::: Java Heat :::
| 2013 | Margate House Films | Directed by : Conor Allyn |
| Starring : Kellan Lutz, Mickey Rouke, Ario Bayu, Atiqah Hasiholan, Mike Muliardo |
| MPAA Rating : R | Running Time : 120 minutes | Budget : $ 15 Millions) |
| Rating ala Omnduut : 6.2/10 | Rating IMDB : 5.3/10 | Rating Rotten Tomatoes : 46 % |
Jake Travers (Lutz) ditangkap pihak kepolisian karena diduga terlibat atas kematian Sultana (Hasiholan) pasca ledakan di sebuah acara keraton. Ialah Letnan Hasim (Bayu) yang awalnya curiga dan bertugas menyelidiki karena Jake-lah orang terakhir yang terlihat berbincang dengan Sultana sebelum sultan perempuan pertama itu tewas akibat ledakan bom bunuh diri.
Kejadian ini dikaitkan dengan gerakan teroris yang digencarkan oleh Achmed (Muliardo). Namun, ketika penyelidikan berlanjut, timbul kecurigaan bahwa Sultana sesungguhnya belum mati. Mayat yang diduga sebagai jasad Sultana memiliki tato aneh yang ternyata merupakan identitas perempuan malam yang dikelola sebuah rumah bordir.
Dibalik isu teroris, sesungguhnya kejadian peledakan keraton adalah kamuflase dari rencana pencurian perhiasan senilai 7 juta dolar. Sultana pun disekap oleh otak penculikan bernama Malik (Rouke) yang memang spesialis menyabotase sebuah kejadian untuk memudahkan rencana pencurian perhiasan berharga. Kejutan lain datang ketika Jake ternyata bukanlah asisten dosen namun anggota kepolisian yang bertugas menyelidiki kasus ini.
Secara umum, itulah garis besar cerita yang ditawarkan oleh Java Heat. Ketika rencana pembuatan film yang bersetting di Yogyakarta ini digulirkan beberapa bulan lalu, aku termasuk salah satu orang yang antusias dan penasaran dengan film ini. Harapanku, keindahan Indonesia bisa ditampilkan secara apik. Lumayan untuk mempromosikan daerah lain di Indonesia. Namun sayang, menurutku Java Heat gagal memanfaatkan momen ini.
Perasaan kurang nyaman sudah mulai terlihat dari adegan awal. Dimana efek pengeboman si pelaku bunuh diri ditampilkan dengan sangat apa adanya. Masih satu level dengan spesial efek di film kolosal ala stasiun teve ‘Ikan Terbang’. Baiklah, rasanya tidak adil jika menilai sebuah film utuh hanya dari adegan pembukaannya saja. Tapi, ketika durasi film terus berjalan, banyak sekali cela yang tidak bisa ditutupi atau diindahkan begitu saja.
Sutradara Java Heat –Conor Allyn sepertinya galau untuk untuk menentukan setting film ini. Di satu sisi, Yogyakarta digambarkan ala tahun 50-an (dengan tampilan ruang interogasi yang kuno, kumuh dan gelap) atau juga ketika di salah satu adegan dimana Letnan Hachim memperlihatkan adegan CCTV di televisi, terlihat bahwa kepolisian Indonesia masih menggunakan kaset HVS (ya, kaset setebal buku itu) dengan televisi jadul dan sound system yang kuno. Anehnya gambarnya berwarna, tidak hitam putih.
Kendaraan yang dipakai juga mobil keluaran lama. Namun, di jalan banyak yang menggunakan mobil keluaran terbaru. Bahkan gadget yang digunakan oleh Malik juga canggih. Ah, penonton jadi dibuat bingung. Setting ini mau dibawa kemana? *Jadi seperti judul lagu*
Bagaimana dengan akting para pemainnya? Tidak ada yang spesial. Mickey Rouke yang berperan sebagai penjahat juga terlihat datar. Duet Lutz-Bayu juga biasa saja. Tidak memperlihatkan kemampuan akting yang prima. Bagaimana dengan Atiqah yang di sini berperan sebagai sultan Jawa? Iya, dia memang cantik dan terlihat Indonesia sekali. Namun, aktingnya juga biasa saja. Bahkan kekasihnya yang juga bermain di film ini –Rio Dewanto, dialognya sering kali tak terdengar jelas. Untung aja ada subtitle-nya sehingga aku tahu apa yang sedang ia bicarakan.
Untuk tema mengenai pencurian, seharusnya film ini bisa berjalan dengan jauh lebih baik, dinamis dan dengan kadar ketegangan yang dijaga secara stabil (apalagi mengingat ini film aksi). Adegan ledakan cukup bagus namun untuk film berbudget 15 juta dolar harusnya bisa melakukan jauh lebih baik. Jika berbicara film aksi, apalagi didukung adegan-adegan bag-big-bug aku biasanya membatasi diri untuk tidak terlalu merisaukan hal-hal yang terjadi di luar akal sehat. Tapi, hingga film selesai, aku masih penasaran bagaimana Sultana bisa selamat dan keberadaannya ditukar dengan seorang ‘perempuan malam’ ketika adegan peledakan terjadi? Apakah ada Deddy Corbuzier di film ini? Entahlah.
Walau begitu, aku tetap menghargai kerja keras tim produksi film ini. Walaupun banyak kekurangan, toh aku masih tetap menyelesaikan film ini hingga akhir (psst, rugi jugalah kalau sampai pulang, udah bela-belain datang ke bioskop ini! :p ). Oh ya, adegan akhir di candi Borobudur, walaupun agak konyol tapi… ya lumayanlah untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia punya candi yang indah dan megah seperti itu (andai ada adegan gambar Borobudur yang diambil dari udara, pasti lebih keren. Ah, sepertinya budget film ini habis untuk bayar Mickey Rouke saja :p). Aku membayangkan, jika film ini disutradarai oleh orang lain –The Mo Brother yang asli Indonesia misalnya, bisa jadi film ini akan terjadi lebih baik.
Sekian dulu. Harapanku, semoga The Philosophers yang akan tayang akhir tahun ini bisa disajikan jauh lebih baik.
pertamax
4 bulan punya rumah baru di WP baru ini dapet komen pertamax. Huaaa jadi inget multiply 😛
puk puk *
susah nian lur nak ngomen pertamo disiko hahaha
Oh ya ampuuun, haha jadi kareno ituuu 😀
hehehehe …. lebih menarik komen soal pertama drpd komen ttg filmnya,
banyak yg bilang jelek jadi mungkin aku katek gairah nak jingok film tu
Hahaha 🙂
Yup, simpan duit dan gunain untuk hal yang lebih jelas bikin hepi. Tapi, kalo penasaran boleh kok. Kan penilaian itu beda-beda.
hahahaha … nak jingok mursala di jambi belum masuk di coming soon :p
Mudah-mudahan dak lamo lagi. Di Palembang jugo cuma tayang di IP adoooh 😀
lemak o, di jambi lum ado 😀
Iyo kato kawan memang di Jambi agak lambat masuk film baru 😀
iyo … cumo sikok bioskop disiko
Yuk mari ke Palembang 😀
hahaha … dulu kito belum kenalan lur ye …
btw, dak gawe apo ? oL bae hehehe
Oh aku kan jualannyo siang, dan biso bawak laptop jugo kok hehehe
hahahaha 😀
Memang banyak yang terlalu dipaksakan adegan / scene-scene nya, sehingga terlihat janggal.
Iya betul mas. Sayang banget ya jadinya :p Padahal film itu salah satu media ampuh untuk promosi 🙂
Satu pertanyaan yg sampai sekarang mengganjal:
Kenapa harus bule yg dominan?
Di sini khan lumayan banyak talents.
Kalau soal ini bisa jadi untuk menggaet penonton remaja di luar (padahal MPAA rating R) ^^ si Lutz ini kan masuk gengnya Cullen di Twilight series 😀
Belom nonton..nonton weekend mahalll banget sekarang..nggak kuat huhuhu
Sama, di Palembang juga kalo weekend tembus 50 ribu hweew
sabtu minggu lalu msh 50rebu, minggu udah naek jd 60rebu donk huahua
Wah kalo 60 ribu kemahalan tuh hmmm
Nunggu film ini muncul di TV aja ah #Eh
Tunggu aja bentar lagi hahaha… Dead Mine aja udah tayang semalam :p
Ulasannya mewakili apa yang aku pikirkan nih Cek Yan. Iya betul, kuno dan kumuh banget itu ruang interogasinya. Aku juga kaget. Apalagi itu tampil saat opening ya. Setahuku polisi Indonesia (apalagi sekelas densus 88) punya ruangan bagus2 bahkan tergolong mewah. Eeeh di film kok jadul banget. Si letnan Hashim jg komputernya parah. komputer jadul yg tebalnya bukan main…haha…balik ke tahun 90an itu mah ya. Gmn ga parah wong ini udah zaman Ipad dan Galaxy Tab (itu film dibuat di atas thn 2011 ya kan? Bener gak?). Duh dikesankan ketinggalan zaman banget nih Indonesia.
Penampakan Istana (wkt Jake dan Hashim ketemu Sultan), kok kayak numpang syuting di taman yg baru jadi? Hihihi ga ”istana” banget!
Tata musiknya juga ga pas. Itu banyak adegan menegangkan, saat dar der dor, buuum bom, kejar2an di gang di genteng di tangga, hadeuuuh backsoundnya biasaaaaaa banget… Yg mestinya bisa bikin tegang, menaikan adrenalin, seru, jadi terdengar biasa. Maksudku, coba deh kayak The Raid (emang beda sih ya, yg bikin backsound di The Raid kan org yg biasa bikin musik buat Linkin Park hihi), pasti terasaaa banget. Ada gregetnya gitu lho.
Dan bener, adegan kejar2an di atas Borobudur itu konyol. Cuma segitu aja adegannya??? Sultana yg ditarik2 oleh Malik kok bagiku kayak gini: ”mana rasa sakitnya Sulatana? Mana seret2 kejamnya?” haha…aku mbayangin di situ dpt klimax dari pertarungan Malik dan Jake. Eh trnyt cukup dgn sedikit pertarungan adu tembak yg sekejab.
Biaya yg fantastis utk sebuah film, yg dikeluarkan oleh pemerintan AS, sayang hasilnya ga fantastis. Memang sih, kalo soal adegan, mungkin ga mesti fantastis ya, misalnya si Jake ditampilkan serba bisa/jago. Sebagaimana biasanya film2 Hollywood, sang jagoan selalu dibikin kayak superhero yg serba bisa dan ga pernah sakit apalagi kalah. Jake trmsk ”normal” menurutku. Begitu jg dgn Hashim. Mereka ttp kayak ”manusia”.
Akting? Tio Pakusodewo keren menurutku. Tatapan liciknya dapet banget. Si Malik juga dapet kesan jahatnya.
Jawa dan kebiasaan? Itu kok istri Hashim pake cium pipi segala ke Jake? Seorang istri, ibu, wanita tudungan kepala, org Indonesia, kok ketemu org asing yg baru pertama kali langsung cium pipi? Bukannya org kita itu -minimal- jabat tangan saja kalo jumpa?
Sultana, seorang putri, juga gitu. Cium pipi laki2 di depan umum (saat Jake mau naik pesawat), apa perempuan Keraton biasa begitu? Hehe…kulihat banyak selipan adegan dan kebiasaan yg mencerminkan Indonesia dan Jawa, tapi adegan cium2 itu ”melenceng”. 😀
Dan satu lagi, bagus deh Hasiholan, Sang Putri, ga ada adgean Vulgar kayak si Uli :p Kalo sampe ada, duh…citra Putrinya mana ya? 😀 Temen2ku ngira, endingnya jgn2 tuh Putri ama Jake akan ada apa2nya. Ternyata ”bersih”.
Secara keseluruhan…hmm…ya tetep bagus (bingung mutusin bagus apa ga nya haha)…minimal, ini film memperlihatkan Indonesia. Jadi, ya tontonlah…
Oh ya untuk Tio tatapan liciknya memang dapet 🙂 Walaupun karena di sini dia minim dialog jadi ekpresinya gak keluar maksimal ^^ Iya filmnya dibuat tahun 2011 atau 2012 mbak. Soal ‘istana’ kehancurannya juga nanggung. Semua nampak terbakar tapi tiang-tiangngya tetap bersih hahaha.
Musik juga memang gak terasa ruh-nya. Ada satu adegan yang aku sebel banget ketika Jake ke rumah bordir. Dia ketemu calo kan? nah waktu Jake nawarin minuman dia bilang, “Saya muslim, tidak minum alkohol” Lhaa, muslim kok jadi calo begituan? huhuhu *nangis*
Ini bukan film yang buruuuuk banget. Nggak. Hanya espektasi aku aja yang kayaknya gak sepadan dengan hasilnya hahaha.
Hadeuuuh panjang bener tuh koment wkwkwk Antara seneng dan kesel sih ya..jadinya banyak koment. Bukan maksud sok tahu, apalagi sok jago menilai…cuma bolehlah ya menuangkan apa yg di rasa. Namanya juga penonton :))
Makasih sdh di colek ke tulisan ini Cek Yan. Suka ulasannya.
Gapapa mbak Rien 🙂
Boleh kok mau sepanjang apa juga komennya. Mari kita menunggu The Philosphers! 😉
waduh, nunggu DVDrip-nya aja deh, hehehe
Huahahaha… silahkan mas 😉
eh di dubbling apa pake bahasa endonesah?
cukup tahu cerita film ini dari reviewnya yan dah..
80 % film ini menggunakan bahasa Inggris mbak Tin. Nah yang sisa 20% ini yang kadang gak terdengar jelas mereka ngomong apaan, haha, nah untung ada teks bahasa Inggrisnya. Soalnya mereka ngomong terdengarnya kayak bisik-bisik :p
haha iya, antara mau nangis dan ketawa, masa iya nolak minum alkohol tapi jadi calo PSK :p
Harusnya ga usah nyebut2 muslim segala di scene itu. Nanggung!
Iya harusnya dia minum aja gitu. Udah selesai… 😦
haha iya, minum seklian, main sekalian! Ancur dah :))
Bener itu, dialog bhs Indonesianya ga jelas. Dan jika aktor/aktriss Indonesia (kecuali Atiqah dan Fitria istrinya Hasyim), ngomong pake bhs Inggris, baku banget, mudah ditranslate, dan kayak anak SMP baru belajar ngomong Inggris 😀
Sepanjang nonton aku lempeng aja sampe orang-orang dibelakangku teriak kenceeeng banget, Astagfirullah pas liat mas Jake dipijet. Uhlala hahaha. Denger komen spontan itu jadi cengar-cengir sendiri 😛
Film ini juga terlalu mendikte ya mbak. Setiap informasi diberitahu dengan gamblang. Kayak guru nanya ke anak. “Apa ibu kota Indonesia” jawabnya “Jakarta”. Misalnya penjelasan apa itu “mas” atau “bule” biasanya kan gak selalu pertanyaan dijawab dengan jelas kayak gitu. Kadang2 pertanyaan itu terjawab dari adegan filmnya. Hehe
Reblogged this on SixFiveNinetyTwo.
Terima kasih apresiasinya 🙂
yaaah.. kecewa deh 😦
Eeeh, dicoba aja dulu ^^ beberapa temanku bilang film ini bagus kok 🙂