Bacaan

pendidikan untuk orang rimba – MERETAS AKSARA DI BELANTARA –

meretas-aksara-depan

::: Meretas Aksara di Belantara :::
Cuplikan Kisah Fasilitas Pendidikan Alternatif Warsi Bersama Orang Rimba
| 2012 | Penulis : Tim Warsi | Penyunting : Sukmareni |
| Perancang Sampul dan Tata Letak : Heriyadi Asyari dan Achmad Subandi |
| Penerbit : PT. Elex Media Komputindo | ISBN : 978-602-00-3136-1 |
| 160 Hal | Harga Rp. 49.800- | Skor ala Omnduut : 7.7/10 | Rating GR : 3/5 |

“Anak keh todo, akeh sakola ko jedi bidan guding. Akeh ndok ngolihnye bulih bentu kanti-kanti di delom, (Aku akan sekolahkan anakku nanti hingga menjadi bidan. Aku mau melihat dia nanti membantu kesehatan orang rimba)” (Hal.102).

Sebuah pengharapan dari orang tua kepada anaknya. Terdengar biasa, bukan? namun hal ini menjadi spesial karena yang berharap adalah Gentar, orang rimba Sako Ninik Makekal Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Mengapa? Karena orang rimba masih belum mengetahui betapa pentingnya pendidikan. Orang rimba menganggap pendidikan adalah sesuatu yang tidak perlu. Terlebih dengan hidup berkelompok yang nomaden, akses mereka untuk mendapatkan pendidikan menjadi jauh lebih sulit. Mereka tinggal jauh di tengah hutan. Jauh dari peradaban kota apalagi sebuah tempat yang bernama : sekolah.

Tanpa adanya pengetahuan, keberadaan orang rimba kerap ‘dimanfaatkan’ oleh beberapa pihak untuk mencari keuntungan. Misalnya saja dana bantuan yang harusnya diberikan ke orang rimba seringkali tidak tepat sasaran. Para oknum yang berbuat curang biasanya memanfaatkan kelemahan orang rimba yang buta huruf. Sebetulnya orang rimba pun menyadari hal itu. Mereka belakangan menyadari bahwa keterbatasan mereka sering disalahgunakan. Namun, tetap saja menawarkan pendidikan ke orang rimba bukan satu hal yang mudah.

Berbekal keprihatinan dan usaha untuk mengentaskan buta huruf itulah yang melatarbelakangi Yusak Adrian hutapea untuk membuat pilot project sekaligus menajadi peletakan konsep dasar pendidikan orang rimba. Bersama tim Warsi lainnya akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa, “…untuk menjadi melek huruf dan angka tidak harus sekolah, tidak harus ada gedung, tidak harus ada guru, tidak harus seragam, tidak harus ada murid, tapi memulainya dengan persahabatan yang tulus.” Hal.17.

scan0048

Persahabatan yang manis, bukan? 🙂

Mulailah pendekatan terhadap beberapa kelompok orang rimba dilakukan. Tentu saja ini bukan pekerjaan gampang. Terlebih, anak-anak orang rimba sudah memiliki tugas dan kewajiban membantu orang tua dan kelompok sejak usia dini. Bagi orang rimba, kehadiran anak selalu memiliki arti khusus. Anak juga mempunyai arti strategis bagi orang tuanya. “Untuk anak laki-laki sangat diharapkan untuk menjaid dewasa yang kuat, pandai berburu atau mengambil hasil hutan, berbakti kepada istri dan ibu serta pandai berbilang adat.”  (Hal.5). Anak perempuan juga memiliki prefensi sendiri karena kelak ketika dewasa mereka akan mewarisi harta orang tuanya. Terlepas dari itu semua, anak perempuan tentu juga memiliki tugas tersendiri yakni, “…berfungsi penting pada distribusi makanan dalam rumah tangga, bebas hukum, dan ikut menentukan dalam arah berladang.” (Hal.5). Dengan adanya kebiasaan-kebiasaan inilah maka mengenalkan pendidikan kepada orang rimba menjadi semakin penuh tantangan.

Komunikasi yang awalnya sulit mulai menemukan titik terang di beberapa kelompok orang rimba. Ya, usaha tim Warsi mulai menampakan hasil. Anak-anak mulai diizinkan untuk belajar. Bahkan para lelaki dewasa pun tertarik untuk mengenal huruf. Lucunya, di salah satu kelompok, para istri turut mengawasi suami mereka belajar. Jika mendapati suami mereka tidak serius, sang istri dengan tegas ‘memarahi’. Unik sekali 🙂 Lalu, bagaimana proses belajar orang rimba? Acungan jempol patut diberikan oleh fasilisator pendidikan tim Warsi. Mereka harus membelah hutan, menerjang sungai untuk bisa mencapai satu kelompokan orang rimba. Belajarnya pun bisa dimana saja. Di bawah rindangnya pohon dan beralas tanah bahkan belajar juga dilakukan di pinggir sungai (seperti yang terlihat di sampul buku ini). Mereka belajar mengikuti alam. Terlebih jika ada salah satu anggota kelompok orang rimba yang meninggal, mereka terkadang harus kehilangan jejak kelompok tersebut karena sudah menjadi peraturan adat orang rimba yang harus mencari daerah baru untuk ditinggali begitu ada anggota kelompok yang meninggal dunia.

scan0046

Bagi anak orang rimba, belajar bisa dimana saja.

Orang rimba hidup mengikuti aturan adat. Peraturan itu pun bermacam ragamnya. Misalnya saja peraturan bagi wanita dewasa yang tengah mengandung. Mereka tidak boleh melewati jalan bekas hewan mati. Jika mengambil air di sungai calon ibu ini tak boleh menghadap ke hilir. Jika melanggar, mereka percaya bayi akan sungsang. Masih banyak peraturan yang diterapkan ketat di kelompok orang rimba. Walaupun, belakangan ada beberapa peraturan yang mereka langgar. Misalnya saja, “Perilaku lain yang juga dipantangkan yaitu dalam hal hubungan intim suami istri. Berpantang hubungan intim ini bagi orang rimba kadang sampai memakan waktu 2 tahun. Namun saat ini sudah banyak yang melanggar aturan ini dengan alasan tidak tahan menjalaninya.” (Hal.8). Ternyata, jika berhubungan dengan kebutuhan biologis, orang rimba yang taat adat sekalipun akhirnya berfikir logis, kan? 🙂

Upaya mengenalkan pendidikan kepada orang rimba sudah dimulai sejak tahun 1998 hingga sekarang. Tim Warsi beruntung memiliki fasilisator pendidikan yang berjuang keras demi kehidupan orang rimba yang lebih baik. Fasilisator pendidikan ini berasal dari penjuru Indonesia. Rata-rata mereka sangat bangga dengan pekerjaan mereka tersebut. “Pengalaman mengajar orang rimba merupakan pengalaman yang paling berharga buat saya,” ujar Saripul Alamsyah Siregar. Fasilisator pendidikan Warsi periode 2003 s.d 2005 (Hal.23).

Salah satu fasilisator –Fery Apriado (yang menjadi model kaver buku ini ^^) bahkan tertarik mengenal kehidupan orang rimba dari sebuah iklan di televisi. “Kala itu 2002 yang lalu, tepatnya Agustus ketika sedang commercial break pada sinetron Si Doel Anak Sekolahan, melintaslah sebuah iklan di koran Kompas yang menjadikan perjuangan Butet Saurlina Manurung di pedalaman provisi Jambi… Aku ingin menjadi orang seperti dia,” sahut Fery. (Hal.33). Dedikasi fasilisator Warsi tidak main-main. Bahkan, salah satu fasilisator –Prio Uji Sukmawan, meninggal dunia setelah berjuang mengantarkan beberapa anak orang rimba untuk belajar di sekolah umum. “Prio berkeinginan bahwa untuk orang rimba pendidikan yang diberikan harus lebih dikembangkan. Salah satunya dalam bentuk pendidikan keterampilan untuk kehidupan orang rimba nantinya.” Hal.87. “Namun sayang, ketika ini baru dirancang, takdir sudah berkata lain. Prio dipanggil sang Khalik untuk menghadap kepada-Nya, dengan cita-cita mulia yang masih belum sempat diwujudkan.”  Maka, cita-cita itu pula yang kini tengah diperjuangkan oleh Tim Warsi lainnya.

scan0047

Sekarang aku punya seragam sekolah!

Meretas Aksara di Belantara adalah salah satu bukti bahwa masih ada perjuangan yang dilakukan sekelompok muda-mudi bangsa demi kehidupan Indonesia yang lebih baik (dalam hal ini demi kemajuan orang rimba). Buku yang ditulis secara ‘keroyokan’ oleh tim Warsi ini cukup jelas menggambarkan bagaimana kehidupan orang rimba di Jambi sekaligus memperlihatkan semangat tim Warsi dalam mengenalkan pendidikan ke orang rimba. Toh, kesempatan untuk cerdas dan pintar itu milik semua anak Indonesia, bukan?

Baik secara isi dan fisik, buku ini sangat rapi. Rasanya aku tidak menemukan satupun typo di buku ini. Selain itu, buku ini dilengkapi foto-foto kegiatan tim Warsi dan interaksi mereka dengan orang rimba. Bahkan sebagian lagi foto tersebut berwarna. Membaca Meretas Aksara di Belantara membuat aku melek terhadap kehidupan orang rimba. Aku juga berapa kali merasa terharu ketika membaca kisah perjuangan fasilisator warsi dalam mengenalkan pendidikan di orang rimba. Karena, sekali lagi itu bukan sesuatu hal yang mudah. Namun, untunglah semangat tim Warsi nampaknya terus membara dan aku harap hingga kapanpun semangat itu tak akan pernah pudar. Amin.

27 komentar di “pendidikan untuk orang rimba – MERETAS AKSARA DI BELANTARA –

  1. 🙂 saya selalu tertarik dengan para sukarelawan pengajar yang berjuang untuk kemajuan Indonesia.murni dari nurani.ikhlas dan sabar.seperti Indonesia Mengajar,Solo Mengajar,Kelas Belajar Oky,dan sebagainya.Harga yang mahal saya harap sesuai dengan “jatah” buat para penulisnya.Semoga buku ini bisa menjadi pendorong buat kita semua untuk mendidik Indonesia.
    Saya sendiri jika nganggur dirumah,ikut nimbrung disekolahan anak saya jika ada jam kosong.Sekedar berbagi cerita dan mengembangkan imajinasi mereka.
    🙂 blognya hebat!

    • Iya mas. Rasanya senang masih ada lembaga non pemerintah yang berbuat tulus untuk kehidupan orang-orang yang terpinggirkan seperti orang rimba ini. Baik itu tim Warsi atau Indonesia Mengajar dsb.

      Wah salut mas dengan kesediaannya berbagi pengalaman. Pasti seru sekali ya mendengar cerita-cerita seputar negeri yang jauh. Aku dulu waktu kecil juga paling suka diceritain tentang itu 🙂 Soal blog, aku masih amatiran mas. Masih terus belajar.

    • Iya mas. Diantara manusia-manusia yang gemar menumpuk kekayaan dengan cara tidak halal rasanya senang dan bangga ada orang-orang yang concern terhadap pendidikan seperti tim Warsi. Semoga langkah mereka mengentaskan kebodohan dimudahkan Allah Swt. Amin.

  2. Ping balik: pendidikan suku anak dalam – SOKOLA RIMBA – | La Rêveur Vrai

Tinggalkan Balasan ke omnduut Batalkan balasan