::: Rantau 1 Muara :::
| 2013 | Penulis : Ahmad Fuadi | Editor : Danya Dewanti Fuadi & Mirna Yulistianti |
| Proofreader : Meilia K & Dwi Ayu N | Desain & Ilustrasi Sampul : Hans Nio |
| Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama| ISBN : 9789792294736 | Harga Rp. 75.000- |
| 402 Hal | Skor ala Omnduut : 8.8/10 | Rating GR : 4,58/5 |
“Jika kau bukan anak raja dan juga bukan anak ulama besar, maka menuliskah” Imam Al-Ghazali, Hal.9
Setahun sudah Alif merengkuh sejuta pengalaman di kota Saint-Raymond, Kanada dalam rangka pertukaran pelajar. Kini ia kembali ke Bandung, kembali ke kota dimana mimpi-mimpinya menapaki benua Amerika bermula. Dengan berhasil memperlihatkan bahwa dengan kerja keras dan keyakinan Man Shabara Zhafira –siapa yang bersabar akan beruntung, Alif telah membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin diraih di dunia ini, terlebih ketika berjuang mewujudkan mimpi.
Rasa percaya diri Alif membuncah. Pasca perjalanan dari Kanada, Alif dengan mudah meraih beasiswa lainnya. Tak lama dari kepulangannya ke kos yang berdebu dan lembab, Alif berkesempatan meraih beasiswa visiting student di National University di Singapura selama satu semester. Dengan pengalamannya itu, Alif sudah satu level di atas teman-temannya yang lain. Kemampuan menulisnya juga terus meningkat. Rasanya, masa depan gemilang sudah berada di genggamannya. Tapi benarkah?
Iklim politik yang memanas di penghujung tahun 1990-an ternyata juga berdampak dalam kehidupan Alif. Belasan lamaran pekerjaan selalu berakhir dengan penolakan. Memang sulit untuk mendapatkan pekerjaan dikala banyak perusahaan gulung tikar. Di titik terendahnya, Alif bahkan sudah tidak mampu lagi membantu kehidupan Amak dan adik-adiknya di kampung. Bahkan, Alif sempat mengambil keputusan nekat. Berhutang! “Hari ini aku bukan lagi orang merdeka. Aku terjajah oleh hutang,” hal. 25.
Reformasi di tahun 1998 menggemparkan Indonesia bahkan dunia. Kekacauan dan kerusuhan terjadi. Namun, tentu saja ada hikmah di balik sebuah kejadian. Pasca tumbangnya penguasa, media massa yang sebelumnya dibredel kembali tumbuh dan berusaha bangkit menunjukkan tajinya. Alif pun beruntung bisa unjuk gigi menjadi jurnalis di media. Alif akhirnya berkarir sebagai wartawan di Derap. Media yang menjunjung tinggi kejujuran dan berusaha mengungkapkan berita dengan apa adanya.
Di sini kemampuan menulis Alif berkembang pesat. Keterpurukan keuangan juga mulai teratasi walaupun Alif masih harus berjuang keras untuk itu. Bersama sahabatnya –Pasus, Alif rela mondok di kantor dan bermalam di ruangan arsip agar dapat menyisihkan gaji lebih banyak untuk membantu kehidupan Amak di kampung. Untunglah, ia memiliki rekan kerja yang baik. Atmosfer kekeluargaan sangat dijunjung tinggi di sana. Bahkan, ketika Derap merekrut pegawai baru bernama Dinara, Alif merasakan getaran berbeda di dadanya. Bayang-bayang Raisa mulai pupus. Dinara sangat menyita hati dan pikirannya. Itukah yang dinamakan cinta?
Randai… sahabat masa kecil yang telah memenangi hati Raisa kembali hadir di hidup Alif. Semangat Randai untuk berkompetisi tak pernah surut. Dengan sengaja Randai bercerita tentang pencapaian-pencapaian yang ia raih. Alif tak ingin dicundangi, Alif tak ingin lagi tertampar ketika apa yang ia inginkan terebut lebih dulu dari sahabatnya itu. Ketika Randai bercerita bahwa ia akan mendapatkan beasiswa ke Eropa, Alif tersentak. Ia tak ingin kalah. Alif mulai gencar memburu beasiswa. Sekali lagi, Alif berharap dia bisa menaklukkan Amerika!
“Jika saja aku ditakdirkan untuk mendapatkan beasiswa ini, maka aku akan menjadi anggota klub elite ini, kelompok cerdik pandai dan pemimpin dunia. Siapa tahu aku ikut tertular seperti mereka, memenangi nobel dan pulitzer. Siapa tahu. Aku diajarkan untuk tidak meremehkan impian setinggi apapun, karena sungguh Tuhan Maha Mendengar.” Hal.170. Dan… benar saja, akhirnya Alif mendapatkan apa yang ia mau. Ia sukses melompati Randai. Jauh sebelum keberangkatannya ke Eropa, Alif terlebih dulu sampai ke negeri Paman Sam. Di sana, ia menemukan orang-orang yang segera disebutnya sebagai keluarga dan mulai merajut kehidupan baru. Namun, satu pencapaian yang belum direngkuhnya. Jika Randai sudah memiliki Raisa maka hubungan antara Alif dan Dinara masih belum jelas. Jutaan kilometer dari Indonesia… Alif gamang.
Seperti halnya Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna yang memikat, Ahmad Fuadi tetap mempertahankan ciri khasnya dalam Rantau 1 Muara ini. Apa itu? Yakni keberadaan mantra-mantra penyemangat yang bisa menginspirasi pembaca. Man saara ala darbi washala, Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan. Mantra itulah yang jadi senjata Ahmad Fuadi di penutup trilogi Negeri 5 Menara ini.
Di dua buku terdahulu Ahmad Fuadi lebih banyak menyoroti tentang persahabatan dan mimpi. Namun, di Rantau 1 Muara ini Ahmad Fuadi banyak berbicara tentang cinta. Keresahan Alif menangani urusan hati ini sangat menarik. Di satu sisi Alif ingin menunjukkan bahwa ia sungguh berjuang demi cinta. Namun, pengalamannya terhadap Raisa dulu cukup menghambat. “Ada nyaliku. Kuat dan siap. Tapi aku tidak sudi malu. Nyali punya, malu tak mau,” hal. 166 suara hati Alif tersebut cukup menjelaskan bahwa urusan hati bukanlah sesuatu yang mudah ia taklukan. 🙂
Walaupun kisah percintaan dapat porsi yang cukup besar di buku ini, pengalaman Alif hidup di Amerika Serikat juga banyak dikisahkan dan tentu saja sangat menarik untuk diikuti. Apalagi, Ahmad Fuadi sempat menuliskan tragedi 9/11 yang berpengaruh besar terhadap kehidupan Alif. Hmm… dengan berbagai elemen kisah yang diceritakan, bisa dibilang kemungkinan Rantau 1 Muara dapat disuka dan ‘dibenci’ pada saat yang bersamaan cukup besar. Haha.
Jika dibandingkan dengan Ranah 3 Warna, tampilan Rantau 1 Muara ini terlihat lebih kurus. Perubahan cukup besar nampak di kavernya. Jika sebelumnya memakai kaver yang cukup ramai dan berwarna-warni, kaver Rantau 1 Muara sangat sederhana dan tidak terlalu bermain warna. Sebagian orang mungkin lebih suka kaver yang menenangkan seperti ini. Namun, menurutku walaupun sederhana masih banyak elemen-elemen yang bisa ditambahkan di kaver ini sehingga bisa lebih menarik. Hmm, jika bicara soal selera memang jadinya subjektif, ya? 🙂
Terlepas dari itu semua, Rantau 1 Muara adalah bacaan ringan, inspiratif dan menyenangkan. Terlebih jika sudah membaca dua seri sebelumnya maka Rantau 1 Muara menjadi wajib untuk ditamatkan terlebih bagi yang penasaran bagaimana kehidupan Alif selanjutnya. Jangan lupa, resapi mantra-mantra yang ditawarkan buku ini. Jika begitu, maka tidak ada yang mustahil jika sudah berbicara mimpi. Terima kasih Bang Ahmad Fuadi atas karyanya yang bermanfaat ini. Seperti halnya yang ia tulis di Rantau 1 Muara bahwa, “melalui tulisan dan huruflah manusia belajar dan menitipkan ilmu kepada orang lain,” Hal.41. Maka Bang Ahmad sudah melakukan dan membuktikan itu semua.
Aku suka review ini 😀
Gamblang dan sekilas aku mulai punya gambaran tentang “pengalaman” apa yang akan diberikan buku ini pada pembacanya.
Oiya, aku menunggu review Negeri Van Oranje juga yaaaaaaa hihihhihihii
Makasih mb Dian, ulasannya biasa aja kok 🙂
Apa yang aku tulis itu hmm gak sampe seujung kuku kali ya hahaha apalagi soal ‘urusan hati’. Di buku lebih kompleks lagi 😀
Eh aku gara-gara mb Dian nyebut Life Traveler terus jadi beli online loh bela-belain haha, dan alhamdulillah bukunya udah nyampe siang ini.
NVO siaaaaap… belum sempet ambil 😀
Waaahh, selamat menghangatkan hati dengan Life Traveler Yan 😀
Nanti kalau pas baca yang judulnya 10 – 10 – 10 di Life Traveler, ingat2lah aku ya? Whhahhahhahhaha *surhat terselubung*
Tapi aku lagi tanggung baca buku yang lain (hmm kayaknya malem ini selesai) Besok pagi baru deh nge-life traveler 😀
wah judulnya bikin penasaran hihihi sippp
Di tiap pondok pesantren yang menganut sistem pembelajran Pondok Gontor, 3 mantra itu khas sekali bagi para santri nya. Diajarkan pertama kali pada pelajran mahfuzhat yaitu mata pelajaran untuk mempelajri dan menghafal serta mengaplikasikan berbagai pepatah Arab yang terkenal keampuhannya dalam melabrak rintangan hidup. Di Pesantren saya, Kami disuruh teriak-teriak manjadda wajada, man sabara zhafira, dan man saara aladarbi wasala- sampe habis suara. 3 mahfuzat itu merupkan mahfuzat yang pertama kali kami hafal -secara berurutan- 🙂 Perkataan Imam Ghazali itu juga merupakan salah satu mahfuzat yang harus kami hafal. Diajarkan pas kelas 3 Mts kalau gak salah.
Ngomong-ngomong udah keluar to? Saya cape nunggu dari bulan februari. Wah, harus nunggu agak lama kalau di Aceh ya ? 😦
Skor GR hampir perfect lo: 4.58. Berarti 0.02 lagi ! Keren, harus cepat-cepat ni. Gak sabar !!!
*rasanya aku udah cerita* Kebetulan kakak sepupuku nikah dengan mudir ponpes. Ntar aku mau tanya ah ke anak-anak mereka apakah mereka diajarin juga mahfuzat itu 🙂
Aku dapet buku ini langsung dari Gramedia Teuku. Gegara ikutan #ResensiPilihan oleh @Gramedia 🙂 Aku gak tahu apakah di tobuk udah masuk apa belom. Tapi kayaknya gak lama lagi bakalan tersebar di seluruh gramedia 🙂
Skor itu bisa berubah-ubah. Semakin banyak yang kasih review maka pergerakan skor akan semakin cepat. Kalo sebagian besar kasih skor gede bisa jadi skornya naik 🙂 Eh btw, Skornya kan 5/5. Jadi masih ada selisih 0.42 ^^
Jadi belajar review disini nih. Aku copas tuk dipelajari nanti ya 🙂
Wah waaah aku juga amatiran mbak Ika 🙂 But, makasih apresiasinya.
aku belum baca bukunya om,,
sangat menarik dan mengandung banyak pelajaran sepertinya,,
resensinya menarik 🙂
Iya, bukunya memang menghangatkan hati dan memompa semangat 🙂
Wiiw, good job for your review, Yan! Semakin dibuat penasaran dengan akhir trilogi ini.
Makasih Tu 🙂 katanya tanggal 27 bakal beredar ^^
like this 🙂
Makasih mas Rifki 🙂
itu monumennya kok ngingetin sama obelisk ya?
Wah iyaaa mirip 😀
itu emang obelisk ntung..
obelisk itu asalnya dari mesir kan, mba?
obelisk itu dari yunani.. monumen segi 4 yang menjulang dan ujungnya kaya piramida..
dimanamana kalu lihat monumen segi 4 kaya gini udah mikir obelisk bukan cuma nama obelix temennya asterix yang doyan mahat menhir.. ternyata menhir itu obelisk sendiri..
dulu katanya obelisk itu simbol.. simbol keberadaan satu pemimpin gitu, apa negara ya.. pokoknya kalu ada obelisk itu daerah kekuasaan ga bisa dicopot kecuali perang.. jadi kaya patok ato pasak..
itulah di sekeliling obelisk suka ada “kode-kode” ato pahatan ato logo ato tulisan apa gitu..
monas kita itu niru obelisk juga loh.. pernah gini ku bahas sama temenku yang arsitek..
oo ternyata begitu. makasih infonya mba tin 🙂
Iya, aku sempet googling dan ada di Yunani. Hwaah makasih informasinya mbak Tintin. Memang deh pengetahuannya segudang mbak Tintin ini 🙂
Bagus previewnya,jelas…
Makasih Erit 😉
Waaah kok udah punya…besok langsung meluncur ke toko buku aah :). Dua tahun lalu sempat ngobrol lama sama mas fuadi tentang proses pembuatan buku ini. Harusnya terbit tahun lalu, eh malah molor sampai tahun ini…
Iya soalnya dikirim langsung oleh Gramedia mbak 🙂 Hadiah #ResensiPilihan di twitter 🙂
Aku juga udah pernah ketemu sama bang Fuadi. Pingin ketemu lagi euuuyyy 🙂 Aku baru tahu kalo penerbitan buku ini sempat molor hmmm… eh ya katanya di Gramed baru ada tgl 27 Mei. Tapi gak tahu juga ya apa yang dimaksud di daerah gitu 🙂
ga tahu napa tetep suka sama negri 5 menara dari trilogi itu..
banyak spoiler dimari.. 😀
Kalo aku paling suka yang Ranah 3 Warna. Apalagi di bagian Alif yang tercekat di pintu kerja Raisa *hahahaha*
Hwaaah maaf kalo ada spoilernya ya mbak Tin. Padahal udah diusahain gak ada bocoran ^^
jadi penasaran nih omm,,
udah baca buku pertama dan kedua? kalo sudah lebih asyik lagi bacanya 🙂 kalo belum tetep bisa nyambung kok 🙂
sudah dong omm,,
berasa ngayal kalo ngebaca ny,,
jadi pengen tau kekuatan bung fuadi lagi di trilogi ini, 🙂
Tulisan yang sangat bagus, memberikan motivasi tersendiri bagi para pembacanya. Thank mas.
Terima kasih mas 🙂 Alhamdulillah jika terasa bermanfaat.
Reblogged this on aboealfanan and commented:
cerita yg mencerdaskan hati dan perasaan….
Terima kasih apresiasinya 🙂
seperti 2 novelnya terdahulu, a.fuady membawa pembacanya berlayar mengasah hati , jiwa,perasaan kedalam satu kata TUHAN ” MAN JADDA WA JADDA”
Betul. Salah satu daya tarik utama dari karya-karyanya bang Fuadi memang itu 🙂
suka banget ama resensinya 🙂
Terima kasih mbak Mila 🙂