Pelesiran

Gagal Berbagi Kasih Bersama Bunda Teresa

DSC_0740

.

Ini hari terakhir kami di India. Aku dan Indra sudah berada di luar stasiun Howrah ini sejak setengah jam yang lalu. Bergantian kami mencoba menemui orang-orang dan bertanya, “do you know where is Mother Teresa House?” tapi sayang semua orang yang kami temui tidak tahu. Mereka hanya menggelengkan kepala.

Aku lelah, kami baru saja menempuh perjalanan selama 12 jam di atas kereta. Untung saja tadi sudah sarapan di dalam stasiun sehingga cukup mampu meredam emosi. Aku bolak-balik membuka buku panduan yang kami bawa, di sana tertulis jarak antara Mother Teresa House dan stasiun 5 menit berjalan kaki saja.

“Kok Bunda Teresa yang seterkenal itu kok pada nggak tahu ya?” celotehku ke Indra. Menurutku ini konyol. Sama halnya ketika datang ke Jakarta dan bertanya mengenai bundaran HI tapi orang tidak tahu. Atau ketika ke Bandung dan bertanya soal alun-alun. Aku tidak membandingkan dengan Monas dan Gedung Sate ya, jika kalian cukup mengerti maksudnya.

Matahari semakin tinggi. Peluh sudah mulai membasahi sekujur tubuh. Kami hanya punya waktu beberapa jam sebelum bertolak ke bandara. “Oh ini sungguh melelahkan,” batinku. Setelah berdiam diri sejenak dan mengambil napas dalam-dalam, aku mengambil keputusan, “baiklah, saatnya mencoba lagi” Aku lantas mendekati seorang lelaki berpenampilan baik dan nampak terpelajar.

“Sorry, Sir,  we are looking for Mother Teresa House. Do you know about it?”

Si pemuda ini menatapku tajam dan berkata, “Just go with taxi, the driver will find it”

DSC_0711

Jembatan Howah dari atas kapal penyeberangan.

Ini dia yang dibilang gubrak momen itu. Yaelah, kalau mau naik taksi atau bajaj dari tadi juga sudah ditawarin sama orang, malah sampai ditarik-tarik segala. Tapi kan di buku bilangnya cukup berjalan kaki. Eh tunggu, apa benar bukunya bilang begitu? Aku kembali membaca petunjuknya dan tertulis, “Kereta api berhenti di Stasiun Sealdah… ternyata, bukan Howrah saja stasiun kereta api di Kolkata”

Gubrak! Aku salah baca informasi! Mau dicari jalan kaki berapa puluh menit juga nggak akan ketemu karena kami turunnya di stasiun Howrah, bukan stasiun Sealdah. Tapi kan… tetap saja, kok pada nggak tahu tentang Mother Teresa House, ya? Ah sudahlah.

*    *    *

Kami sudah berada di dalam sebuah kaleng besi berjalan. Ops, maksudku di dalam sebuah bus tua yang akan mengantarkan kami ke Stasiun Sealdah. Ongkosnya murah, 8 rupee saja. Bandingkan dengan biaya taksi atau bajaj yang bisa ratusan rupee, jelas ini lebih hemat.

“Sorry, we want to go to Mother Teresa House, is this the right bus?” sapaku kepada penumpang di belakang. Mereka masih muda, kelihatan masih berstatus mahasiswa karena pakaiannya cukup trendy. “Iya, benar. Nanti kalian turun di stasiun Sealdah dan berjalan kaki dari sana. Kalian dari mana?” jawab mereka ramah.

DSC_0731

Jleb!

Mengetahui kami berasal dari Indonesia, mengalirlah obrolan seru diantara kami. Mulai dari petualangan kami 3 minggu di India, aktifitas keseharian mereka dsb. Sampai sekarang, kami masih sering bertukar kontak. Si pemuda bernama Namesh bahkan berencana bulan madu di Bali akhir tahun ini.

Dari atas bus terlihat trem tua melintas membelah jalanan kota Kolkata. Sayang kami tidak sempat mencoba menggunakan moda transportasi itu. Namesh dan temannya (duh aku lupa namanya) turun lebih dulu. “Dari sini tinggal lurus saja, aku sudah bilang kepada kondektur bahwa kalian akan turun di Sealdah,” sahut Namesh. Dan benar, saat bus sampai di stasiun, kami diberi tahu bahwa tujuan kami sudah sampai.

Kami sudah berada di stasiun yang benar sekarang. Harusnya mudah bagi kami menemukan Mother Teresa House-nya, bukan? Toh di buku dibilang cuma berjalan 5 menit saja sudah sampai. Tapi ternyata tidak semudah itu saudara-saudara. –nangis.

Walau tidak separah orang di Stasiun Howrah, tetap saja orang-orang di Stasiun Saeldah ini tidak begitu paham arah menuju Mother Teresa House. Beberapa bahkan tidak tahu walau sudah aku kasih lihat gambar yang ada di buku. Sialnya lagi, petugas jalanan yang aku kasih lihat alamatnya juga nampak bingung.

Setelah berjalan hampir setengah jam dan nyasar (bolak balik arah) beberapa kali, akhirnya kami menemukan juga Mother Teresa Church. Kami datang tepat di hari Minggu. Sempat khawatir juga kedatangan kami akan mengganggu prosesi ibadah. Untunglah, jam kebaktian hari itu sudah selesai. Walaupun pagarnya tertutup, kami diperkenankan masuk oleh penjaganya.

DSC_0718

Mother Teresa Church

Sungguh sebuah bangunan yang sangat indah. Di dominasi dengan cat warna merah, membuat bangunan ini “bersinar” di antara ruko-ruko dengan cat kusam. Walau begitu, kebersahajaan Mother Teresa sangat nampak di gereja ini. Gereja ini  begitu sederhana dibandingkan bangunan gereja lain yang pernah aku lihat.

Aku dan Indra memilih beristirahat sejenak di teras samping gereja. Anggur (di India harganya sangat murah) dan air minum yang jadi bekal kami semalaman di kereta masih bersisa, kami bersantai sambil asyik mengunyah buah.

“Kalian dari mana?”

Petugas yang tadi membukakan pintu pagar mendekati kami dan memulai obrolan. Beliau orang yang sangat ramah! Walaupun tampangnya rrr India banget, tapi kelembutan suaranya sangat menentramkan hati.

“Kami dari Indonesia,” jawabku.

“Wah kalian datang dari negeri yang sangat jauh. Omong-omong, apa kalian muslim?”

“Iya kami berdua muslim.”

“Wow, saya juga muslim!” jawabnya lagi.

Sebuah kejutan yang manis 🙂 siapa sangka, penjaga gerejanya seorang muslim. Sebuah bentuk toleransi yang nyata di India, persis yang diajarkan oleh Bunda Teresa, seorang birawati Katolik asal Albania yang mendedikasikan hidupnya demi masyarakat Hindu di Kolkata.

DSC_0720

Patung Bunda Teresa

Kami lalu mengobrol tentang banyak hal. Tentang kehidupan masyarakat muslim, Hindu dan Kristen yang menurutnya hidup berdampingan dengan sangat baik di sana. Tak lupa, kami juga menanyakan letak Rumah Bunda Teresa-nya. “Oh tidak jauh dari sini, cukup berjalan kaki sekitar 5 menit. Sayang saya masih bekerja, jika tidak kalian akan saya antar,” sahutnya lagi.

Sebuah bentuk perhatian yang besar.

Tak lama, aku berjalan mengelilingi gereja dan mulai menggambil gambar. Tepat di sebelah gereja ini berdiri sebuah bangunan yang ternyata sekolah St Teresas Girls Primary School. Ntah, apakah ini sekolah umum atau hanya sekolah Minggu, yang jelas aktivitas belajar mengajar terlihat di sana.

Aku bergerak ke bagian depan. Ada sebuah patung Bunda Teresa yang tersimpan di sebuah ruang kaca. Begitu mendekat, ops, tak jauh dari sana ada seorang lelaki dewasa yang nampak khusyu berdoa. Beliau menundukkan kepalanya dan memejamkan mata. Lamaaaa sekali. Aku menunda mengambil gambar, khawatir suara kamera akan mengganggunya.

DSC_0721

St Teresas Girls Primary School

Saat beliau selesai berdoa dan tersenyum kepadaku, lebih dulu aku menegurnya, “Halo saya Haryadi, datang dari Indonesia.”

Sapaanku disambut dengan sangat hangat. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, sangat wajar jika orang yang ditemui lantas bertanya, “apa kamu muslim?” begitupun si bapak ini. dan, saat mengetahui aku beragama Islam, dia nampak terkejut.

“Wah saya juga muslim, senang bisa berkenalan denganmu,” ujarnya.

Luar biasa! Sungguh aku sangat terharu dengan perjumpaan itu. Bayangkan, seorang muslim pergi ke (teras) gereja dan berdoa di sana. “Aku berdoa atas dasar kemanusiaan. Beliau sangat berjasa bagi orang-orang terdahulu,” ujarnya.

Sepertinya dia tahu aku memperhatikannya saat beliau berdoa. Pasti semua tahulah ya bahwa Bunda Teresa memang memiliki jasa yang luar biasa terutama di bidang kemanusiaan, tak heran di kemudian hari Bunda Teresa mendapatkan Nobel Perdamaian. Paus Yohanes Paulus II bahkan berpendapat bahwa Bunda Teresa adalah wanita terkudus yang pernah ditemuinya.

Lalu, prihal si muslim berdoa untuk si Kristen itu semoga tidak perlu diperdebatkan ya. Mother Teresa berkata, “if you judge people, you have no time to love them.”

*    *    *

Ada ceritanya jika bertanya kepada orang India dan mereka bilang, “oh tidak jauh, hanya 5 menit,” maka jangan sepenuhnya percaya. Kami merasakannya betul akibat buruknya saat mencari India Gate di New Delhi. Sabar ya, tentang itu akan dituliskan terpisah. Nah, untungnya, apa yang diinformasikan oleh penjaga gereja mengenai lokasi Mother Teresa House itu betul adanya.

Jalanan sedikit basah, hujan dengan intensitas kecil memang membasahi Kolkata hari itu. Kami sempat bertanya beberapa kali kepada penduduk lokal dan untungnya mereka tahu lokasinya. Letak Rumah Bunda Teresa ini berada di sebuah gang sehingga jika tidak teliti maka bisa saja terlewat.

DSC_0738

Masuk ke dalam gang kecil.

Terlihat beberapa biarawati berjalan ke arah pintu masuk. Salah seorang menegur kami.

“Mau masuk ke dalam ya?”

“Iya”

“Wah sayang sekali, sekarang sudah tutup dan baru akan dibuka lagi jam 3 sore.”

Huaaaah, setelah perjuangan panjang dan begitu sudah di depan pintu dan dilarang masuk itu sedihnya bukan main. “Apa benar kami tidak boleh masuk? Ini hari terakhir kami di India, dan kami sangat ingin bertemu dengan Bunda Teresa,” ujarku memohon.

Mungkin karena kasihan, biarawati ini meminta kami untuk menunggu. Beliau masuk dan tak lama keluar lagi.

“Kalian diizinkan masuk oleh kepala biarawati, namun tolong jaga ketenangan dan jangan berisik. Ini waktunya kami beribadah.”

DSC_0733

Para biarawatinya berkumpul di ruangan ini lalu berdoa bersama

Seketika aku tersenyum sumringah. Alhamdulillah banget diizinkan masuk. Senyum biarawati terasa semakin begitu menyejukkan hati 🙂 “Everytime you smile at someone, it is an action of love, a gift to that person, a beautiful things,” ujar Bunda Teresa. Jleb banget, kan?

“Itu bangunan tempat Bunda Teresa di makamkan. Kalian dapat masuk dan berdoa. Tolong tasnya dijaga jangan sampai diletakkan sembarangan, nanti hilang,” sahut salah seorang biarawati.

Ruangan tempat Bunda Teresa dimakamkan kosong melompong. Aku dan Indra lantas duduk bersila di lantai. Tak lama, beberapa biarawati nampak masuk ke dalam. Mereka datang dalam diam. Masuk, duduk, menenggelamkan kepala di atas makam, berdoa, lalu pergi. Khidmat sekali. Aku pun tak mau kalah untuk berdoa, namun berdoa dengan caraku sendiri tentu saja.

DSC_0724

Salah satu foto favoritku.

Aku melirik sekilas ke atas makam, ada bunga-bunga yang ditaburkan dan membentuk sebuah tulisan “Jesus is my all in all” dan kata pengurusnya, bunga yang disusun menjadi kata-kata di atas makam ini berubah setiap hari dan bunga-bunga sisa kemarin dapat di bawa pulang.

Tiba-tiba, sekelompok biarawati masuk ke dalam. Salah seorang berjalan ke arahku, dia lalu duduk tepat di depanku. Kami saling berhadapan.

“Hei ini kunjunganmu yang ketiga kali di sini, kan?” sahutnya super ramah dan senyum yang merekah.

“Bukan, kamu pasti salah orang. Ini kali pertama aku datang ke sini.”

Biarawati yang satu ini mukanya sangat Asia! Bahkan kukira awalnya dia orang Indonesia. Honestly, she is a pretty woman. Ops. 🙂 Kami lanjut berbincang. Seingatku beliau berasal dari Filipina. Tak lama kemudian dia pamit pergi bersama temannya yang lain, tentu setelah berdoa dulu di makam Bunda Teresa.

DSC_0727

Ruangannya cukup besar

Museum dan kamar tidur Bunda Teresa masih lama dibuka, jam 3 sore. Perut kami sangat lapar sehingga kami meminta izin keluar untuk makan siang. Untunglah diberi izin. Tak jauh dari Mother Teresa House terdapat beberapa restoran muslim. Aku menyantap mutton curry yang rasanya sangat enak. Begitu balik lagi ke Mother Teresa House, pintu gerbang mulai terbuka. Nampak beberapa tamu asing duduk di halaman rumah.

DSC_0723

Seperti ruang pertemuan atau belajar

Beberapa dari mereka merupakan tenaga sukarelawan. Ini hal yang lumayan aku sesali. Jauh sebelum kedatangan kami di India, aku, Indra dan Ahlan sudah berencana untuk menyisakan waktu untuk ikutan menjadi tenaga sukarelawan di rumah Misionaris Cinta Kasih yang digagas oleh Bunda Teresa. Hal ini karena kami tertahan di perbatasan Srinagar, sehingga waktunya menjadi molor 2 hari. Sayang sekali…

DSC_0729

Senyumnya….

Tepat pukul 3 sore, semua orang yang sudah menunggu diperkenankan masuk ke dalam museumnya. Hmm, sebetulnya museum itu hanya ruangan kecil yang menyimpan benda-benda peninggalan Bunda Teresa. Dari selimut, baju, sepatu, sandal bahkan peniti yang sering digunakan beliau. Puluhan foto dan berbundel-bundel arsip pemberitaan mengenai beliau juga ada. Termasuklah kumpulan tulisan tangan dan pidato beliau. Sayang, dilarang memotret di dalam sana. Dan aku harus menghormati peraturan itu ya.

DSC_0732

Tangga kecil menuju kamar Bunda Teresa

DSC_0735

Sepertinya ini kamar/asrama biarawati

Selepas dari museum, hanya menyeberang lapangan kecil, aku dan Indra naik ke lantai 2 untuk melihat kamar yang dulu Bunda Teresa tempati. Saat melihatnya, aku terenyuh, sangat sederhana dan ukurannya sangatlah kecil.

untitled

Kamar Bunda Teresa. Source : motherteresa.org

“Kau tahu di lantai atas itu dapurnya. Kadang kamar Bunda itu terasa sangat panas,” sahut seseorang biarawati.

Ntahlah, mungkin terlalu begitu sentimentil, namun, berada di rumah kemanusiaan ini rasanya begitu sakral. Ketenangan suasananya, aura para orang yang ada di sana, seperti memancarkan cinta kasih. Sungguh.

Kini perjuangan Bunda Teresa terus berlanjut. Tak hanya oleh biarawati yang tinggal di sana, namun para relawan dari seluruh dunia datang ke sana dan membantu. Aku melihat sendiri bagaimana turis asing kaukasian datang dan membantu apa yang bisa dibantu. Sayang sekali kami tidak ikut berperan karena harus segera ke bandara.

“We know only too well that what we are doing is nothing more than a drop in the ocean. But if the drop were not there, the ocean would be missing something.”-Mother Teresa

36 komentar di “Gagal Berbagi Kasih Bersama Bunda Teresa

  1. Ah senang sekali dengan cerita kali ini. Menyejukkan. Aku juga mengagumi Beliau, punya beberapa buku yang menceritakan tentang Beliau. Kenapa di Indonesia dipanggil Bunda Teresa ya, bukan Ibu Teresa atau yang lainnya. Penasaran saja kenapa Bunda yang dipakai sebagai terjemahan Mother. Quote Mother Teresa yang judge and love itu favoritku 😍

    • Iya, aku juga suka quote itu mbak. 🙂 nah iya ya, kenapa nggak Ibu atau malah Emak hahaha. Mungkin kata Bunda terdengar lebih soft, anggun dan bersahaja. Ea 🙂

  2. Terenyuh bacanya. Bunda Teresa itu baik sekali, saya merasa bisa mengenalnya lebih jauh dari membaca tulisan ini, Om. Keren sekali. Mungkin Tuhan memberi kalian ujian tersesat itu sebagai pertanda bahwa apa yang akan kalian dapatkan di sana adalah pengalaman tentang keberagaman yang sungguh, tak akan membuat kalian menyesal. Ah, beruntungnya kalian, Om, beruntung sekali. Dari kejauhan sini saja saya bisa merasakan gaung wibawa kebaikan Bunda Teresa itu, entah apa yang akan terasa ketika langsung berada di sana, pastinya sangat berbeda :)).

  3. Om, kalau keluar negeri ada orang yang ngasih tau jalan kek atau info kayak “di atas itu dapur, kadang kamar Bunda Theresa teruasa panas” itu ngasih duit nggak sih? Dipalakin nggak kalau nggak ngasih? Maklum, belum pernah ke luar negeri hehehe

    Btw Om Nduut kalau ada orang cantik nggak pernah ada fotonya ih hahaha

    • Nggak Bay, yang kasih informasi adalah biarawati yang ada di sana. Nggak ada model scam kayak di jalan 🙂

      Hahahaha dari tante-tante Hong Kong ya hwhwhw, tapi aku nyesel juga gak ajak si biarawati itu foto. Cakepnya yang cakep banget sih.

  4. Ada ceritanya jika bertanya kepada orang India dan mereka bilang, “oh tidak jauh, hanya 5 menit,” maka jangan sepenuhnya percaya. <<< kalo soal Indian 5 minutes, ampun deh. Sering banget jadi "korban" 5 menitnya mereka. Nungguin kurir Amaz*n sampe jelek, padahal dia bilang udah dekat, cuma 5 menit.

  5. Ping balik: 6 Hal Ngehe di Ahmdabad yang Bikin Ngelus Dada | Omnduut

Jika ada yang perlu ditanyakan lebih lanjut, silakan berkomentar di bawah ini.