kastil yang paling terawat. Dari tahun 1890 hingga 1900, Friedrichsbau direnovasi secara fundamental dengan gaya “historis” sesuai rancangan profesor Karlsruhe, Carl Schäfer. Bentuk atap dan perabotan ruangan di lantai dua dan tiga yang ada saat ini merupakan beberapa implementasi dari renovasi ini.

Lalu, terdapat pula Museum Apoteker Jerman di dalam Kastil Heidelberg ini yang menawarkan informasi menarik tentang sejarah farmasi, dari zaman kuno hingga abad ke-21. Saat ke sana, saya sempat melihat beberapa tabung raksasa yang sepertinya dulu digunakan untuk menampung cairan yang kelak menjadi obat.

Sebuah perjalanan menarik melalui pameran di ruang bawah tanah Sayap Ottheinrich menunjukkan bagaimana kekuatan penyembuhan alam digunakan pada Abad Pertengahan dan Awal Zaman Modern. Selain zat-zat yang berasal dari tumbuhan, beragam benda-benda unik tersembunyi di antara sekitar 1.000 obat-obatan. Pada abad ke-16, mumi yang dihaluskan dianggap sebagai obat batuk, sakit tenggorokan, patah hati, menggigil, dan sakit kepala.

Area tepi kastil

Anak apoteker kalau bisa ke sini bakalan hepi banget

Tong obat raksasa

Area lain Heidelberg Castle

Interior apotek bersejarah dari abad ke-17 hingga ke-19 yang terawat baik menjadi sorotan tersendiri. Berjalan-jalan melalui pameran akan membawa pengunjung melewati lemari-lemari bekas apotek biara yang dicat, apotek Barok yang megah, dan desain elegan dari periode Biedermeier. Koleksi wadah apotek berharga yang terbuat dari kaca, faïence, dan majolica yang dicat warna-warni sangat mengesankan. Menara Apotek yang berkubah juga menawarkan keseruan sebuah laboratorium dan semua peralatannya.

Ah menarik! Beneran nggak nyangka kalau ada museum yang menjadi satu bagian dengan kastil. Setelah cukup puas berkeliling, kami kembali ke stasiun funicular untuk kembali berjalan ke kawasan kota tua-nya.

Jembatan Tua yang Indah

Belakangan setelah sampai ke rumah dan baca ulang buku Life Traveler yang ditulis Windy Ariestanty, saya baru ngeh jika di buku itu Windy menceritakan pengalamannya berkunjung ke Heidelberg secara tak sengaja saat bus yang ditumpanginya pecah ban. Saat baca ulang kemudian, ada perasaan yang berbeda sebab saya pun kemudian berhasil mendatangi kota cantik ini yang bisa saja secara tak langsung terafirmasi saat saya baca buku tersebut. Ah, artinya saya sudah jatuh hati dengan kota ini sejak jauh dari alam bawah sadar!

Old Bridge terlihat dari kejauhan

Tepian sungai dengan perahu wisatanya

Nah kelihatan menara jembatannya lagi direnovasi ya

Kastil Heidelberg terlihat dari jembatan. Sebelumnya kami berada di kastil yang ada di atas bukit itu.

Dari kawasan kota tua, saya berjalan menuju Old Bridge atau Jembatan Karl Theodor yang umumnya dikenal sebagai Jembatan Tua (Alte Brücke), yakni sebuah jembatan lengkung yang menghubungkan Kota Tua dengan bagian timur distrik Neuenheim di tepi seberangnya.

Jembatan yang ada saat ini, terbuat dari batu pasir Neckar dan merupakan jembatan kesembilan yang dibangun di lokasi tersebut, dibangun pada tahun 1788 oleh Elektor Charles Theodore, dan merupakan salah satu landmark dan tujuan wisata paling terkenal di Heidelberg.

Mirip Charles Bridge yang ada di Praha, minus patung aja.

Meskipun Jembatan Karl Theodor selesai dibangun hampir 250 tahun yang lalu, usianya masih muda dibandingkan dengan usia Heidelberg. Julukan “Jembatan Tua” berasal dari pembangunan Jembatan Theodor Heuss pada tahun 1877 (yang saat itu dikenal sebagai Jembatan Friedrichs).

Sejak abad ke-13, telah terdapat delapan jembatan di lokasi tersebut. Nah, jembatan yang ada saat ini dibangun di atas fondasinya. Gerbang jembatan di ujung selatan jembatan juga berasal dari Abad Pertengahan. Saat saya ke sana, gerbang jembatan ini tengah direnovasi. Dan sekarang sudah selesai dan menambah kecantikan jembatan ini.

Banyak kafe di sekitaran Sungai Neckar

Halaman rumahmu terparkir motor bebek? gak main sih kalau di Heidelberg yang terparkir kapal!

Olahraga langsung di sungai. mantul!

Saya ingat, saat berada di jembatan ini pula saya mengontak keluarga di rumah lewat video call. Di satu sisi, kami ingin mengabarkan keadaan kami, di sisi lain, saya ingin memamerkan ke mereka kalau kami udah tiba di Jerman. Sisi pamer ini lebih ke keponakan sih haha, sebab saya ingin kelak mereka bisa berkelana lebih jauh ketimbang om-omnya ini.

Begitu selesai, hari sudah siang. Kami harus cari tempat makan. Sambil berjalan melalui sisi sungainya, saya melihat rumah-rumah mewah berdiri di pinggir sungai sambil membayangkan betapa mahalnya rumah-rumah itu haha.

Ah, sangat nggak menyesal memilih Heidelberg di kedatangan perdana di Jerman. Walaupun saat berpindah dari kota Jerman ini saya harus dibentak-bentak oleh petugas stasiun di Jerman dan kaki saya bengkak karena terperosok di peron kereta. Jelas ada beberapa kota lain yang juga saya incar. Semoga ya nanti bisa kembali ke Benua Biru dan berkeliling lebih lama. Syukur-syukur bisa tinggal permanen hehe.

57 komentar di “Kepincut Heidelberg Sejak dari Alam Bawah Sadar!

  1. Ommm, ke blogmu ini mataku di manjakan sama visual foto-foto yang bikin aku pengen ke Jerman. Hahahaha…Meski kotanya kecil, tapi fasilnya itu udah modern dan akses kemanapun bener-bener mudah. Kotanya juga bersih banget. bagus buat paru-paru… Hahaha.. 😀

    Terus ya, aku kok familiar dengan kota heidelberg. Pas kuingat lagi, ternyata aku ingat itu nama mesin cetak yang pernah ada di museum tempatku kerja dulu.Keren banget om, perjalananmu kali ini. 😀

  2. mas, kamu beruntung bangettttt ketemu Ama si kakek baik hati ituuuu. Jarang2 memang orang Jerman ramah hahahahahaha.

    Walaupun aku td sempet seneng pas si kakek excited waktu tahh kalian dr Indonesia, eh ternyata Krn anaknya tinggal di Malaysia hahahahha. Gapapalah yaa, tetangga juga 😅.

    Ini kotanya memang cantiiiiiiik. Ga rugi sih datang ke sini mas. Lagian Berlin biasa aja 🤣. Aku kalo ada pilihan juga lebih milih kota yg lebih tenang kayak Heidelberg ini. LBH cocok buat liburan. Td aku sempet baca juga tulisan lain yg tentang kejerambab di celah peron dan kereta. Duuuuh kebayang sakitnya 😦

    tp setelah baca cerita mu, kayaknya aku JD males ke eropa kalo mandiri berangkatn nya hahahahaha. Pening urusan bus dan lainnya. Makanya lebih prefer ntr Ama travel aja lah 🤣

    • Haha ya, atau bisa pakai kereta yang katanya lebih pasti. Tapi kereta di Eropa apalagi di Jerman terkenal suka lelet juga katanya. Pernah liat beberapa konten yang bahas soal itu. Aneh dan kaget juga soalnya kalah sama Indonesia apalagi Jepang.

  3. Baca tulisanmu ini kok aku kayak ngerasa nemuin ‘sisi lain’ dari negara Jerman ya mas. Atau ini sekedar jackpot belaka? hahaha. Mulai dari ketemu bapak2 tua yang ramahnya bukan main, sampai mbak-mbak penjual tiket yang rela belajar bahasa Indonesia. Agak bedaa aya vibesnya dibanding stigma orang2 europ yang agak selfish dan kurang ramah dalam pikiranku.

    Funicularnya bagus mass, bentuknya modern dan viewnya pun indah banget. Gak papa sih aku juga rela keluar uang kalo viewnya secakep itu mas. Bener-bener seisi kota keliatan banget yaaa.

    Vibes nya kayak slow living gitu, hihihi

    • Aku harus lebih banyak berkunjung ke kota-kota lain, kalau udah lebih dari 5 kota bakalan enak kasih kesimpulannya nih haha. Vibes Eropa emang slow living/laid back banget. Itu yang enaknya.

  4. Keren banget Heidelberg dibelah oleh sungai dan sungainya juga bersih ya. Bisa puas jalan-jalan di kota yang cantik. Apalagi ada kampusnya juga, suasana mendukung untuk belajar.

    Aku tuh suka lihat kota-kota di eropa sambil berdoa semoga Saladin bisa kuliah di salah satu kota di sana. Tapi dia belum belajar bahasa Jerman euy

    • Kagum sama jembatannya, masih bagus aja ya ampun walaupun usianya udah tua juga. Beda ma jembatan dalam negeri yang dibangun dengan dana korup udah ambruk duluan #eh

      Jembatannya melengkung indah dan sepanjang itu bener2 jadi landmark kotanya. Udah langsung terpampang jelas menghubungkan dua area dan berdiri gagah di atas sungai yang airnya juga terjaga kebersihannya.

      Pemerintah sana juga aktif melakukan perawatan dan renovasi ya. Mencegah sebelum kejadian namanya 😀

      Hehe anak2ku juga lagi suka2nya belajar bahasa asing lain selain Inggris mbak biasanya dari duo linggo. Aamiin moga2 kesampaian ya anak2 kita merantau kuliah dan kerja aja sekalian di LN khususnya Jerman.

  5. Setiap baca tulisan omndut seperti kita sedang belajar sejarah dengan bonus anema macam foto yang menarik hati…selalu suka dengan sejarah2 eropa yang sepertinya sampai sekarang masih tterjaga apalagi baca pas museum apoteker itu keren looo masih tersimpan tong obatnya juga hehe…

    Beruntung ya om dipertemukan dengan kakek sehingga bisa ekplorasi gereja yang belum tentu bisa kita masuki kalo sedang sendiri…

    Namun sayang endingnya kok ada semacam kecelakaan kecil yaa tapi semoga tidak merubah kesan kota heidelberg yang cantik ini 🙂

  6. Aku termasuk yang nggak bingung sih kalau ada yang nyebut Heidelberg 😄
    Udah tahu dari lama banget. Kalau misal dulu pas masih muda ada yang nanya, “Mau tinggal dan kuliah di mana kalau di Jerman?” pilihanku pasti antara Heidelberg atau Göttingen. Soalnya dua kota ini memang udah identik banget sama dunia pendidikan. Kampus-kampus tua yang ternama juga ada di sana semua. Kayak Heidelberg University itu berdiri sejak 1386. Tuir banget kan.

    Sepupunya Alief (ponakanku dari adiknya Mas Arif) dulu juga sempat galau milih antara dua kota ini waktu mau kuliah ke Jerman. Akhirnya dia mutusin kuliah matematika di Georg-August-Universität Göttingen. Wkwk jauh banget belajar matematika sampai ke sana. Kalo kampus ini masih lebih muda, sejak tahun 1737.

    Tulisanmu ini lengkap banget, Yayan. Foto-foto dan informasinya juga keren dan bisa banget bikin pembaca ngebayangin suasana klasik dan tenangnya Heidelberg. Semoga yang belum tahu jadi makin kenal sama kota ini, dan yang udah lama ngebet pengen ke sana, semoga dimampukan buat lihat langsung keindahannya. ❤️

    • Wah beruntungnya bisa belajar di salah satu kampus terbaik dan tertua di dunia. Siapa tahu nanti Alief juga nyusul sepupunya kuliah di Eropa ya mbak, walau mungkin beda kampus. Atau di negara lain kayak Amerika Serikat juga boleh, biar Alief makin mendunia amiiiin.

  7. Aamiin 😇🙏 ku bantu doakan semoga harapannya untuk kembali jelajah benua biru bisa segera tercapai pun dengan bisa tinggal di sana, it’s oke banget. Mulai dari harapan, afirmasi positif dan semoga terwujud.

    Takjub sih sama hasil jepretannya. Beneran cakep semua. Secara daku suka sekali jelajah area kota tua. Banyak bangunan bersejarah yang memikat mata dan kisahnya pun selalu semenarik itu.

    Bertemu dengan kakek tua yang baik hati, sungguh sebuah anugerah sekali ya. Di negeri orang, ada yang menyambut sedemikian ramah. Pastinya ini berkat kebaikan mas Har ketika menerima tamu di Palembang. Sehingga dibalas dengan kebaikan yang indah.

    Lewat tulisan ini, rasanya beneran di ajak jelajah dari satu bangunan ke bangunan lainnya. Menangkap ilmu juga terkait sejarah dan detail lainnya. Terima kasih ya sudah bercerita terkait perjalanan selama di Heidelberg.

    • Makasiih mbak Lala.
      Aku kebantu banget sama info di wikipedia dan situs penjunjang lain. Ya, sambil nulis, aku juga baca dan jadinya terinfokan hal-hal yang mungkin saat aku datang ke lokasinya malah nggak/belum tahu 🙂

  8. eh masa itu halaman buat jemur cucian? Deeuh kebayang dah, kalo pas angin kenceng bakal kayak apaan itu baju beterbangan kudu punya jepitan, wh tapi jepitannya impor duu dari sini yak hehe. 

    Tadi pas lihat foto funicularnya yang masih dalam goa (bukan sih itu, atau bawah tanah kayak MRT di Jakarta ya?) dalam benak saya yang terlintas adalah momen Harpot yang lagi diajak goblin ke gringgots buat ngambil uangnya 😄

    • Haha ya jemurannya terbang ke mana-mana kali ya. Untuk funicularnya emang “jebol” bukit itu mbak. Dibilang goa, ya bisa juga sih ya haha

  9. Wah, kakek itu baik sekali mas, mau meluangkan waktu buat nemenin bahkan mengusahakan agar bisa masuk ke dalam gereja. Dan memang jarang2 loh orang Jerman seramah itu sama orang asing. Kalau ketemu yang baik, memang baik banget. Mungkin itu yang namanya juga semesta mendengar kita yang ingin menikmati indahnya Heidelberg ya. Jadi datanglah bantuan sehingga bisa menikmati kota tersebut.

    • Mungkin dia terkenang dengan Malaysia yang gak beda jauh sama Indonesia 🙂 dia suka dengan keramahan orang-orang ASEAN dan berusaha pay it forward kepada kami. Alhamdulillah.

  10. Sepertinya Heidelberg memang memanggilmu ya, terbukti disediakan kakek yang baik hati. Bukan suatu kebetulan kalau beliau salah satu pengurus gereja sehingga dikau mendapatkan kemudahan mengenal lebih dekat gereja itu.

    Selain tulisanmu yang memang selalu mengajak hadir disetiap sudut kota itu, aku selalu terpesona dengan foto-fotomu. Kali ini foto yang judul “Alun-alun Heidelberg dan gereja roh kudus” Cakep banget.

    Eh gimana, mau menetap di Jerman? aku aminin yak, dan juga ponakannya bisa lebih jauh berpetualang dari om-omnya.

    • Mau banget. Nggak di Jerman juga gakpapa, asal bisa #KaburAjaDulu hahaha. Soal ponakan, baru Minggu kemarin menempuh pendidikan di kepolisian, kayaknya nanti dengan statusnya itu akan susah untuk berpetualang jauh. Semoga ponakan lain ada yang bisa berjalan jauh lebih banyak ketimbang omnya 🙂

  11. Auto mengaminkan pernyataan terakhir, ihihi. Anw, agak salfok tadi sama nama host couchsurfingnya, Armin, jadi inget Attack on Titan kan, ahaha. Latar anime itu juga Jerman-jerman gitu sih yaa.

    Terus sepanjang baca aku kepikiran, ini nulisnya berapa lama sampai bisa menceritakan sejarah setiap tempatnya sedetail itu, salut dan belajar banyak nih aku mas.

    Aku juga takjub dengan pemandangan dan foto-foto yang diabadikan. Kayak tersampaikan aja om Nduut ini bener-bener kagum dengan Heidelberg ini dan seneng banget bisa mampir ke sana sampai cerita sepanjang ini gak ada habisnya. Bertemu lelaki tua di tram itu jadi berkah tersendiri ya aku rasa. Karena dengan begitu jadi punya guide gratis yang akhirnya bisa membawa ke Church of the Holy Spirit, bahkan sampai masuk ke dalamnya karena beliau kenal dengan pengurus gerejanya.

    Oiya, ini dari pos pertama tempat funicularnya berhenti sampai ke pos kedua menuju Königstuhl tuh emang agak jauh ya? Memungkinkan gak sih kalau dari kastil kita lanjut ke sana?

    • Mungkin aja mbak. Tapi harus beli tiket lagi sebab tiket yang aku beli hanya untuk sampai ke pos pertama aja.

      Soal nulis, kebantu sama wikipedia untuk info-infonya haha, soal jalanan ceritanya, kebantu sama foto-fotonya. Dan tinggal membangkitkan kenangan lagi saat foto-oto itu diambil 🙂

  12. Ohemji keren amatsii.. Jadi ngebayangin klo punya rumah di sana lalu depan rumah parkir kapal motor wkwk. Di Heidelberg bangunan tuanya masih terawat banget ya mas, padahal dari tahun 1600 1700an. Bikin melongo aja krn kagum sampe ke jembatan lengkungnya yg cakep, Makasih ya udh diajak jalan ke Jerman

  13. saya juga awalanya tidak tahu kita Heidelberg ini di mana Mas. Saya malah lebih tahu Frankfurt yang terkenal dengan festival bukunya.

    Dan alamak.. kota Heidelbarg ini cantik dan indah sekali. Dibelah dengan sungai Neckar. Tipe saya banget ini yang suka juga Dnegan bangunan tua yang mememosa. Saya sungkem pada kakek yang super ramah. Dan Mas Har beruntung sekali bertemu Dengan beliau. bisa Masuk ke gereja langsung dan malah liat permainan pianonya. Pokoknya jalan-jalan yang memanjakan mata dan hati. Lihat kastil, pengin merasakan berada di sana juga. Semoga saya bisa mengunjungi kota Heidelbarg yang cantik ini.

    • Iya bener, gak hanya diajak masuk ke dalam tapi diperlihatkan atraksi bermain piano dan dikenalkan dengan pengurus gereja lain yang ramah-ramaaah banget.

  14. Keperosok di peron kereta??Duuh, huhuhu.. kayaknya mereka lebih ke khawatir yaa.. tapi ala ala emak Jawa.. kayak yaang “HP terooosss..”

    Gitu gasii?

    Bahasa Jerman ini luar biasa ya…Rasanya ingin sekali mendengat penutur aslinya melafalkan nama-nama kota dan tempat yang omnduut tulis.

    Menarik dan terdengar klasik.Persis seperti kota Heidelberg yang indah.

    Kastilnya mashaAllaa.. itu sekali sentuh apa gak auto BOOM??Hehhee.. ga gitu juga yaa.. tapi pemerintah kota Heidelberg apa gak ingin memugar ulang gitu??

    Warnanya so classy dan sempet kucek-kucek mata waktu dibilang “halaman ini digunakan oleh pengawas untuk menjemur cucian”.

    Hah??Ngang ngong bet akutuu.. hihihi.. mang dipikir orang Jerman ga nyuci baju apa yaakk??

    Yakaliii yaa.. halaman yang pating crentel cuma ada di Indo.

    Btw, aku jadi tertarik belajar berbagai bahasa yaa..Syapa tau bisa kayak si mbak penjaga funicular yaa.. bikin takjub!

    Kayaak.. kudunya turis indo yang ke Heidelberg gak banyak-banyak banget juga sih yaa.. tapi dia bisa. How amazing is tht!!

    • Haha soalnya situasi saat itu lumayan bikin degdegan karena takut ketinggalan bus. Dan, bisa dibilang aku lumayan sering jatuh pas traveling. Ada-ada aja emang berbakatnya kok malah jatuh lol.

      Soal memugar ulang ntah ya, kayaknya memang sengaja dibiarkan begitu sebagian bagian dari sejarahnya. Tapi area lainnya (yang jadi museum) itu sudah dipugar.

      • Jumlah penduduk Heidelberg yang gak banyak ituu.. rasanya di sepanjang perjalanan omnduut kok ketemunya orang tua melulu yaa..

        Hehehe.. apakah karena office hour?

        Pemandangannya Heidelberg memang menawaan sekalii.. terutama kalau uda melihat sunset kali yaa.. di atas Old Bridge.

        Aah.. ingin ikutan berlama-lama di Heidelberg.
        Alhamdulillah, cuacanya juga pas banget yaa.. Lagi gak dingin…

  15. Saya pertama mampir pakai hape. Tapi ternyata komen saya ada terpotong. Makanya saya mampir lagi pakai laptop. Dan wow… keindahan kita Heidelberg ini semakin jelas terlihat. Saya semakin pengin segera ke sana menyusuri setiap sudut kotanya sampai ke kastil. Dan memang saya baru tahu kita Heidelberg ini, Mas. Saya malah lebih tahu kota Franfurt karena ada pameran buku anak internasiol

    • Ah bener, Frankfurt Fair itu terkenal banget. Aku juga tahunya dari bukunya Trinity dan pengen juga bisa berkunjung dan melihat langsung pameran bukunya suatu saat nanti. Walaupun itu sebetulnya pameran yang mempertemukan antar penerbit untuk pembelian hak terbit gitu katanya.

  16. Haloo MaaasWaaaah sebetulnya saya baru kali ini secara langsung lihat foto foto kota Heidelberg…Artistik banget ya kotanya. Selain bersih, rapi, arsitekturalnya khas perpaduan peninggalan gaya Gothic, Renaissance, dan Baroque, seperti kebanyakan daerah Eropa lainnya…Dari tulisan Mas ini pertemuan sama sang Kakek tuh menurutku heart warming banget sih..

  17. Heidelberg, ya ampun lidahku belibet haha. Tapi kotanya sukses bikin jatuh cinta, malah jadi ngeskip ibu kota negaranya 😀

    Ada kastil tua tapi dengan fasilitas modern yang dirancang tetap ramah untuk bangunan aslinya sehingga wisatawan pun nyaman berkunjung ke sana.

    Mungkin ada bangunan tidak direnovasi penuh karena biaya pemeliharaannya juga sepertinya gak murah ya. Bangunan yang dibangun sejak 1200an pastinya sekarang ringkih dan mungkin juga butuh waktu utk renov total perlu penelitian atau gimana supaya bisa tetap mempertahankan struktur aslinya.

    Oh ya kalau struktur rusak gitu biasanya karena apa ya? Apa tanahnya gerak atau emang pondasi awal tidak bisa diselamatkan?

    Wah ada museum farmasi? Apa di sana ada sekalian kliniknya ya? Ngebayangin pengobatan zaman dulu dengan segala keterbatasannya pasti gak mudah.

    Luar biasa afirmasi bisa membawa ke kota ini. Mulai sekarang aku jg kyknya mau baca buku2 traveling ah kali semesta juga bisa bawa ke sana hehe, Krn dari dulu selalu mengagumi Jerman, lbh sering nonton YT sih aku 😀

    • Rusak karena perang dan bencana alam mbak, dan di dalamnya nggak ada kliniknya, cuma ada museumnya aja. Tapi emang cakep ya, gak habis pikir ada museum farmasi menyatu sama benteng. Biasanya kalaupun museum, ya museum biasa aja nggak spesifik bahas hal-hal berhubungan dengan farmasi hwhw.

      Semoga Mba April berkesempatan main ke Heidelberg juga yang namanya blibet disebut tapi cakep banget hwhwhw

  18. jalan-jalan ke Eropa itu menyenangkan, bikin gak mau pulang. Betah yaaa. Sya juga pas ke Praha dan Viena waduuuh seru banget jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat wisata. Heidelberg ini di Jerman yaa,,,,semoga kesampaian lagi jalan jalan ke Eropa sana.

    • Keteraturan dan kalau suka bangunan tua bersejarah emang pas banget berkunjung ke Heidelberg. Aku juga kangen main lagi ke Praha dan Wina mbak 🙂

  19. Satu gereja untuk dua agama? Wow, andai berlangsung sampai sekarang pasti indah banget ya?

    Apalagi kalo bangunan itu dipakai untuk Islam di hari Jumat dan Katolik (atau Kristen) di hari Minggu, pastinya bakal jadi panutan toleransi beragama.

    Baca tulisan tentang Jerman, jadi ingat teman-teman blogger yang bersuamikan orang Jerman (salah satunya Mbak Gana), kok gak pernah eksplor keindahan ini ya? Sayang banget.

    • Bener Ambu, indah sekali. Somehow juga sama kayak masjid “milik” NU atau Muhammadiyah. Yang, di waktu-waktu tertentu akan terbuka dan tertutup jika melakukan ibadah dengan waktu yang berbeda. Andai bisa dibuka 22nya akan sangat indah.

      Tentang Mbak Gana, mungkin belum sempat main ke Heidelberg.

  20. Selalu menyenangkan kalau main kesini pas ceritain traveling. Serasa beneran ikut berpetualang. Apalagi buat para keponakan (yang seinget saya rame banget karena berasal dari keluarga besar), pasti jadi inspirasi mereka banget buat menjelajahi dunia.

    Ohya, tak sekedar berkunjung ke Kastil, ada museumnya juga. Dobel senangnya berwisata sekaligus dapat banyak pengetahuan baru

  21. Kota tua yang begitu sarat dengan kisah disetiap sudutnya , aihh jadi pengen juga mengunjungi Heidelberg, senang deh dengan arsitektur klasik khas Eropa, amazing banget.

  22. MasyaAllah, aku benar-benar terpukau dengan cerita dan foto di artikel ini mas. Kesan klasik tapi begitu menawan. Ahh….. jadi pengen mengunjungi Heidelberg juga nih jadinya

  23. senangnyaaaaa aku baca tulisannyaaaa. berasa langsung dibawa jalan-jalan di Eropa. foto-fotonya bikin ngiler.

    Heidelberg aku belum pernah baca sebelumnya. Jerman yang kukenal paling ya bola, dulu selalu pilih Jerman tiap piala Eropa, hehe. sama musik. Hamburg dari kisah The Beatles, dan Leningrad dari lagu Billy Joel. kalau singgah ke dua kota itu titip foto jejak mereka, ya. The Beatles banyak jejaknya. kalau Joel mungkin enggak. apa ya jejaknya? plang nama gitu… perpindahan dari Leningrad ke Saint Petersburg. mau, yaaa… biar berasa ikut bertualang.

  24. Baru dengar nih kota di Jerman bernama Heidelberg. Kotanya amat indah rupanya dengan sejarah yang kental ya Om.

    Dari foto-foto yang ada sih kelihatan tenang sekali berada disana. Banyak pohon, ada sungai, bukit dan rumah-rumah mewah. Asik kayaknya nih.

    Teddy pribadi mungkin dapat memertimbangkan untuk kesana bila ada kemampuan.

Jika ada yang perlu ditanyakan lebih lanjut, silakan berkomentar di bawah ini.