Melancong atau melakukan perjalanan tidak melulu harus ke tempat mewah dan mahal, bukan? Jadi ingat salah satu tulisan Trinity yang bilang bahwa mengantar asisten rumah tangga mereka mudik pun bisa dianggap sebuah liburan 🙂 Nah, itu juga yang aku lakukan di ’liburan’ Imlek beberapa waktu lalu. Bertepatan dengan seorang teman pulang mudik ke desa Kedaton yang berada di Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu), aku memutuskan untuk ikutan mudik ke desanya. Kapan lagi kan merasakan kehidupan pedesaan? 🙂
Uje adalah temanku semasa SMA dulu. Jadi, kalo ditotal sudah hampir 12 tahun kami berteman (oh ya ampun, aku sudah tua >.< ) namun belum pernah sekalipun aku mengunjungi kediamannya di desa Kedaton. Padahal, si Uje sering main di rumah. Keluarganya pun pernah ke rumah kami ketika Uje wisuda dulu. Berkali-kali diajakin Uje main ke desanya selalu waktunya gak pas. Nah, berhubung sekarang aku ini freeman dan Uje si pegawai pemerintahan berkarir cemerlang sudah punya kendaraan sendiri, jadilah aku ikutan Uje bedol desa eh pulang kampung.
Kamis, 30 Januari 2014 kami berangkat dari Palembang sekitar jam 5 sore. Hal ini diluar rencana mengingat Uje bilang mungkin akan tiba di Palembang sekitar jam 3 sore. Jadi, perjalanan dari Jambi (tempat Uje bekerja) ke Palembang molor dua jam. Eh ternyata Uje ngajak dua ”temennya” dari Jambi. *uhuk, maaf batuk*. Dari Palembang kami berangkat ber-5. Uje pun mengajak Tria, adiknya untuk mudik.
Perkiraan awal, kami akan sampai di desa Kedaton sekitar pukul 21:30. Nyatanya? Baru sampe jam 11 malam saja! Ini karena kami menempuh jalur memutar (melewati kota Baturaja) mengingat jalur biasa tergolong rawan jika dilalui malam hari. Di beberapa bagian, kami juga menemukan jalan yang kondisinya kurang kece. Jadilah perjalanan terasa lebih lama. Aku yang dari Palembang aja udah rasa capek. Apalagi Uje dan dua temannya yang dari Jambi, bukan? Total mereka melakukan perjalanan 14 jam! *gak kuaaat*
Sampai di Kedaton memang sudah mendekati tengah malam. Disambut keluarga Uje yang ramahnya jempolan, kami makan malam bersama sambil cerita ini itu. Aku sih memang udah kenal ya sama semua anggota keluarga Uje. Namun, nampaknya ada sosok-sosok yang canggung malam itu *uhuk, batuk lagi*.
Walau sudah capek banget, aku sendiri baru bisa tidur jam 1-an pagi. Bukan karena gak nyaman atau apa, tapi aku kudu balesin beberapa PM postcrossers yang deal swap postcard denganku (hehe sengaja disinggung, mampir ke galeri kartu posku dooong ^^ ). Ini nih enaknya tinggal di desa. Udaranya sejuk, suara serangga bersahutan, dan… NGGAK ADA NYAMUK!!! Walaupun tidurnya sebentar, tapi terasa sangat nyenyak.
Pagi hari, barulah suasana desa terlihat jelas. Rumah-rumah tradisional bergaya rumah panggung masih digunakan oleh penduduk desa. Udaranya sangat segaaaaaar. Beberapa penduduk mulai sibuk mengawali aktifitas. Anak-anak berseragam sekolah sudah mulai bergegas mendatangi sekolah. Petani karet pun sudah terlihat membawa peralatan menyadap. Pagi itu, kami sarapan dengan nikmaaaaat *lupalah sudah dengan OCD haha*

Sekolahnya agak jauh. Ada di desa sebelah. Jadi kecil-kecil udah pada naik motor. Helmnya jangan lupa dik!
Sedari awal Uje sudah mengingatkan bahwa tidak ada aktifitas khusus yang bisa dilakukan di desanya. Namun, kami beruntung bisa datang ke desa Kedaton hari Jumat karena pasa hari inilah pasar kalangan diadakan. Tahu kan arti pasar kalangan? Jadi di desa kedaton, pasar cuma hanya ada satu kali dalam satu minggu. Pasar dadakan inilah yang disebut pasar kalangan. Jika di kota, kota bisa belanja ke warung setiap hari, kan? Nah di desa kedaton mana bisa begitu. Makanya, Jumat menjadi hari yang besar di kedaton.
Ibunya Uje sudah ke pasar sejak pagi. Sekitar jam 8 kami menyusul melihat suasana pasar kalangan. Awalnya kukira pasar kalangan hanya berlangsung di lampangan atau alun-alun desa. Namun ternyata ada bangunannya juga dan itu cukup besar euy (dan hanya digunakan seminggu sekali ^^ ). Untuk lebih jelasnya liat aja dari foto-foto ini ya 🙂
Sepulang dari pasar kalangan, kami melewati sebuah jembatan yang membelah sungai besar. Sempat foto-foto disini, hanya gak lama. Cuaca lumayan panas. Yang lain pada gak mau turun juga, hanya aku yang sibuk foto-foto sendiri, gak seru haha. Namun memang janjinya bakalan balik lagi ke jembatan ini sore harinya dimana cuaca sudah cukup adem dan banyak yang kongkow-kongkow di sini. Karena juga mau sholat Jumat, kami pulang ke rumah. Gak jauh euy, lari-larian 10 menit aja sampe (kalo pelarinya itu atlet haha).
Untuk ukuran desa kecil, masjid Al-Huda yang ada di desa Kedaton ini lumayan megah. Bagus euy. Bangunannya bertingkat 2 dengan menara tinggi menjulang gagah. Menara ini juga terlihat dari atas jembatan yang kami lalui tadi. Mengenai shalat Jumat ini ada beberapa catatan khusus dariku. Sengaja aku tuliskan karena hal ini sudah jarang ditemuin di perkotaan.
Apa itu?
1. Orang datang tepat waktu. Sebelum azan dzuhur berkumandang, masjid sudah terisi penuh lebih dari 90 persen. Mana ada tuh orang yang datang ketika imam selesai khotbah macam jamaah di perkotaan. Hoho. Orang suka kebiasaan gitu kan? malah suka ngulur-ngulur waktu buat Jumaatan. Kadang sudah rakaat pertama baru deh nyelip kebarisan.
2. 99 persen orang memakai pakaian terbaik ketika beribadah shalat Jumat ini. Terus terang, aku yang datang pake jeans dan t-shirt berkerah pun ngerasa saltum di Jumaatan kali ini. Orang-orang yang datang rata-rata memakai peci, baju koko dan sarung. Jikapun pake kaos biasanya anak-anak kecil dan itupun jarang. Jadi, mana ada ya orang yang shalat pake kaos yang kalo ruku’ belahan pantatnya kelihatan. Hueks.
3. Kalo di Palembang, orang akan memilih sendal terjelek untuk Jumaatan. Kenapa? Takut hilang kan ya? nah, penduduk di desa Kedaton ini sendal yang dipake kece-kece euy. Mereka gak ragu pake sendal bermerek. Ini hal sederhana, namun disisi lain menunjukkan bahwa mereka tidak khawatir dengan keamanan lingkungan mereka *kasih jempol*
4. Lagi asyik-asyik denger khotbah (atau tidur? Hwhwhw) trus ada yang nyolek ngidarin celengan? Di desa Kedaton hal itu NGGAK ADA! Celengan besar ditempatkan di depan pintu masuk. Jadi jika ada yang mau kasih sumbangan langsung aja masukin uangnya disana. Bagus kan? gak merusak konsentrasi ketika mendengarkan khotbah (atau gak mengganggu tidur hwhw).
4 poin itu yang aku sampaikan diatas jujur saja sudah sangat jarang aku temuin ketika Jumaatan di Palembang. Makanya, aku salut dengan masyarakat kedaton ini. Pulang ke rumah, makan siang sudah dihidangkan oleh ibunya Uje. Aih nikmatnyaaaaa…. *pantesan betah hihi*
Aktifitas penuh dilakukan di rumah. Ngobrol, nanya ini itu, ketawa haha hihi. Main-main sama keponakan Uje. Atau juga bisa ubek-ubek rak bukunya Uje (aku menamatkan satu buku selama di sini hehe). Eh ya, walaupun ini desa, tapi channel TV luar negeri pun dapet loh. Ntah alat apa yang dipake yang pasti channel TV mereka lebih banyak dari channel di rumahku >.<
Sore hari sekitar jam setengah 5 kami jalan-jalan lagi ke Jembatan. Nah, baru deh semua turun dan bernarsis ria. Oh ya, sebagian penduduk juga masih tergantung sekali dengan sungai. Mereka mandi di sini. Di beberapa sudut juga terlihat WC tradisional (baca : kakus) berada di sekitaran sungai hohoho. Silahkan dipadangi kenarsisan kami 🙂

Gaya bawa pancingan, kagak dapet ikan tuh. 🙂 (ki-ka) Tria, Kak Mita, Triana, Dika (Ponakan Uje) dan Uje sendiri
Gak lama, kami kembali pulang. Sampe di rumah… ya narsis lagi. Hahay! Kali ini dengan formasi lengkap keluarga Uje. Bapak dan Ibu Uje kami ’seret’ buat foto bareng. Asli, susah banget ngajakin mereka berfoto. Padahal kata Uje mereka berdua dulu mantan model *becandaaaa* 😀 Di sela-sela sesi foto, kami juga melihat aktifitas jual beli karet. Bapaknya Uje kan bos karet tuh, jadi bisa ngintiplah transaksi perdagangan mereka yang kental sekali unsur kekeluargaannya 🙂
Sabtu keesokan harinya kami pulang ke Palembang. Heh jadi cuma satu hari? YUP! Jujur saja, aku masih merasa kurang berada di desa ini. Tapi, berhubung dua ”teman” Uje mau belanja-belinji di Palembang, jadi kudu spare waktu khusus buat itu. Maklum di hari Minggu mereka udah harus kembali ke Jambi. Aku sih udah mau ikut sebetulnya… tapi karena satu dan lain hal batal. Semoga bisa ke Jambi di kesempatan yang akan datang.
Makasih ya buat Uje dan keluarga yang sudah menjamu kami dengan sangat sangat sangat baik selama berada di desa Kedaton. Semoga suatu hari bisa kembali ke desa yang bersih, tenang, tentram dan sejuk ini. 😉
Lah, ini baru ada foto-fotonya…
Harusnya foto-foto ini diikutin turnamen foto perjalanan tema kampung kemaren, pasti keren 🙂
Suka banget ama rumahnya… 🙂
Iya, tadi koneksi warnetnya lelet banget. Hampir aja aku pulang 😀
Dan… iya, aku melewati TFP Kampung haha karena baru pergi ke desa ini setelah TFP selesai ^^
Bagusnya Oooooom itu kampungnyaaa. Dulu mah kayak gitu kampung saya jugak. Sedih deh
Sekarang udah berubah ya kampungnya mas Dani? di kampung kedaton ini, aku gak ngeliat satu pun rumah yang 100% terbuat dari batu 🙂 jikapun semi permanen masih berkonsep rumah panggung 🙂
ingat aja sama “belahan” wkwkwk… itu uje lagi gendong anaknya?
oom kapan?? *uhuk 😀
Itu keponakannya kaka’ ketahuan lagi nih gak baca tulisannya >.< hihihi
Uje juga masih single, tapi sekali dapet triple hahahaha
banyak postingan terlewat, jadi cuma baca sepintas 😀
wah… asik ya tempatnya mas…
Bangeeet 🙂 aku betah deh. Jika ada internet, wah sempurna hahaha
Seneng liat rumah panggungnya, lantainya dari kayu2 pula.. jadi pengen ke sini 🙂
Aku juga pingin rasanya balik lagi 🙂 rumahnya tenaaaaang
desanya kayaknya adem yah, sejuk keliatannya
Iya adeeem 🙂 cuacanya bagus karena masih banyak pepohonan 🙂
Liat fotofoto rumah dan kampung Kedaton jadi inget sama kampung almh Ibundaku di Ogan Komering Ilir. Kapan bisa main ke sana lagi
Wah, OKI deketlah dari Palembang 🙂 kapan-kapan kudu pulang kampung berarti mbak ^^
liputan yang sangat baik,terutama yg kangen dengan dusunnya,terimakasih bro
Samo-samo Lur 🙂