Pelesiran

Menikmati Sore di Volendam: Desa Nelayan Cantik di Belanda

Di hari pertama tiba di Amsterdam, kami –saya dan adik, langsung tancap gas keliling ke beberapa objek wisata. Asyiknya lagi, mostly tempat yang kami datangi ini gratis! Cuma butuh ongkos bus aja untuk menuju ke sana. Nah, jika di pagi hari kami sudah melihat Kincir Angin di Zaanse Schans secara langsung, lepas tengah hari, kami meluncur ke Volendam, desa nelayan yang terletak di 20 km dari Amsterdam, tepatnya di Noord-Holland.

Walaupun jalan-jalan di suhu dingin musim gugur, namun suasana terasa tetap hangat sebab kami ditemani Inna & Mas Agung, dua mahasiswa Phd yang bersekolah di Belanda. Mereka juga secara tidak langsung jadi guide dadakan dan menjelaskan berbagai informasi seputar tempat yang kami datangi. Wah, beruntung  banget, kan?

Sekilas Tentang Volendam

Tadinya, Volendam berlokasi di sekitaran Pelabuhan Edam yang berada tak jauh dari mulut teluk IJ. Namun, pada tahun 1357, penduduk Edam menggali kanal yang lebih pendek menuju Zuiderzee yang pelabuhannya terpisah. Tak lama, petani dan nelayan lokal menetap di sana dan membentuk komunitas baru hingga yang kita kenal sekarang sebagai desa Volendam/Vollendam.

Deretan rumah merangkap toko yang ada di Volendam

Kata Volendam sendiri berarti “bendungan yang berisi”. Tempat ini populer dan pada awal abad ke-20 dijadikan sebagai tempat peristirahatan para seniman, misalnya saja Picasso atau Renoir yang cukup lama menghabiskan waktu di desa cantik ini. Untuk ukuran sebuah desa kecil (hanya 24,79 km persegi), Volendam dihuni oleh sekitar 28 ribuan orang dan mayoritas penduduknya menganut agama Katolik Roma. Banyak misionaris dan uskup yang dibesarkan di sini.

Tiba di Volendam

Bus yang mengantarkan kami dari Amsterdam Centraal tiba di halte Volendam setelah menempuh perjalanan sekitar 20-30 menit. Dari halte, kami masih harus berjalan kaki ke kawasan utamanya yang yang bernama Haven. Saat menuju ke sana, kami melewati perumahan warga yang berpasak rendah (umumnya terdiri dari dua lantai) dan unik. Mayoritas, rumah-rumah di sana bentuknya seragam dan juga dicat dengan warna-warna yang tidak mencolok.

Yang saya suka lagi, umumnya jalanan di Eropa itu bukan berupa aspal, tapi dibuat dari deretan batu konblok sehingga terasa berornamen, termasuk yang ada di Volendam ini.

Melewati rumah warga demi mencapai pusat wisatanya

Berjalan sebentar, kami sudah tiba di kawasan utama wisatanya –Haven. Di sini, mulai terlihat wisatawan dengan segala aktivitasnya. Ada yang duduk santai di bangku-bangku luar kafe, atau sekadar melihat deretan cinderamata yang dijajakan oleh pegadang souvenir. Wah, indahnya tempat ini. Baru semenit berada di sana, saya langsung betah dan membayangkan bisa tinggal dalam jangka waktu yang panjang hahaha.

“Kami masuk dulu ke museum, ya!” izin Inna. “Kebetulan kami berdua punya kartu khusus untuk masuk ke semua museum yang ada di Belanda,” sahutnya lagi.

Nah, bagi pecinta museum dan memang sengaja mau museum hoping selama di Belanda, boleh banget tuh mempertimbangkan untuk beli kartu pass khusus. Harganya memang mahal, tapi sepadan dengan pengalaman yang ditawarkan.

Perahu nelayan untuk menangkap ikan

Hi Camar

Ari tengah melemparkan potongan roti ke burung-burung

Berhubung saya dan adik tidak punya –dan tidak ada budget pula untuk beli tiket hehe, kami berpamitan dan menunjuk sebuah dermaga sebagai titik temu untuk kami nanti.

“Saya tunggu di sana, ya?” ujar saya sambil menunjuk Havendijk yang berarti port of Volendam.

Tiba di sana, terdapat beberapa kursi santai yang dapat digunakan pengunjung untuk menikmati hamparan laut lepas di sisi depan, atau deretan rumah tradisional Volendam di sisi belakang. Saat duduk, saya melihat ada banyak burung camar yang terbang mendekat. Saya jadi teringat, kami sempat membeli satu krat roti tawar di London sebelum menuju ke Amsterdam. Dan, unfortunately rotinya kurang enak dan masih bersisa.

Haven, kawasan utama di Volendam

Sebuah kapal lagi masuk ke dermaga

Inna dan mas Agung yang dulu masih pacaran. Sekarang udah jadi pahmud dan mahmud.

“Kasih ajalah tuh roti ke burung,” sahut saya ke adik.

Roti itu kemudian dipoting kecil-kecil dan dilemparkan ke langit. Seketika, para camar akan terbang memperebutkannya. Semakin banyak burung yang mendekat, semakin semangat kami berdua melemparkan potongan-potongan roti itu ke mereka. Tak lama Inna dan Mas Agung datang dan ikut bergabung bersama kami melihat keriuhan burung-burung yang hidup sehat di tempat sebaik itu. Beruntung sekali mereka.

Tokoh-tokoh Terkenal di Foto Studio

Beranjak dari dermaga, kami berjalan ke sisi barat menuju deretan rumah-rumah khas lainnya. Saya meminta waktu untuk berfoto di halaman rumah orang itu haha. Sayang juga kalau dianggurin soalnya cakep banget rumah-rumahnya.

Melewati hotel yang berada di pinggir laut. Ntah berapa harga kamarnya satu malam 🙂

Numpang foto di rumah orang hwhw

Bagian depan rumahnya langsung laut gini. Gimana gak betah, coba?

Dan, begitu selesai, kami mengambil jalan yang berbeda, kali ini melintasi deretan pertokoan yang lebih ramai. Saat melewati sebuah studio foto, saya tertarik melihat etelasenya yang penuh dengan contoh foto pengunjung yang mengenakan pakaian tradisional khas nelayan tempoe doloe.

Sederetan tokoh terkenal saya lihat fotonya dipajang di sana, dan sebagian besar mereka datang dari Indonesia, seperti halnya Gus Dur, Megawati, Ruben Onsu, Andy F Noya hingga poster film Rano Karno yang terbaru.

Agak nyesek ya liat fotonya wakakak

Hanya bisa memandang haha. Belanjanya nanti di negara terakhir aja.

Tokoh terkenal asal Indonesia banyak dipajang. Maklum, turis asal Indonesia kan suka foto 😀

Atap toko yang ada di Volendam

Beberapa bulan sebelum berangkat ke Eropa, saya memang sempat menonton filmnya dan di sana diperlihatkan adegan kocak saat Mandra dan Doel mengenakan pakaian tradisional itu. Sayang, sekali lagi dikarenakan budget terbatas, saya dan adik memutuskan untuk tidak mencoba berfoto di sana. Biayanya cukup mahal, yakni 15 euro atau sekitar 250 ribu rupiah perorang.

Kisah Jendela Tanpa Tirai

Setelah cukup puas berkeliling, kami memutuskan untuk kembali ke Amsterdam. Berhubung perut masih kenyang (dan lagi-lagi demi penghematan haha) karena ditraktir kebab berukuran besar sebelum berangkat, saya melewatkan kesempatan untuk mencicipi ikan herring, ikan mentah yang jadi khas Belanda.

Kami sengaja mencari jalan yang berbeda saat pulang. Saat inilah Inna bercerita banyak soal konsep “not owning curtains” yang diterapkan di rumah-rumah di Belanda terutama Volendam. Rupanya, penduduk Belanda lebih menyukai jendela yang transparan tanpa sekat tirai. Bagi mereka, tidak ada yang perlu disembunyikan dari isi rumah mereka. Keren!

Salah satu kedai yang menjual ikan herring

Bangunannya umumnya tanpa penutup jendela

Rumah-rumah di Volendam

Rumah tanpa privasi. Jikapun ada tirai, tidak menutup penuh seperti ini.

Uniknya, jika di rumah tersebut tengah menyambut kedatangan anggota keluarga yang baru lahir, biasanya di jendela akan ditempatkan semacam spanduk/ornamen berwarna biru jika bayi mereka laki-laki, atau berwarna pink jika bayi mereka perempuan.

Seingat saja, di salah satu rumah, kami sempat melihat langsung bayi-bayi yang baru lahir itu ditempatkan di dekat jendela sehingga semua pejalan kaki yang melintas dapat melihat dengan jelas tanpa adanya penghalang.

Menarik banget, ya!

Sekali lagi, kayaknya saya rela deh menetap di desa nelayan secantik Volendam ini. Hehehe.

52 komentar di “Menikmati Sore di Volendam: Desa Nelayan Cantik di Belanda

  1. Wah ada Pelabuhan Edam. Apakah keju edam berasal dari daerah sana? (maaf komen OOT, penasaran saja).

    Perahu nelayannya cantik.

    Bentuk atap tokonya juga unik banget.

    Eh maaf penasaran saja, kalau pas traveling gini bisa take photos berapa kali hehhe? Karena di sana kan serba cantik jadi pengen mengabadikan dalam foto.

    • Iya betul mbak. Pusat pembuatan keju ada di Edam, sayangnya aku gak sempat ke sana. Kalau jalan, ambil fotonya di satu titik bisa berkali-kali haha. Tapi kadang juga cuma 1 kali, tergantung momen saat itu aja mbak 🙂

  2. Aduuh..cantik2 fotonya.. Berharap suatu saat kubisa ke sana pula.. Aamiin…Terima kasih sdh berbagi pengalaman mengasyikkan ini ya mas.. Mengingat ada salah satu tante yg hidup di sana namun kami sudah ‘kepaten obor’ (tdk tahu lagi kabarnya) sungguh berharap bisa menyambung silaturahmi lagi..

    • Amiin amiiin. Di 2016, aku komen yang sama juga di postingan temen. Aku bilang kepingin juga ke Volendam. Saat itu gak ada bayangan sama sekali beneran bisa ke sana 2 tahun kemudian 🙂

  3. belanda ini salah satu negara di eropa yang menarik untuk dikunjungi ya. Saya juga ingin ke sana, apalagi kalau lihat arsitektur bangunannya yang cantik-cantik begitu. bikin betah buat foto-foto. kayaknya saya pulang ke indo memory kamera bakal penuh deh

    • Apalagi ada sejarah kuat antara Belanda dan Indonesia ya mbak 🙂 bener, bangunan cantik khas Eropanya masih banyak dan mudah ditemui di Belanda.

  4. Sukaaaaaa, ya Allah JD pengen ke volendam :D. Nginep beberapa hari…

    Aku juga suka kalo jalanan itu pake konblok mas. Ntah kenapa rasanya JD kayak tempat wisata memang. Lebih rapi juga… Dan itu bentuk bangunannya unuk2 yaaa. Yg berjenjang mirip tangga aku sukaa banget.

    Btw, ngeliat rumahnya Deket bgt Ama laut, jujurnya aku lgs kebayang banjir rob hahahaha. Pas pasang airnya naik gaa :p. Trauma ama banjir rob di Pluit hahahha

    • Haha tapi itulah hebatnya Belanda ya mbak Fanny, mereka punya sistem sendiri untuk menangkal banjir. Konon konsepnya diterapkan di beberapa kota di Indonesia juga.

  5. saya nggak asing dengan kota Volendam ini, ternyata indah banget pemandangan dan suasananya. Apalagi tradisi tentang rumah tanpa tirainya, semoga suatu saat bisa berkunjung ke sana aamiin

  6. Bahkan rumah di sana nggak memakai tirai sebab ada alasannya. Nggak ada yang mereka rasa perlu ditutupi rupanya. Kalau malam bakalan bisa lihat pemandangan langsung ke luar tanpa perlu buka tirai juga dong.

    Pemandangan bangunan-bangunannya beneran cantik banget.

  7. Wah…iya, perjalanan ke Volendam yang katanya desa kecil, ternyata memiliki sejuta cerita menarik.
    Kebayang sama Orang Belanda yang tinggi-tinggi. Apakah mayoritas orang Belanda bisa berbahasa Inggris?

  8. Aaaa.. Terjawab sudah kenapa jendela rumah di rumah-rumah Belanda yang sering ada di tv itu selalu kelihatan lossss tanpa beban, eh, tanpa penghalang alias tirai.
    Dan yang saya suka dr kebanyakan rumah di sana, catnya senada warnanya. Kalem. Jadi makin terasa hangat nggak sih ya?

  9. Wah, omdut ceritanya seru sekali ya. Aku jadi penasaran untuk budget ke sini habis berapa mas? Mau dong kapan2 dibuatkan artikelnya soal itinerary kunjungan ke luar negeri. Hihu

  10. Pantesan yaaa, Picasso, Renoir bisa menghasilkan karya ciamiikkk
    ternyata rehatnya di tempat yg cantik ga ketulungan kayak beginiii

    aaakkk, aku berasa lagi ada di Belanda niih. Ambience-nya menarik bgt.
    Segala gundah gulana bisa terhempasss nih kalo cuss di sini

  11. #tos akupun sama
    hihihi ikutan, tapi setuju banget. Baca dari atas ke bawah, saya serasa ikut jalan-jalan di Volendam, ngasih makan burung dan mencicipi ikan hering.

    Berapa ya biaya hidup sebulan di sana ….hahaha, kalo terjangkau mau ah sebulan di sana, nyewa rumah dan bikin tulisan sampai puas

    #ngimpi 😀

  12. Melihat foto-foto ini membuat saya ingin segera berangkat ke Belanda deh,bang. Itu desa nelayannya jauh banget dengan yang ada disini ya. Seandainya kampung nelayan disini bisa cakep gitu kayaknya bisa jadi spot foto terus,ahhaha

  13. Belanda terkenal dengan kincir angin nya, etapi lihat dari spot foto desa nelayan keren banget ya, seandainya saja desa nelayan Indonesia seperti ini… Hmmm bisa jadi destinasi banyak pengunjung-nya

  14. MashaAllah. Rindunyo balik ke sini lagi Yan. Rumah dengan bata expose, bentuk dan warno yang hampir samo satu sama lain. Duduk-duduk di cafe yang nyempil sano-sini, terus dengeri suaro burung yang terbang bebas. Nikmat luar biasa itu.

    Beberapo waktu saat ke sini, ado floor artist yang bikin lukisan wajah di jalan-jalan berkonblok atau melukis alam di canvas persis di pinggiran pantai itu. Nonton mereka melukis bae rasonyo tenang nian.

  15. Wah, senangnya lihat foto-foto do Volendam. Cakep banget. Bakal betah kayanya di sini Kapan berkunjung ke Belanda, Kak? Tahun berapa maksud saya ke Volendam?

  16. Voeldam ini cantik banget y kak
    suasanya pedesaannya rapi dan bersih
    meski disebut desa nelayan, jauh dari kesan kumuh ya
    beda sama desa nelayan di Indonesia
    hehe

  17. Tak terasa baca artikelnya nyampe akhir tulisan. Seru ya sepertinya berkunjung ke desa nelayan ini. Saya suka banget dengan melihat burung2 camar di lautan. Kapan ya saya bisa ke volendam ini ya?

  18. Maksud bayi-bayi yang baru lahir ditempatkan di dekat jendela itu semacam kompor buat jomblo macam Yayan, biar buruan bikin juga hahaha
    Ado dak teraso jadi pengen cepet nikah biar cepet punya anak? Masak idak Yan. Kalu idak, udahlah dak usah lewat situ lagi kau tuh wkwkw

    cando Yan :))

    • Hasrat untuk berkembang biak itu yang selalu menggebu-gebu mbak. Sayangnyo cewek-cewek sekarang pinter. Mereka dak butuh cowok modal belagak bae. Eh eh. Bentar, cak ado yang salah komen aku ni hahahahahahahaha

  19. Waaa aku juga suka jalanan yang langsung bertemu laut tanpa pantai kayak gitu, mas.
    Mahal banget ya sewa bajunya haha, good choice uang sakunya nggak dihamburkan ke situ 🤣

    Hm, jendela tanpa tirai, kira-kira kalo mereka nganu diliatin juga nggak ya 😝

  20. Ping balik: Ada Banyak Kengerian di Jalanan Kota Amsterdam | Omnduut

Tinggalkan Balasan ke swastikha Batalkan balasan