Ada perasaan yang sulit dilukiskan tiap kali saya mulai menulis di blog dengan embel-embel judul “Di Balik Layar Pembuatan Buku.” Sebab, sebagaimana dua tulisan sebelumnya yang bercerita tentang proses lahirnya buku Jungkir Balik Dunia Bankir dan Modal Ngeblog Bisa Sampai Yurop, maka, dengan adanya tulisan baru ini, artinya saya tengah bersiap “melahirkan” satu buku lagi. Yang tentu saja dalam proses pembuatannya menghadirkan kisah yang sayang jika hanya saya simpan sendiri.
Meski sudah tergabung dalam beberapa projek antologi dan melahirkan dua buku solo, bagi saya, menulis tetap bukanlah satu hal yang mudah. Lha, rutin keluarin tulisan baru di blog aja butuh dorongan lebih, apalagi kalau mau menulis buku haha. Tapi alhamdulillah, akhirnya buku Yatra & Madhyaantar ini akhirnya terselesaikan juga, yeay!
Berawal dari Kompetisi
Menjelang akhir tahun 2020, ada sebuah komunitas yang mengadakan kompetisi menulis novel, esai/memoar dan kisah perjalanan. Kalau mau jujur, hadiahnya nggak begitu besar. Tapi, saya tetap tertarik ikutan karena naskah yang menang akan dibukukan. Deretan juri –yang sebagian karya mereka sudah saya baca, pun jadi nilai plus tersendiri karena mereka akan membimbing langsung para pemenang biar naskahnya semakin tjakep saat diterbitkan. Rasanya sangat membanggakan jika naskah saya dapat dibaca oleh mereka, orang-orang yang saya kagumi karya-karyanya.
Waktu pengerjaan naskah 3 bulan. Sayangnya, saya sendiri baru dapat informasi saat kompetisi sudah berjalan lebih dari 1 bulan sehingga kurang lebih hanya 2 bulan waktu yang tersisa. Mepetnya jadwal nggak membuat saya segera tancap gas. Biasalah ya, kerap terdistrasksi dengan kegiatan sehari-hari. Sehingga, singkatnya saya baru intens menulis itu akhir November sambil ketar-ketir apakah waktu yang tersisa ini cukup atau tidak.

Saya saat berada di Udaipur
Dibandingkan buku Modal Ngeblog Bisa Sampai Yurop yang saya tulis saat melawan depresi, alhamdulillah, naskah Yatra & Madhyaantar ini digarap saat fisik dan mental saya dalam kondisi prima. Walau begitu, bagi saya yang hanya punya waktu ngetik dari jam 9 pagi hingga jam 4 sore di sela jaga toko, tantangannya ya beragam juga hehe. Lagi asyik mainin keyboard, eh ada orang datang, trus kepending.
“Kenapa nggak ngetiknya di rumah?”
Nganu, saya nggak punya peralatan ngetik yang memadai di rumah. Ada sih laptop lungsuran adik, tapi kondisinya sudah sangat memperihatinkan. Ngetik satu huruf aja loadingnya sekian detik. Jadi, satu-satunya pilihan ya ngetik di toko.
Tepat sehari sebelum deadline dan pergantian tahun, naskah Yatra & Madhyaantar akhirnya selesai. Sebanyak 62.360 kata berhasil saya tulis. Itu tertuang dalam 222 halaman kertas A4. Ntah kalau dalam bentuk buku jadinya setebal apa. Yang jelas, saya merasa leluasa mengikuti lomba ini sebab tidak ada batasan maksimal halaman dalam persyaratannya. Hal ini bagi saya adalah satu kemewahan sebab, saya bebas menuangkan pikiran dan pengalaman saya pada naskah ini.
Tentang Yatra & Madhyaantar
Jika kalian menggunakan mesin penerjemah, dua kata dalam bahasa Hindi ini akan mudah diketahui artinya. Saya tidak akan menjelaskan hal itu di tulisan ini. Yang jelas, kisah perjalanan saya menembus belasan kota di India dalam dua kali perjalanan ke sana berhasil saya tuliskan. Sebagian kisahnya sudah saya ceritakan di blog omnduut ini, namun, sebagian besar lainnya belum, terutama perjalanan saya sendirian menjelajahi India di 2018 lalu yang saya ceritakan tuntas di buku ini.
यात्रा & मध्यान्तर
Saya menuliskan perjalanan itu dengan runut di Yatra & Madhyaantar. Berbeda dengan cerita di blog yang lebih menyorot highlight destinasi wisatanya, ada banyak kisah di balik perjalanan yang saya ceritakan lugas dan apa adanya di buku ini. Termasuk yang menyenggol hubungan saya dengan keluarga di rumah, yang belum pernah saya ceritakan sebelumnya di blog.
Terlepas dari hasil kompetisinya, saya begitu bahagia dapat menyelesaikan naskah ini. Bukan bermaksud mengecilkan 2 buku sebelumnya yang sudah saya tulis, namun, bak sebuah horcrux, baru di Yatra & Madhyaantar ini saya dapat mencurahkan sebagian besar jiwa dan emosi saya dalam bentuk tulisan yang saya harap dapat menjadi legacy nantinya.
Gagal di Kompetisi
Di kategori cerita perjalanan, ada 21 penulis lainnya yang mencoba peruntungan. Dibandingkan 2 kategori lainnya, jumlah ini paling sedikit. Sebagai informasi, yang menyetorkan naskah novel lebih dari 100 orang dan yang menyetorkan naskah esai/memoar sekitar 34 orang.
Saya lantas kepo dengan naskah yang ditulis oleh para kompetitor ini. Judul-judulnya menarik dan bikin penasaran. Sebagian besar nama penulisnya sudah tidak asing di dunia penerbitan. Mereka sudah menuliskan lebih banyak buku dan lebih aktif menulis jauh melebihi saya. Bahkan, ada yang profilnya muncul di wikipedia, wow! Apa lantas saya gentar? Oh tentu saja tidak. Menang-kalah itu perkara rezeki. Bisa menyelesaikan naskah Yatra & Madhyaantar saja saya bangga terhadap diri sendiri.
Sebulan kemudian, saat pengumuman nominasi pertama dimulai, ternyata tidak ada satu pun dari ke-22 naskah yang dinyatakan layak menurut juri. Terus terang saya kaget, jika pun naskah saya dinyatakan jauh di bawah espektasi para juri, bagaimana dengan naskah teman-teman yang lain? Apa iya nggak ada satu pun dari ke-22 naskah yang bisa tembus di penilaian pertama?

Potret saat mengunjungi Jantar Mantar di Jaipur
Bohong jika tidak kecewa, tapi untungnya saya sudah punya jam terbang yang cukup untuk mengelola rasa kecewa itu haha.
Gak perlu lama-lama bersedih, saya lantas menyemangati diri, “oke, karena semua naskah dianggap gak layak, itu berarti standar penilaian juri sangat tinggi untuk kompetisi ini.”
Dan, itu berarti bukan berarti naskah kami sampah! Hanya memang tidak cocok dengan standar untuk diterbitkan di penerbit tersebut. Tak mengapa, Harry Potter sebelum diterbitkan oleh penerbit Bloombury pun ditolak oleh 13 penerbit lainnya. Tapi lihatlah sekarang, rasanya belum ada novel yang sefenomenal dan sesukses Harry Potter, bukan?
Yatra & Madhyaantar memang gagal diterbitkan oleh penerbit yang menggawangi kompetisi menulis ini. Tapi, saya yakin naskah ini akan menemukan jalan dan “jodohnya” sendiri.
Berjodoh dengan Ellunar Publisher
Yatra & Madhyaantar kemudian saya tawarkan kepada Diva Press Group yang sudah menerbitkan 2 buku saya sebelumnya. Sayangnya, pandemi ini juga berdampak pada industri penerbitan. Banyak naskah yang kemudian dipending demi melihat perkembangan pasar terlebih dahulu.
Saya paham, apalagi naskah saya ini bisa dibilang ketebalan sehingga jika mau diterbitkan biaya produksinya pasti akan tinggi. Namun, setidaknya saya sudah menawarkannya karena sebagaimana janji saya terhadap diri sendiri, semua naskah yang saya tulis akan saya tawarkan dulu ke Diva Press karena penerbit ini sangat berjasa bagi saya. Jika kemudian Diva Press belum dapat menerbitkan, barulah saya tawarkan penerbit lain. Ibaratnya, saya ingin tumbuh bersama Diva Press sejak awal mereka memberikan kepercayaan sama saya hingga nanti-nanti.
Saya sempat melirik beberapa penerbit mayor lainnya. Tapi, ntah kenapa saya kurang bergairah mencari peruntungan. Ada satu projek buku lainnya yang sudah saya dan teman-teman kerjakan namun terbengkalai bertahun lamanya. Padahal, ini penerbitnya besar sekali. Pikir saya, “penerbit sebesar itu saja goyah…” jadi, saya merasa akan menghabiskan banyak waktu dan energi untuk melamar ke penerbit lain. Terlebih, sekali lagi, naskah saya ini kelebihan bobot ketimbang buku pada umumnya. Ketimbang khawatir ditolak, saya lebih khawatir lagi jika lamaran saya diterima, tapi saya harus diminta memangkas naskah itu lebih dari setengahnya.

Buku-buku yang diterbitkan oleh Ellunar. Untuk mengirimkan naskah, bisa cek ketentuannya di sini, ya!
Maka, saya putuskan untuk menerbitkan Yatra & Madhyaantar secara mandiri. Saya mulai mencari penerbit indie yang kredibel dan hasil garapannya bagus. Melalui beberapa kawan, saya mendapatkan beberapa nama. Namun, kemudian saya mantab memilih Ellunar Pulisher karena saya kira mereka dapat bekerja secara profesional. Gambaran ini terlihat dari sosial media mereka dan situs mereka yang informatif.
Kamis, 24 Juni 2021, saya mulai mengirimkan email pertama. Saya memperkenalkan diri sambil menginformasikan detil naskah yang ingin saya terbitkan. Email yang saya kirim dibalas 2 jam kemudian dengan detil biaya yang diperlukan untuk memproduksinya.
Wah, saya tidak berespektasi mereka akan membalas secepat itu. Tak hanya membalas dengan kata-kata normatif semacam, “Naskahnya akan kami lihat terlebih dahulu”, namun mereka langsung memberikan rincian perkiraan biaya produksinya. Dari sini saja saya semakin yakin jika proses penggarapan naskah saya akan berlangsung seru dan menyenangkan!

Email saya dibalas dengan cepat. Bravo Ellunar!
Kelebihan dan Kekurangan Menerbitkan Buku Secara Mandiri
Proses penggarapan Yatra & Madhyaantar dikomunikasikan sepenuhnya melalui email. Untuk yang nggak suka bertele-tele kayak saya, maka Ellunar ini semacam oase di gurun pasir. Mereka responsif menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan apa yang mereka komunikasikan sangat efektif.
Jika bicara tentang kekurangan menerbitkan buku secara mandiri, tentu saja dalam membiayai produksi. Saya harus mengeluarkan modal sendiri sejak awal. Beda jika diterbitkan oleh penerbit mayor yang semua biaya produksinya mereka tanggung. Selain itu, distribusi bukunya menjadi terbatas dan tidak terdisplay di toko buku. Tapi, dua kekurangan ini dapat saya maklumi.
Untuk membiayai produksi, saya merasa masih dapat saya handle. Toh jika akan dicetak dalam jumlah yang lebih besar, saya dapat membiayainya begitu pesanan dari para pembeli sudah dipastikan ada. Ibaratnya ya, walau buku ini kemudian hanya tercetak 1 buah saya dan itu untuk saya baca sendiri pun saya sudah senang. Naskah itu tidak akan menjadi sampah di folder komputer. Nah syukur-syukur jika ada satu-dua (atau 1000? Hehe amin) teman lain yang ingin membaca dan turut menyokong dengan cara memesan, wah tentu saya lebih senang lagi.

Kenangan saat mengunjungi Kashmir
Lantas, kelebihan menerbitkan buku secara mandiri terlebih di masa pandemi ini saya rasakan jauh lebih banyak. Mulanya, tentu saja naskah saya akan diterbitkan secara utuh. Nggak akan ada lagi ketakutan naskah itu akan dipangkas. Lalu, melalui kinerja tim Ellunar yang luar biasa, saya dapat memoles naskah ini sebagaimana yang saya inginkan!
Sesederhana saat saya ingin memasukkan 160 foto di dalam buku ini, penerbit Ellunar langsung menyanggupi! Saya kira hal ini belum tentu dapat saya dapatkan jika diterbitkan oleh penerbit mayor. Nah, dengan adanya foto-foto itu, naskah saya jauh lebih hidup. Pembaca juga dapat membayangkan dengan jelas sebagian besar tempat yang saya ceritakan di tiap-tiap halamannya.
Apa kelebihan lain dari menerbitkan buku secara mandiri? Tentu saja perihal keuntungan. Saya bebas menentukan harga jual setelah memperhitungkan biaya produksinya. Jika menerbitkan buku melalui penerbit mayor penulis dibatasi keuntungan dalam bentuk royalti (yang umumnya 8 sd 10% dari harga jual), dengan memproduksi sendiri tentu saja saya dapat mengatur berapa keuntungan yang ingin saya peroleh walau tentu dengan tetap mempertimbangkan daya beli masyarakat terutama di masa pandemi ini.
Yang saya suka lagi dari Ellunar, mereka bekerja dengan transparan. Proses penyuntingan dilakukan terbuka. Ini saya ketahui saat saya dikirimi berkas naskah di mana tiap-tiap halamannya saya tahu bagian mana saya yang diubah dan diperbaiki oleh editornya dalam hal ini dilakukan oleh Febriani Tabita.

Begini cara Febriani Tabita “membantai” naskah saya
Saat memeriksanya, saya jadi paham kata-kata apa yang saya tulis dengan tidak baku. Lalu, cara penulisan yang benar pun saya jadi banyak belajar saat melakukan proses dual control yakni memeriksa hasil kerja editor. Bagus dong ya, jadi ibaratnya kami saling back up untuk meminimalisasi kesalahan dan demi memaksimalkan naskah ini.
Lalu, apa nggak ada kendala sama sekali?
Oh ya tentu saja ada terutama di bagian sampul buku. Salah satu yang membuat saya memilih Ellunar ialah mereka sangat serius menggarap sampul. Silakan cek di instagram mereka di sini. Harus saya kasih pujian, mayoritas desain sampul mereka sangat menarik bahkan lebih bagus melebihi desain sampul buku di penerbit lain yang lebih besar.
Sayangnya, saya kecewa saat dikirimkan draft sampul Yatra & Madhyaantar karena jauh di bawah espektasi saya. Tapi belakangan saya menyadari bahwa saya juga turut andil dalam hal ini. Sejak awal saya hanya menginformasikan: saya mau sampul yang sederhana tanpa ada embel-embel simbol Taj Mahal di sana. Rupanya, petunjuk awal ini membingungkan desainernya. Seharusnya, saya dapat memberikan rincian lebih banyak untuk mempermudah kinerja beliau.
Ya, awalnya saya rasa India dapat digambarkan tak hanya melalui Taj Mahal. Ada banyak cara untuk menyampaikan pesan ke calon pembaca bahwa bukunya bercerita tentang India. Apalagi, dari judulnya juga udah India banget, kan?
Untungnya tim Ellunar menanggapi kekecewaan saya terhadap kaver dengan baik. Saya diberi kesempatan untuk mengganti desain sampul buku tanpa biaya tambahan sepeser pun asalkan kali ini saya dapat memberikan rincian lebih banyak tentang desain sampul seperti apa yang saya mau. Dan, begitu mendapatkan revisiannya, saya senang karena sampul buku yang terbaru jauh lebih baik.

Much better kan? LOVE IT. Terima kasih Mas Yuris.
Bukan sampul yang demikian sempurna, namun paling tidak, saya akan bangga saat memamerkannya. Saya kira, Mas Yuris sebagai pembuat sampul pun akhirnya dapat memaksimalkan potensinya demi naskah Yatra & Madhyaantar ini. Terima kasih banyak ya, mas. Maaf loh kalau saya repotkan mengenai sampul buku ini 🙂
Menunggu Yatra & Madhyaantar dengan Hati Berdebar
Haha, sebagaimana dua buku sebelumnya, perasaan nervous menunggu bukti cetaknya tiba di rumah ya pasti ada. Dan, saya menikmati momen-momen deg-degan itu hahaha. Bukunya sendiri dijadwalkan selesai dicetak akhir Agustus dan saya kira akan langsung dikirimkan ke rumah atau paling lambat ya awal September baru dapat saya peluk dan timang-timang wakakak.
Melalui kesempatan ini, sekali lagi saya mengucapkan terima kasih kepada Ellunar Publisher yang sudah bekerja dengan baik membantu saya “melahirkan” buku ketiga ini. Saya amaze dengan cara kerja tim mereka yang kompak, efektif dan profesional. Oh ya, jadi kepikiran sama naskah-naskah kompetisi lainnya, semoga naskah-naskah itu mendapatkan jodohnya sendiri. Terus terang sebagian dari naskah itu saya penasaran ingin baca karena dari judulnya saja sangat menarik.

Old Delhi yang meninggalkan kesan yang mendalam
Hebat Yan. 1 bulan dengan ratusan halaman itu aja sudah luar biasa. Kebayang betapa apik permainan mood dan konsentrasi di rentang waktu segitu.
Aku senang akhirnya di buku travel ini Yayan menyertakan ratusan foto. Satu sisi yang merubah pendapat pribadiku tentang India. Satu negara yang masuk di urutan 100 traveling wish list ku hahaha.
Selamat untuk Yayan. Tetap produktif dan menginspirasi yo Yan.
BTW, covernya keren menurutku. Simple but meaningful dengan warna yang pas
Makasih ayuk. Terlepas dari kisah menyebalkan yang akan ayuk baco, mudah-mudahan pandangan ayuk terhadap India akan sedikit banyak berubah setelah baco ini. Siapo tahu ntar biso ke India bareng ayuk, yeay.
Alhamdulillaaaah, akhirnya… aku deg-deg an begitu membaca ketebalan naskah ini plus jumlah foto yg kau sertakan. Sungguh aku deg-degan haha…. Sukses laris manis ya…
Hwhw, makasih mbak Wiwik. Semoga bukunya kokoh, amin.
Indiaaaaa
Selama ini baca blog cerita Indianya Omnduut emang bikin ngiler, keburu Corona nggak bisa ke India hiks
Dan baca ini jadi nyemangati diri sendiri buat semangat ngedraft buku, apalah aku yang banyak magernya, astagahhhh, dikepala pengen ini itu tapi g ada action
Iya hayo dong dilanjutin draftnya. Biar jadi buku nanti 🙂
Wah yayan keren banget bisa nulis sebanyak itu dalam waktu sebulan. Oya selamat yaa buat buku ketiganya ini. Pasti keren nih isinya
Beruntungnya karena menceritakan pengalaman sendiri jadi smooth nulisnya. Makasih mbak Yana 🙂
Menarik kisah perjalanan membuat naskah dan menerbitkan buku dengan segala tantangan di dalam itu membuat sesuatu.
Terima kasih
Begitu baca judulnya yang terpikir pertama bahasa Jawa atau Sansekerta. Apakah om Nduut bakal bercerita ttg sebuah sejarah Jawa? Namun pas baca cerita ini trnyata salah🙈 mengetahui pengalaman om Nduut ttg India, rasanya bisa jdi buku setebal itu masih kurang, hehee.. sukses ya om💪
Dan dalam bahasa Jawa Yatra ini artinya uang ya umi? hahaha.
Haha amin, makasih umi. Mudah-mudahan 422 halaman ini nggak bikin bosen 😀
Selamat Om atas lahirnya buku ketiga. Semoga makin banyak karyanya yang terbit.
Amin ya rabbal alamin. Makasih Nas.
wah selamat udah buku ketiga ajaaa, nanti aku mau pesan lewat DM instagram ya. Btw desain covernya bagus
Makasiiih. Iya alhamdulillah setelah revisi akhirnya bisa dapetin yang pas 🙂
Keren kak suka nulis buku. Pertama aku lihat judulnya awalnya aku sangka inj kayak cerita kerajaan hindu atau dongeng cerita agama hindu gitu. Tapi ternyata pengalaman perjalanan waktu ke India ya. Keren Kak mainnya udah jauh. Sukses terus ya Kak nulis bukunya. Kalau aku kalau nulis buku ngerasa beban. Tapi kalau nulis blog lebih jadi diri sendiri hihihi. Beda ya
Hayo diteruskan nulis bukunya mbak Yeni. Jangan dianggap beban tapi 🙂 anggap aja sebagai legacy nanti untuk generasi penerus. Bisaa… pasti bisa 🙂 Makasih supportnya ya.
Daku masih ada draft novel tapi belum di edit lagi, sok sibuk hihi.
Selamat Om Ndut udah lahiran buku kerennya ya. Kalau lihat perjalanannya, jadi inget waktu daku juga pernah ikutan kompetisi menulis, tapi outline bentuknya. Itu juga lumayan menguras otak, haha
Hayo mbak diterusin, Bisaaaa pasti bisa 🙂
Aha iya, ini lomba cerita perjalanan juga bukan? rasanya aku ikutan juga lombanya hwhwhw.
Wow.. Wow..
Serasa tertampar deh saya, Omnduut harus menulis dengan keterbatasan waktu dan alat
Rasanya saya berleha leha deh
Ayo ah Maria, pecut semangat supaya bisa nerbitin satu buku solo
Iya bu, hayo ditargetkan buku solonya. Ibu termasuk yang sangat produktif, disiplin dan telaten kalau aku lihat. Semangat ibu luar biasa. Pasti bisa bikin buku sendiri. 🙂
Buku mengenai perjalanan akan lebih menarik jika ditambah dengan ratusan foto. Setidaknya jadi ikut merasakan melalui gambar. Sukses terus ya om, keren banget semangatnya. Semoga laris manis bukunya
Iya, jikapun fotonya ditampilkan hitam putih tetap saja lebih menarik karena ada yang bisa dilihat hehe, makasih mbak.
wah hebat, nggak hanya menulis di blog, tapi juga menulis buku
berarti buku ini tentang kisah perjalanan ya kak? menarik pastinya
Iya, perjalanan ke India. Makasih banyak.
Selamat atas lahiran anaknya yang ketiga mas! Jadi ikut deg-deg an baca proses di balik pembuatannya hihi. Saya dulu juga pengen banget nerbitin buku, tapi sepertinya harus dikubur karena pesimis duluan 😥
Semoga karyanya bermanfaat ya mas, dan ditunggu buku-buku selanjutnya! btw bagus covernyaa
Hayo dilanjutkan bukunya Diko. Atau, bisa buat tema lain yang lebih cocok dengan sekarang ini. Dengan kemampuan kamu, yakin bakalan bisa. Apalagi kalau sampe bikin layout sendiri. Waaaah.
Keren kak. Saya jg ada karya antologi yg terbitan ellunar dan hasil lomba menuli ls cerpen anak beberapa tahun lalu. Semangat berkarya kak
Wah apa judulnya mbak? iya, Ellunar cukup sering mengadakan event menulis.
Selamat Mas Yayan untuk kelahiran buku ketiganya!!! Duh aku mau beli bukunyaaaa….covernya baguuus mas!
Makasiiih udah pesan ya. Semoga nanti bisa segera dikirimkan 🙂
aamiin Mas Yayan
Jadi ngerti skr beda penerbitan mandiri dengan yg mayor :). Aku jujur ga sabaaaar nungguin bukunya mas. Seneng juga pas tahu kalo mandiri gini foti2 jadi bisa banyak. Aku selalu sukaaaa Ama tulisan mas Yayan. Belum lagi foto2nya yg suka tampil di blog.
Ini ntr buku yg dipesen dapet cap bibir kan #eh 🤣🤣
Hahaha boleeh. Tapi aku cuma ada lipstik warna emas. Gakpapa ya mbak? haha. Makasih mb Fanny.
Nulis buku, adalah salah satu harapanku yang entah kapan bisa terwujud. Seperti kata Yayan, jangankan nulis buku, nulis postingan di blog aja aku butuh dorongan yang luar biasa saat ini. Padahal ya bahan sih ada-ada aja. Eh jadi ingat, ada proyek nulis antologi yang belum beres juga dink 😀
Anyway, aku selalu percaya pada setiap buku yang dicetak itu tak hanya ada kerja keras dalam menuliskannya, tapi juga dalam hal produksinya. Terlebih kalau harus diterbitkan secara mandiri seperti ini. Dan aku salut untuk kegigihanmu.
Kutunggu kiriman bukunya ya Yan. Ku pesan satu.
Betul mas. Dan, baru saat menerbitkan indie ini aku ngerasa keterlibatanku lebih banyak dan jadi lebih tahu juga tiap tahapan prosesnya walau gak semua juga.
Siap mas, ditunggu bukunya ya 🙂
Keren Mas! Mulai dari perjuangannya ngetik naskah disambi kerja, cepat bangkit begitu gagal di kompetisi, sampai riset penerbit dan lain-lainnya. Semoga proses pencetakan dan lain-lainnya juga lancar, aamiin. Cita-citaku waktu kecil juga jadi novelist. Jaman SD hobi bikin naskah novel ala-ala, tapi makin dewasa makin “terdistraksi” dengan kegiatan akademik di sekolah karena ortu lebih ingin anaknya fokus ke sana. Padahal sampai sekarang, cita-cita menjadi penulis itu masih ada. 😀
Mungkin karena udah sering berhadapan dengan situasi serupa jadi langkah lanjutannya bisa tergambar dengan cepat haha.
Hayo dipupuk lagi impiannya. Nggak ada kata terlambat 🙂 Makasih udah mampir ya.
Yayaaaaan… I am very proud of you, udah baek hati dan sekarang “anaknya” udah 3 aja wkwkw.. Keren.. Ditunggu bukunya yg setebal 400 halaman itu. Setelah pergulatan dengan jiwa raga yg menguras energi aku pikir bakal lebih ‘dekat’ dengan Yayan lewat buku ini. Cant wait lah…
Yatra pernah dengar di postingan Gara kemaren yg melakukan perjalanan keliling kota untuk beribadah dengan rombongan naik bus, kalo madyaantar ini baru ngeh di gtranslate…
Pindah dari jambi, ada seorang teman yg nyaranin aku buat bikin bikin buku soal jambi. tp rasonyo lah penat nian gawe di kantor jadi dak sempat lagi nulis buku, gawean kantor be banyak nian smp2 blog dak tepegang hehe..
Selamat dan sukses Yan, ditunggu buku2 berikutnya 🙂
Wahaha ampun pujiannyo. Aku jadi degdegan kalau buku ini dak sesuai espektasi. Minimal, biso menghibur ye paaak, amiin. Doa yang baik berbalik ke Isna jg.
Siap 😀
Pertama, aku ucapkan selamat buat Mas Yayan! Sangat produktif bikin buku 🙂
Kedua, bukunya sudah tiba beberapa hari lalu. Kami berdua nyicil gantian baca cerita-ceritanya 🙂
Ketiga, semoga jangan patah semangat untuk berkarya di buku selanjutnya, ya! 🙂
Tentu! gak akan surut semangat untuk terus menulis, Qy. Hal yang sama juga berlaku buat kalian berdua. Pasangan harmonis yang sangat produktif. 🙂 Ditunggu karya selanjutnya.