…Rangkuman perjalanan di Belitong bisa dilihat di sini.
Pagi kedua di Gantung-Belitong, udara terasa sejuk karena semalam sempat turun hujan. Sisa-sisa air masih terlihat tergenang di halaman rumah. Bada’ subuh, aku udah keluar dari kamar dan menuju rumah sebelah tempat Kak Butet tinggal. Bang Wira dan Kak Zaki, kedua anak kak Butet sudah bersiap-siap akan sekolah. “Om…om, anter abang dan kakak ke sekolah ya!” pinta mereka.
Kebetulan Ucok yang biasa anter belum keliatan. “Om nggak tahu sekolah abang dan kakak, nanti kasih tahu arahnya ya!” sahutku. Mendengar itu, mereka terlihat antusias. Ya, umumnya anak kecil, kalo liat ada tamu yang datang pastilah seneng, kan? Apalagi sampe mau anter mereka sekolah.
“Mobilnya dipanasin dulu dek,” sahut kak Butet. “Mana kuncinya, kak?” tanyaku lagi. “Kuncinya di dalam mobil dek. Di sini, kunci motor atau mobil nggak pernah dilepasin,” jawab Kak Butet santai. Hweeh, mentang-mentang yaaa orang Belitong kaya-kaya, sampe-sampe kendaraan dijaga seadanya. *prokprok* tapi emang sih, rata-rata di sini orang hidup sejahtera (hasil mengolah timah, sayang disisi lain alam yang rusak hiks). Walaupun rumah mereka tampil seadanya dengan gaya tradisional, minimal mereka punya kendaraan sendiri-sendiri, jadi nggak perlu nyolong kendaraan orang kalau sekedar pingin pergi ke pasar. Wajar pula kalo sampe angkot nggak laku di sini, hehe.
Begitu mobil sudah siap eh tahu-tahu si Ucok keluar. Berhubung aku nggak tahu sekolah mereka (dan sesungguhnya agak khawatir sama kemampuan dua bocah ini mengarahkan jalan ke sekolah), maka Ucok yang mengantar. Tapi aku tetep ikut kok. Kalo nggak, dua bocah aktif ini bisa protes keras. 😀 Jarak antara rumah dan sekolah sekitar 15 menit. Untuk menuju sekolah Abang dan Kakak, aku melewati pasar Gantung. Sepagi itu pasar sudah lumayan rame. Seneng banget rasanya bisa JJP (Jalan-jalan Pagi) di sini. Apalagi nih ya, pasar inilah yang dulu dipakai syuting Laskar Pelangi. Bahkan, adegan romantis Ikal membeli kapur di tokonya Aling pun ada di pasar ini. *mendadakromantis* heuheuheu.
Pulangnya, aku mampir dulu ke sebuah toko yang menjual obat. Adoooh, sesampai di Belitong aku terkena diare hebat euy. Aku jadi teringat nasehat temenku dulu sebelum ke Bangkok. “Ndut, jangan lupa bawa obat sakit perut. Aku pulang dari sana kena diare. Soalnya makanan di sana rada asem,” nasehat Dewok –sohibku. Niatnya sih emang mau bawa obat, tapi lupa 😛 lagian, perutku ini kan (biasanya) bebal. Maklum, perut ‘penampung segala’ kayak kantong ajaibnya Doraemon. Dimensinya tanpa batas hakhakhak.
“Kita mampir ke PICE dulu ya bang,” ajak Ucok. Mobil mengarah ke sebuah jalan kecil yang di sisi kanan dan kirinya banyak tumbuh pohon. Jalanan jadi sedikit gelap namun teduh. Beberapa ibu-ibu berjalan ke sisi kanan jalan yang terdapat kolam besar. Mereka bersiap-siap mandi di sana sambil membawa seember cucian. PICE itu apaan sih? Ternyata, PICE itu adalah sebuah pintu air/dam yang berfungsi mengatur debet air dari daratan ke laut. Biar nggak banjir gitu…
Kayaknya, PICE juga jadi tempat nongrong remaja di Gantung. Mendekati lokasi utama, banyak sekali warung-warung kecil yang kayaknya menjual makanan. Semacam jagung bakar atau pisang bakar. Sayang, sepagi itu warung belum ada yang buka. Kayaknya baru akan rame dari siang hingga sore. Karena sepi, kami memutuskan untuk kembali ke rumah. Maaf ya, nggak ada foto PICE-nya. Aku lupa bawa kamera 😛
Rencananya, hari ini kami akan melancong ke Pulau Lengkuas. Dooh, rasanya udah nggak sabar pingin cepet-cepet ke sana. Pukul 10 pagi, akhirnya kami berangkat dari rumah. Kali ini jalan-jalannya rombongan. Aku buka kartu ya, hihi. Walaupun sudah puluhan tahun tinggal di Belitong, mereka belum pernah sekali pun ke Pulau Lengkuas. “Kami baru mau ke Pulau Lengkuas kalo abang liburan ke Belitong,” begitu klaim mereka. Haha, jadi ENAK ini merasa diistimewakan.
Ucok kali ini libur dulu jadi supir. Gantinya, Bang Ogut (suami Diana –adiknya kak Butet) yang bawa mobil. Kebetulan hari ini Bang Ogut (sengaja) cuti untuk ngajakin aku jalan-jalan. *Arigato Bang!* Bersama kedua anak mereka (Abing dan Dio + baby sitter), juga Bicik dan adek Ratih plus Kak Butet dan Kakak Zaki (kali ini Abot tinggal di rumah), kami bergegas meninggalkan Gantung menuju Tanjung Pandan.
Tengah hari, kami sampai ke Tanjung Pandan. Sebelum ke Pulau Lengkuas, kami memilih makan siang dulu. Kali ini ‘musuhan’ dulu dengan sea food. Menu kali ini adalah sup daging. Nyam-nyaaam. Enak sih… tapi… lebih enak kalo ada ikan *teuteeeuuupppp*
Setelah kenyang, kami dadah-dadah-babay dari tempat makan. Sik asik, Pulau Lengkuas sebentar lagi akan aku datangi! Emang ya pada dasarnya kami semua tukang makan hihi, sebelum ke Pulau Lengkuas, masih sempatnya kami muterin pasar nyari buah dan cemilan. Lumayanlah nemu duku dan risol untuk bekal di Pulau lengkuas. Dari pasar, kurang lebih 20 menit kami sudah sampai ke dermaga (kalo nggak salah namanya daerah Tanjung Bingak).
Kok sepi ya? Di dermaga, nggak ada satupun orang yang nongkrong di sana *idiiih, ngapain juga nongrong panas-panas gitu :P* di dermaga cuma tersisa satu kapal doang. Itupun kayaknya rusak. Gak lama kemudian ada ibuk-ibuk yang datang mendekat dan menawari kami kapal. “Nak sewa kapal ya?” tawarnya. Bang Ogut ambil alih negosiasi. “Iya, mau ke Pulau Lengkuas. Berapa?” tanya Bang Ogut.
“Oh kalo ke Lengkuas itu Rp.500 ribu. Kapal masih sisa satu, soalnya dari pagi banyak yang dipake orang-orang cina yang liburan sincia,” sahut si Ibuk. Memang sih, pasaran harga sewa kapal emang segitu. Tapi tetep ya, kalo gak nawar rasanya nggak afdol gitu. “Ndak bisa kurang, apa? Mahal kali!” ujar bicik. “Sebentar ya bang, tanya ke suami dulu.”
Si ibu lalu menghilang. Gak lama kemudian tiba-tiba datang lagi. “Bang, kapal yang di situ rusak. Nih ada satu kapal lagi sisa, tapi dia minta Rp.700 ribu!”. Bah, kok tiba-tiba harganya malah naik gini ya? Terang aja kami sewot. “Lha, gimana bisa jadi mahal gitu Buk!” sahut Bang Ogut. “Iya, soalnya kapal sudah habis. Ini aja untung masih sisa satu.” jawab si Ibuk.
Duuh, aku jadi nggak enak nih. Kan sedikit banyak, keribetan ini juga dalam rangka ngajak aku jalan-jalan. “Kalo mahal nggak usah deh Cik, besok-besok juga gapapa,” bisikku ke bicik. “Ihh, nggak apa-apa nak, ntar juga kita tawar lagi,” jawab bicik. “Kita cari kapal di Tanjung Pendam aja buk,” tawar Bang Ogut. “Siapa tahu di sana masih banyak kapal.”
Akhirnya… setelah negosiasi yang alot, ujung-ujungnya kami kalah. Kami khawatir apa yang dibilang si ibuk kalo kapal tinggal satu itu nggak bohong. Memang kami datangnya kesiangan sih, dan juga bertepatan suasana liburan imlek. Alasan si ibuk cukup masuk akal. Selanjutnya, oleh si ibuk kami diarahkan untuk menaiki kapal agak jauh dari dermaga. Tepatnya ke belakang sebuah rumah penduduk. Di sini kapal segera disiapkan dan kami mulai ‘berlayar’ menuju Pulau Lengkuas.
INFO : Di kapal kami sempet interogasi ‘nahkoda’ kapal. Kami tanya-tanya soal harga sewa. Wheeew, ternyata si Ibuk tadi itu calo! Harga sewanya ‘cuma’ Rp.500 ribu kok! Tapi ya sudahlah… kami nggak ambil pusing. (apalagi aku yang statusnya dibayarin hihihi). Eh btw, ini nih no kontak yang punya kapal. Namanya Bang Ibet. No Hp. 081933352426. Bang Ibet bilang, dia biasa bawa rombongan. Mau jumlahnya lebih banyak harganya sama! Lumayan, kan?
Dari jauh kapal yang kami tumpangi ini nampak kecil. Tapi begitu di dekatkan di bibir pantai, weh gede juga! Aku dan adek Ratih memilih duduk di dek depan. Yang lain sih duduk santai di kursi penumpang. Perjalanan menuju Pulau Lengkuas ini lumayan bikin deg-degan. Ombaknya masih terasa gede, padahal kata Bang Ibet, “ini mah udah lumayan kecil!”. Berulang kali kapal serasa terbang ketika menerjang ombak *lebaaay hihi* Nggak ding, cuma goyangan-goyangan sedikit kok. Anggap aja lagi joget di panggung organ tunggal *kenapa jadi buka aib gini?*
Awalnya aku takut banget bakalan ngerasain mabuk laut. Tapi, nyatanya… setengah jam perjalanan aku asyik-asyik aja tuh. Malah sempetnya aku foto-foto hehe. Ini dia suasana perjalanan menuju Pulau Lengkuas.
Dari tepi pantai, Mercusuar terlihat berada di sebuah pulau besar. Ternyata ya, sebelum menuju Pulau Lengkuas, kami harus melewati Pulau Burung dulu. Pulau yang awalnya kami kira menjadi bagian dari Pulau Lengkuas. Ternyata masing-masing ‘mengapung’ tersendiri. Ini dia penampilan Pulau Burung. Dinamakan Pulau Burung karena di depan pulau ada bebatuan besar yang bentuknya mirip paruh burung.
Gak lama kemudian, penampakan Pulau Lengkuas semakin besar. Mendekati bibir pantai, sekelompok orang terlihat asyik snorkeling di bawah rimbunan pepohonan yang ada di pulau. Seru banget!
Begitu menginjakkan kaki di pantai, aku sudah nggak sabar pingin naik ke puncak Mercusuar. Ternyata, semua pada mau ikutan. Yang tinggal cuma adek Dio ditemani baby sitter aja. Ongkos naik ke menara cukup murah. Rp.5000 aja! Itupun nggak berupa tiket melainkan hanya sebuah kotak yang uangnya kita masukkan sendiri ke sana. Kotaknya juga nggak dijagain kok. Jadi kalo mau kasih lebih juga boleh. *aku sih mikir gimana cara ngembat tuh kotak. Hahaha, becandaaaaa becandaaaaaaaaa…..*
Ampuuuuuunnn… Pulau Lengkuas ini indaaaaaah banget. Wajarlah ya sampe-sampe Pulau Lengkuas ini dilirik sama produser Hollywood dan ditampilin di film The Philosophers. Pantainya putih bersih (kayaknya rajin pake handbody). Airnya jernih. Bebatuan besar turut menghiasi pulau. Pohon-pohon rindang juga banyak tersebar di Pulau Lengkuas. Walaupun jujur, ketika aku datang, ada beberapa sampah yang terlihat bergeletakan di tanah. (semoga penjaga pulau secara rutin membersihkan sampah-sampah itu).
Mercusuar yang dibangun pada tahun 1882 ini punya 305 anak tangga dan terdiri dari 18 lantai. Tinggi mercusuar lebih dari 50 meter. Waah denger hal ini aja udah bikin aku engap-engap. Takut mendadak bengek di tengah-tengah dan nggak sampe puncak. Nyatanya? Ntah karena saking antusiasnya atau emang bodiku lagi oke (walau sedang diare), aku sama sekali nggak ngerasa capek begitu sampai di puncak.
Trus ya, bisa jadi aku nggak merasa capek karena di tiap lantai, melalui jendela-jendelanya, aku disuguhi pemandangan luar biasa. Percayalah, di tiap-tiap jendela pada masing-masing lantai, kita akan mendapati pemandangan yang berbeda! Terdengar mistik? Nggaklah… kan Mercusuar itu berbentuk tabung. Tangganya juga melingari dinding dalam mercusuar. Nah, walau posisi jendela terlihat simetris dari luar, dari dalam kan tetangga berbentuk melingkar sehingga pemandangan dari jendela ikutan memutar. Walaupun kelak akan menemukan pemandangan yang sama, tapi ketika dilihat dari lantai yang berbeda (semakin atas) maka sudut pandang kita pun akan berubah. Luar biasa!
Ini dia pemandangan yang aku tangkap dari jendela mercusuar.
Oh ya, aku juga penasaran sama sebuah lubang yang ada di tengah-tengah menara. Dari luar terlihat gelaaaaap sekali. Aku lalu mengarahkan kamera dan… klik. Dibantu cahaya dari kamera, akhirnya aku tahu ternyata itu lubang biasa aja. Begitu kutanya sama penjaga pulau, katanya dulu lubang itu dipakai untuk menggeret tabung gas yang digunakan untuk menghidupkan lampu sorot. *anggukangguk*
Semakin mendekat puncak, langkah kakiku semakin cepat. Eh ternyata ada petugas yang sedang asyik nyantai. Sempat aku menyapa si bapak. Ternyata, si Bapak sudah seharian berada di atas. Salut sama si bapak yang setia menjalankan tugasnya. Aaaah… ada pintu keluar. Lagi-lagi ya, aku yang phobia ketinggian awalnya khawatir lutut bakalan lemas. Tapi, kekhawatiran itu lagi-lagi nggak terbukti. Aaah indahnya pemandangan dari atas. Ini niiiiih pandangan mataku aku bagi-bagi. Selamat ngeces *kasihtisu*
Hampir setengah jam kami berada di atas. Kami memutuskan kembali di bawah begitu ada sekelompok remaja (yang kayaknya datang dari Cina deh, soalnya ngomong pake bahasa mandarin) datang dan mulai menyesaki area luar puncak mercusuar. Aaaah pingin rasanya lebih berlama-lama di sana. Cuaca sangat bersahabat. Angin membelai lembut dan sinar matahari tidak terlalu menyengat. Sedaaaaaaapppp!
Begitu sampe di bawah, kami lanjut foto-foto. Nih ya, bukan bermaksud membela diri, hihi, aku ini pada dasarnya lebih sering motret ketimbang dipotret. Tapi, untuk pemandangan se-spektakuler Pulau Lengkuas ini, RUGI rasanya jika malu-malu dan nggak ikutan narsis. 😛
Ini dia hasilnya… *mohon siapkan kantong muntah masing-masing*
Kami di Pulau Lengkuas ini berapa jam ya? Hmm… hampir 2 jam deh. Berhubung rencananya mau singgah di Pulau Burung, kami lalu mulai meninggalkan Pulau Lengkuas yang menawan ini. Alhamdulillah, karena nggak melawan arus, perjalanan pulang terasa lebih lancar. Rasanya udah nggak ada lagi acara perahu menerjang ombak. Tapiiii… di perjalanan pulang inilah satu persatu ‘korban’ mabuk laut berjatuhan hahaha. Kak Butet dan Diana kena mabuk laut sampe-sampe wajah mereka pucat banget. Jadi, rencana singgah di Pulau Burungnya dibatalkan. Nggak masalah, soalnya dari atas perahu pun keadaan Pulau Burung udah terlihat jelas kok.
“Andai bapak-ibu datang lebih pagi, kita bisa antar ke Pulau Babi. Di sana Pulaunya lebih bagus lagi!” sahut Bang Ibet. Wah jadi penasaran. Ada apakah di Pulau Babi? Apakah banyak Babinya? Hehe, kayaknya nggak mungkin ya. Aaah, biarlah, rasa penasaran akan Pulau Babi tetap aku jaga, biar ada alasan untuk kembali ke Belitong sini.
Menjelang sore, sebelum pulang ke Gantung, kami sempat makan malam di Tanjung Pendam. Dari sini, siluet matahari terbenam terlihat menyejukkan hati. Aah, beruntungnya aku bisa datang ke Belitong ini. Memandang dari dekat ciptaan Allah yang tiada dua. Hari ini berakhir dengan menyenangkan. Walau begitu, masih banyak kejutan lain di hari-hari selanjutnya. Diantaranya adalah Pantai Tanjung Tinggi yang dijadikan tempat syuting Laskar Pelangi. Nggak sabar rasanya ingin menyentuh langsung batu-batu besar yang nampak gagah ketika ditampilkan di film. Tunggu aku ya Pantai Tanjung Tinggi!
…bersambung.
Bonus 🙂 Coba liat trailer film The Philosophers yang memperlihatkan keindahan Pulau Lengkuas ini. 🙂
kalau bahas Belitong pasti identik dengan pantai2nya yang keren yaa?
Ayo kita ke Pulau Babi 😀 hihihihi
Eh nanya dong Yan. Disana kenapa kakak-adek dipanggilnya “kakak” dan “abang”? Biasanya yg tua dipanggil pake sebutan apa? dan adeknya pake sebutan apa?
Dari cerita yg kmrn dirimu kan juga dipanggil “abang” sama sodara2
Nanti, kalo aku berkesempatan ke Belitong lagi, akan aku kasih tahu ya 🙂 Kan bisa ke tempat bicikku aja. Eh, sebelum ke sini aku udah ajak beberapa temen di FB lho *mungkin waktu itu belom temenan di FB ya hihi* Sayang, ada dua temen yang niatnya mau ikutan, tapi last minutes membatalkan. Kalo nggak, kami bakalan jelajah Belitong bareng.
Di sana, cowok dipanggil abang, dan cewek dipanggil kakak. Nah, Kak Butetku itu punya 3 anak. Anak pertama dipanggil Abang, yang kedua kakak, yang ketiga adek. Hihi. Uniknya nih ya, kalo tante-tante di sana, biasa dipanggil ‘Nyah’ kependekan dari ‘Nyonya’. Kalo di Palembang kan kalo ada yang manggil nyonya gitu kesannya negatif 😛
Kalo panggilan abang ke aku, itu panggilan oleh semua keluarga besar 🙂
ikuuuuuutttt,,,,,,, bole ya numpang di koper,,, 😥 😥
Hahaha… beneran mau? eh tapi aku gak bawa koper lho, cuma ransel aja. Bisa teknik melipat badan di ransel nggak? xixixixixi.
kalo bisa,, pasti sekarang aku dah terkenal om 😆 😆
Haha, terkenal karena bisa keliling dunia berbekal menyelinap di koper yak 😀
hahahahahaha
Hihihi ^^
Wah, kayaknya Belitong harus dimasukin ke wish list kunjungan nih… banyak pantainya…….#Ngeces
Iyaaa 🙂 InsyaAllah nggak nyesel datang ke Belitong 🙂
Indah bangetttt…
Aslinya lebih keren lagi Rit 🙂
Naik ke puncak menara tanpa pake alas kaki lumayan sakit jg yah, karat soalnya. Dulu pas di puncak menara aku ga sempat keluar, ngeri..
Akhir bulan ini insyaallah aku mo nyebrang ke belitung dari bangka..
Kalo sakit sih aku nggak ngerasa (lagi-lagi mungkin karena saking aku antusiasnya), yang pasti telapak kaki jadi berubah warna (agak kuning). Waaah sayang banget nggak keluar hihihi. Mana catatan perjalanannya Bijo? aku mau baca dong ^^
Udah lama banget ke belitungnya, akhir tahun 2008 ato 2009 (lupa), jadi udah lupa2 gitu.
Tiap abis halan2 niatnya pengen langsung posting, tapi apa daya tingkat kemalasannya jauh lebih tinggi daripada niatnya 😀
Haha aku juga sempet berada di titik malas dan nggak nulis setahun lamanya 🙂
indah sekali, yang mau snorkeling dibekali pelampung kan? hehehe…
Hahaha…
Nah, awalnya Bang Ogut mau nyoba snorkeling juga. Tapi nggak jadi karena udah keburu enjoy naik ke mercusuar. Katanya juga ada yang sewain peralatan di sini, tapi kok aku nggak liat ya? 😛
hihihihi, pertanyaan utama Om, maklum saya nggak bisa berenang 😀
Aku juga nggak bisa! hahahahahaha
Wow, keren banget lansekapnya. Pantai, bebatuan yang aman buat dinaiki (karena bukan karang), angin sepoi, dan tentu saja mercusuar!
1882. Mercusuar Willem III. Saya selalu kepingin naik ke atas mercusuar. Mas, foto-foto di atas itu bikin mupeng abis!
Pantas Belitong selalu jadi pusat cerita para traveler dalam semua catatan mereka. Jejak keindahannya terlalu membekas!
Hayo siapkan rencana, artinya tujuan selanjutnya ke Belitong 🙂 pantainya emang keren. Selain emang disini cuma ada sungai, jadi kangennya berlipat2 haha
Saya belum pernah ke Palembang juga, sih… #kode :haha
Hayo hayo ke Palembang 🙂