“Yayan pulang Minggu jam berapa?” tanya mbak Donna.
“Rencananya menggunakan kereta pagi mbak,” jawabku. “Gitu kan Lim?” tanyaku ke Halim yang rencananya mau ikutan ke Palembang.
“Eh pulangnya malam aja, Minggunya kita jalan dulu, gimana?”
Rencana dadakan yang diprakarsai oleh Mbak Donna itu ternyata diaminkan oleh bang Indra. “Ya ayo kita jalan, gampang itu!”
Dan ternyata Om Yopie & Fajrin juga bersedia ikutan. Wah, nambah satu hari di Lampung untuk jalan-jalan mah worth it banget! Dan tanpa pikir panjang, aku langsung setuju.
* * *
Pasca check out dari Omah Akas dan makan nasi uduk ditraktir sama mbak Rien saat sarapan, masing-masing dari kita mulai beranjak ke tujuan masing-masing. Mbak Rien dan mbak Evi sendiri langsung menuju bandara. Sayang mbak Rien dan mbak Evi keburu beli tiket pesawat sehingga gak bisa gabung bersama kami. Duo Encip dan Kiki pulang ke rumah masing-masing, jadi tinggallah aku, Halim, mbak Donna, Om Yopie, Fajrin dan bang Indra plus tambahan satu personel baru yakni bang Teguh. Eh ya, bagi yang bingung dengan nama-nama yang kusebut, sebagai informasi, kita semua dipertemukan di Festival Teluk Semaka, ya!
“Jadi mau ke mana kita ini?” tanya bang Indra.
“Aku pingin ke situs megalitikum itu lho Ndra, jauh nggak?”
“Oh mau ke sana? Gampang, ayo kita berangkat!”
Secara ya jalan sama entertainment, bawaannya ngakak sepanjang jalan. Bang Indra sendiri aja udah ngalahin pelawak nusantara, eh ditambah sama bang Teguh yang kalo digabungin, semua pelawak tanah air melipir takjub. Perjalanan kurang lebih 1,5 sd 2 jam menuju situs Megalitikum tidak terlalu kerasa, apalagi di sepanjang jalan adaaa aja bahan ketawaan.
Selamat Datang di Situs Megalitikum
Situs Megalitikum atau Taman Purbakala Pugungraharjo merupakan kawasan/situs peninggalan nenek moyang bahkan sejak zaman Megalitik. Tradisi Megalitik sendiri merupakan jenis kebudayaan pada zaman prasejarah dimana nenek moyang kita belum mengenal tulisan sehingga masyarakat pada zaman terkenal dengan peninggalan perkakas yang terbuat dari batu besar seperti menhir (batu tegak), dolmen (meja batu), kubur batu dan keranda.
Konon, benda-benda itu juga digunakan sebagai pemujaan, tempat penguburan dan tempat bermusyawarah. Hal ini terkait dengan pengaruh Hindu/Budha sekitar abad ke VI hingga XV masehi. Katanya sih, ini merupakan kawasan yang angker sebab ratusan tahun tidak dihuni oleh manusia hingga pada tahun 1954 warga transmigrasi yang tergabung dalam Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) membuka lokasi yang berada di 52 km dari Bandar Lampung tepatnya di Kecamatan Sekampung Udik, Lampung Timur ini.
“Nggak ada biaya masuk ya bang?”
“Nggak ada, soalnya bergabung dengan lahan perkebunan penduduk,” jawab bang Indra.
Eh iya, pantesan aja banyak pohon kelapa, pohon cokelat atau ladang singkong di sekitar situs megalitikum. Untungnya sih kebunnya tertata dengan rapi sehingga pohon-pohon yang sudah cukup besar malah membantu menghalau terik matahari.
Dari area parkir, kami memilih untuk mengitari kawasan situs megalitik ini dengan mendatangi punden yang paling biasa dulu. “Save the best for the last bang!” pintaku haha. Jadilah, kami mendatangi berbagai macam punden yang kecil hingga yang paling besar.
Oh ya, punden itu adalah gundukan tanah yang berundak-undak (seperti terasering). Di situs megalitikum ini terdapat 13 punden namun yang masih utuh hanya 7 saja. Fungsinya sendiri sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang dan beberapa juga dijadikan kuburan. Salah satu contoh punden ini dia!
Situs Batu Mayat
Kok dari tadi nama tempatnya nyeremin ya? Dan memang sih, bang Teguh dan Halim sempat merasakan “Sesuatu” yang baru diceritakan saat pulang. Hiy! Eh tapi tenang, situs Batu Mayat atau Batu Kandang ini dinamakan demikian karena pada saat ditemukan batu menhir (batu tegak)-nya ditemukan dalam posisi berbaring seperti mayat.
Situs Batu Mayat sendiri merupakan situs berbentuk buju sangkar dengan tancapan sebuah menhir besar di tengahnya dengan penggambaran seperti phallus (apa sih? Googling deh hehe) dengan ukuran tinggi 205 cm dan diameter 40 cm. Di jajaran batu arah selatan ada batu bertuliskan huruf “T” yang digunakan sebagai petunjuk mata angin. Namun di sisi lain, huruf “T” yang merupakan lambang Lingga Yoni yang merupakan simbol kejantanan dan kesuburan. Untuk lebih jelas mengenai Lingga Yoni, cek di mbah segala tahu ya, agak gak enak dibahasnya di sini hahaha.
Mari Menjerit di Air Betuah
Air Betuah/Keramat adalah sebutan masyarakat setempat akan kolam megalitik yang berada masih dalam kawasan Situs Megalitukum ini. Di sinilah lokasi penemuan Batu Berlubang dan Batu Bergores. Sebagaimana halnya sumber air, dulu di zaman prasejarah, kolam ini pulalah yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hebatnya, walaupun musim kemarau, debit air di kolam megalitik ini tidak berkurang. Konon, di kola mini pula para putri dari Keratuan Dipungung mandi dan meramu sehingga diyakini air yang ada di sana memiliki kekuatan magis yang dapat menyembuhkan penyakit dan bisa bikin orang yang mandi di sana awet muda.
Hmm, aku sih percaya ya, soalnya kalau nggak mandi-mandi dan dekil kan keliatan cepet tua hehehe. Satu hal istimewa lainnya dari kolam megalitik ini yakni terdapat ikan Garra Guffa yang biasa digunakan untuk fish spa. Huaaaa, tentu saja ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan bukan?
Tanpa aba-aba, kami semua langsung membuka sepatu dan menggulung celana. Begitu kaki dicelupkan ke dalam kolam, mulailah suara jeritan bermunculan. Hahahaha. Ada yang ngejeritnya gedeee banget sambil ketawa ngikik nggak berhenti. (nganu, itu aku). Ya maklum, itu pertama kalinya aku nyobain fish spa langsung dari kolam megalitik. Kurang keren apa lagi coba? Udah gratis, eh ikannya beringasan gitu menggigit-gigit kakiku hahaha.
Sayang aku nggak mandi, dan kayaknya bagian tubuhku yang bakalan awet muda itu kaki dan muka deh. Soalnya Cuma itu bagian yang tersiram oleh air. Bagian nganu kagak. Ah semoga khasiat awet mudanya menjalar ke seluruh badan ya! Oke sip.
Parit yang Mengering
Coba apa yang ada dalam bayanganmu saat melihat parit berukuran raksasa ini? Kalau aku dan mas Anang sih kepikiran untuk main seluncuran sambil gegulingan dari atas ke bawah hahaha. Sayang saat itu aku terlalu jaim sehingga hal itu tidak aku lakukan.
Parit ini ukuranya besar sekali, berbentuk memanjang mengeliling area yang dulunya perkampungan. Uniknya, parit ini kini tidak pernah tergenang air meski hujan deras bahkan pada saat banjir beberapa tahun lalu area situs ini tidak terkena dampaknya. Hebat juga ya orang zaman dulu memikirkan saluran airnya ya.
Kami berjalan di sisi parit menuju mobil yang terparkir di area parkir. Sesampai di sana, kami dihampiri oleh seorang pemuda berbadan gempal.
“Bang nggak mampir ke museumnya?”
“Iya ini kita mau ke sana,” jawab bang Indra.
“Oh saya pengurusnya.”
“Ya sudah kami mau ke sana. Masih buka, kan?”
“Bisa saya bukakan, saya yang pegang kuncinya.”
Museum yang dimaksud adalah rumah informasi (site museum). Sebelum ke museum, ya kita foto-foto dululah. 🙂
Rumah Informasi Taman Purbakala Pugungraharjo
Rumah informasi ini dibangun pada tahun 1979 sebagai pusat informasi, administrasi dan tempat menyimpan benda-benda temuan di taman purbakala Pugungraharjo.
Sayangnya, bangunan yang berbentuk rumah panggung ini nampak kurang terawat. Begitu masuk ke dalam, lantainya terlihat berdebu dan nampak sekali sudah lama tidak dibersihkan.
Padahal benda koleksinya bukan sembarangan, berasa dari temuan situs megalitik yang berusia ratusan tahun, lho! Untung saja sebagian besar koleksinya masih utuh. Seperti sebuah patung yang bikin kami penasaran soalnya ada yang bilang, jika pengunjung menghitung bulatan kalung yang ada sebanyak 3 kali maka hasilnya akan berbeda.
Hasilnya? Ah nggak tuh, kami semua dapat menghitung dengan benar sebanyak 3 kali. Mungkin pengunjung sebelumnya kurang pandai matematika ya! Hahaha.
Perjalanan Belum Usai
Sebelum kembali ke Bandar Lampung, bang Indra mengajak kami semua ke sebuah tempat lagi yang dinamakan Bukit Granit Indah (nama tempat dengan embel-embel Indah ini aku temukan di google). Letaknya sekitar 3 km dari jalan utama tak jauh dari rumah informasi.
Jalan menuju Bukit Granit Indah ini belum di aspal, namun jalannya bebatuan yang keras sehingga masih memungkinkan untuk dilalui. Untuk menuju ke Bukit Granit ini, kami harus melewati kebun-kebun karet. Jika belum pernah ke sana, sebaiknya datang di pagi atau siang hari karena kemungkinan untuk tersasar cukup besar mengingat tidak ada papan penunjuk arah.
Untungnya bang Indra dan om Yopie sudah pernah ke sana, itupun pakai acara tebak-tebakan dulu walaupun nggak pake acara nyasar hehehe. Aku sebetulnya bingung, apa sih spesialnya dari Bukit Granit ini?
“Tuh lihat batu granitnya,” ujar bang Indra sambil membuka jendela mobil.
Hmm, aneh ya, ada banyak sekali batu-batu besar diantara pohon karet.
“Dari mana ya batu-batu ini?” tanya mbak Donna.
Nah loh, dari mana ya? Apa mungkin batu-batu ini merupakan pecahan gunung Krakatau ratusan tahun lalu? Ntahlah…
Semakin ke dalam, batu yang kami temui semakin besar. Namun bang Indra tak jua menghentikan laju kendaraan. Hingga sampailah kami ke sebuah bukit batu dengan ukuran sangat besar. Dan… wow, aku tak berhenti berdecak kagum!
“Apa boleh naik ke atas?” tanyaku.
“Tentu saja boleh, tujuan kita ke sini kan untuk naik ke atas,” jawab bang Teguh.
Perasaanku membuncah, seolah anak kecil yang diajak ke arena bermain. Aku bergegas menuju ke atas bukit. Aksesnya sih tidak begitu susah, walau begitu harus tetap berhati-hati, soalnya harus melewati celah bebatuan yang agak terjal.
Begitu sampai di atas….
Haaaaa, aku disuguhi pemandangan seindah ini. Luar biasa!
Terlihat beberapa pemuda yang duduk santai di atas sana. Beberapa anak kecil yang ntah datang dari mana (mengingat aku tidak melihat perkampungan di sekitar situ) juga nampak bermain. Kami semua menikmati pemandangan luar biasa dari atas bukit Granit. Sesuai namanya, (pemandangan dari atas) bukit ini memang indah!
Anak kecil dan para pemuda satu persatu mulai beranjak pulang. Kami masih bertahan dan foto-foto. Niatnya sih sekalian menunggu sunset. Tapi… rr, kok semakin gelap jadi semakin seram ya? Haha, selain aku, Halim dan mbak Donna harus mengejar kendaraan untuk pulang, kayaknya gak baik juga magrib-magrib heboh selfie di atas bukit. Dan, benar saja, saat kami pulang, jalanan jadi semakin gelap karena cahaya matahari sore yang tersisa terhalang rimbunnya daun pepohonan.
Ada satu hal yang bikin sedih saat mendatangi Bukit Granit ini? Hmm, tak usah kuberi tahu, kalian pasti tahu apa itu saat melihat foto-fotonya, bukan? Hiks. Semoga ke depan, orang yang berkunjung ke tempat wisata semakin menyadari bahwa tempat wisata itu harusnya dijaga bukannya dirusaki.
Namun, terlepas dari itu semua, perjalananku ke Situs Megalitikum dan Bukit Granit Indah ini sangat berkesan dan menjadi sajian penutup petualanganku selama di Provinsi Lampung. Aku sangat tidak menyesal memutuskan untuk ikutan extend beberapa jam demi mendatangi ke semua tempat ini. Terima kasih bang Indra-om Yopie, serta semua teman-teman di Festival Teluk Semaka.
Jumpa lagi di Lampung tahun depan ya! <- sungguh, kalimat terakhir ini termuat kode yang luar biasa hahaha.
Dan aku sirik habis gak ada dalam foto di sini …
Iya nih sayang banget, formasi nggak lengkap 😦
Yang ngejeritnya gedeee banget sambil ketawa ngikik nggak berhenti itu ternyata kamu Yan?! Ga nyangka :))))
Foto dengan caption ucapan ala pacarku si Leonardo itu kece lho. Aku suka liatnya.
Masih banyak waktu untuk jelajah Lampung. Situs Megalitikum ini mesti masuk daftar kunjung. Tfs Yan.
Iya, itu aku mbak Rien hihihihi *tutupmuka*
Yang lain sih jerit kegelian juga, cuma kayaknya aku paling parah. Tapi lama-lama biasa, nggak geli lagi hehehe.
Keren banget bagian baru granitnya….. Moga gak ada yg corat-coret lagi… ira
Aku mikirnya, bisa gak ya coretannya dihapus? hiks sayang banget soalnya.
Walah menjerit geli itu gegara digigitin ikan tho, kirain apaan. Lampung ternyata keren juga ya, ada situs macam itu juga… keren.
Hayo kirain apa? haha. Iya, aku juga nggak nyangka perjalanan 4 hari di Lampung begitu banyak meninggalkan kesan dan cerita. LOVE Indonesia 🙂
Jadi inget pelajaran sejarah jaman SMP… Skrg lihat gambarnya deh.. 🙂
Wah ada masuk buku pelajaran ya? lha aku nggak inget hahaha
taun depan ajak kesini ya yan …
kamu tau yan
pugungraharjo itu salah satu wishlist aku di lampung
*hening
Wah ada apa dengan Pugungraharjo pak? apakah emang naksir kedua tempat ini sejak lama?
InsyaAllah, siapa tahu bisa balik lagi ke Lampung. Semoga bang Indra nggak lelah ngajakin jalan ke sini haha, aksesnya lumayan susah dan jauh soalnya.
Iyo, yan 🙂
Aku suka banget kalo mengunjungi situs sejarah macam ni. Kapan yaa bisa traveling bareng Omnduut *dan sambil rempong bawa krucils, hihihi
Hayok dong mbak Anne, jangan lelaki jomblo kece ibukota aja yang diajakin ketemuan (menyoal acara kumpul-kumpul di Jakarta beberapa hari lalu hahahaha) *sirik gak bisa ikutan*
wajar kalo kamu sedih waktu liat batu besar itu yan… bisa kumaklumi.. selain soal vandalismenya, itu tulisan di batu besarnya sepertinya lebih menohok hati yang nulis,.. wkwkwkwkwkwkwk
Payah kalo punya temen kayak mbak Fetty yang terlalu jujur seperti ini buahahaha
wah acara seru banget ya, salam kenal Om, lain kali bisa ikut ke sana
Salam kenal kembali pak Indra 🙂 semoga kapan-kapan bisa ketemuan ya pak, biar aku bisa sedot ilmu ngeblognya 🙂
wah acara seru banget ya
Soalnya ketemu sama abang-abang yang kocak dan seru hehehe
Asli menjerit pas ikan Garra Guffa itu mulai mengerubungi kakiku. Geliiiii banget hahahaha. Senang ketemu dirimu di Semaka, jadi kesampaian deh rencana mlipir Palembang yg dulu selalu ditunda-tunda. Tunggu cerita Palembang-ku yah 🙂
Yan, ditunggu di Lampung tahun depan yah *macam tuan rumahnya Lampung aja* 😀
Sama-sama dik eh kakak halim hahaha. Tapi aku masih tahan ya sampe lama, Halim menyerah :v
Yeaay sip, ditunggu catatan perjalanan di Palembangnya 😀
Jadi mikir kenapa bangka, belitung, lampung punya batu besar macam itu. Apa karena Ultraman ngamuk atau sisa-sisa penyerangan negara air…. 😀
Buahahahahaha *peganginperut, takut lepas*
Bisa jadiii bisa jadiiii *ala eat bulaga*
Eat bulaga ya.. aku lebih suka ggs sih…. :3 :v
Hahaha
Wah, berkunjung ke Pugung Raharjo… saya pengen banget ke taman purbakala itu :huhu, soalnya banyak yang ingin saya buktikan di sana :hehe. Eh itu ada Prajnaparamitha? Wow, ini artinya kemungkinan situs itu masih dipakai sampai zaman Hindu-Buddha, ya. Hm, menarik, soalnya perkembangan Hindu Buddha di Lampung belum banyak yang ekspos, padahal lokasi Lampung notabene lebih dekat dari Sriwijaya dan juga Jawa Barat, yang artinya eksposur budaya dan agama di sana jadi intens banget (semestinya).
Soal granit, saya pernah baca di mana (lupa) kalau akibat pergerakan kulit bumi dulu, daerah yang bergranit itu menyebar dari tanah genting Kra dan sepantaran Sumatera, mungkin asalnya dari sana, sebagaimana granit yang ada di pantai Belitung. Tapi saya jadi penasaran juga sih, nanti dicek lagi deh.
Hwaaaa, pengen ke sana!
*gelenggeleng*
GARA AKU PADAMUUU, HAYO KE PALEMBANG *tak ajakin ke museum sampe puas*
Wahh .. Seru mas bacanya, mungkim bakaln lebih seru kalo main seluncuran juga.. Ha-ha..
Hampiir…. hampir aja aku gegulingan di parit gede itu hahaha
Huuaaa, paling suka kalau digigit ikan itu. Sensasinya, sesuatu!
Semua kesundahan menguap, tak berbekas.
Ping balik: Salah Tingkah di Candi Sukuh | Omnduut